Teknik Industri

22 Kompetensi Krusial Tenaga Ahli Teknik Bangunan Gedung untuk Menjawab Tantangan Industri Konstruksi Modern

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Kebutuhan Mendesak akan Kompetensi Profesional di Industri Konstruksi

Pertumbuhan pesat sektor konstruksi di Indonesia menuntut standar profesionalisme yang tinggi dari seluruh pelaku di dalamnya. Di tengah kompleksitas proyek bangunan bertingkat dan tingginya tuntutan efisiensi, kualitas, serta keselamatan, peran tenaga ahli teknik bangunan gedung menjadi semakin vital. Artikel "Identifikasi Kompetensi yang Dibutuhkan Tenaga Ahli Teknik Bangunan Gedung pada Industri Konstruksi" karya Agia Rezqiana dkk. dari Universitas Negeri Jakarta, menyajikan telaah literatur komprehensif guna mengidentifikasi kompetensi utama yang wajib dimiliki oleh tenaga ahli di bidang ini.

Metodologi: Kajian Literatur Sistematis dengan Validasi Empiris

Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur dengan menelaah 25 artikel ilmiah terbit antara tahun 2020 hingga 2023, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Artikel-artikel tersebut dipilih berdasarkan kesesuaiannya dengan tema perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan struktur bangunan gedung. Dari 1.000 artikel awal, disaring menjadi 410 dan akhirnya terpilih 25 yang relevan. Seluruh data disintesis untuk menemukan kompetensi yang paling sering disebut dalam konteks kebutuhan tenaga ahli teknik bangunan gedung.

Hasil Utama: 22 Kompetensi Inti yang Dibutuhkan Tenaga Ahli Teknik Gedung

Dari analisis mendalam, diperoleh 22 kompetensi inti. Berikut beberapa yang paling sering muncul:

1. Building Information Modeling (BIM)

Sebanyak 8 dari 25 artikel menyebut BIM sebagai kompetensi utama. BIM membantu visualisasi desain, simulasi jadwal dan anggaran (4D dan 5D), serta deteksi konflik desain. Di era digitalisasi konstruksi, kemampuan mengoperasikan BIM menjadi penentu efisiensi dan akurasi pekerjaan.

2. Perkembangan Teknologi Bangunan

Kompetensi mengikuti perkembangan teknologi di bidang konstruksi diangkat oleh 7 artikel. Tenaga ahli dituntut untuk selalu update terhadap metode dan material konstruksi terbaru, termasuk pendekatan modular, konstruksi ramah lingkungan, serta otomatisasi lapangan.

3. Komunikasi Kerja

Sebanyak 6 artikel menekankan pentingnya komunikasi kerja yang efektif untuk koordinasi lintas disiplin dan pemangku kepentingan proyek. Kompetensi ini krusial dalam menghindari miskomunikasi yang sering menjadi akar masalah keterlambatan.

4. Desain Struktur dan Konstruksi Tahan Gempa

Kompetensi dalam merancang struktur tahan gempa muncul di 6 artikel. Dengan posisi geografis Indonesia yang rawan bencana, pemahaman teknis tentang desain seismik menjadi prasyarat wajib bagi setiap tenaga ahli.

5. Analisis Struktur dan Beban

Pemahaman terhadap gaya, beban mati dan hidup, serta respons struktur terhadap angin dan gempa disebutkan dalam 6 artikel. Kompetensi ini mendukung keakuratan perhitungan teknis dalam perencanaan bangunan bertingkat.

6. Metode Pelaksanaan Pekerjaan Elemen Struktur

Dibahas dalam 6 artikel, kompetensi ini mencakup pemilihan metode kerja yang tepat, pemahaman alur logistik material, serta penguasaan detail teknis seperti pengecoran, pemasangan tulangan, dan finishing struktur.

7. Penerapan Standar dan Regulasi

Tenaga ahli harus memahami dan menerapkan regulasi seperti SNI, Permen PUPR, dan SKKNI. Kemampuan ini disebut dalam 6 artikel dan berkaitan erat dengan akuntabilitas dan keselamatan kerja.

