Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Teknologi Maju Tak Cukup Tanpa Tata Kelola Inklusif
Infrastruktur air modular semakin dipertimbangkan sebagai solusi atas keterbatasan sistem konvensional yang besar, tersentralisasi, dan kaku. Namun, transisi ini bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga tantangan besar dalam tata kelola. Artikel ini merangkum dan menganalisis paper dari Katrin Pakizer dan Eva Lieberherr (2018) yang mereview tata kelola alternatif bagi infrastruktur air modular secara sistematis, terutama dalam konteks negara-negara OECD dan ekonomi berkembang.
Konteks Masalah: Ketergantungan pada Sistem Sentralisasi
Sebagian besar negara maju masih mengandalkan sistem air konvensional yang tersentralisasi dan hierarkis, padahal sistem ini rentan terhadap:
Sementara sistem modular yang terdiri dari unit-unit kecil, otomatis, dan diproduksi massal memiliki potensi untuk lebih adaptif, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, adopsi sistem modular sering terhambat oleh defisit inovasi, yaitu kecenderungan sektor air untuk bertahan pada sistem lama karena biaya awal tinggi, umur aset panjang (30–100 tahun), dan risiko perubahan kelembagaan.
Fokus Studi: Tinjauan Eksploratif Tata Kelola Alternatif
Penelitian ini mengevaluasi 115 publikasi yang relevan dan mengidentifikasi 11 studi kasus nyata dari 8 negara, termasuk Jepang, Jerman, Australia, Kanada, dan Finlandia. Fokus utama kajian ini:
Temuan Utama: Masih Dominannya Instrumen Formal
Sebagian besar studi mengandalkan instrumen kebijakan formal, seperti:
Instrumen pasar seperti subsidi, lelang, dan insentif ekonomi juga muncul, misalnya dalam mendorong pemasangan kebun hujan dan tangki air di Amerika Serikat (Thurston et al., 2010).
Sementara itu, instrumen informal masih jarang digunakan, tapi efektif dalam tahap perencanaan, seperti:
Studi Kasus Kunci: Pelajaran dari Jepang dan Finlandia
Bentuk Organisasi: Publik Tetap Sentral, Tapi Komunitas Naik Peran
Tidak ada satu pun studi kasus yang sepenuhnya dikelola swasta. Sebagian besar layanan tetap berada di bawah pengawasan publik atau melalui koperasi air masyarakat.
Pengelolaan berbasis komunitas menjadi semakin penting, terutama untuk infrastruktur berskala rumah tangga atau desa. Misalnya, sistem air hujan di Australia atau koperasi air di Texas dan New Mexico yang dijalankan melalui kemitraan publik-swasta lokal.
Mekanisme Sosial: Dari Akuntabilitas Vertikal ke Horizontal
Dalam sistem modular, bentuk akuntabilitas cenderung bergeser dari vertikal (atas ke bawah) ke horizontal (antarwarga). Ini dicontohkan dengan:
Nilai-nilai seperti altruisme, kepercayaan, dan kerja sama sukarela menjadi kunci dalam kelangsungan sistem modular berbasis masyarakat.
Kritik dan Analisis Tambahan: Relevansi untuk Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serupa: keterbatasan dana, ketimpangan pelayanan air, dan tekanan urbanisasi. Sistem modular dapat menjadi solusi alternatif, terutama di wilayah pinggiran dan rural, namun:
Kesimpulan: Tata Kelola Modular Butuh Reformasi Bertahap
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi modular menjanjikan, tata kelola dan regulasi yang adaptif tetap jadi kunci keberhasilan. Dibutuhkan:
Modularisasi infrastruktur air bukan hanya proyek teknis, tetapi transformasi sosial-politik yang membutuhkan pendekatan lintas sektor dan partisipatif. Ke depan, penelitian harus menggali lebih dalam hubungan timbal balik antara teknologi dan institusi untuk merancang tata kelola yang benar-benar inovatif dan berkelanjutan.
