Laporan Strategis tentang Integritas Akademik dan Plagiarisme dalam Program Teknik: Perspektif Global dengan Fokus Indonesia

Dipublikasikan oleh Hansel

22 September 2025, 13.58

unsplash.com

Prinsip-Prinsip Dasar Integritas Akademik dalam Pendidikan Teknik

Integritas akademik merupakan fondasi yang krusial bagi pendidikan tinggi, yang diartikan bukan hanya sebagai serangkaian aturan, melainkan sebagai komitmen mendalam terhadap enam nilai inti: kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, tanggung jawab, dan keberanian.1 Nilai-nilai ini berfungsi sebagai panduan moral dalam setiap aspek kehidupan akademik, mulai dari pembelajaran hingga penelitian. Dalam konteks disiplin profesional seperti teknik, nilai-nilai ini memiliki signifikansi yang lebih besar. Integritas akademik diyakini sebagai tempat pelatihan bagi etika profesional, dan kegagalan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ini di lingkungan universitas dapat secara langsung berkorelasi dengan perilaku tidak etis di tempat kerja.1 Hal ini menjadikan masalah plagiarisme dan kecurangan di pendidikan teknik tidak lagi hanya sebatas pelanggaran akademik, tetapi sebagai isu fundamental yang memengaruhi keselamatan publik dan kredibilitas profesi. Laporan ini dibangun di atas premis utama tersebut, yang menegaskan bahwa pelatihan etis yang efektif bagi para insinyur masa depan harus dimulai dari penanaman integritas yang kuat di ruang kelas.

Keterkaitan Konsep Integritas dan Etika

Hubungan antara integritas akademik dan etika profesional adalah sebuah kontinum yang tak terpisahkan. Penelitian yang mendalam menunjukkan bahwa mahasiswa teknik yang terlibat dalam perilaku tidak etis di kampus, seperti menyontek dan menyalin pekerjaan, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melanjutkan perilaku serupa setelah mereka lulus dan bekerja di bidang profesional.1 Hal ini terjadi karena lingkungan akademik berperan sebagai simulasi awal dari tekanan dan ekspektasi yang akan dihadapi di dunia kerja. Ketika mahasiswa terbiasa mengambil jalan pintas atau merasionalisasi perilaku curang, mereka tidak mengembangkan moral development (pengembangan moral) yang diperlukan untuk menghadapi dilema etis yang kompleks.1 Dalam profesi insinyur, di mana keputusan dapat memengaruhi nyawa, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat, ketidakjujuran sekecil apa pun dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, tugas universitas tidak hanya mencetak insinyur yang kompeten secara teknis, tetapi juga individu yang memiliki komitmen etis yang tak tergoyahkan.

Prevalensi Pelanggaran Akademik dalam Program Teknik

Secara global, literatur penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pelanggaran akademik, termasuk plagiarisme dan kolusi, marak terjadi di program-program teknik.1 Bahkan, mahasiswa teknik dilaporkan lebih sering terlibat dalam perilaku tidak jujur secara akademis dibandingkan rekan-rekan mereka di disiplin ilmu lain.1 Namun, fenomena ini tidak disebabkan oleh karakteristik bawaan mahasiswa yang memilih teknik. Sebaliknya, perilaku tidak etis ini tampaknya muncul selama pendidikan universitas mereka, mengindikasikan adanya isu-isu sistemik dalam kurikulum dan desain kursus yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kecurangan.1 Fokus ini bergeser dari menyalahkan individu menjadi mengidentifikasi dan memperbaiki akar masalah struktural dalam sistem pendidikan itu sendiri.