Studi Kasus & Aplikasi di Lapangan

Sebagai contoh nyata, proyek pembangunan Rumah Sakit Vertikal Jakarta tahun 2021 menerapkan BIM sejak tahap perencanaan. Hal ini memungkinkan deteksi benturan antara instalasi mekanikal dan struktur sebelum konstruksi dimulai, sehingga menghemat biaya rework hingga 20%.

Studi lain di proyek Gedung Perkuliahan Universitas Negeri Malang (2022) menunjukkan bahwa keterlambatan selama 2 bulan terjadi akibat lemahnya komunikasi antar subkontraktor. Hal ini menunjukkan urgensi pelatihan soft skill bagi tenaga ahli.

Nilai Tambah: Analisis Komparatif dan Implikasi Praktis

Penelitian ini tidak hanya menyusun daftar kompetensi, tetapi memberikan gambaran tren kebutuhan industri konstruksi ke depan:

  • Kompetensi Digital seperti BIM dan penguasaan teknologi menjadi prioritas utama di era konstruksi 4.0.

  • Soft Skill seperti komunikasi, tanggung jawab, dan kemampuan manajemen menjadi pelengkap yang tak kalah penting dari kemampuan teknis.

  • Kepatuhan Regulasi menjadi indikator profesionalisme dan kualitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan akreditasi dan sertifikasi profesi.
     

Jika dibandingkan dengan studi Akyazi et al. (2020) di Uni Eropa, terlihat bahwa kompetensi seperti adaptabilitas dan pemikiran kritis juga menjadi bagian penting dalam standar internasional. Indonesia pun harus mengarah ke standar global ini.

Rekomendasi untuk Industri dan Pendidikan

  • Untuk Institusi Pendidikan: Kurikulum teknik sipil dan arsitektur harus mengintegrasikan pelatihan BIM dan regulasi konstruksi terbaru. Pelatihan komunikasi, kepemimpinan, dan manajemen proyek juga perlu dimasukkan.

  • Untuk Kontraktor & Konsultan: Wajib menyelenggarakan pelatihan berkelanjutan berbasis kompetensi. Sertifikasi ulang harus disertai evaluasi kemampuan praktis, bukan sekadar administratif.

  • Untuk Pemerintah & Regulator: Perlu insentif bagi proyek yang menerapkan BIM dan teknologi baru, serta audit rutin terhadap penerapan regulasi keselamatan kerja.
     

Kritik dan Keterbatasan

Penelitian ini kuat dalam skala literatur yang luas dan validasi dari artikel yang kredibel. Namun, kelemahannya adalah kurangnya data lapangan atau studi empiris di proyek nyata sebagai verifikasi. Akan lebih kuat jika penelitian dilengkapi dengan wawancara atau survei terhadap tenaga ahli yang aktif di lapangan.

Selain itu, klasifikasi kompetensi belum menguraikan secara rinci tingkatan keterampilan (misal: dasar, menengah, mahir), yang padahal krusial untuk keperluan pelatihan modular.

Kesimpulan: Kompetensi sebagai Pondasi Keunggulan Proyek

Tenaga ahli teknik bangunan gedung memegang peran strategis dalam menentukan keberhasilan proyek konstruksi. Identifikasi 22 kompetensi yang dilakukan dalam kajian ini merupakan langkah penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang adaptif, profesional, dan kompetitif.

Dengan pendekatan sistematis terhadap pengembangan kompetensi—baik dari sisi hard skill maupun soft skill—industri konstruksi Indonesia dapat menjawab tantangan globalisasi, revolusi industri 4.0, serta kebutuhan pembangunan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Rezqiana, A., Murtinugraha, R.E., & Widiasanti, I. (2023). Identifikasi Kompetensi yang Dibutuhkan Tenaga Ahli Teknik Bangunan Gedung pada Industri Konstruksi. Jurnal Cahaya Mandalika (JCM).