Sumber : Pakizer, K., & Lieberherr, E. (2018). Alternative governance arrangements for modular water infrastructure: An exploratory review. Competition and Regulation in Network Industries, 19(1-2), 53–68.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pengantar: Ketika Kota Jadi Produk Digital
Kota-kota kini berlomba menjadi “cerdas”—mengintegrasikan teknologi, data, dan kolaborasi publik-swasta untuk mengatasi persoalan urban. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Astrid Voorwinden dalam disertasinya di University of Groningen, keberhasilan proyek smart city bukan hanya soal teknologi, melainkan soal bagaimana nilai-nilai publik dijaga dalam pusaran digitalisasi dan komersialisasi. Artikel ini menganalisis riset tersebut, menyoroti studi kasus, konsep hukum, serta tantangan etika dan kelembagaan dalam implementasi smart city.
Smart City: Istilah yang Komersial, Tak Netral
Definisi “smart city” masih kabur dan bervariasi. Secara umum, kota cerdas digambarkan sebagai kota yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, transparansi, dan keberlanjutan. Namun, Voorwinden menyatakan bahwa istilah ini sejak awal dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran, bukan kerangka ilmiah. Dengan citra positif yang dibentuk—dari “kota pintar” hingga “kota masa depan”—label ini kerap menyembunyikan agenda bisnis dan dominasi aktor swasta dalam tata kelola kota.
Studi Kasus: Gagalnya Quayside, Toronto
Proyek smart city paling kontroversial muncul di Quayside, Toronto, yang digagas oleh Sidewalk Labs—anak usaha Alphabet (induk Google). Proyek ini awalnya disambut antusias karena menawarkan inovasi seperti sensor jalan, pengelolaan limbah otomatis, dan transportasi otonom.
Namun, #BlockSidewalk—gerakan masyarakat sipil—muncul karena:
Akhirnya, proyek ini dibatalkan pada 2020, memperkuat kritik bahwa smart city sering kali lebih menguntungkan korporasi dibanding warganya.
Tantangan Hukum dan Regulasi Smart City
Voorwinden menyoroti bahwa sebagian besar literatur hukum masih terlalu fokus pada isu data dan teknologi, belum cukup membahas relasi kuasa antara pemerintah kota dan mitra swasta. Ia mengajukan lima pertanyaan utama:
Urban Living Labs dan Tantangan Praktis
Voorwinden mempelajari praktik kolaborasi melalui Urban Living Labs (ULLs)—proyek eksperimental di mana teknologi diuji langsung di lingkungan kota. Di Belanda, misalnya, ULL sering didanai swasta, namun pemerintah minim pengawasan hukum.
Hasil temuan menunjukkan:
ULL merepresentasikan model “sandbox governance” yang butuh peraturan ketat agar tidak justru merusak nilai publik.
Kasus Amsterdam: Fragmentasi dan Kelembagaan
Studi lapangan di Amsterdam memperlihatkan bagaimana pemerintah kota kesulitan mengkoordinasikan proyek smart city akibat:
Meski memiliki program resmi, tata kelola proyek digital cenderung terpecah-pecah. Hal ini menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan korporasi tanpa akuntabilitas publik yang memadai.
Soft Law: Alternatif atau Ilusi?
Voorwinden juga mengulas peran “soft law”—pedoman non-mengikat seperti kode etik digital, prinsip data terbuka, atau deklarasi hak digital warga. Meski fleksibel dan partisipatif, pendekatan ini punya keterbatasan:
Karena itu, ia merekomendasikan kombinasi antara soft law dengan kerangka hukum formal dan kebijakan berbasis hak asasi manusia.
Kritik dan Nilai Tambah: Perspektif Global Selatan
Satu hal yang kurang disorot dalam disertasi ini adalah konteks Global Selatan, termasuk Indonesia. Di banyak kota berkembang, implementasi smart city sering hanya kosmetik: mengganti lampu jalan dengan “smart lighting” tanpa memperbaiki layanan dasar.
Isu ketimpangan digital, literasi teknologi rendah, dan keterbatasan kapasitas lembaga juga membuat pendekatan seperti ULL atau data trust menjadi tidak relevan tanpa adaptasi lokal.
