Profesi & Etika
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), merupakan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda. Artikel Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda karya Muhammad Gibran Humam Fadlurrahman mengulas sejarah pendirian THB, latar belakang politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya, serta peran THB dalam perkembangan pendidikan teknik di Indonesia.
Artikel ini juga menyoroti peran THB dalam implementasi Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda serta bagaimana institusi ini menjadi wadah pendidikan bagi insinyur pribumi, termasuk Presiden pertama Indonesia, Ir. Sukarno. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama artikel, studi kasus terkait pendirian THB, serta relevansinya terhadap pendidikan teknik di Indonesia saat ini.
Sejak akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari pentingnya tenaga insinyur dalam pembangunan infrastruktur di wilayah jajahan. Beberapa faktor utama yang mendorong pendirian THB antara lain:
Pada tahun 1919, dewan asosiasi Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie didirikan untuk merancang dan mendanai pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda. Setelah mempertimbangkan beberapa lokasi, akhirnya diputuskan bahwa THB akan dibangun di Bandung.
Beberapa tokoh penting yang berperan dalam pendirian THB antara lain:
Selain itu, banyak pengusaha dan pejabat kolonial yang terlibat dalam pendanaan dan perencanaan akademik THB untuk memastikan sekolah ini mampu mencetak insinyur yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di Hindia Belanda.
Pemilihan lokasi Bandung sebagai tempat pendirian THB bukan tanpa alasan. Beberapa faktor yang mendukung keputusan ini meliputi:
Pembangunan THB dimulai pada 1919 dengan desain yang dibuat oleh Henri Maclaine Pont, seorang arsitek terkenal yang mengusung perpaduan arsitektur kolonial dengan elemen lokal.
THB resmi dibuka pada 3 Juli 1920, menjadi institusi pendidikan teknik pertama di Hindia Belanda. Pada tahun pertamanya, THB menerima 28 mahasiswa, terdiri dari:
Tahun berikutnya, jumlah mahasiswa pribumi meningkat, salah satunya adalah Ir. Sukarno, yang kelak menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Sukarno belajar di THB dari tahun 1921 hingga lulus pada 1926 dengan gelar insinyur teknik sipil.
Sukarno dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas, tetapi ia juga aktif dalam pergerakan politik, yang menyebabkan beberapa ketegangan dengan pihak kampus. Salah satu dosennya, C.P. Wolff Schoemaker, memiliki hubungan dekat dengan Sukarno dan mengajaknya bekerja di biro arsiteknya setelah lulus.
Dampak THB terhadap Pendidikan Teknik di Indonesia
1. Kontribusi THB dalam Modernisasi Infrastruktur
Sejak didirikan, THB memainkan peran penting dalam mencetak insinyur yang berkontribusi dalam proyek-proyek besar di Hindia Belanda, seperti:
2. Transformasi THB menjadi ITB
Setelah Indonesia merdeka, THB berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1959. Sejak saat itu, ITB terus berkembang menjadi salah satu institusi pendidikan teknik terkemuka di Asia Tenggara.
Beberapa fakta menarik tentang transformasi ini:
Relevansi Pendirian THB dalam Konteks Pendidikan Teknik Saat Ini
1. Pentingnya Pendidikan Teknik dalam Pembangunan Nasional
Seperti halnya pendirian THB yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan insinyur di Hindia Belanda, pendidikan teknik saat ini tetap menjadi elemen kunci dalam pembangunan Indonesia. Beberapa tantangan modern yang dihadapi pendidikan teknik meliputi:
2. Peran ITB sebagai Penerus Warisan THB
ITB saat ini terus berupaya mempertahankan posisinya sebagai universitas teknik terbaik di Indonesia dengan:
Artikel Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda memberikan wawasan mendalam tentang sejarah pendirian THB dan perannya dalam membentuk pendidikan teknik di Indonesia. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan adalah:
Dengan memahami sejarah pendirian THB, kita dapat melihat bagaimana pendidikan teknik telah berkembang dan terus berperan penting dalam pembangunan Indonesia.
Sumber: Muhammad Gibran Humam Fadlurrahman. Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda. Volume 14, No. 2, 2023.
Profesi & Etika
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Fraud atau kecurangan dalam laporan keuangan menjadi permasalahan serius yang berdampak pada kepercayaan publik terhadap sebuah perusahaan. Jurnal Fraud Ditinjau dari Etika Profesi dan Etika Bisnis: Kasus PT Garuda Indonesia karya Ika Oktaviana Dewi, Imam Wahyudi, Nanang Setiawan, dan Jamilatul Uyun membahas skandal manipulasi laporan keuangan yang melibatkan PT Garuda Indonesia, salah satu maskapai penerbangan terbesar di Indonesia.