Terdapat ketidaksesuaian yang signifikan antara persepsi mahasiswa dan dosen mengenai masalah ini. Mahasiswa teknik cenderung memiliki pandangan yang berbeda tentang tingkat keparahan plagiarisme berdasarkan faktor situasional. Misalnya, mereka merasa lebih dapat diterima untuk menyalin materi untuk tugas (homework) daripada untuk ujian, dan sering kali membenarkan tindakan mereka dengan alasan desain instruksi yang buruk atau karena mereka melihat perilaku tersebut tidak dihukum.1 Persepsi ini menciptakan lingkungan di mana plagiarisme dianggap sebagai perilaku yang wajar karena minimnya konsekuensi yang terlihat. Di sisi lain, para dosen teknik cenderung lebih memilih respons yang bersifat hukuman terhadap plagiarisme, namun di lapangan, terdapat kesenjangan yang mencolok antara pendirian anti-plagiarisme mereka dengan tindakan proaktif untuk mencegah pelanggaran.1 Kesenjangan antara keyakinan dan tindakan ini mengirimkan pesan yang ambigu kepada mahasiswa. Siklus yang terjadi adalah sebagai berikut: dosen merasa frustrasi dengan kecurangan tetapi kurang mendapatkan pelatihan atau dukungan untuk bertindak, yang menyebabkan penegakan aturan yang tidak konsisten. Mahasiswa melihat inkonsistensi ini dan semakin yakin bahwa perilaku mereka dapat diterima karena tidak ada sanksi yang jelas. Siklus yang mengakar ini secara perlahan mengikis budaya akademik yang sehat.

 

Lanskap Plagiarisme Global yang Terus Berkembang dan Deteksinya

Penelitian setelah tahun 2019 mengungkapkan bahwa tantangan plagiarisme terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi yang mengubah cara mahasiswa melakukan pelanggaran. Masalah ini tidak lagi terbatas pada tindakan copy-paste yang sederhana, melainkan melibatkan taktik yang semakin canggih.

Bentuk-Bentuk Baru Plagiarisme dan Pelanggaran Akademik

Revolusi digital telah membuat plagiarisme menjadi lebih mudah diakses, dengan copy-paste dari sumber internet menjadi bentuk yang paling umum.4 Namun, seiring dengan kematangan teknologi, taktik kecurangan modern juga menjadi lebih rumit.5 Taktik-taktik ini mencakup contract cheating (membayar pihak ketiga untuk mengerjakan tugas), ghosting (menggunakan identitas orang lain), dan penggunaan sumber daya yang tidak disetujui.5

Perkembangan yang paling signifikan dan menantang adalah munculnya konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI-generated content).7 Teknologi AI menciptakan new frontier (medan pertempuran baru) dalam deteksi plagiarisme karena alat-alat ini dapat menghasilkan teks yang secara teknis orisinil (original) tetapi bukan merupakan karya atau ide mahasiswa yang bersangkutan.7 Proses ini disebut obfuscation (pengaburan), di mana bahkan perubahan sintaksis minor atau restrukturisasi logika dapat menyamarkan kode yang disalin.7 Ketergantungan pada teknologi deteksi menciptakan semacam arms race (perlombaan senjata) antara pengembang perangkat lunak dan individu yang berupaya mengakali sistem. Saat perangkat lunak pendeteksi menjadi lebih canggih, mahasiswa yang berniat curang mencari cara baru untuk melewatinya, sehingga siklus ini terus berlanjut. Ini menegaskan bahwa pendekatan yang hanya berfokus pada teknologi dan hukuman tidak akan berkelanjutan; solusi jangka panjang yang efektif harus bergeser ke pendekatan pedagogis yang membuat kecurangan menjadi tidak relevan atau tidak mungkin.