Di sisi lain, Voorwinden sangat tepat menyoroti bagaimana “nilai publik” harus menjadi pusat desain teknologi kota, bukan sekadar bonus tambahan.
Kesimpulan: Regulasi Proyek Kota Cerdas Butuh Paradigma Etis
Proyek smart city bukanlah soal teknologi, melainkan soal siapa yang berkuasa, siapa yang dilayani, dan siapa yang dikorbankan. Kolaborasi publik-swasta perlu transparansi, kontrol demokratis, dan perlindungan hak warga.
Kota cerdas yang ideal bukan hanya responsif, tapi adil dan partisipatif. Bukan hanya pintar secara teknis, tapi juga bijaksana secara sosial.
Sebagai kesimpulan, Voorwinden menegaskan bahwa hukum harus bergerak melampaui perlindungan data dan mulai membangun kerangka regulasi menyeluruh untuk menjaga nilai-nilai publik dalam tata kelola kota digital.
Sumber : Voorwinden, A. (2023). Smart cities: private means, public ends? Challenges in regulation and governance of smart city projects [Doctoral dissertation, University of Groningen]. University of Groningen.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025
Pendahuluan: Ketika Air, Cerita, dan Teknologi Menjadi Strategi Ekspor
Dalam era krisis iklim dan tekanan global terhadap infrastruktur air, Denmark tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga narasi. Narasi ini bukan sekadar cerita sukses, melainkan alat diplomasi—yang oleh Jonas Falzarano Jessen disebut sebagai Water Diplomacy—untuk menjadikan solusi air Denmark diterima luas di pasar internasional. Artikel ini merangkum dan menganalisis temuan etnografis Jessen tentang bagaimana digitalisasi, diplomasi lunak, dan kapitalisasi cerita digunakan Denmark untuk memperkuat posisi globalnya.
Latar Belakang: Water Diplomacy dan Narasi Eksklusif Denmark
Jessen mengamati transformasi dalam cara Denmark menyampaikan solusi air. Bukan lagi melalui penjualan langsung, tetapi melalui pendekatan “soft sell” yang dilakukan oleh “water ambassadors”. Alih-alih menjual produk, mereka menjual cerita: bagaimana teknologi Denmark membantu mengurangi kehilangan air, menyelamatkan lingkungan, dan menjadi tulang punggung kesejahteraan sosial.
Dalam sebuah wawancara, Liam—water ambassador Denmark di Italia—mengatakan:
“Kami tidak datang sebagai penjual, tapi sebagai kolega. Tapi pada akhirnya, semua ini tetap tentang penjualan—hanya saja dikemas dalam cerita.”
Studi Kasus: Diplomasi Air Denmark di Italia
Salah satu contoh kuat datang dari perjalanan Liam ke Reggio Emilia, Italia. Di sana, ia tidak langsung menjual teknologi, tapi mendengarkan tantangan lokal: pipa tua, daerah pegunungan yang sulit dijangkau, dan limbah yang menjadi sumber air utama sungai.
Liam lalu membandingkan dengan dua proyek unggulan Denmark:
Dengan ini, Denmark tidak menawarkan barang, melainkan “solusi yang telah terbukti berhasil”, dan itu membuat delegasi Italia merasa narasi Denmark bisa jadi masa depan mereka.
Infrastruktur Kebijakan: Undang-Undang dan Strategi Nasional
Transformasi sektor air Denmark tak lepas dari kebijakan progresif:
Kedua regulasi ini mendorong investasi inovasi dan kolaborasi publik-swasta yang menjadi basis ekspor teknologi air Denmark.
Digitalisasi: Katalisator Skala dan Cerita
Denmark mengandalkan teknologi prediktif, AI, dan sensor digital sebagai bagian dari narasi keberhasilan. Dalam dokumen strategi ekspor air tahun 2021, pemerintah menyatakan:
“Denmark harus menjadi pemimpin global dalam solusi air cerdas yang berkelanjutan.”
Teknologi digital ini—seperti pemantauan kebocoran secara real-time, citra satelit, hingga AI untuk prediksi investasi infrastruktur—menjadi media untuk menyampaikan nilai keberlanjutan, bukan sekadar alat teknis.
