Distribusi

Lokasi DG Berbasis Keandalan Menggunakan Teknik Simulasi Monte-Carlo

Dipublikasikan oleh pada 10 September 2025


Pendahuluan

Dalam lanskap energi modern, jaringan distribusi listrik adalah urat nadi yang membawa listrik dari gardu induk ke setiap rumah tangga dan bisnis. Namun, seiring dengan peningkatan permintaan listrik dan harapan masyarakat akan pasokan yang tanpa henti, keandalan jaringan distribusi menjadi perhatian utama bagi operator jaringan. Pemadaman listrik, bahkan yang singkat sekalipun, dapat menyebabkan ketidaknyamanan, kerugian ekonomi, dan mengikis kepercayaan publik. Untuk mengatasi tantangan ini, integrasi pembangkit terdistribusi (Distributed Generation - DG) telah muncul sebagai solusi menjanjikan. DG, seperti panel surya atap atau turbin angin skala kecil, dapat menghasilkan listrik lebih dekat ke titik konsumsi. Mekanisme ini mengurangi ketergantungan pada jaringan transmisi pusat dan meningkatkan ketahanan lokal.

Makalah ilmiah yang berjudul "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Mohd Ikhwan Muhammad Ridzuan, Nur Nabihah Rusyda Roslan, NoorFatin Farhanie Mohd Fauzi, dan Muhammad Adib Zufar Rusli ini menyelami isu krusial mengenai penempatan DG secara strategis dalam jaringan distribusi. 

Berbeda dari studi sebelumnya yang seringkali memprioritaskan pada aspek tenis seperti pengurangan rugi-rugi atau peningkatan profil tegangan, penelitian ini secara eksplisit berfokus pada peningkatan kinerja keandalan, baik dari perspektif sistem maupun pelanggan. Dengan memanfaatkan teknik simulasi Monte Carlo yang telah teruji, makalah ini mengilustrasikan bagaimana penempatan DG yang cerdas dapat menjadi pilar utama untuk jaringan distribusi yang lebih tangguh dan efisien.

Urgensi Keandalan Jaringan Distribusi di Era Modern

Sebelum kita menggali lebih dalam metodologi yang diusulkan, mari kita pahami mengapa keandalan jaringan distribusi menjadi begitu sentral dalam operasi perusahaan listrik dan ekspektasi konsumen.

  • Tuntutan Regulator dan Sanksi Finansial: Di banyak negara, regulator energi telah menetapkan target keandalan minimum yang harus dicapai oleh operator jaringan distribusi (Distribution Network Operators - DNOs). Kegagalan untuk memenuhi target ini seringkali berujung pada denda atau sanksi finansial yang signifikan. Misalnya, di Inggris, Office of Gas and Electricity Markets (OFGEM) secara rutin memantau dan mengenakan sanksi pada DNOs yang gagal memenuhi Standar Kinerja yang Dijamin (Guaranteed Standards of Performance) terkait pemadaman listrik. Hal ini mendorong DNOs untuk secara aktif mencari solusi peningkatan keandalan.
  • Dampak Ekonomi dan Sosial Pemadaman: Pemadaman listrik, bahkan yang singkat, dapat mengganggu aktivitas bisnis, menghentikan produksi industri, merusak peralatan elektronik, dan memengaruhi layanan publik esensial seperti rumah sakit dan sistem transportasi. Menurut laporan dari berbagai sumber, kerugian ekonomi akibat pemadaman listrik dapat mencapai miliaran dolar per tahun secara global. Di negara-negara berkembang, di mana infrastruktur mungkin lebih rentan, dampak ini bisa jauh lebih parah.
  • Pergeseran Paradigma ke Smart Grid: Konsep Smart Grid menekankan integrasi teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan keandalan jaringan. Dalam visi smart grid, DG memainkan peran penting sebagai sumber daya terdistribusi yang dapat meningkatkan resiliensi lokal dan mengurangi ketergantungan pada infrastruktur pusat yang mungkin lebih rentan.

Makalah ini secara tepat menyoroti bahwa meskipun manfaat lain dari DG (seperti pengurangan rugi-rugi daya dan peningkatan profil tegangan) telah banyak diteliti, aspek keandalan yang fundamental ini seringkali kurang mendapat perhatian dalam konteks penempatan optimal.

Memahami Indikator Keandalan Kritis

Untuk menilai keandalan, makalah ini menggunakan dua kategori indikator utama yang diakui secara luas dalam industri:

  1. Indikator Keandalan Terkait Sistem (System-Related Reliability Indices): Ini memberikan gambaran umum tentang kinerja keandalan seluruh jaringan. Contohnya termasuk:
    • SAIFI (System Average Interruption Frequency Index): Rata-rata frekuensi pemadaman per pelanggan dalam setahun.
    • SAIDI (System Average Interruption Duration Index): Rata-rata durasi pemadaman per pelanggan dalam setahun (sering diukur dalam jam atau menit).
    • ASAI (Average System Availability Index): Persentase waktu pelanggan memiliki pasokan listrik dalam setahun.
  2. Indikator Keandalan Terkait Pelanggan (Customer-Related Reliability Indices): Ini fokus pada dampak keandalan pada pelanggan individual. Contohnya termasuk:
    • CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index): Rata-rata durasi pemadaman per pelanggan yang mengalami pemadaman. Ini membantu mengidentifikasi seberapa lama pelanggan yang terpengaruh harus menanggung pemadaman.

Dengan mengukur dan membandingkan indikator-indikator ini sebelum dan sesudah penempatan DG, para peneliti dapat secara kuantitatif menunjukkan peningkatan keandalan yang dicapai.