Jurnal ini menyoroti bagaimana kasus fraud ini bertentangan dengan prinsip etika bisnis dan etika profesi akuntansi, serta dampaknya terhadap investor, pemegang saham, dan kepercayaan masyarakat. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama jurnal, studi kasus terkait skandal PT Garuda Indonesia, serta relevansi dan implikasinya dalam industri bisnis dan keuangan saat ini.
PT Garuda Indonesia merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor penerbangan. Pada tahun 2019, laporan keuangan perusahaan menunjukkan perbedaan mencolok dibandingkan tahun sebelumnya:
Lonjakan laba yang tidak wajar ini menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah dilakukan investigasi, ditemukan bahwa PT Garuda Indonesia telah mencatat pendapatan yang belum direalisasikan sebagai laba, yang bertentangan dengan prinsip akuntansi yang berlaku.
Kasus ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap etika bisnis, yang mencakup:
Fraud semacam ini menyebabkan kerugian bagi berbagai pihak, termasuk:
Sebagai perusahaan publik, PT Garuda Indonesia wajib mengikuti standar akuntansi yang berlaku, termasuk prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Namun, dalam kasus ini, ditemukan beberapa pelanggaran terhadap kode etik akuntan, yaitu:
Kantor Akuntan Publik (KAP) yang bertanggung jawab atas audit laporan keuangan PT Garuda Indonesia juga diduga lalai dalam memastikan laporan yang disajikan sesuai dengan standar yang berlaku. Skandal ini bermula dari kerja sama antara PT Garuda Indonesia dengan PT Mahata Aero Teknologi. Dalam kesepakatan bisnis ini, PT Mahata berjanji membayar kompensasi atas pemasangan layanan konektivitas di pesawat sebesar USD 239,94 juta. Namun, dalam laporan keuangan 2018, PT Garuda Indonesia langsung mencatat seluruh jumlah tersebut sebagai pendapatan, padahal pembayaran belum dilakukan sepenuhnya.
Dampaknya:
Audit laporan keuangan PT Garuda Indonesia dilakukan oleh KAP Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang, dan Rekan. Namun, dalam proses audit ditemukan beberapa kejanggalan:
Karena kelalaian ini, KAP yang terlibat juga terkena sanksi dari otoritas terkait.
Relevansi dan Implikasi dalam Industri Keuangan
Kasus ini berdampak negatif terhadap reputasi PT Garuda Indonesia:
Kasus PT Garuda Indonesia menyoroti pentingnya penerapan GCG dalam perusahaan:
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran bagi dunia bisnis:
Jurnal Fraud Ditinjau dari Etika Profesi dan Etika Bisnis: Kasus PT Garuda Indonesia memberikan wawasan penting tentang bagaimana fraud dapat terjadi akibat pelanggaran etika bisnis dan etika profesi. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari kasus ini:
Dengan memahami kasus PT Garuda Indonesia, diharapkan perusahaan dan profesional di bidang keuangan dapat lebih menjaga integritas dan transparansi dalam menjalankan bisnisnya.
Sumber: Ika Oktaviana Dewi, Imam Wahyudi, Nanang Setiawan, Jamilatul Uyun. Fraud Ditinjau dari Etika Profesi dan Etika Bisnis: Kasus PT Garuda Indonesia. MELATI: Jurnal Media Komunikasi Ilmu Ekonomi, Vol. 40 No. 1 Juni 2023, Hal. 41-53.
Profesi & Etika
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi modern, kompetensi insinyur sipil memainkan peran penting dalam menentukan kualitas dan efisiensi proyek. Jurnal Relevansi Unit Kompetensi Insinyur Sipil Pada Bidang Pekerjaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Profesi karya Indri Miswar, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri membahas hubungan antara kompetensi insinyur sipil dan dampaknya terhadap kinerja profesional.
Penelitian ini dilakukan di tiga sektor utama dalam industri konstruksi di Kota Padang, yaitu bidang perencanaan, pengawasan, dan pelaksanaan. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana kompetensi seorang insinyur sipil berkontribusi terhadap kinerja mereka di berbagai bidang pekerjaan.