Diplomasi yang Tak Tampak: Antara Cerita dan Pasar
Meski diplomasi ini tampak seperti pertukaran ide, tujuan akhirnya tetap ekonomi: menembus pasar global air, memperkuat posisi Denmark dalam ekspor teknologi, dan menopang kesejahteraan negara.
Namun Jessen menunjukkan bahwa keberhasilan ini bergantung pada praktik yang tak bisa ditiru sembarangan—seperti kunjungan fisik, relasi personal, dan kemampuan bercerita yang kontekstual. Inilah yang ia sebut sebagai praktik nonskalabel yang memungkinkan skalabilitas komersial.
Dengan kata lain, bukan teknologinya yang dijual, melainkan narasinya yang bisa disesuaikan dan dihidupkan oleh para diplomat air.
Kritik dan Analisis Tambahan
Keberhasilan Denmark dalam narasi air digital patut diakui. Namun beberapa pertanyaan patut diajukan:
Selain itu, pendekatan naratif yang terlalu fokus pada ekspor bisa mengabaikan kebutuhan domestik, khususnya jika digunakan untuk sekadar branding tanpa evaluasi dampak jangka panjang.
Kesimpulan: Diplomasi Cerita sebagai Aset Strategis
Water Diplomacy ala Denmark bukan sekadar ekspor teknologi, tapi ekspor cara bercerita dan cara membangun hubungan lintas negara. Cerita menjadi jembatan antara pasar dan nilai, antara teknologi dan diplomasi, antara efisiensi dan keberlanjutan.
Denmark membuktikan bahwa dalam dunia yang kian digital dan terhubung, soft power bukan hanya soal budaya—tapi juga soal air. Dan air, seperti cerita, bisa mengalir ke mana saja, asalkan dibingkai dengan strategi yang tepat.
Sumber : Jessen, J. F. (2024). Water Diplomacy: Scaling Water Stories through Digitalisation in Denmark. Anthropological Journal of European Cultures, 33(2), 88–107.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Sungai Yangtze, Pusat Strategis dan Tantangan Ekologi
Sungai Yangtze adalah urat nadi ekonomi, budaya, dan ekologi Tiongkok. Membentang lebih dari 6.300 km dan melintasi 11 provinsi serta kota besar, sungai ini menopang 40% populasi dan 40% PDB nasional. Namun, industrialisasi, urbanisasi, dan pertanian intensif telah memunculkan masalah serius: polusi industri dan domestik, degradasi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi tata kelola lingkungan. Paper “Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin” (Xia et al., 2024) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana tata kelola kolaboratif lintas provinsi dapat menjadi solusi strategis bagi tantangan ekologi Sungai Yangtze, dengan menyoroti faktor-faktor kunci, mekanisme penyebab, dan studi kasus nyata di lapangan123.
Latar Belakang: Fragmentasi Tata Kelola dan Urgensi Kolaborasi
Kompleksitas Ekosistem dan Fragmentasi Institusi
Ekosistem Sungai Yangtze sangat kompleks dan terintegrasi. Masalah di satu wilayah, seperti eutrofikasi di Danau Taihu (melibatkan Zhejiang dan Jiangsu), dapat berdampak pada seluruh DAS. Fragmentasi tata kelola—akibat batas administratif, perbedaan kebijakan, dan lemahnya koordinasi—sering membuat upaya penanganan polusi dan degradasi ekologi berjalan parsial dan tidak efektif12.
Kolaborasi Lintas Wilayah: Pilar Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze
Sejak 2021, Tiongkok memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Sungai Yangtze yang menekankan pentingnya tata kelola terkoordinasi lintas provinsi dan kota. Pendekatan ini menuntut integrasi kebijakan, harmonisasi regulasi, dan kolaborasi aktif antarwilayah untuk menjaga integritas ekosistem sungai sebagai satu kesatuan12.