Peran dan Keterbatasan Perangkat Lunak Pendeteksi Plagiarisme

Perangkat lunak pendeteksi kemiripan teks (Text-Matching Software atau TMS) seperti Turnitin telah menjadi alat yang banyak digunakan oleh institusi pendidikan.1 Perangkat lunak ini memiliki manfaat signifikan, terutama dalam membantu dosen mengidentifikasi plagiarisme tidak berbahaya (non-malicious plagiarism) seperti kesalahan sitasi atau patchwriting (penyalinan dengan modifikasi minimal) dan mengarahkan mahasiswa ke layanan dukungan.1 Namun, penting untuk memahami keterbatasannya. TMS mungkin tidak dapat mendeteksi semua sumber yang diplagiat, terutama artikel-artikel teknis dari jurnal yang tidak termasuk dalam basis datanya. Selain itu, program ini tidak dirancang untuk mendeteksi plagiarisme pada elemen non-teks, seperti gambar, grafik, atau kode, yang sangat relevan dalam disiplin ilmu teknik.1

Khususnya dalam bidang teknik, perangkat lunak yang lebih terspesialisasi seperti Measure of Software Similarity (MOSS) dan Program Dependence Graphs (PDG) diperlukan untuk mendeteksi plagiarisme kode.7 Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk masalah ini dan bahwa pendekatan yang efektif haruslah spesifik-disiplin. Temuan penting lainnya adalah bahwa TMS harus dipahami sebagai program pencocokan teks (text-matching program), bukan program pendeteksi plagiarisme (plagiarism detection program).1 Laporan kemiripan yang dihasilkan oleh program ini tidak boleh diterima begitu saja; laporan tersebut memerlukan interpretasi dan penilaian kritis dari manusia untuk menentukan apakah sebuah kasus merupakan pelanggaran etika.1

Dimensi Sosio-Kultural Integritas

Pandemi COVID-19, yang memaksa percepatan transisi pendidikan ke ruang virtual, secara signifikan meningkatkan perhatian global terhadap integritas akademik, memicu lonjakan penelitian di bidang ini.5 Pergeseran ini menyoroti perlunya adaptasi laboratorium dan perubahan praktik penilaian secara daring, yang juga membuka celah baru untuk pelanggaran.

Penelitian terkini juga menyoroti persimpangan antara integritas akademik, ekuitas, dan keadilan sosial, sebuah area yang masih minim penelitian.9 Faktor budaya memainkan peran penting dalam pemahaman plagiarisme. Misalnya, di beberapa budaya yang menghargai kolektivisme dan peniruan guru, konsep kepemilikan individu atas ide mungkin tidak sejelas dalam konteks pendidikan Barat.10 Dengan demikian, mengandalkan standar universal tanpa mempertimbangkan latar belakang budaya dapat secara tidak sengaja menghukum mahasiswa internasional yang mungkin memiliki pemahaman berbeda tentang sitasi dan penulisan.1 Pendekatan yang hanya berfokus pada tanggung jawab pribadi tanpa mempertimbangkan isu-isu sistemik ini akan menjadi tidak efektif.

 

Integritas Akademik dalam Konteks Indonesia

Menerjemahkan temuan global ke dalam realitas pendidikan tinggi di Indonesia memerlukan pemahaman terhadap kerangka hukum, kebijakan institusional, dan motivasi lokal.

Kerangka Kebijakan Nasional dan Institusional

Di Indonesia, landasan kebijakan tentang integritas akademik diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2021.11 Peraturan ini mendefinisikan secara jelas berbagai bentuk pelanggaran, termasuk plagiarisme. Plagiarisme didefinisikan sebagai perbuatan mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara tepat, menulis ulang karya orang lain tanpa menggunakan bahasa sendiri, dan bahkan mengambil sebagian atau seluruh karya pribadi yang telah diterbitkan sebelumnya tanpa menyebutkan sumbernya secara tepat (self-plagiarism).11 Peraturan ini juga mencakup pelanggaran lain seperti fabrikasi (memalsukan data), falsifikasi (mengubah data), dan kepengarangan yang tidak sah.