Resensi ini akan mengulas isi utama jurnal, studi kasus yang didukung dengan angka-angka dari penelitian, serta analisis tambahan mengenai relevansi temuan ini dalam tren industri konstruksi saat ini.
Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak 2015, persaingan dalam industri konstruksi semakin ketat. Insinyur sipil Indonesia harus memiliki kompetensi yang memadai untuk bersaing dengan tenaga kerja asing. Beberapa tantangan utama yang dihadapi meliputi:
Penelitian ini menggunakan metode survey dan wawancara dengan responden yang terdiri dari:
Hubungan Kompetensi dan Kinerja Insinyur Sipil
1. Relevansi Kompetensi Insinyur Sipil dengan Bidang Pekerjaan
Penelitian ini mengukur relevansi unit kompetensi berdasarkan tiga aspek utama:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor relevansi unit kompetensi berada di atas skala 4, yang berarti sangat relevan dengan bidang pekerjaan insinyur sipil. Berikut hasil spesifik berdasarkan bidang pekerjaan:
2. Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja Insinyur Sipil
Penelitian juga mengukur dampak unit kompetensi terhadap kinerja profesi, dengan hasil sebagai berikut:
Hasil ini menunjukkan bahwa kompetensi insinyur sipil memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja mereka di semua bidang pekerjaan.
Relevansi dan Implikasi dalam Industri Konstruksi
1. Standarisasi Kompetensi Insinyur Sipil
Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya standarisasi unit kompetensi bagi insinyur sipil. Dengan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat, pemerintah dan organisasi profesi seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII) harus:
2. Kebutuhan akan Pelatihan Berkelanjutan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan teknis dan manajerial sangat menentukan kinerja insinyur sipil. Oleh karena itu, perusahaan konstruksi perlu:
3. Pentingnya Soft Skills dalam Profesi Teknik
Selain keterampilan teknis, aspek sikap dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam kinerja insinyur sipil. Beberapa soft skills yang perlu dikembangkan antara lain:
Jurnal Relevansi Unit Kompetensi Insinyur Sipil Pada Bidang Pekerjaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Profesi memberikan wawasan mendalam tentang hubungan antara kompetensi dan kinerja profesional dalam bidang teknik sipil. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah:
Dengan memahami pentingnya kompetensi dalam profesi teknik sipil, diharapkan industri konstruksi di Indonesia dapat terus berkembang dan bersaing di tingkat internasional.
Sumber: Indri Miswar, Benny Hidayat, Taufika Ophiyandri. Relevansi Unit Kompetensi Insinyur Sipil Pada Bidang Pekerjaan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Profesi. Jurnal Rekayasa Sipil (JRS-UNAND), Vol. 13 No. 2, Oktober 2017.
Partisipasi Masyarakat
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan aspek penting dalam demokrasi modern. Dalam jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) karya Siti Hidayati, dikaji bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia dibandingkan dengan Afrika Selatan.
Jurnal ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan untuk mengevaluasi perbedaan dan persamaan antara kedua negara dalam melibatkan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Studi ini menyoroti bagaimana partisipasi masyarakat di Afrika Selatan lebih terstruktur dibandingkan di Indonesia, serta bagaimana pembelajaran dari sistem Afrika Selatan dapat diadaptasi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dianggap sebagai mekanisme utama untuk memastikan bahwa undang-undang mencerminkan aspirasi rakyat. Namun, di Indonesia, mekanisme partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas dan belum memiliki standar yang baku.
Sebagai perbandingan, Afrika Selatan telah mengatur partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang secara lebih sistematis melalui Konstitusi 1996 dan Public Participation Framework, yang mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai tahapan legislasi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur akademik, serta hasil-hasil penelitian terkait. Pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan dalam partisipasi publik di Indonesia dan Afrika Selatan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diatur dalam:
Bentuk partisipasi yang diakui meliputi:
Namun, pelaksanaan partisipasi ini masih memiliki berbagai kendala, antara lain:
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang adalah kewajiban konstitusional yang diatur dalam:
Bentuk-bentuk partisipasi yang diimplementasikan meliputi:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Afrika Selatan memiliki sistem partisipasi yang lebih maju dibandingkan Indonesia karena:
Studi Kasus: Implementasi Partisipasi Masyarakat dalam Legislasi
1. Studi Kasus di Indonesia
Dalam penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan, partisipasi masyarakat masih terbatas.