Kekuatan Simulasi Monte Carlo dalam Penilaian Keandalan

Makalah ini menggunakan teknik simulasi Monte Carlo untuk menilai kinerja keandalan jaringan. Mengapa Monte Carlo menjadi pilihan yang tepat untuk tugas ini?

Simulasi Monte Carlo adalah pendekatan berbasis probabilitas yang menggunakan pengambilan sampel acak untuk mensimulasikan peristiwa tak terduga dalam sistem. Dalam konteks keandalan jaringan distribusi, ini berarti:

  • Pemodelan Kegagalan Acak: Komponen jaringan (misalnya, saluran, transformator, pemutus sirkuit) memiliki tingkat kegagalan acak. Monte Carlo dapat mensimulasikan kegagalan ini berdasarkan distribusi probabilitasnya (misalnya, distribusi eksponensial untuk waktu antar kegagalan atau durasi perbaikan).
  • Memperhitungkan Ketidakpastian: Selain kegagalan komponen, Monte Carlo juga dapat memodelkan ketidakpastian lain, seperti variasi beban atau ketersediaan DG yang berintermiten (misalnya, tenaga surya atau angin).
  • Analisis Skenario Kompleks: Jaringan distribusi adalah sistem yang kompleks dengan banyak interkoneksi dan mode operasi yang berbeda. Monte Carlo dapat mensimulasikan ribuan atau jutaan skenario kegagalan dan perbaikan, serta dampaknya terhadap aliran daya dan pasokan pelanggan.
  • Estimasi Indeks Keandalan: Dengan melakukan simulasi jangka panjang misalnya satu tahun operasional dan mendokumentasikan seluruh kejadian pemadaman, durasi, serta jumlah pelanggan yang terdampak, metode Monte Carlo mampu memperkirakan berbagai indeks keandalan (SAIFI, SAIDI, CAIDI, dan lainnya) dengan tingkat akurasi statistik yang tinggi.

Meskipun Monte Carlo dikenal intensif komputasi, fleksibilitasnya dalam memodelkan sistem yang kompleks dan ketidakpastian menjadikannya alat yang tak tergantikan dalam penilaian keandalan.

Studi Kasus: Jaringan Distribusi Urban dan Suburban

Untuk mendemonstrasikan efektivitas metodologi yang diusulkan, para peneliti menerapkan model mereka pada dua jenis jaringan distribusi yang umum:

  1. Jaringan Distribusi Menengah (MV) Suburban: Ini adalah representasi realistis dari jaringan yang melayani area perumahan atau komersial dengan kepadatan sedang. Jaringan MV beroperasi pada tegangan sekitar 11 kV hingga 33 kV.
  2. Jaringan Distribusi Tegangan Rendah (LV) Suburban: Ini adalah bagian akhir dari jaringan distribusi yang membawa listrik langsung ke konsumen pada tegangan rendah (misalnya, 230/400 V).

Penerapan pada kedua jenis jaringan ini sangat penting karena karakteristik keandalan dan dampak penempatan DG dapat sangat bervariasi antara tingkat tegangan yang berbeda. Misalnya, kegagalan pada jaringan MV cenderung memengaruhi lebih banyak pelanggan daripada kegagalan pada jaringan LV individual.

Meskipun makalah ini tidak menyajikan angka spesifik dari setiap simulasi dalam abstrak, temuan utamanya menegaskan bahwa penempatan DG, baik di jaringan MV maupun LV, secara konsisten menunjukkan peningkatan kinerja keandalan. Ini adalah hasil yang sangat berarti bagi DNOs yang ingin memenuhi target regulasi dan meningkatkan kepuasan pelanggan.

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Misalnya, jika sebuah jaringan MV memiliki SAIDI sebesar 250 menit/pelanggan/tahun, penempatan DG yang optimal mungkin dapat mengurangi angka ini menjadi 150 menit/pelanggan/tahun. Ini bukan hanya angka di atas kertas; ini berarti ribuan pelanggan mengalami pemadaman yang lebih jarang dan lebih singkat.

Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membangun Jaringan yang Lebih Tangguh

Makalah ini tidak hanya menyajikan hasil, tetapi juga membuka peluang untuk analisis dan inovasi lebih lanjut:

Beyond Hanya Lokasi: Optimalisasi Ukuran dan Teknologi DG: Meskipun makalah ini berfokus pada lokasi, penelitian di masa depan berpontensi memperluas kerangka kerja ini untuk secara bersamaan mengoptimalkan ukuran (kapasitas) dan jenis teknologi DG (misalnya, surya, angin, baterai penyimpanan) untuk hasil keandalan terbaik. Lokasi optimal untuk surya mungkin berbeda dari lokasi optimal untuk penyimpanan baterai karena karakteristik operasionalnya yang berbeda.

Integrasi Aspek Ekonomi: Meskipun fokus utama makalah ini adalah keandalan, penempatan DG juga memiliki implikasi ekonomi yang signifikan (biaya instalasi, biaya operasional, pendapatan dari penjualan listrik). Penelitian di masa depan dapat mengintegrasikan analisis biaya-manfaat keandalan yang lebih mendalam, termasuk nilai ekonomi dari pengurangan downtime melalui Cost of Customer Interruption (COCI), untuk mencapai solusi penempatan yang paling ekonomis.

Pertimbangan Regulasi dan Kebijakan: Kebijakan energi dan insentif regulasi memainkan peran besar dalam adopsi dan penempatan DG. Makalah ini secara implisit mendukung argumen bagi pembuat kebijakan untuk menyediakan kerangka kerja yang mendukung investasi DG, khususnya yang berfokus pada peningkatan keandalan. Misalnya, program insentif yang memberikan poin bonus atau kompensasi kepada DNOs yang mencapai peningkatan keandalan signifikan melalui DG.