Sistem sanksi yang ditetapkan bersifat berjenjang, dibagi menjadi tingkat ringan, sedang, dan berat, yang menjadi dasar bagi Pemimpin Perguruan Tinggi untuk menjatuhkan hukuman.11 Sanksi ini berlaku untuk mahasiswa, dosen, dan staf akademik, dan mencakup hukuman seperti pembatalan nilai, penundaan hak akademik, hingga pemberhentian dari status kemahasiswaan atau jabatan.11

Sebagai studi kasus implementasi di tingkat institusi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) memiliki kerangka integritas akademik yang komprehensif.12 Kebijakan ini berlandaskan pada Sembilan Nilai Budaya Universitas Indonesia, termasuk kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab.12 FTUI juga memiliki sistem sanksi yang berjenjang, dari Tingkat 1 (peringatan lisan dan pengurangan nilai) hingga Tingkat 5 (pembatalan ijazah atau pemberhentian dari universitas).12 Sistem yang jelas ini mencakup berbagai jenis pelanggaran, mulai dari menyontek hingga perjokian.12

Kerangka kerja integritas akademik yang dikemukakan oleh Eaton et al. (2021), Permendikbudristek No. 39/2021, dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI) memiliki sejumlah kesamaan sekaligus perbedaan. Dari sisi nilai inti, Eaton et al. (2021) menekankan kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, tanggung jawab, dan keberanian. Sementara itu, Permendikbudristek menambahkan aspek kehormatan dan keteguhan hati sebagai dasar, sedangkan FTUI memperluas cakupan dengan menekankan kejujuran, keadilan, keterpercayaan, kemartabatan, tanggung jawab, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik, serta kepatuhan pada aturan.

Dalam hal definisi plagiarisme, Eaton et al. (2021) menyatakan bahwa plagiarisme merupakan tindakan menyalin kata atau ide dari sumber lain dan menyajikannya sebagai karya sendiri. Permendikbudristek menguraikannya lebih rinci sebagai pengambilan karya atau gagasan orang lain tanpa sitasi yang tepat, penulisan ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri, serta mencakup self-plagiarism. Sementara itu, FTUI menegaskan bahwa plagiarisme mencakup pencurian ide, pemikiran, atau tulisan orang lain yang digunakan sebagai milik sendiri tanpa mencantumkan sumber.

Terkait pelanggaran lainnya, Eaton et al. (2021) memasukkan kecurangan, kolusi, serta praktik contract cheating. Permendikbudristek memperluas daftar dengan memasukkan fabrikasi, falsifikasi, kepengarangan tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak. FTUI merinci bentuk pelanggaran sebagai kolusi, penipuan, perjokian, menyontek, fasilitasi pelanggaran, hingga penggunaan alat ilegal.

Adapun mengenai sistem sanksi, Eaton et al. (2021) menekankan adanya pendekatan yang beragam, sering kali bersifat punitif, dengan kesenjangan antara keyakinan dan tindakan. Permendikbudristek mengatur sanksi dalam tiga tingkatan—ringan, sedang, dan berat—serta menegaskan bentuk sanksi administratif seperti pengurangan nilai hingga pemberhentian. Di sisi lain, FTUI menerapkan sistem sanksi berjenjang dari Tingkat 1 hingga Tingkat 5, mencakup peringatan, pengurangan nilai, skorsing, hingga pembatalan ijazah.

Perspektif Mahasiswa dan Dosen di Indonesia

Penelitian lokal yang menyoroti motivasi plagiarisme di kalangan mahasiswa Indonesia menunjukkan alasan yang mirip dengan yang ditemukan dalam literatur internasional: rasa malas, keterbatasan waktu, kurangnya ide, dan persepsi bahwa tindakan tersebut lumrah dan tidak dihukum.3 Sebuah studi menemukan bahwa sebagian besar mahasiswa teknik kejuruan di Indonesia pernah terlibat dalam perilaku tidak jujur, termasuk bekerja sama saat ujian dan copy-paste tugas.13 Hal ini menguatkan temuan global bahwa pelanggaran akademik adalah masalah yang marak di lingkungan pendidikan teknik.