Kerangka Teoritis: Faktor Penentu Tata Kelola Kolaboratif
DBO Theory dan Collaborative Governance
Studi ini mengembangkan kerangka analisis berbasis teori DBO (expectation-belief-opportunity) dan collaborative governance. Tujuh faktor utama yang memengaruhi efektivitas kolaborasi lintas provinsi diidentifikasi sebagai berikut:
Metodologi: Fuzzy Set Qualitative Comparative Analysis (fsQCA)
Penelitian ini menganalisis 19 kasus tata kelola kolaboratif di DAS Yangtze menggunakan fsQCA, yang mampu mengidentifikasi kombinasi faktor penyebab (bukan hanya satu faktor tunggal) yang membentuk efektivitas kolaborasi. Sampel mencakup provinsi utama di sepanjang Sungai Yangtze, dari Qinghai hingga Shanghai, termasuk wilayah dengan tingkat ekonomi dan tantangan ekologi yang beragam13.
Temuan Utama: Tiga Jalur Menuju Kolaborasi Efektif
1. Teknologi Memperkuat Relasi: Studi Kasus Guangxi
Jalur pertama menyoroti peran teknologi digital dalam memperkuat hubungan dan interaksi antarprovinsi. Di Guangxi, platform big data seperti Yulin Jiu Zhoujiang River Basin telah memungkinkan monitoring polusi secara real-time, berbagi data, dan koordinasi respons lintas wilayah. Hasilnya, kualitas air permukaan di wilayah ini stabil di atas 96% selama lima tahun terakhir, menunjukkan dampak nyata digitalisasi terhadap efektivitas kolaborasi123.
2. Institusi Memperkuat Interaksi: Studi Kasus Anhui
Jalur kedua menunjukkan bahwa institusi dan mekanisme formal sangat penting untuk memperkuat interaksi dan efektivitas kolaborasi. Anhui menonjol melalui penandatanganan berbagai perjanjian kerja sama dengan provinsi lain (misal, Nanjing, Hangzhou, Xuzhou) dan lembaga riset, serta integrasi penegakan hukum administratif dan pidana untuk perlindungan lingkungan. Upaya ini meningkatkan rasio kualitas air baik di DAS Yangtze menjadi 94,8% dan tingkat kepuasan publik atas lingkungan mencapai 92,8%123.
3. Sinergi Internal-Eksternal: Studi Kasus Chongqing
Jalur ketiga menekankan pentingnya kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, efektivitas partisipasi) dan eksternal (hukum, teknologi). Chongqing sukses mengembangkan platform “Basin Water Environment Intelligent Management” bersama universitas dan lembaga riset, serta melakukan penegakan hukum bersama dengan Sichuan. Hasilnya, 98,6% dari 74 titik pemantauan kualitas air di wilayah ini memenuhi standar, dan 1.424 PLTA kecil berhasil direstrukturisasi, 242 di antaranya ditutup demi perlindungan ekologi123.
Studi Kasus Tambahan: Delta Sungai Yangtze dan Kebijakan Kolaboratif
Penelitian lain di Delta Sungai Yangtze (Jiangsu, Zhejiang, Shanghai) menemukan bahwa 87,5% kebijakan kolaborasi lingkungan air dikeluarkan oleh pemerintah lokal, dengan fokus utama pada perlindungan sumber daya air dan pengendalian polusi limbah. Namun, kebijakan pemulihan ekosistem dan audit pejabat masih kurang mendapat perhatian. Rekomendasi utama: beri otonomi lebih besar pada pemerintah lokal untuk penanganan limbah, gunakan kebijakan diferensiasi sesuai karakteristik wilayah, dan tingkatkan stabilitas kebijakan4.
Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Implikasi
Kekuatan Model Kolaboratif
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini memperkaya literatur tata kelola kolaboratif dengan menggabungkan analisis faktor internal dan eksternal secara sistemik. Studi lain di kawasan Sungai Yangtze juga menyoroti pentingnya insentif ekonomi, regulasi risiko, dan integrasi kebijakan lintas sektor (pertanian, energi, industri) untuk memperkuat kolaborasi dan mengatasi eksternalitas negatif5.