Resiliensi Terhadap Peristiwa Ekstrem: Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi peristiwa cuaca ekstrem (badai, banjir), kemampuan DG untuk menciptakan microgrid atau beroperasi dalam mode islanded (terisolasi dari jaringan utama) menjadi semakin penting untuk resiliensi. Makalah ini menyediakan fondasi untuk penelitian yang lebih jauh tentang bagaimana penempatan DG yang optimal dapat meningkatkan kemampuan jaringan untuk pulih lebih cepat dari gangguan besar.

Keterkaitan dengan Active Distribution Networks: Dengan semakin banyaknya DG yang terhubung, jaringan distribusi bertransformasi dari jaringan pasif menjadi Active Distribution Networks (ADN). Dalam ADN, aliran daya bisa dua arah, dan ada kebutuhan untuk kontrol yang lebih canggih. Makalah ini berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana merancang ADN yang andal, menyoroti pentingnya mempertimbangkan keandalan sejak awal dalam perencanaan dan operasional.

Perbandingan dengan Penelitian Lain: Makalah ini memperkuat temuan dari penelitian sebelumnya yang mendukung manfaat DG terhadap keandalan. Namun, penekanannya pada penggunaan Monte Carlo untuk menilai kedua indikator sistem dan pelanggan secara bersamaan, serta penerapannya pada jaringan MV dan LV di area suburban, memberikan nilai tambah yang unik. Banyak penelitian mungkin hanya berfokus pada satu jenis indikator atau satu jenis jaringan.

Tantangan dan Arah Penelitian Masa Depan: Beberapa tantangan masih ada. Bagaimana mengatasi kompleksitas komputasi Monte Carlo untuk jaringan yang sangat besar? Apakah ada cara untuk mengintegrasikan optimasi berbasis metaheuristik (misalnya, algoritma genetik, optimasi partikel) dengan Monte Carlo untuk mencari lokasi optimal dengan lebih cepat? Bagaimana memodelkan dampak intermitensi DG (misalnya, variasi output surya atau angin) secara lebih akurat dalam penilaian keandalan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.

Kesimpulan: Membangun Jaringan yang Lebih Kuat dengan DG yang Terlokasi Strategis

Makalah "Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique" oleh Muhammad Ridzuan dan rekan-rekannya adalah kontribusi yang relevan dan berharga bagi bidang rekayasa sistem tenaga. Dengan secara eksplisit berfokus pada peningkatan keandalan melalui penempatan pembangkit terdistribusi, dan dengan memanfaatkan kekuatan simulasi Monte Carlo, mereka telah menunjukkan peta jalan yang jelas bagi DNOs untuk memenuhi target regulasi sekaligus meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan.

Temuan bahwa penempatan DG secara konsisten meningkatkan kinerja keandalan di berbagai tingkat jaringan (MV dan LV) adalah pesan penting. Ini bukan hanya tentang menambahkan sumber daya, tetapi tentang menempatkannya secara strategis untuk memaksimalkan manfaat. Pada akhirnya, penelitian ini memperkuat arah pengembangan jaringan distribusi menuju sistem yang lebih cerdas, tangguh, dan andal. Suatu prasyarat penting bagi masyarakat modern yang kian bergantung pada pasokan listrik berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Muhammad Ridzuan, M.I., Ruslan, N.N.R., Fauzi, N.F.F.M. et al. Reliability-based DG location using Monte-Carlo simulation technique. SN Appl. Sci. 2, 145 (2020). DOI: 10.1007/s42452-019-1609-7

Selengkapnya
Lokasi DG Berbasis Keandalan Menggunakan Teknik Simulasi Monte-Carlo

Pendidikan

Menakar Dampak Kompetensi dan Motivasi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Villa Jimbaran Greenhill R.13

Dipublikasikan oleh pada 10 September 2025


Pendahuluan

Produktivitas tenaga kerja konstruksi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, bahkan di daerah sepesat Bali yang tengah berkembang pesat secara infrastruktur. Dalam konteks inilah, penelitian yang dilakukan oleh Komang Gde Krisna Maha dan timnya dari Politeknik Negeri Bali menjadi relevan dan penting. Melalui kajian atas pengaruh kompetensi dan motivasi terhadap produktivitas, serta analisis perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan standar SNI 2022, studi ini memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan praktik konstruksi nasional.

Latar Belakang Masalah

Menurut BPS (2018), lebih dari 18,57% proyek konstruksi mengalami keterlambatan. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kompetensi tenaga kerja. Ironisnya, dari sekitar 4,9 juta pekerja konstruksi di Indonesia, hanya sekitar 3% yang telah memiliki sertifikat keahlian. Ini menegaskan adanya kesenjangan serius antara kebutuhan keterampilan dan kenyataan di lapangan.

Dalam proyek pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13, penelitian ini bertujuan mengukur sejauh mana kompetensi dan motivasi individu dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pendekatan produktivitas berbasis data yang relevan dan kontekstual.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif dengan 30 responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan.

Instrumen pengumpulan data telah diuji validitas dan reliabilitasnya:

  • Semua item kuesioner menunjukkan nilai r-hitung > r-tabel.

  • Cronbach’s Alpha untuk seluruh variabel di atas 0,76 (termasuk reliabel).
     

Analisis dilakukan menggunakan regresi linier berganda dan perbandingan koefisien tenaga kerja lapangan dengan acuan SNI 2022.

Temuan Utama: Kompetensi, Motivasi, dan Produktivitas

A. Hasil Regresi dan Uji Statistik

  • Kompetensi kerja (X1) berpengaruh signifikan terhadap produktivitas (t-hitung 4,218 > t-tabel 2,048).

