Pendahuluan: Mengapa Pembelajaran Singkat Penting?
Artikel karya Buus dan Georgsen (2017) mengangkat isu mendesak dalam pendidikan tinggi kontemporer, yaitu bagaimana merancang short learning programmes (SLPs) yang efektif di ranah further and continuing education. Fenomena ini muncul karena meningkatnya kebutuhan profesional untuk meningkatkan kompetensi dalam waktu singkat, sejalan dengan dinamika teknologi, kesehatan, manajemen, dan pendidikan sosial.
Penulis menyoroti realitas bahwa institusi pendidikan tinggi kini menghadapi tekanan ganda: di satu sisi dituntut menghadirkan inovasi digital dalam pembelajaran, di sisi lain harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi tenaga pengajar yang umumnya berakar pada tradisi tatap muka. Dilema inilah yang membentuk narasi argumentatif paper.
Resensi ini akan mengulas:
-
Kontribusi ilmiah dari kerangka learning design methodology yang diajukan.
-
Pemaknaan konsep kunci seperti blended learning, peran guru sebagai fasilitator, dan kolaborasi desain.
-
Refleksi teoritis terhadap angka, hasil, dan tantangan yang disajikan penulis.
-
Kritik metodologis terhadap pendekatan penulis.
-
Implikasi ilmiah dari temuan ini untuk masa depan pendidikan berkelanjutan.
Kontribusi Ilmiah: Memadukan Strategi Desain, Teknologi, dan Peran Guru
Fokus Paper
Buus dan Georgsen menekankan bahwa learning design methodology tidak boleh sekadar memindahkan praktik tatap muka ke ruang digital. Esensinya adalah transformasi, bukan translasi.
Mereka menunjukkan bahwa mayoritas dosen, saat pertama kali terlibat dalam desain kursus digital, cenderung:
-
Fokus pada konten dan kurikulum.
-
Mengabaikan pengalaman belajar siswa.
-
Menempatkan teknologi hanya sebagai pelengkap.
Kontribusi ilmiah utama paper ini ialah menawarkan kerangka metodologi desain pembelajaran yang melibatkan guru, desainer pembelajaran, dan produser kursus secara kolaboratif. Model ini menekankan pada user-involvement—menciptakan ruang partisipatif yang mendorong guru untuk merefleksikan identitas pedagogis mereka dalam ekosistem digital.
Implikasi Teoritis
-
Konsep blended learning diredefinisi sebagai arena pergeseran identitas profesional guru, bukan hanya format teknis.
-
Guru diposisikan sebagai fasilitator pembelajaran—mengarahkan proses, bukan sekadar penyampai konten.
-
Metodologi ini menekankan co-creation, yaitu desain bersama yang menghubungkan strategi organisasi, keterampilan individu, dan teknologi.
Kerangka Teoretis: Antara Pedagogi, Teknologi, dan Organisasi
Lapisan Strategis, Taktis, dan Operasional
Penulis menyajikan tiga tingkat integrasi desain:
-
Strategic level – kebijakan institusi dalam mendorong adopsi digital.
-
Tactical level – program dan struktur kursus yang disesuaikan.
-
Operational level – praktik sehari-hari guru di ruang kelas digital.
Ketiga level ini mencerminkan perspektif sistemik dalam teori organisasi pendidikan. Artinya, tantangan desain tidak hanya persoalan pedagogi individual, tetapi juga soal kerangka institusional yang mendukung.
Peran Guru dalam Kerangka Teoretis
Dalam konteks ini, guru menghadapi transformasi identitas:
-
Dari “sage on the stage” menuju “guide on the side”.
-
Dari penyampai pengetahuan menjadi fasilitator diskusi online.
-
Dari otoritas tunggal menjadi bagian dari tim desain multidisipliner.
Narasi Argumentatif: Dilema dan Tantangan
Vignette sebagai Titik Berangkat
Paper dibuka dengan vignette dua guru yang diminta mendesain ulang modul “Practical Methods in Social Science.” Kasus ini menggambarkan resistensi psikologis terhadap reduksi tatap muka dan adopsi teknologi.
Guru merasa:
-
Kehilangan ruang observasi langsung terhadap siswa.
-
Sulit membayangkan bagaimana interaksi online bisa menandingi kelas fisik.
-
Skeptis terhadap contoh desain digital karena “tidak sesuai gaya saya.”
Dari narasi ini, penulis berargumen bahwa tantangan terbesar bukan teknologi, melainkan mindset pedagogis guru.