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
Menuju Tata Kelola Ekologis Sungai Yangtze yang Sinergis
Paper ini membuktikan bahwa tata kelola kolaboratif lintas provinsi, dengan dukungan teknologi, institusi kuat, dan kesadaran kolektif, adalah kunci menjaga ketahanan ekologi Sungai Yangtze. Tidak ada satu jalur tunggal menuju sukses—kombinasi faktor internal (persepsi, relasi, interaksi, efektivitas) dan eksternal (hukum, institusi, teknologi) harus diselaraskan untuk membangun sinergi yang berkelanjutan. Pengalaman Guangxi, Anhui, dan Chongqing menjadi bukti bahwa model kolaborasi adaptif dapat meningkatkan kualitas air, mengurangi polusi, dan memperkuat ketahanan ekologi kawasan. Tantangan tetap besar, namun dengan inovasi, digitalisasi, dan komitmen bersama, Sungai Yangtze dapat menjadi laboratorium tata kelola ekologi masa depan yang layak dicontoh di tingkat global.
Sumber Asli Artikel
Xia Y, Tian Z, Ding C. (2024). Collaborative governance in action: driving ecological sustainability in the Yangtze River basin. Frontiers in Environmental Science, 12:1463179.
Air Bersih
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Air Bersih, Hak Asasi, dan Tantangan Global
Air bersih bukan hanya kebutuhan dasar, melainkan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang bermartabat. Dalam konteks global, pengakuan atas hak ini semakin menguat seiring krisis air bersih yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Paper “Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” oleh Fachriza Cakrafaksi Limuris (Jurnal Jentera, 2021) mengupas secara mendalam posisi strategis hak atas air bersih dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta tantangan implementasinya di Indonesia12.
Hak Atas Air Bersih dalam Perspektif HAM Internasional
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Turunannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948 menjadi tonggak utama pengakuan hak-hak dasar manusia di seluruh dunia. Pasal 25 UDHR menegaskan setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan. Meskipun air bersih tidak disebutkan secara eksplisit, hak ini diakui sebagai komponen vital dari standar hidup yang layak134.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966 memperkuat hal ini melalui Pasal 11 dan 12, yang menegaskan hak atas standar hidup layak dan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Komentar Umum No. 15 Komite PBB (2003) secara eksplisit menyatakan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia yang tak terpisahkan dari hak atas standar hidup layak dan kesehatan123.
Resolusi PBB 2010: Pengakuan Global
Pada 28 Juli 2010, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 64/292 yang secara tegas mengakui hak atas air minum yang aman dan bersih serta sanitasi sebagai hak asasi manusia. Negara-negara diminta menyediakan sumber daya, transfer teknologi, dan kerja sama internasional untuk memastikan akses air bersih dan sanitasi bagi semua orang, terutama di negara berkembang13.
Dimensi Hak Atas Air: Kebebasan dan Kepemilikan Hak
Paper ini menguraikan dua dimensi utama hak atas air:
Standar Minimum Hak Atas Air
Menurut Komentar Umum No. 15 dan Fact Sheet No. 35 PBB, unsur-unsur hak atas air meliputi:
Krisis Air Bersih: Fakta Global dan Nasional
Data dan Tren Global
Tantangan di Indonesia
Studi Kasus: Implementasi Hak Atas Air di Indonesia
Swastanisasi Air dan Akses Publik
Pengelolaan air di Indonesia pernah didominasi swasta, terutama di kota-kota besar. Namun, pengalaman menunjukkan swastanisasi seringkali tidak meningkatkan akses air bersih secara adil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 menegaskan negara harus tetap menjadi pengelola utama sumber daya air demi kemakmuran rakyat1.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2019: Titik Balik Regulasi
UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air menjadi tonggak baru perlindungan hak atas air di Indonesia. UU ini mengatur:
UU ini juga menegaskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengelolaan air serta perlindungan masyarakat adat dalam konservasi air.