  • Motivasi kerja (X2) juga berpengaruh signifikan (t-hitung 2,808 > t-tabel 2,048).

  • Nilai R-Square sebesar 0,936, menunjukkan bahwa 93,6% variasi produktivitas dijelaskan oleh kedua variabel tersebut.
     

B. Hasil Analisis Deskriptif

  • Rata-rata skor kompetensi: 4,20 (kategori setuju).

  • Rata-rata skor motivasi: 4,18.

  • Rata-rata produktivitas: 4,19.
     

Dengan nilai yang tinggi dan saling terkait, hasil ini menunjukkan bahwa meningkatkan kompetensi dan motivasi secara simultan akan memberikan hasil nyata pada produktivitas proyek.

Studi Kasus: Perbandingan Upah Riil vs SNI

Penelitian ini juga membandingkan selisih upah tenaga kerja berdasarkan dua pendekatan koefisien:

1. Pemasangan Bata Ringan (10 cm):

  • Total biaya lapangan: Rp 22.200/m2

  • Total biaya menurut SNI: Rp 233.620/m2

  • Selisih: Rp 211.400/m2 atau 90% lebih tinggi menurut SNI
     

2. Plesteran Dinding (20 mm):

  • Total biaya lapangan: Rp 24.280/m2

  • Total biaya menurut SNI: Rp 65.680/m2

  • Selisih: Rp 41.400/m2 atau 63% lebih tinggi menurut SNI
     

Temuan ini menunjukkan adanya potensi pemborosan biaya jika hanya mengandalkan standar tanpa mempertimbangkan realisasi lapangan. Selain itu, menjadi penting bahwa standar nasional harus fleksibel dan adaptif terhadap kondisi aktual proyek.

Nilai Tambah dan Refleksi Industri

A. Kontribusi Studi:

  • Memberikan dasar empiris untuk kebijakan peningkatan kompetensi tenaga kerja.

  • Menyediakan data pembanding aktual yang dapat digunakan dalam estimasi biaya konstruksi.
     

B. Kritik dan Keterbatasan:

  • Jumlah responden terbatas (30 orang), kurang representatif untuk generalisasi nasional.

  • Studi dilakukan hanya pada satu proyek dan belum memperhitungkan faktor eksternal seperti cuaca, teknologi, atau manajemen proyek.
     

C. Perbandingan Penelitian Lain:

Penelitian ini konsisten dengan hasil studi oleh Mariana et al. (2018) yang juga menegaskan bahwa motivasi kerja berkorelasi positif dengan produktivitas. Hal serupa juga ditemukan oleh Prasetyo (2022) dan Agassy (2019) dalam kajian perbandingan koefisien lapangan vs SNI.

Implikasi Praktis

  • Bagi kontraktor: Perlu dilakukan penyesuaian estimasi biaya berdasarkan observasi realisasi lapangan.

  • Bagi pemerintah: Diperlukan revisi reguler terhadap SNI agar tetap relevan dan tidak menyebabkan overestimasi.

  • Bagi pendidikan vokasi: Perlu memperbanyak program sertifikasi untuk tenaga kerja konstruksi.
     

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kompetensi dan motivasi memiliki pengaruh kuat terhadap produktivitas tenaga kerja konstruksi. Dengan kontribusi 93,6% terhadap variasi produktivitas, dua faktor ini layak menjadi prioritas dalam pelatihan dan pengelolaan sumber daya manusia proyek.

Selain itu, analisis terhadap selisih koefisien biaya lapangan dan SNI menegaskan perlunya pendekatan biaya berbasis realita, bukan sekadar standar.

Penelitian ini membuka ruang untuk riset lanjutan yang lebih luas, lintas proyek dan daerah, guna mendukung pengambilan keputusan berbasis data di sektor konstruksi Indonesia.

 

Sumber:
Komang Gde Krisna Maha, Lilik Sudiajeng, I Made Anom Santiana. (2023). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja terhadap Produktivitas serta Koefisien Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Villa Jimbaran Greenhill R.13. Politeknik Negeri Bali.

Selengkapnya
Menakar Dampak Kompetensi dan Motivasi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Villa Jimbaran Greenhill R.13

Studi Gender dan Budaya

Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Dipublikasikan oleh pada 10 September 2025


Pendahuluan: Memahami Warisan Lewat Kacamata Gender

Distribusi warisan dalam masyarakat tradisional seringkali menjadi refleksi dari struktur sosial, relasi kekuasaan, dan norma budaya yang mengakar. Dalam konteks Bali, distribusi properti tidak semata menyangkuy kepemilikan harta, tetapi juga melibatkan makna simbolik dan posisi gender dalam keluarga. Artikel "Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali" karya Ida Ayu Grhamtika Saitya menyoroti kompleksitas pembagian warisan di masyarakat pedesaan Bali, sekaligus mengungkap bagaimana perubahan sosial memengaruhi norma-norma tradisional dalam pembagian hak kepemilikan.

Struktur Sosial Bali dan Sistem Patrilineal (H2)

Norma Tradisional: Warisan untuk Anak Laki-laki (H3)

Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dominan di Bali, anak laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pewaris utama. Hal ini berakar pada konsep bahwa laki-laki akan tetap tinggal di rumah asal dan menjaga pura keluarga, sementara perempuan akan "keluar" dari keluarga saat menikah. Dalam praktiknya:

  • Anak laki-laki menerima tanah warisan dan rumah adat.

  • Anak perempuan hanya mendapatkan "pembekalan" berupa barang bergerak saat menikah.

Posisi Perempuan dalam Tradisi Bali (H3)

Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi ahli waris penuh, bahkan ketika mereka secara ekonomi berkontribusi dalam keluarga. Konsepsi bahwa perempuan adalah "tamu" dalam keluarga asal memperkuat eksklusi mereka dari hak kepemilikan penuh.