Tantangan yang Diidentifikasi
-
Kurangnya pengalaman digital: banyak guru tidak terbiasa merancang pengalaman online.
-
Identitas profesional terguncang: guru sulit melihat diri mereka sebagai fasilitator online.
-
Keterbatasan metodologi partisipatif: desainer pembelajaran kesulitan memotivasi keterlibatan aktif guru.
Data dan Temuan: Refleksi Teoritis
Meskipun paper ini tidak berfokus pada statistik kuantitatif yang kompleks, beberapa angka dan hasil studi lapangan memberikan dasar refleksi:
-
5 tahun pengalaman: desain digital diuji dalam berbagai bidang (kesehatan, sosial, pendidikan, manajemen). Ini menunjukkan stabilitas metodologi dalam lintas disiplin.
-
Siklus singkat desain-delivery: kursus berputar cepat, menuntut metodologi yang fleksibel.
-
Keterlibatan guru meningkat setelah workshop kolaboratif, tetapi tetap ada kesenjangan keterampilan pedagogis digital.
Refleksi Teoritis
Angka-angka ini menegaskan bahwa transformasi desain pembelajaran adalah proses jangka panjang. Data lima tahun bukan hanya ukuran waktu, tetapi bukti bahwa evolusi pedagogis menuntut pembelajaran sosial dan organisasi, bukan sekadar adopsi teknologi.
Kritik terhadap Metodologi
-
Kurangnya kerangka evaluasi empiris yang terukur
Paper lebih deskriptif daripada analitis kuantitatif. Misalnya, tidak ada instrumen sistematis untuk mengukur efektivitas pembelajaran hasil desain baru. -
Ketergantungan pada studi kasus internal
Seluruh temuan bersandar pada pengalaman VIA University College. Hal ini menimbulkan pertanyaan: seberapa universal metodologi ini jika diterapkan di konteks budaya/organisasi lain? -
Potensi bias peran penulis
Karena penulis adalah bagian dari unit desain, ada risiko narasi terlalu optimistik, dengan minim kritik diri terhadap keterbatasan institusional.
Poin-Poin Utama yang Perlu Digarisbawahi
-
Blended learning bukan sekadar teknis: harus dilihat sebagai transformasi pedagogis.
-
Guru butuh dukungan organisasi: desain digital bukan tanggung jawab individu semata.
-
Kolaborasi lintas peran (guru, desainer, produser) adalah kunci keberhasilan.
-
Mindset matters: resistensi guru bukan soal teknologi, melainkan identitas profesional.
-
SLPs sebagai inovasi pendidikan: mempercepat siklus belajar untuk kebutuhan dunia kerja.
Refleksi Konseptual
Melalui paper ini, tampak jelas bahwa metodologi desain pembelajaran menjadi semacam “jembatan epistemologis” antara teori pendidikan, teknologi digital, dan praktik profesional.
Dari perspektif teori belajar, paper ini menggemakan prinsip konstruktivisme sosial: pembelajaran terjadi melalui interaksi, bahkan dalam ruang digital. Namun, tantangan muncul ketika guru masih memandang diri mereka sebagai pusat pengetahuan.
Potensi dan Implikasi Ilmiah
-
Bagi teori pendidikan: paper ini memperkaya diskursus tentang pergeseran identitas guru di era digital.
-
Bagi praktik institusi: menyediakan model integrasi multi-level (strategis, taktis, operasional).
-
Bagi kebijakan pendidikan: menekankan perlunya dukungan kelembagaan agar guru bisa berperan aktif dalam desain digital.
-
Bagi penelitian lanjutan: membuka ruang untuk studi empiris kuantitatif mengenai efektivitas metodologi ini pada outcome pembelajaran.
Kesimpulan
Paper Buus & Georgsen (2017) berhasil menunjukkan bahwa inovasi dalam short learning programmes tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada rekonfigurasi identitas pedagogis guru. Kontribusi utama paper ini adalah metodologi desain kolaboratif yang memberi ruang bagi guru untuk bertransformasi bersama desainer pembelajaran.
Meski metodologinya masih minim uji empiris, narasi reflektif dan kerangka konseptual yang ditawarkan memiliki potensi besar untuk membentuk arah baru dalam pendidikan berkelanjutan berbasis digital.
Dengan kata lain, masa depan continuing education ditentukan bukan hanya oleh seberapa canggih teknologi yang dipakai, tetapi oleh seberapa jauh guru bersedia mengubah cara mereka melihat diri dan peran mereka dalam ekosistem pembelajaran.