Studi Lapangan: Krisis Air di Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Penelitian di berbagai daerah seperti Jakarta, Lampung, dan kawasan pedesaan menunjukkan:
Analisis Kritis: Tantangan Implementasi dan Keadilan Sosial
Hambatan Struktural
Dimensi Keadilan dan Partisipasi
Integrasi dengan Agenda Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis
Koneksi dengan Tren Global dan Industri
Opini dan Perbandingan dengan Studi Lain
Paper ini memperkuat temuan global bahwa hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang tak bisa ditawar. Namun, tantangan terbesar di Indonesia adalah implementasi—mulai dari regulasi, pendanaan, hingga pengawasan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang relatif kuat, namun butuh political will dan kolaborasi lintas sektor agar hak ini benar-benar dirasakan seluruh rakyat.
Air Bersih, Hak Asasi yang Wajib Dipenuhi Negara
Hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang fundamental dan jembatan menuju hak-hak lain. Indonesia sudah berada di jalur yang benar dengan ratifikasi konvensi internasional dan pengesahan UU No. 17/2019. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Prioritas ke depan adalah memperkuat regulasi, investasi infrastruktur, pengendalian pencemaran, serta memastikan keadilan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, hak atas air bersih tidak hanya menjadi norma hukum, tetapi juga realitas yang dirasakan setiap warga negara.
Sumber Asli Artikel
Fachriza Cakrafaksi Limuris. Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jurnal Jentera Volume 4, No. 2 Desember 2021, hlm. 515–532.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025
Harga Air, Ketahanan, dan Masa Depan
Penetapan harga air (water pricing) kini menjadi isu sentral dalam diskursus pengelolaan sumber daya air global. Di tengah ancaman krisis air, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi, harga air tidak lagi sekadar instrumen finansial, melainkan alat strategis untuk mendorong efisiensi, keadilan sosial, dan ketahanan air jangka panjang. Paper “Explaining Water Pricing through a Water Security Lens” (Soto Rios et al., 2018) menelaah secara komprehensif bagaimana harga air dapat menjadi bagian integral dari agenda ketahanan air, dengan menyoroti dimensi ekonomi, sosial, dan kelembagaan, serta mengulas lima studi kasus nyata dari berbagai belahan dunia1.
Kerangka Konseptual: Air sebagai Barang Ekonomi dan Sosial
Definisi Ketahanan Air dan Implikasinya
Ketahanan air didefinisikan oleh UN-Water sebagai kemampuan suatu populasi untuk menjamin akses berkelanjutan ke air berkualitas dan kuantitas yang memadai, mendukung penghidupan, kesehatan, pembangunan ekonomi, serta perlindungan terhadap bencana dan polusi air1. Dalam kerangka ini, harga air harus mampu menyeimbangkan antara nilai ekonomi (efisiensi penggunaan) dan nilai sosial (akses universal yang terjangkau).
Air: Barang Ekonomi Khusus
Air adalah barang ekonomi yang unik—esensial, tidak tergantikan, dan seringkali dikelola sebagai monopoli alami. Penetapan harga air harus mempertimbangkan biaya operasi dan pemeliharaan (OPEX), investasi infrastruktur (CAPEX), serta biaya lingkungan dan sumber daya (environmental/resource costs)2. Namun, harga pasar air sering kali hanya mencerminkan biaya fisik, bukan nilai ekonomi penuh atau eksternalitas lingkungan.
Struktur dan Model Penetapan Harga Air
Ragam Struktur Tarif Air
Tantangan Implementasi
Studi Kasus: Dampak Nyata Penetapan Harga Air
1. Sektor Irigasi di Ghana: Model MATA untuk Efisiensi
Ghana menghadapi kelangkaan air di sektor pertanian, yang menyumbang 86% konsumsi air nasional. Studi menggunakan Multi-Analysis Tool for the Agricultural Sector (MATA) untuk mensimulasikan dampak tarif volumetrik seragam 2 cedi/m³ (USD 0,43/m³) pada perilaku petani. Hasilnya, tarif ini mendorong petani mengadopsi teknologi hemat air tanpa menurunkan pendapatan secara signifikan (pendapatan tahunan: GH¢ 449.867 untuk lahan besar, GH¢ 454.081 untuk lahan sedang, GH¢ 359.666 untuk lahan kecil)1. Namun, kenaikan harga air yang drastis dapat menurunkan pendapatan dan kesempatan kerja, sehingga kebijakan harga harus diimbangi insentif efisiensi dan perlindungan sosial.