Perubahan Sosial dan Negosiasi Gender (H2)

Modernisasi dan Mobilitas Sosial (H3)

Penelitian Saitya mengungkap bahwa urbanisasi dan pendidikan mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap gender dan warisan. Dalam keluarga yang memiliki lebih dari satu anak perempuan, muncul praktik kompromi:

  • Warisan dibagi merata antara anak laki-laki dan perempuan.

  • Anak perempuan diberikan tanah sebagai bentuk investasi masa depan.

Studi Kasus: Negosiasi dalam Pembagian Tanah (H3)

Salah satu informan perempuan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari orang tuanya sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya selama merawat orang tua. Ini menjadi bukti bahwa:

  • Norma patriarkal tidak lagi mutlak.

  • Ada ruang negosiasi dalam keluarga berbasis dialog.

Ketimpangan Hak dan Praktik Hukum (H2)

Peran Hukum Adat vs Hukum Nasional (H3)

Hukum adat Bali cenderung memperkuat sistem patriarkal, sementara hukum nasional Indonesia membuka peluang kesetaraan gender. Namun dalam praktik:

  • Hukum adat masih dominan dalam penyelesaian sengketa warisan.

  • Perempuan yang menggugat hak warisan sering dianggap menyalahi norma.

Ketegangan antara Norma dan Realitas (H3)

Beberapa perempuan memilih tidak menuntut hak waris demi menjaga harmoni keluarga, meskipun mereka secara hukum berhak. Di sisi lain, keluarga yang lebih terbuka cenderung menerapkan prinsip keadilan berbasis kebutuhan dan kontribusi.

Analisis Teoritis dan Implikasi Sosial (H2)

Perspektif Feminisme dan Struktur Kekuasaan (H3)

Penelitian ini menggunakan lensa teori gender dan feminisme untuk membedah:

  • Bagaimana struktur kekuasaan dibentuk melalui warisan.

  • Peran perempuan yang dibatasi oleh norma tradisional dan simbolik.

Dampak pada Emansipasi Perempuan Bali (H3)

Dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran hukum, perempuan Bali mulai:

  • Menegosiasikan haknya secara aktif.

  • Mengembangkan strategi hukum maupun sosial untuk mengakses properti.

Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)

Bagi Pemerintah dan Aparat Desa:

  • Perlu edukasi hukum waris berbasis gender.

  • Pelatihan mediasi konflik keluarga berbasis kesetaraan.

Bagi Aktivis dan Akademisi:

  • Dorongan untuk mendokumentasikan praktik alternatif yang lebih setara.

  • Membuat model kebijakan lokal yang menyelaraskan adat dan hukum nasional.

Kesimpulan: Menuju Sistem Waris yang Lebih Inklusif (H2)

Penelitian ini membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana perubahan sosial dan kesadaran gender mempengaruhi distribusi warisan. Meskipun sistem adat masih kuat, terdapat tanda-tanda perubahan menuju praktik yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Perubahan ini harus didukung oleh pendidikan, kebijakan, dan kesadaran kolektif agar transmisi properti di masa depan tidak lagi timpang berdasarkan gender.

Sumber

Saitya, Ida Ayu Grhamtika. (2022). Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali.

Selengkapnya
Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Kontruksi Modern

Membedah Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Tahap Perencanaan Proyek Design and Build: Studi Kasus Polder Green Garden Jakarta

Dipublikasikan oleh pada 10 September 2025


Mengapa Isu Keberlanjutan dalam Perencanaan Proyek Begitu Krusial?

Dalam dunia konstruksi modern, tekanan untuk menjalankan proyek secara efisien dan bertanggung jawab terhadap lingkungan semakin tinggi. Di tengah krisis iklim dan percepatan urbanisasi, pendekatan konstruksi berkelanjutan bukan hanya tren, tapi sebuah keniscayaan. Khususnya pada tahap perencanaan di mana visi proyek dirumuskan keputusan yang diambil akan menentukan seberapa ramah lingkungan dan inklusif hasil akhirnya.

Dalam konteks inilah skripsi Nur Afifah Tri Ramadhani Surahman mengambil posisi penting. Melalui studi pada proyek Polder Green Garden di Jakarta, peneliti mengevaluasi seberapa dalam prinsip keberlanjutan tertanam dalam perencanaan proyek design and build, dan bagaimana kriteria keberlanjutan tersebut diprioritaskan dengan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP).

Polder Green Garden: Proyek Strategis Pengendali Banjir

Polder Green Garden bukan sembarang proyek. Ia dibangun sebagai solusi sistemik atas banjir yang kerap melanda kawasan Kedoya Utara, Jakarta Barat, terutama saat luapan Kali Angke dan Mookervart tak lagi terbendung. Dengan sistem drainase tertutup dan pompa raksasa, polder ini menjadi bagian dari infrastruktur krusial ibukota.

Menariknya, pembangunan polder kini tidak lagi semata-mata berorientasi pada fungsi teknis, melainkan juga mengintegrasikan prinsip keberlanjutan mulai dari pelibatan masyarakat hingga upaya konservasi sumber daya.

Mengapa AHP?

Analytic Hierarchy Process (AHP) dipilih sebagai metode karena mampu memetakan kompleksitas pengambilan keputusan multikriteria. Melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison), AHP memudahkan peneliti menentukan prioritas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi secara kuantitatif.

Sumber Data

  • Sumber primer: Kuesioner kepada para profesional proyek

  • Sumber sekunder: Regulasi seperti Permen PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Konstruksi Berkelanjutan

Hasil: Apa yang Paling Penting dalam Perencanaan Berkelanjutan?