Di sisi lain, meskipun kebijakan nasional dan institusional seperti yang dimiliki FTUI sudah sangat jelas, terdapat kesenjangan yang signifikan dalam praktiknya. Mahasiswa seringkali menganggap plagiarisme sebagai hal biasa karena merasa tidak ada hukuman yang tegas.3 Dosen pembimbing memegang peran penting dalam penegakan kebijakan ini, khususnya dalam penggunaan perangkat lunak seperti Turnitin untuk skripsi.14 Namun, data perilaku mahasiswa menunjukkan bahwa pesan dari kebijakan yang tegas tersebut belum sepenuhnya terinternalisasi atau terlaksana di tingkat praktik sehari-hari, yang sekali lagi menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih konsisten dan proaktif.

 

Dari Akademik ke Profesi: Keharusan Etika Rekayasa

Transisi dari mahasiswa teknik menjadi insinyur profesional merupakan titik kritis di mana integritas akademik yang dipelajari di kampus harus diterjemahkan ke dalam praktik etis di tempat kerja. Hubungan ini tidak hanya sebatas teori, tetapi terbukti nyata dalam kasus-kasus kegagalan etika di Indonesia.

Keterkaitan Kritis: Dari Ruang Kelas ke Masyarakat

Pendidikan insinyur dirancang untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi profesional yang bertanggung jawab.1 Kurikulum Program Studi Program Profesi Insinyur (PSPPI) di berbagai universitas di Indonesia secara eksplisit mencakup mata kuliah tentang "Kode Etik dan Etika Profesi Insinyur".15 Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara etika akademik dan etika profesional diakui secara formal dalam kurikulum pascasarjana. Namun, argumen utama laporan ini adalah bahwa nilai-nilai ini harus diintegrasikan jauh lebih awal, sejak tahun pertama program sarjana, untuk menanamkan fondasi yang kuat bagi pengembangan moral.

Studi Kasus Kegagalan Etika dalam Rekayasa di Indonesia

Studi kasus tragis di Indonesia secara jelas menunjukkan konsekuensi dari kegagalan etika rekayasa.

  • Kasus Semburan Lumpur Lapindo: Kasus ini seringkali dijadikan contoh klasik dari kegagalan etika dalam rekayasa. Analisis menunjukkan bahwa musibah ini disebabkan oleh serangkaian keputusan yang cacat, termasuk kesalahan dalam perencanaan pengeboran dan kegagalan dalam memasang selubung bor (casing) yang memadai.17 Sebuah laporan secara eksplisit menghubungkan insiden ini dengan "ketiadaan etika rekayasa," di mana para ahli hanya "berpikir kaku...berorientasi pada kebutuhan industri tanpa pernah peduli implikasi dari teknologi yang mereka gunakan di masyarakat".17
  • Kasus Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara dan Proyek Hambalang: Kasus-kasus ini juga mencerminkan kegagalan etis yang merusak. Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara dikaitkan dengan kesalahan perencanaan, konstruksi, dan pemeliharaan.18 Sementara itu, Proyek Hambalang mencuatkan isu korupsi dan perencanaan yang tidak sempurna, termasuk penerbitan izin yang bermasalah dan kesalahan teknis dalam konstruksi.18

Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa kegagalan profesional tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga merupakan kegagalan moral dan etis. Ketika seorang mahasiswa terbiasa mengambil jalan pintas di kampus—misalnya, dengan mencontek pada tugas desain—kebiasaan itu dapat terbawa ke dunia kerja. Ketidakhadiran moral development (pengembangan moral) yang kuat di universitas dapat bermanifestasi sebagai kegagalan untuk memprioritaskan keselamatan publik, yang pada akhirnya dapat berujung pada bencana. Hubungan kausal ini mengubah masalah plagiarisme dari sekadar pelanggaran akademik menjadi masalah keselamatan nasional yang membutuhkan perhatian serius dari para pembuat kebijakan.