Selengkapnya
22 Kompetensi Krusial Tenaga Ahli Teknik Bangunan Gedung untuk Menjawab Tantangan Industri Konstruksi Modern

Pembangunan Pedesaan

Menggali Potensi Revolusioner: Metode Pengadaan Design and Build dalam Pembangunan Sanitasi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025


Sektor pembangunan infrastruktur, khususnya sanitasi, di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks. Seiring dengan pertumbuhan populasi dan tuntutan akan akses sanitasi yang lebih baik, metode pengadaan proyek tradisional seringkali terbukti tidak efisien. Di sinilah peran penting metode Design and Build (DB) muncul sebagai alternatif yang menjanjikan. Studi mendalam oleh Muhammad Iqbal Perkasa, "The Potential of Design and Build Procurement Method Implementation in the Directorate of Environmental Sanitation Development Indonesia," memberikan pencerahan signifikan mengenai potensi DB untuk mengatasi hambatan pembangunan sanitasi di Indonesia, sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilannya. Resensi ini akan mengupas tuntas temuan Perkasa, menganalisis implikasinya, dan memberikan nilai tambah berupa perspektif kritis serta kaitannya dengan tren industri terkini.

1. Dinamika Pembangunan Sanitasi Indonesia: Antara Target Ambisius dan Realita Konvensional

Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi masalah sanitasi perkotaan yang rumit, melibatkan aspek sosial, manajerial, dan teknis. Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum (MOPW) adalah institusi yang bertanggung jawab penuh dalam penanganan isu ini. Untuk mengejar target Millennium Development Goals (MDGs) 2015 dan mencapai 100% akses sanitasi pada tahun 2019, pemerintah Indonesia melalui MOPW telah meningkatkan anggaran di sektor sanitasi secara signifikan. Anggaran meningkat hampir dua kali lipat, dari 14,38 triliun rupiah pada periode 2009-2014 menjadi 35,6 triliun rupiah pada periode 2015-2019. Namun, meskipun terjadi peningkatan anggaran, masalah-masalah mendasar masih terus ada.

Secara konvensional, proyek-proyek infrastruktur sanitasi di Indonesia umumnya menggunakan metode pengadaan tradisional. Pendekatan ini efektif dalam mencapai harga yang lebih rendah dan kualitas produk yang baik, yang sangat penting bagi pemerintah. Dalam metode ini, pihak-pihak terpisah ditunjuk oleh pemerintah untuk desain rekayasa detail (DED), pengawasan, dan konstruksi. Namun, kelemahan utama dari metode tradisional terletak pada faktor waktu. Sifat sekuensial dari proses pengadaan ini seringkali menyebabkan durasi proyek yang sangat panjang. Sebagai contoh, penyusunan DED saja bisa memakan waktu sekitar tujuh hingga delapan bulan. Artinya, jika sebuah proyek direncanakan pada tahun 2015, konstruksi baru akan dimulai pada tahun 2016. Keterbatasan waktu ini menjadi penghalang serius dalam mencapai target nasional 100% akses sanitasi pada tahun 2019, sehingga pemerintah perlu mencari pendekatan pengadaan alternatif untuk mempercepat proses.

2. Design and Build sebagai Katalis Percepatan Proyek

Metode Design and Build (DB) menawarkan solusi yang menarik untuk masalah keterlambatan waktu yang melekat pada metode tradisional. DB didefinisikan sebagai sistem di mana satu organisasi kontraktor memikul tanggung jawab penuh untuk desain dan konstruksi proyek klien hingga penyelesaian praktis/substansial, biasanya berdasarkan harga tetap lump sum. Konsep ini memiliki tiga karakteristik fundamental: satu organisasi bertanggung jawab untuk desain dan konstruksi; penggantian biaya umumnya didasarkan pada harga lump sum tetap; dan proyek dirancang serta dibangun secara khusus untuk memenuhi kebutuhan klien berdasarkan persyaratan awal yang dikembangkan oleh proposal kontraktor.

Keunggulan utama DB terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan proses desain dan konstruksi, memungkinkan "jalur cepat" atau fast track di mana DED dan implementasi infrastruktur dapat berjalan secara bersamaan. Secara teoretis, metode DB memiliki keunggulan dibandingkan metode pengadaan tradisional dalam hal durasi penyelesaian proyek yang lebih singkat, penghematan biaya, dan peningkatan kinerja proyek secara keseluruhan. Integrasi ini berpotensi memangkas waktu penyelesaian proyek secara signifikan, sebuah keuntungan krusial mengingat tenggat waktu yang ketat untuk mencapai target sanitasi nasional.