Dari hasil AHP, bobot terbesar justru berasal dari aspek yang selama ini sering diabaikan: Kenyamanan dan Kesehatan (0.40). Artinya, desain proyek yang memperhatikan kualitas udara, pencahayaan, aksesibilitas, dan kenyamanan pengguna menempati prioritas tertinggi.

Catatan Penting:

  • Sub-kriteria seperti konservasi air, energi, dan partisipasi masyarakat memiliki bobot yang kecil (0.01–0.02).

  • Namun, meskipun bobotnya kecil, elemen-elemen ini tetap wajib hadir untuk mencapai triple bottom line keberlanjutan: sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Tinjauan Kritis: Apakah Sudah Cukup?

Kelebihan Penelitian:

  • Menggunakan AHP untuk memetakan prioritas keberlanjutan secara kuantitatif

  • Berbasis pada proyek nyata dengan tantangan kompleks (banjir perkotaan)

  • Memperhatikan peraturan nasional dan lokal dalam sektor konstruksi berkelanjutan
     

Kritik dan Saran:

  • Belum menyentuh aspek digital seperti BIM untuk mendukung keputusan berbasis data

  • Perlu studi lanjutan pada fase implementasi dan operasional (post-occupancy)

  • Disarankan menambahkan dimensi resilience terhadap perubahan iklim, bukan sekadar keberlanjutan

Implikasi Nyata: Apa yang Bisa Diambil dari Studi Ini?

Bagi Pemerintah:

  • Harus memperkuat regulasi teknis dalam pengadaan D&B agar menekankan aspek keberlanjutan

  • Perlu mendorong integrasi perencanaan partisipatif dalam proyek-proyek publik

Bagi Profesional:

  • Tim perencana harus mulai menjadikan kenyamanan pengguna dan interaksi sosial sebagai bagian dari KPI proyek

  • Manajemen proyek harus menggunakan AHP atau metode serupa untuk memprioritaskan sumber daya

Bagi Dunia Akademik:

  • Studi ini membuka jalan bagi riset kuantitatif lanjutan tentang keberlanjutan berbasis fase proyek

  • Menawarkan model aplikatif berbasis data untuk mengevaluasi aspek non-teknis dalam proyek infrastruktur

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini menguatkan temuan dari Aghimien et al. (2019) yang menunjukkan bahwa keberlanjutan dalam tahap perencanaan jauh lebih menentukan daripada implementasi teknis semata. Namun skripsi ini melangkah lebih jauh dengan memasukkan konteks lokal (Jakarta) dan skenario aktual (pengendalian banjir), menjadikannya sangat relevan bagi tata kota tropis.

Kesimpulan: Perencanaan adalah Pondasi Keberlanjutan

Keberlanjutan dalam proyek konstruksi bukan hanya soal panel surya atau toilet hemat air .Fondasinya justru diletakkan sejak perencanaan awal ketika orientasi bangunan, tata tapak, material, dan sistem utilitas ditentukan.

Melalui penelitian ini, jelas bahwa proyek design and build seperti Polder Green Garden tidak hanya bisa efisien secara teknis, tetapi juga dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan secara sistematis sejak tahap awal. Asalkan, prioritasnya diletakkan pada apa yang benar-benar penting: manusia, lingkungan, dan nilai ekonomi jangka panjang.

Sumber

Surahman, N. A. T. R. (2023). Penerapan Konstruksi Berkelanjutan pada Tahapan Perencanaan pada Kontrak Rancang dan Bangun (Studi Kasus: Proyek Polder Green Garden Wilayah DKI Jakarta). Skripsi, Universitas Hasanuddin.

Selengkapnya
Membedah Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Tahap Perencanaan Proyek Design and Build: Studi Kasus Polder Green Garden Jakarta

Pendidikan

Peningkatan Pendidikan Insinyur: Strategi Tiga Langkah untuk Mengembangkan Kompetensi Global

Dipublikasikan oleh Marioe Tri pada 10 September 2025


Pendahuluan

Perkembangan global yang pesat di abad ke-21 menempatkan tuntutan baru pada para insinyur. Mereka tidak lagi hanya membutuhkan keahlian teknis yang kuat, tetapi juga

kompetensi global untuk bekerja secara efektif di lingkungan yang saling terhubung, beragam, dan kompleks. Namun, integrasi kompetensi ini ke dalam kurikulum pendidikan teknik sering kali menemui hambatan karena definisinya yang rumit dan tidak adanya pendekatan praktis yang teruji.

Disertasi ini bertujuan untuk membangun fondasi empiris guna memajukan pengembangan kompetensi global di institusi pendidikan insinyur. Melalui sintesis dari lima studi, penelitian ini mengeksplorasi tiga tema utama: konseptualisasi kompetensi global, pengembangannya, dan penilaiannya. Temuan-temuan disertasi ini sangat relevan untuk institusi yang ingin merumuskan strategi yang terarah dan berkelanjutan.

Konseptualisasi Kompetensi Global: Definisi dan Komponen Inti

Disertasi ini mendefinisikan kompetensi global sebagai

kemampuan untuk menunjukkan perilaku yang efektif dan tepat yang sesuai dengan kebutuhan konteks profesional yang berbeda. Perilaku ini muncul dari gabungan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki individu. Konsep ini melampaui keahlian teknis dan sangat krusial bagi para insinyur modern. Bahkan, badan akreditasi internasional seperti

ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology) dan inisiatif CDIO (Conceive-Design-Implement-Operate) telah mengeluarkan pedoman untuk atribut lulusan yang komprehensif, mencakup kompetensi non-teknis.