 

Kerangka Kerja Strategis untuk Menumbuhkan Integritas Akademik

Berdasarkan analisis yang mendalam, diperlukan pendekatan komprehensif yang melampaui sanksi untuk mengatasi masalah plagiarisme dan kecurangan di pendidikan teknik. Sebuah kerangka kerja strategis harus dibangun di atas tiga pilar utama: kebijakan, pedagogi, dan dukungan bagi komunitas akademik.

Rekomendasi Tingkat Kebijakan dan Institusional

Meskipun kebijakan nasional di Indonesia sudah cukup jelas 11, penegakan yang konsisten dan transparan adalah kuncinya. Institusi harus memastikan bahwa kebijakan dibuat mudah diakses dan semua pemangku kepentingan, baik dosen maupun mahasiswa, memahami peran dan tanggung jawab mereka. Fokus harus bergeser dari pendekatan yang murni bersifat hukuman menjadi pendekatan yang lebih holistik dan preventif.1 Tujuannya adalah untuk membangun budaya integritas, bukan hanya untuk mengawasi ketidakjujuran.

Berbagai penelitian telah mengidentifikasi sejumlah faktor penyebab plagiarisme beserta intervensi berbasis bukti yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya. Tekanan akademik dan keterbatasan waktu sering kali mendorong mahasiswa untuk melakukan plagiarisme; intervensi yang disarankan adalah merancang tugas yang terstruktur dengan tenggat waktu realistis serta alur kerja bertahap sehingga beban akademik lebih terdistribusi. Faktor lain adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan menulis, yang dapat diatasi melalui lokakarya wajib mengenai penulisan akademik dan sitasi, serta optimalisasi penggunaan perpustakaan dan layanan pendukung mahasiswa.

Selain itu, kurangnya motivasi intrinsik juga berkontribusi terhadap praktik plagiarisme. Untuk itu, tugas sebaiknya dirancang berorientasi pada mastery goals (penguasaan materi) alih-alih performance goals (pencapaian nilai). Kesenjangan persepsi antara dosen dan mahasiswa turut memengaruhi terjadinya pelanggaran; hal ini dapat diatasi dengan pelatihan wajib bagi dosen mengenai pencegahan pelanggaran akademik, pemahaman motivasi mahasiswa, serta penggunaan perangkat lunak deteksi plagiarisme secara efektif.

Faktor yang semakin relevan saat ini adalah ketersediaan sumber digital dan teknologi AI. Untuk mengantisipasinya, intervensi yang disarankan adalah penerapan tugas yang menuntut pemikiran kritis dan kreativitas yang tidak dapat digantikan oleh AI, disertai pelatihan etika terkait penggunaannya. Dengan demikian, intervensi yang komprehensif dan berbasis bukti dapat menekan potensi terjadinya plagiarisme di lingkungan akademik.

Rekomendasi Pedagogis dan Kurikuler

Pendekatan paling efektif untuk mencegah plagiarisme adalah melalui desain ulang kurikulum dan penilaian.1 Tugas harus dirancang sedemikian rupa sehingga sulit untuk diplagiat, misalnya, dengan memberikan tugas individu dan presentasi yang mendorong orisinalitas. Integrasi etika profesional ke dalam kurikulum sarjana sejak tahun pertama sangat penting, menggunakan studi kasus nyata seperti lumpur Lapindo atau Proyek Hambalang untuk menunjukkan konsekuensi etis dari keputusan rekayasa.1

Terkait teknologi, perangkat lunak pendeteksi kemiripan teks harus digunakan sebagai alat pedagogis untuk memberikan umpan balik formatif, bukan hanya sebagai alat hukuman. Dosen harus dilatih untuk menginterpretasikan laporan kemiripan dengan hati-hati dan untuk mencari indikasi non-malicious plagiarism (plagiarisme tidak berbahaya) yang bisa diperbaiki melalui bimbingan.