2. Sektor Irigasi di Spanyol: Tarif Tetap dan Tantangan Subsidi
Di Spanyol, 80% air digunakan untuk irigasi, namun sistem tarif flat rate yang disubsidi menyebabkan konsumsi berlebih dan ketidakefisienan. Simulasi Linear Programming menunjukkan bahwa penerapan tarif tetap 2 Ptas/m³ dapat mengurangi konsumsi air dan mendorong adopsi teknologi irigasi hemat air, namun berisiko menurunkan pendapatan petani hingga 25–40% jika tidak diimbangi kebijakan pendukung1. Ini menyoroti pentingnya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi tarif sesuai musim dan pendapatan.
3. Urban Water Pricing di São Paulo, Brasil: Hybrid Policy dan Respons Sosial
Krisis kekeringan 2014–2015 mendorong SABESP (perusahaan air São Paulo) menerapkan kebijakan insentif: diskon bagi yang mengurangi konsumsi dan denda bagi yang boros. Hasilnya, konsumsi air rumah tangga turun rata-rata 25% selama periode krisis1. Keberhasilan ini tidak hanya karena tarif, tetapi juga kampanye edukasi intensif yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi air.
4. Privatisasi Air di Cochabamba, Bolivia: Konflik dan Kegagalan Implementasi
Privatisasi utilitas air Cochabamba (Aguas del Tunari) memicu kenaikan tarif hingga 60%, memicu protes massal, korban jiwa, dan akhirnya pembatalan kontrak. Kenaikan tarif rata-rata 41% bagi warga miskin dan 51% bagi seluruh pengguna dianggap tidak adil dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi serta kelangkaan air setempat1. Setelah kembali ke pengelolaan publik, akses air justru menurun, menegaskan bahwa tarif air harus dirancang dengan partisipasi masyarakat dan sensitivitas sosial.
5. Reformasi Tarif di Prancis: Efisiensi dan Inklusi Sosial
Prancis menerapkan reformasi tarif air dengan melarang flat rate dan memperluas penggunaan tarif volumetrik progresif. Setelah reformasi 2006, proporsi distrik yang menggunakan tarif progresif naik dari 1% (2003) menjadi 29% (2013), efisiensi air meningkat 3% (dari 78% ke 81%), dan pipa timbal turun 4,2%1. Tarif air dijaga tetap di bawah upah minimum nasional, dan subsidi diberikan untuk keluarga miskin, memastikan keadilan dan akses universal.
Analisis Dampak dan Efektivitas Kebijakan Harga Air
Pengurangan Konsumsi dan Efisiensi
Keseimbangan antara Efisiensi Ekonomi dan Keadilan Sosial
Pembiayaan Infrastruktur dan Keberlanjutan
Tantangan dan Kritik dalam Implementasi Harga Air
Kompleksitas Perancangan Tarif
Resistensi Sosial dan Politik
Keterbatasan Data dan Monitoring
Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi
Koneksi dengan Tren Industri dan Agenda Global
ESG dan SDGs
Inovasi dan Digitalisasi
Harga Air sebagai Kunci Ketahanan dan Keadilan
Penetapan harga air yang cerdas, adaptif, dan inklusif terbukti mampu mendorong efisiensi penggunaan, memperkuat ketahanan air, dan menjaga keadilan sosial. Studi kasus Ghana, Spanyol, Brasil, Bolivia, Prancis, hingga AS dan California, menunjukkan bahwa tidak ada satu model tarif yang cocok untuk semua konteks. Keberhasilan kebijakan harga air sangat bergantung pada desain yang sensitif terhadap kondisi lokal, partisipasi masyarakat, transparansi, dan integrasi dengan kebijakan pendukung lain. Dengan demikian, harga air bukan sekadar angka di tagihan, melainkan instrumen strategis untuk membangun masa depan air yang aman, adil, dan berkelanjutan.
Sumber Asli Artikel
Soto Rios, P. C., Deen, T. A., Nagabhatla, N., & Ayala, G. (2018). Explaining Water Pricing through a Water Security Lens. Water, 10(9), 1173.