Penelitian ini mengidentifikasi serangkaian

komponen inti dari kompetensi global yang dianggap penting oleh para peneliti dan pemangku kepentingan industri maupun akademisi. Komponen-komponen ini mencakup:

  • Kesadaran Diri: Memahami kepribadian, nilai, kekuatan, dan kelemahan diri sendiri.

  • Wawasan Global dan Etika: Memahami peristiwa global, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap pembangunan berkelanjutan dan prinsip-prinsip etika.

  • Komunikasi dan Kolaborasi: Kemampuan untuk bertukar informasi secara efektif dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
  • Fleksibilitas dan Adaptabilitas: Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konteks yang berbeda dan kondisi yang berubah.
  • Kecakapan Profesional: Pemahaman tentang disiplin ilmu, profesi, dan standar praktik rekayasa global.

Pengembangan kompetensi ini tidak hanya terjadi di dalam kelas, melainkan juga melalui pengalaman di lingkungan yang beragam dan interaktif.

Strategi Institusional untuk Pengembangan Kompetensi

Disertasi ini mengusulkan

strategi tiga langkah yang komprehensif dan praktis untuk institusi pendidikan insinyur. Strategi ini dirancang untuk mengatasi tantangan implementasi dan memastikan hasil yang nyata.

Langkah 1: Meletakkan Fondasi

Fase ini berfokus pada persiapan dan perencanaan awal. Hal ini mencakup pengembangan visi institusional yang jelas, menciptakan lingkungan yang mendukung keragaman dan inklusivitas, serta memberikan

pelatihan dan dorongan kepada staf pengajar. Pelatihan bagi dosen sangat penting untuk membantu mereka membangun keahlian dalam merancang peluang belajar yang relevan.

Langkah 2: Mengembangkan Peluang Pembelajaran

Fase ini melibatkan perancangan peluang belajar di tiga tingkatan:

  • Kurikuler: Mengintegrasikan kompetensi global secara langsung ke dalam mata kuliah disiplin ilmu, misalnya melalui kolaborasi virtual dengan mitra internasional atau studi kasus kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan modul yang membahas tentang etika profesi.

  • Ko-kurikuler: Aktivitas di luar kurikulum inti yang melengkapinya, seperti magang internasional, kunjungan lapangan, atau program sertifikasi.

  • Ekstra-kurikuler: Kegiatan yang tidak terhubung langsung dengan kurikulum, seperti kesempatan menjadi sukarelawan atau berpartisipasi dalam asosiasi mahasiswa, yang tetap didukung oleh institusi.

Langkah 3: Menilai Pengembangan Kompetensi

Fase terakhir berfokus pada evaluasi untuk menginformasikan revisi strategi. Disertasi ini menekankan pentingnya penilaian yang valid dan andal untuk memastikan hasil pembelajaran tercapai. Disertasi menemukan bahwa hanya sekitar

32% dari publikasi yang meninjau intervensi menggunakan penilaian multi-metode, dan bahwa metode penilaian tunggal seperti survei laporan diri tidak cukup untuk mengukur kompetensi yang kompleks. Oleh karena itu, diperlukan metode penilaian yang lebih komprehensif, seperti tes penilaian situasional, untuk mengukur perilaku dan pemikiran di balik keputusan insinyur.

Kesimpulan

Disertasi ini menunjukkan bahwa persiapan insinyur yang kompeten secara global adalah inisiatif penting di seluruh dunia. Dengan menerapkan kerangka kerja dan strategi tiga langkah yang diusulkan, institusi pendidikan teknik dapat beralih dari upaya yang "terlalu bersemangat" menjadi pendekatan yang sistematis dan efektif. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas lulusan insinyur, tetapi juga memperkuat posisi institusi dalam menghadapi tuntutan global dan industri di masa depan.

Sumber

  • Disertasi: "Global competence education in practice" oleh Tanja Richter, KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, Swedia, 2025.

Selengkapnya
Peningkatan Pendidikan Insinyur: Strategi Tiga Langkah untuk Mengembangkan Kompetensi Global

Kebijakan Publik

Kebijakan Krusial untuk Meningkatkan Peran Insinyur dalam Pembangunan Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri pada 10 September 2025


Pendahuluan

Peran insinyur dalam memajukan peradaban dan pembangunan suatu bangsa tidak dapat diremehkan. Di Indonesia, profesi insinyur merupakan pilar vital dalam mewujudkan infrastruktur, teknologi, dan industri yang tangguh. Buku "Insinyur Indonesia", hasil kolaborasi dari 13 penulis, menyajikan gambaran komprehensif tentang tantangan dan peluang yang dihadapi profesi ini di Tanah Air. Dengan menganalisis beragam aspek, mulai dari pendidikan, sertifikasi, hingga praktik di lapangan, buku ini menawarkan wawasan penting yang dapat menjadi landasan bagi perumusan kebijakan publik yang lebih efektif. Resensi ini akan mengolah temuan-temuan kunci dari studi tersebut menjadi rekomendasi kebijakan yang konkret dan dapat diimplementasikan oleh pemangku kepentingan di pemerintahan.

Mengapa Peran Insinyur Indonesia Penting untuk Kebijakan?

Buku "Insinyur Indonesia" secara eksplisit menunjukkan bahwa insinyur bukan hanya sekadar teknisi, melainkan agen perubahan yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa kemajuan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas insinyurnya. Sebagai contoh, Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 100 ribu insinyur per tahun, jumlah yang jauh tertinggal dibandingkan Tiongkok (1,5 juta) dan India (1,2 juta). Padahal, kebutuhan SDM insinyur di sektor konstruksi saja sangat besar. Kesenjangan kuantitas ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan kebijakan yang mendorong minat dan pendidikan di bidang keinsinyuran.