Mendukung Komunitas Akademik

Upaya pencegahan harus berpusat pada dukungan bagi seluruh komunitas akademik. Dosen memerlukan pelatihan tentang cara mencegah pelanggaran, memahami motivasi mahasiswa, dan menggunakan teknologi secara efektif.1 Program pengembangan profesional yang menjembatani kesenjangan antara keyakinan dan tindakan sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, plagiarisme seringkali merupakan gejala dari kurangnya keterampilan, bukan niat jahat.1 Oleh karena itu, dukungan bagi mahasiswa sangat penting. Institusi harus menawarkan lokakarya dan layanan pendukung, yang melibatkan pustakawan dan staf pendukung akademik, untuk membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan menulis, praktik sitasi yang benar, dan manajemen waktu yang efektif.1 Intervensi yang ditargetkan untuk mahasiswa internasional, yang mungkin memiliki pemahaman berbeda tentang etika akademik, juga harus tersedia untuk memastikan mereka dilengkapi dengan alat yang diperlukan untuk sukses.

 

Kesimpulan: Seruan untuk Bertindak

Laporan ini menyimpulkan bahwa plagiarisme dalam pendidikan teknik bukan hanya masalah individu atau pelanggaran ringan. Ini adalah masalah sistemik yang mengikis fondasi kepercayaan di dalam komunitas akademik dan memiliki konsekuensi etis yang parah dalam praktik profesional. Kesenjangan antara kebijakan yang jelas dan penegakan yang tidak konsisten, ditambah dengan taktik kecurangan yang terus berkembang, termasuk yang didukung oleh AI, menuntut respons yang lebih dari sekadar hukuman.

Pendidikan teknik di Indonesia memiliki peran krusial dalam membentuk insinyur masa depan yang tidak hanya kompeten secara teknis tetapi juga berintegritas tinggi. Transformasi ini memerlukan pendekatan holistik yang mencakup:

  • Penyelarasan Kebijakan: Memastikan kebijakan nasional dan institusional diterjemahkan ke dalam praktik yang konsisten dan transparan.
  • Reformasi Kurikulum: Mengintegrasikan etika profesional sejak awal program sarjana dan merancang tugas yang mendorong pemikiran orisinal.
  • Investasi dalam Sumber Daya Manusia: Memberikan pelatihan berkelanjutan bagi dosen dan layanan pendukung yang kuat bagi mahasiswa.

Sudah saatnya bagi para pemimpin pendidikan dan pembuat kebijakan di Indonesia untuk berinvestasi dalam penelitian, sumber daya, dan upaya kolaboratif untuk memastikan bahwa integritas akademik menjadi prinsip panduan bagi generasi insinyur berikutnya. Dengan demikian, mereka tidak hanya akan melahirkan insinyur yang unggul, tetapi juga profesional yang dapat diandalkan yang mampu menjunjung tinggi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

Berbagai Sumber Artikel:

Nilai Integritas Akademik – Kemdikbud; Persepsi Mahasiswa terhadap Plagiarisme – ResearchGate; Academic Integrity in Higher Education – ResearchGate; Academic Honesty during the COVID-19 Pandemic – Purdue e-Pubs; Memahami dan Mencegah Perilaku Plagiarisme – UGM; Plagiarism Types and Detection Methods – Frontiers; Review of Code Similarity and Plagiarism Detection – MDPI; Academic Integrity, STEM Education, and COVID-19 – ResearchGate; Plagiarism in EMI Higher Education – Taylor & Francis; Permendikbudristek No. 39/2021; Integritas Akademik – Fakultas Teknik UI; Analisis Ketidakjujuran Akademik – UNS; Analisis Persepsi Dosen terhadap Turnitin – UB; Kurikulum Profesi Insinyur – UNY & UNG; Kasus Pelanggaran Kode Etik Insinyur – Scribd; serta Jurnal Abdimas Bina Bangsa (diakses 17 September 2025).