2. Studi Kasus di Afrika Selatan
Dalam penyusunan undang-undang, Afrika Selatan melibatkan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat:
Perbandingan Indonesia dan Afrika Selatan
AspekIndonesiaAfrika SelatanDasar HukumUU No. 12 Tahun 2011, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014Konstitusi 1996, 9th Edition Rules of National AssemblyKewajiban PartisipasiOpsional, tidak wajibWajib dalam proses legislasiBentuk PartisipasiRDPU, kunjungan kerja, seminarPublic hearings, petitions, outreach programsAkses InformasiTerbatas, tidak semua dokumen tersedia untuk publikTerbuka, dokumen legislasi mudah diaksesPengaruh PartisipasiMasih sering bersifat formalitas Masukan masyarakat sering diakomodasi
Relevansi dan Implikasi
1. Pelajaran dari Afrika Selatan
Indonesia dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam legislasi dengan:
2. Dampak bagi Demokrasi
Jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) memberikan wawasan penting tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.
Poin utama yang dapat disimpulkan:
Sumber: Siti Hidayati. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan). Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret 2019.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Profesi insinyur sipil memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Namun, profesionalisme dan etika dalam profesi ini sering menjadi tantangan, terutama dalam menghadapi kompleksitas proyek dan tanggung jawab sosial. Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi membahas pentingnya kode etik dan profesionalisme bagi insinyur sipil dalam menjalankan tugasnya.
Jurnal ini menyoroti konsep dasar profesionalisme, peran kode etik dalam mengatur perilaku insinyur, serta bagaimana penerapan prinsip-prinsip ini dapat meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama jurnal, studi kasus terkait penerapan profesionalisme dalam keinsinyuran, serta relevansinya terhadap tren industri teknik sipil saat ini.
Ringkasan Isi Jurnal
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Profesionalisme Insinyur
Profesionalisme dalam bidang keinsinyuran tidak hanya berkaitan dengan keahlian teknis tetapi juga mencakup aspek moral dan etika. Seorang insinyur profesional harus memiliki:
Profesionalisme bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga bagaimana seorang insinyur mampu menjaga standar moral dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
2. Pentingnya Kode Etik dalam Profesi Keinsinyuran
Kode etik profesi bertujuan untuk:
Di Indonesia, kode etik insinyur diatur oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) melalui Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia, yang menekankan prinsip-prinsip dasar seperti:
3. Peran Insinyur dalam Masyarakat
Jurnal ini menegaskan bahwa peran insinyur sipil tidak hanya terbatas pada perancangan dan konstruksi, tetapi juga pada tanggung jawab sosial, seperti:
Studi Kasus: Penerapan Profesionalisme dalam Keinsinyuran
1. Kasus Kegagalan Infrastruktur Akibat Pelanggaran Etika
Beberapa proyek infrastruktur mengalami kegagalan karena kurangnya profesionalisme dan pelanggaran kode etik, misalnya:
Dampak dari kegagalan ini meliputi:
2. Penerapan Kode Etik dalam Proyek Infrastruktur Berhasil
Sebagai perbandingan, ada juga proyek yang berhasil karena penerapan etika profesional yang baik, seperti:
Keberhasilan proyek-proyek ini menunjukkan bahwa penerapan etika keinsinyuran dapat meningkatkan efisiensi proyek dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Relevansi Profesionalisme Keinsinyuran dalam Industri Teknik Sipil
1. Tantangan dalam Meningkatkan Profesionalisme Insinyur
Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam meningkatkan profesionalisme insinyur di Indonesia meliputi:
2. Solusi untuk Meningkatkan Profesionalisme Insinyur
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah yang bisa diterapkan adalah:
Kesimpulan
Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya profesionalisme dalam profesi insinyur sipil. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari jurnal ini adalah:
Dengan memahami pentingnya profesionalisme dalam keinsinyuran, diharapkan para insinyur dapat menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan.
Sumber: Jeffry Yuliyanto Waisapi. Profesionalisme Keinsinyuran. Formosa Journal of Social Sciences (FJSS), Vol. 1, No. 3, 2022: 299-314.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Profesi insinyur merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam konteks ASEAN, regulasi keinsinyuran menjadi isu penting dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja teknik Indonesia. Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services karya Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, dan Elza Syarief menyoroti tantangan dan disharmoni regulasi keinsinyuran di Indonesia dalam menghadapi persaingan regional.