Di sisi lain, buku ini juga menyoroti perlunya pemerintah untuk menstandardisasi kompetensi insinyur melalui regulasi. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019. Regulasi ini menjadi landasan hukum untuk meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan perlindungan bagi insinyur dan pengguna jasa keinsinyuran. Dengan demikian, kebijakan publik yang proaktif dalam menegakkan aturan-aturan ini sangat krusial untuk menjamin kualitas dan keselamatan dalam setiap proyek pembangunan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang

Penerapan akuntabilitas di lapangan tidaklah tanpa tantangan. Buku ini mengidentifikasi salah satu hambatan terbesar adalah masih rendahnya jumlah insinyur Indonesia yang memiliki sertifikasi Mutual Recognition Arrangement (MRA). Sertifikasi ini merupakan persyaratan penting untuk bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan tanpa itu, insinyur asing berpotensi menguasai proyek-proyek di Indonesia.

Namun, di tengah hambatan tersebut, terdapat peluang besar. Buku ini secara khusus menguraikan peran sentral Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sebagai wadah profesi yang bertugas membina dan mengembangkan kompetensi insinyur. PII memiliki Kode Etik Insinyur Indonesia yang disebut Catur Karsa Sapta Dharma sebagai panduan perilaku profesional. Hal ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperkuat kolaborasi dengan PII dalam menegakkan standar etika dan integritas. PII juga bertanggung jawab untuk melaksanakan Program Profesi Insinyur (PS-PPI) bersama perguruan tinggi dan industri, yang sangat penting untuk menciptakan insinyur yang kompeten dan siap kerja.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis (dengan alasannya)

Berdasarkan analisis mendalam dari buku "Insinyur Indonesia," berikut adalah lima rekomendasi kebijakan praktis yang dapat segera dipertimbangkan oleh pemerintah:

  1. Mengintegrasikan Sistem Sertifikasi ke dalam Regulasi Proyek Pemerintah

    • Alasan: Terdapat masalah dualisme sertifikasi antara STRI (Surat Tanda Registrasi Insinyur) dan SKA/SKK (Sertifikat Keahlian Kerja), yang membuat banyak insinyur memilih sertifikasi yang dianggap lebih praktis, bukan yang sesuai standar profesi.

    • Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah harus menetapkan STRI sebagai persyaratan utama untuk semua insinyur yang terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur publik. Langkah ini akan memastikan bahwa insinyur yang bekerja memiliki kompetensi yang telah diakui oleh PII sebagai organisasi profesi resmi, sekaligus memperkuat peran PII.

  2. Mewajibkan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk Registrasi Insinyur

    • Alasan: Kompetensi insinyur harus selalu diperbarui seiring perkembangan teknologi. Buku ini menekankan pentingnya continuous development program (CPD) yang setara dengan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) untuk memastikan insinyur Indonesia mampu bersaing secara global.

    • Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat bekerja sama dengan PII untuk menetapkan PKB sebagai syarat wajib perpanjangan Surat Tanda Registrasi Insinyur setiap 5 tahun. PII dapat menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan yang relevan, seperti yang dijelaskan dalam artikel ini: Etika Profesi Insinyur dan Manajemen Proyek.

  3. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas SDM Insinyur secara Terpadu

    • Alasan: Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam hal jumlah dan kualitas insinyur, dengan produksi lulusan yang jauh di bawah negara-negara tetangga.

    • Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah melalui Kemendikbudristek harus menyusun target yang realistis untuk meningkatkan jumlah lulusan teknik yang kompeten. Strategi ini harus terintegrasi dengan kebutuhan industri, seperti yang dicontohkan oleh program Politeknik khusus PU yang bertujuan memenuhi kebutuhan SDM di sektor konstruksi. Program ini dapat direplikasi di sektor lain.

  4. Memperkuat Peran PII dalam Penegakan Kode Etik dan Advokasi Hukum

    • Alasan: Insinyur membutuhkan perlindungan hukum dan panduan etika yang kuat untuk menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.

    • Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat memberikan wewenang yang lebih kuat kepada PII, termasuk Majelis Kehormatan Etik, untuk menegakkan Kode Etik Insinyur Indonesia. PII juga harus didukung untuk memberikan layanan advokasi hukum bagi insinyur yang menghadapi masalah dalam praktik profesional mereka.

  5. Mendorong Partisipasi Insinyur dalam Perumusan Kebijakan Publik

    • Alasan: Buku ini menunjukkan pentingnya "rekayasa kebijakan" (policy engineering) sebagai salah satu pilar pembangunan, yang harus melibatkan insinyur sebagai ahli teknis.

    • Mekanisme Pelaksanaan: Pemerintah dapat membentuk tim ahli yang terdiri dari insinyur profesional dari berbagai disiplin ilmu, yang berafiliasi dengan PII, untuk memberikan masukan teknis dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan nasional. Hal ini akan memastikan kebijakan yang dibuat tidak hanya aspiratif tetapi juga realistis dan layak secara teknis.

Kesimpulan

Buku "Insinyur Indonesia" adalah sebuah seruan untuk tindakan. Temuan dan analisisnya menunjukkan bahwa masa depan pembangunan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana pemerintah memposisikan dan mendukung profesi insinyur. Dengan mengimplementasikan rekomendasi kebijakan ini, Indonesia dapat menciptakan ekosistem yang kondusif bagi insinyur untuk berinovasi, berkontribusi secara optimal, dan menjadi pilar utama dalam mewujudkan visi pembangunan bangsa yang berkelanjutan.

Sumber

  • Buku: "Insinyur Indonesia" (Penulis: Mahyuddin Mahyuddin, dkk.)

Selengkapnya
Kebijakan Krusial untuk Meningkatkan Peran Insinyur dalam Pembangunan Indonesia
page 1 of 1.151 Next Last »