Meskipun DB telah menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penggunaan pengadaan konstruksi di banyak negara maju seperti Singapura dan Hong Kong, yang secara progresif beralih ke metode ini di sektor publik, penerapannya di Indonesia masih terbatas, umumnya hanya digunakan dalam proyek-proyek swasta. Regulasi pemerintah Indonesia, seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 70/2012 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2013, menjadi acuan utama dalam pengadaan publik. Meskipun regulasi ini cukup detail dan komprehensif, metode DB belum secara eksplisit diakomodasi di dalamnya. Kondisi ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi potensi adopsi DB dalam proyek-proyek infrastruktur publik di Indonesia.

3. Mengidentifikasi Hambatan dan Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs)

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi potensi implementasi metode pengadaan DB dalam proyek infrastruktur sanitasi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, studi ini menetapkan dua objektif utama: pertama, mengidentifikasi hambatan potensial dalam mengimplementasikan metode pengadaan DB; dan kedua, mengidentifikasi Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs) yang memiliki kekuatan prediktif kuat untuk keberhasilan proyek DB, khususnya dalam infrastruktur sanitasi.

Studi ini membatasi ruang lingkupnya pada proyek infrastruktur sanitasi yang dikelola oleh Direktorat Pengembangan Sanitasi Lingkungan MOPW, meliputi sistem pembuangan limbah cair dan tempat pembuangan sampah. Hambatan potensial yang diidentifikasi dari tinjauan literatur dikelompokkan menjadi empat kategori utama: hukum yang dapat ditegakkan, kemampuan klien, kemampuan pemangku kepentingan lainnya, dan kemampuan adaptasi klien terhadap metode pengadaan DB.

Untuk mengidentifikasi CSFs, penelitian ini mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk tinjauan literatur, dan melakukan perbandingan tabulasi CSFs yang dikumpulkan dari hasil implementasi DB di negara-negara yang memiliki pengalaman dalam proyek publik, seperti Amerika Serikat, Singapura, Hong Kong, dan Vietnam. Setelah CSFs teridentifikasi, survei dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan para ahli dan profesional yang berpengalaman di bidang pengadaan. Responden ini sebagian besar adalah ahli yang memegang posisi manajemen puncak dan memiliki peran pengambilan keputusan dalam organisasi masing-masing, serta memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang cukup dalam sistem pengadaan, khususnya metode pengadaan DB. Keterlibatan para ahli ini diharapkan dapat memperkaya temuan studi dengan perspektif mereka.

4. Hasil Studi: Membuka Tabir Hambatan dan Mengokohkan Fondasi Keberhasilan DB

Studi ini berhasil mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang berpotensi menjadi hambatan dalam implementasi sistem DB. Berdasarkan wawancara terstruktur dengan para ahli di Indonesia, faktor-faktor ini meliputi:

  • Kurangnya pengalaman: Kurangnya pengalaman dalam mengelola dan melaksanakan proyek DB merupakan salah satu hambatan terbesar. Ini mencakup baik pengalaman di pihak klien maupun kontraktor.

  • Kurangnya regulasi tentang pengaturan kontraktual: Ketiadaan regulasi yang jelas dan komprehensif terkait kontrak DB menciptakan ketidakpastian hukum dan operasional.

  • Kurangnya regulasi rinci tentang sistem tender: Sistem tender yang ada belum secara spesifik mengakomodasi karakteristik unik dari proyek DB, sehingga menimbulkan kerumitan dalam proses pengadaan.

  • Kurangnya pedoman rinci tentang karakteristik proyek: Tidak adanya pedoman yang jelas mengenai jenis proyek yang paling cocok untuk DB, serta karakteristik yang harus dimiliki oleh proyek tersebut, menyulitkan pengambilan keputusan.

  • Jumlah pemangku kepentingan lain yang berpengalaman dan terampil dalam DB masih sedikit: Keterbatasan jumlah profesional, konsultan, dan pihak-pihak terkait lainnya yang memiliki keahlian dalam DB menjadi kendala dalam ekosistem proyek.