Jurnal ini mengkaji bagaimana perbedaan regulasi dalam Undang-Undang Keinsinyuran (UU No. 11 Tahun 2014) dan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UU No. 2 Tahun 2017) berdampak pada profesi insinyur Indonesia. Selain itu, studi ini menyoroti implementasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services di ASEAN serta bagaimana regulasi yang ada memengaruhi mobilitas tenaga kerja insinyur di kawasan ini.
Indonesia telah meratifikasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services dalam rangka meningkatkan mobilitas tenaga insinyur di ASEAN. Namun, dalam praktiknya, terjadi ketidaksesuaian antara dua regulasi utama, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang pertama mengatur sertifikasi dan izin praktik insinyur melalui Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII), sedangkan undang-undang kedua mengatur tenaga kerja jasa konstruksi dan sertifikasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di bawah Kementerian PUPR.
Ketidakseimbangan antara kedua undang-undang ini menyebabkan ambiguitas dalam standar sertifikasi insinyur. STRI sering kali tidak dianggap sebagai persyaratan utama dalam tender pemerintah, sementara SKK lebih diutamakan.
Tantangan Implementasi ASEAN MRA on Engineering Services
Studi ini menemukan bahwa meskipun MRA bertujuan untuk membuka peluang bagi insinyur Indonesia bekerja di ASEAN, ada beberapa hambatan utama. Salah satunya adalah rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). Indonesia hanya memiliki 3.038 insinyur per satu juta penduduk, jauh di bawah Singapura yang memiliki 28.235 insinyur. Selain itu, masih banyak insinyur Indonesia yang belum mengurus sertifikasi ACPE karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman regulasi MRA. Kurangnya harmonisasi regulasi domestik juga menjadi tantangan besar, karena Indonesia belum memiliki kebijakan nasional yang menyelaraskan standar STRI dan SKK dalam mendukung MRA.
Kesenjangan dalam Regulasi Keinsinyuran
a. Sertifikasi Insinyur dalam Proyek Pemerintah
Dalam wawancara dengan Ketua PII Kepulauan Riau, ditemukan bahwa STRI tidak diwajibkan dalam tender proyek konstruksi pemerintah, sedangkan SKK menjadi persyaratan utama. Akibatnya, banyak insinyur yang memilih untuk mengurus SKK karena lebih mudah diperoleh dibandingkan STRI, meskipun STRI seharusnya menjadi standar yang diakui secara internasional.
b. Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing
Seiring dengan implementasi MRA, insinyur dari negara lain seperti Malaysia dan Filipina lebih mudah memperoleh proyek di Indonesia karena mereka memiliki sertifikasi yang lebih diakui dalam standar ASEAN. Hal ini menjadi ancaman bagi tenaga kerja lokal yang belum tersertifikasi secara internasional.
Implikasi dan Rekomendasi
1. Penyelarasan Regulasi STRI dan SKK
Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah perlu mengintegrasikan STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui baik di dalam negeri maupun di ASEAN. STRI juga perlu dijadikan syarat wajib dalam proyek pemerintah, bukan hanya SKK. Selain itu, insentif harus diberikan bagi insinyur yang ingin mendapatkan sertifikasi ACPE agar lebih banyak tenaga profesional Indonesia yang dapat bersaing di tingkat regional.
2. Peningkatan Sosialisasi MRA kepada Insinyur Indonesia
Agar insinyur lebih siap bersaing di ASEAN, perlu dilakukan pelatihan dan edukasi mengenai MRA dan standar ACPE. Fasilitasi akses mudah terhadap sertifikasi internasional melalui kerja sama antara PII dan LPJK juga diperlukan untuk mempercepat proses sertifikasi bagi insinyur Indonesia.
3. Peran Aktif Pemerintah dalam Harmonisasi Regulasi
Pemerintah harus melakukan revisi regulasi untuk menyelaraskan UU No. 11 Tahun 2014 dan UU No. 2 Tahun 2017 agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Selain itu, perlu dibentuk satu lembaga pusat yang mengelola sertifikasi insinyur agar sistem lebih terstruktur dan tidak membingungkan para profesional teknik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap penerapan regulasi juga diperlukan agar semua pihak mematuhi standar yang berlaku.
Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services mengungkapkan tantangan besar dalam harmonisasi regulasi keinsinyuran di Indonesia. Beberapa temuan utama dari jurnal ini adalah:
Dengan menyelaraskan regulasi domestik dan meningkatkan partisipasi dalam MRA, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya di tingkat ASEAN dan global.
Sumber: Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, Elza Syarief. Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services. Nagari Law Review, Vol. 6 No. 1, Oktober 2022, hal. 36-54.