Mengapa Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) Gagal Memanfaatkan Pengetahuan Lokal? Studi Kritis atas Pengalaman Malawi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

02 Juli 2025, 09.16

pixabay.com

Antara Retorika dan Realitas Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

Dalam satu dekade terakhir, pendekatan Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dianggap sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Di atas kertas, CBDRR menjanjikan pelibatan aktif masyarakat dan pemanfaatan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) yang telah terbukti efektif dalam menghadapi bencana. Namun, apakah retorika ini benar-benar terwujud di lapangan? Paper Robert Šakić Trogrlić dkk. (2022) membedah secara mendalam praktik CBDRR di Malawi, salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Afrika Sub-Sahara, untuk melihat sejauh mana pengetahuan lokal benar-benar diintegrasikan dalam pengurangan risiko bencana.

Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Lower Shire Valley, angka-angka penting, serta mengaitkan hasilnya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang lain.

Teori Dasar: Pengetahuan Lokal dan Peran CBDRR

Pengetahuan lokal dalam konteks pengurangan risiko bencana meliputi segala hal yang diketahui masyarakat tentang bahaya alam, persepsi risiko, serta strategi adaptasi yang diwariskan dan terus berkembang seiring pengalaman menghadapi bencana. Pengetahuan ini sangat beragam, dinamis, dan sering kali lebih kontekstual dibanding pengetahuan saintifik dari luar. CBDRR sendiri lahir sebagai respons terhadap kegagalan pendekatan top-down yang sering mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat12.

Namun, meski dokumen internasional seperti Sendai Framework dan laporan IPCC menekankan pentingnya pengetahuan lokal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik. Studi global oleh GNDR (2019) menemukan hanya 16% masyarakat di negara rawan bencana merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengurangan risiko1.

Studi Kasus Malawi: Konteks, Metode, dan Angka Kunci

Latar Belakang Malawi

Malawi adalah negara kecil tanpa pantai di Afrika, dengan 51,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Negara ini sangat rentan terhadap banjir, kekeringan, dan bencana iklim lain. Setiap tahun, sekitar 100.000 orang terdampak banjir, dan pada 2015 serta 2019, banjir besar memengaruhi lebih dari satu juta jiwa dan menewaskan ratusan orang12.

CBDRR menjadi pendekatan utama di Malawi, didukung oleh kebijakan nasional seperti National Disaster Risk Management Policy (2015) dan Malawi Growth and Development Strategy III (2017-2022). Namun, implementasinya sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah daerah, NGO, dan komunitas lokal.

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan pada 2016–2017 di Lower Shire Valley, kawasan paling rawan banjir di Malawi (Chikwawa dan Nsanje). Data dikumpulkan melalui:

  • 15 Focus Group Discussions (FGD) dan 36 wawancara mendalam dengan masyarakat di 7 komunitas.
  • 3 FGD dengan NGO dan pemerintah lokal, serta 68 wawancara dengan pejabat pemerintah, NGO nasional, dan konsultan risiko banjir.
  • Analisis tematik menggunakan perangkat lunak NVivo untuk mengidentifikasi pola dan hambatan utama dalam integrasi pengetahuan lokal.

Temuan Utama: Lima Hambatan Utama Integrasi Pengetahuan Lokal dalam CBDRR

1. Praktik Partisipasi Komunitas yang Tidak Inklusif

Secara teori, CBDRR menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam identifikasi masalah dan solusi. Namun, di Malawi, partisipasi sering kali hanya formalitas. Komite seperti Village Civil Protection Committees (VCPC) menjadi “wajah komunitas”, tetapi seringkali tidak benar-benar mewakili suara seluruh warga. Banyak keputusan sudah ditentukan oleh pemerintah atau NGO sebelum konsultasi dengan komunitas. Selain itu, pemilihan anggota VCPC kerap dipengaruhi elite lokal, sehingga pengetahuan dan kebutuhan kelompok rentan (perempuan, lansia, minoritas) kurang terwakili. Hasilnya, pengetahuan lokal yang diakomodasi hanya milik segelintir orang, bukan komunitas secara menyeluruh12.

2. Keterbatasan Dana dan Kapasitas Pemerintah serta NGO

Desentralisasi tata kelola bencana di Malawi tidak diikuti dengan alokasi dana dan sumber daya manusia yang memadai. Komite di tingkat desa hingga distrik seringkali tidak memiliki dana operasional, staf, atau pelatihan yang memadai. Akibatnya, interaksi dengan masyarakat dan penggalian pengetahuan lokal sangat terbatas. NGO juga menghadapi kendala serupa: proposal proyek harus disusun cepat, sering tanpa riset mendalam, dan lebih banyak menggunakan data sekunder yang sudah usang. Kurangnya dana untuk tahap inisiasi (baseline study) membuat pelibatan pengetahuan lokal hanya menjadi pelengkap, bukan inti program12.

3. Lanskap Donor yang Tidak Fleksibel

Sebagian besar pendanaan CBDRR di Malawi berasal dari donor internasional yang cenderung lebih menyukai solusi berbasis teknologi atau “best practice” dari luar negeri. Proyek-proyek donor biasanya berjangka pendek, menuntut hasil cepat dan terukur, sehingga proses partisipatif yang membutuhkan waktu dan tenaga sering dikorbankan. Banyak NGO mengaku “menari mengikuti irama donor”, sehingga kebutuhan dan pengetahuan lokal sering diabaikan jika tidak sesuai dengan prioritas donor. Bahkan, ada kasus proyek yang meniru model dari India tanpa menyesuaikan konteks lokal Malawi12.

4. Kelemahan Konsolidasi dan Berbagi Informasi

Koordinasi antara pemerintah, NGO, dan komunitas masih lemah. Informasi hasil konsultasi atau pengetahuan lokal yang dikumpulkan NGO sering tidak sampai ke pemerintah daerah atau tidak terdokumentasi dengan baik. Contohnya, indikator peringatan dini berbasis lokal (seperti perilaku hewan atau perubahan alam) jarang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan bencana tingkat distrik. Akibatnya, pengetahuan lokal yang sudah didokumentasikan pun tidak dimanfaatkan secara optimal dalam pengambilan keputusan12.

5. Sikap dan Preferensi Stakeholder Eksternal

Banyak pejabat pemerintah dan staf NGO mengakui pentingnya pengetahuan lokal, tetapi dalam praktiknya lebih percaya pada data saintifik dan “modern”. Pengetahuan lokal sering dianggap tak berdasar, kuno, atau bahkan takhayul, kecuali sudah divalidasi secara ilmiah. Akibatnya, ada dikotomi tajam antara pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik, dan CBDRR justru gagal menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Sikap ini membuat komunitas merasa pengetahuan mereka tidak dihargai, sehingga partisipasi menjadi formalitas belaka12.

Studi Kasus dan Kutipan Nyata

  • Dalam satu FGD, warga mengeluhkan bahwa “pemerintah dan NGO datang sudah dengan rencana sendiri, kami hanya diberi tahu, bukan diajak memutuskan.”
  • Seorang anggota NGO di tingkat nasional mengakui, “kami sering tidak punya waktu dan dana untuk benar-benar memahami pengetahuan lokal, proposal harus cepat, hasil harus jelas.”
  • Dari segi donor, seorang peserta menyatakan, “kami hanya mengikuti apa yang diinginkan donor, kalau mereka tidak minta pengetahuan lokal, ya tidak kami masukkan.”
  • Di tingkat informasi, seorang pejabat lokal mengungkapkan, “laporan dari NGO sering tidak sampai ke kami, sehingga kami tidak tahu pengetahuan apa yang sudah digali dari masyarakat.”
  • Mengenai sikap, seorang staf NGO berkata, “kami sering menganggap pengetahuan lokal itu hanya mitos, padahal kadang sangat relevan.”

Analisis Kritis: Mengapa Gap Ini Terjadi?

Kelemahan Desain dan Implementasi CBDRR

CBDRR di Malawi secara struktural sudah mengadopsi sistem desentralisasi dan pelibatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini masih sangat top-down, baik karena tekanan donor, keterbatasan sumber daya, maupun budaya birokrasi yang belum sepenuhnya inklusif. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi staf pemerintah dan NGO dalam metode partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal memperparah masalah.

Tantangan Universal di Negara Berkembang

Temuan di Malawi bukan kasus tunggal. Studi serupa di Indonesia, Filipina, dan negara Afrika lain juga menemukan bahwa partisipasi komunitas dan integrasi pengetahuan lokal sering hanya menjadi jargon proyek. Kesenjangan antara retorika dan praktik ini diperkuat oleh dominasi pendekatan saintifik, tekanan donor, dan lemahnya kapasitas lokal.

Potensi Transformasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

  • Kebijakan harus lebih operasional: Pengakuan pentingnya pengetahuan lokal harus diterjemahkan ke dalam panduan teknis, indikator keberhasilan, dan mekanisme monitoring yang jelas.
  • Donor perlu lebih fleksibel: Skema pendanaan harus memberi ruang untuk proses partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal, bukan hanya output fisik.
  • Penguatan kapasitas lokal: Pelatihan metode partisipatif, dokumentasi, dan validasi pengetahuan lokal perlu menjadi bagian dari program pengurangan risiko bencana.
  • Ko-produksi pengetahuan: Kolaborasi antara saintis, pemerintah, dan masyarakat harus diarahkan pada penciptaan pengetahuan hibrida yang relevan secara lokal dan dapat diterima secara ilmiah.

Implikasi untuk Kebijakan dan Praktik Global

  • SDGs dan Sendai Framework menuntut pelibatan komunitas dan pengetahuan lokal, namun tanpa perbaikan sistemik, target ini sulit dicapai.
  • Negara berkembang harus belajar dari pengalaman Malawi: desentralisasi dan partisipasi harus didukung sumber daya, pelatihan, dan insentif yang memadai.
  • Industri dan NGO perlu mengadopsi pendekatan “learning by doing” dan refleksi kritis atas praktik partisipasi mereka.

Penutup: Menuju CBDRR yang Benar-Benar Inklusif

Studi Trogrlić dkk. menegaskan bahwa CBDRR di Malawi masih gagal memanfaatkan potensi pengetahuan lokal secara optimal akibat lima hambatan utama: partisipasi semu, keterbatasan dana dan kapasitas, tekanan donor, lemahnya konsolidasi informasi, dan bias terhadap pengetahuan saintifik. Tanpa transformasi mendasar dalam desain, implementasi, dan evaluasi, CBDRR berisiko menjadi sekadar formalitas, bukan motor perubahan nyata. Pelajaran dari Malawi sangat relevan untuk negara-negara lain yang ingin membangun ketangguhan bencana berbasis komunitas secara otentik dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Robert Šakić Trogrlić, Melanie Duncan, Grant Wright, Marc van den Homberg, Adebayo Adeloye, Faidess Mwale. (2022). Why does community-based disaster risk reduction fail to learn from local knowledge? Experiences from Malawi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 83, 103405.