Selain mengidentifikasi hambatan, studi ini juga menyoroti Faktor Kritis Keberhasilan (CSFs) yang esensial untuk implementasi proyek DB yang sukses. Para ahli menekankan pentingnya faktor-faktor berikut:

  • Bentuk kontrak dan dokumentasi yang komprehensif: Kontrak yang jelas, lengkap, dan mencakup semua aspek proyek DB sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan perselisihan.

  • Definisi ruang lingkup proyek yang terdefinisi dengan baik: Pemahaman yang jelas dan kesepakatan mengenai ruang lingkup proyek sejak awal adalah fondasi keberhasilan.

  • Masukan klien dalam proyek: Keterlibatan aktif dan masukan yang berarti dari pihak klien sepanjang proyek sangat vital untuk memastikan proyek memenuhi kebutuhan dan harapan.

  • Kompetensi kontraktor: Kemampuan teknis, manajerial, dan pengalaman kontraktor dalam melaksanakan proyek DB secara efektif adalah faktor penentu.

  • Pemimpin tim proyek yang berpengalaman: Adanya pemimpin proyek yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengelola proyek DB dapat mengarahkan tim menuju keberhasilan.

  • Hubungan kerja di antara anggota tim proyek: Kolaborasi yang kuat, komunikasi yang efektif, dan hubungan kerja yang harmonis di antara semua anggota tim proyek sangat memengaruhi kelancaran dan kesuksesan proyek.

Faktor-faktor keberhasilan ini, menurut studi, perlu mendapatkan perhatian lebih besar untuk meningkatkan potensi implementasi metode pengadaan DB di Direktorat Pengembangan Sanitasi Lingkungan, MOPW.

5. Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membuka Jalan Menuju Era Baru Pembangunan Infrastruktur

Temuan studi ini menguatkan argumentasi bahwa metode Design and Build bukan sekadar tren, melainkan sebuah kebutuhan mendesak bagi Indonesia dalam mempercepat pembangunan infrastruktur sanitasi. Kondisi Indonesia, dengan target sanitasi 100% pada 2019 yang ambisius dan keterbatasan waktu yang krusial, menjadikan DB sebagai solusi yang tak terelakkan.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain:

Penelitian ini secara komprehensif mengidentifikasi hambatan dan CSFs dalam konteks Indonesia, yang merupakan nilai tambah signifikan. Namun, ada baiknya jika studi ini juga bisa menyertakan analisis lebih detail mengenai bagaimana negara-negara seperti Singapura dan Hong Kong mengatasi hambatan serupa dalam transisi mereka ke DB di sektor publik. Misalnya, apakah mereka menghadapi masalah regulasi yang sama, dan bagaimana mereka merumuskan kerangka hukum yang mendukung DB? Perbandingan ini bisa memberikan roadmap yang lebih konkret bagi Indonesia.

Selain itu, meskipun studi menyebutkan bahwa data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan para ahli, akan lebih kuat jika terdapat informasi kuantitatif lebih lanjut mengenai profil responden (misalnya, jumlah responden, rata-rata pengalaman mereka dalam proyek DB), serta hasil statistik dari wawancara tersebut (misalnya, peringkat prioritas hambatan atau CSFs berdasarkan penilaian responden). Ini akan menambah bobot validitas dan generalisasi temuan.

Dampak Praktis dan Kaitannya dengan Tren Industri:

Implikasi praktis dari temuan ini sangat besar bagi pemerintah Indonesia. Pertama, urgensi untuk merevisi atau menambahkan regulasi terkait DB dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum menjadi semakin jelas. Regulasi yang komprehensif akan memberikan kepastian hukum dan pedoman yang diperlukan bagi semua pihak yang terlibat. Ini tidak hanya mencakup aspek kontraktual dan tender, tetapi juga panduan yang jelas mengenai kriteria proyek yang sesuai untuk DB.

Kedua, program peningkatan kapasitas perlu digalakkan secara masif. Ini mencakup pelatihan dan pengembangan profesional bagi staf di MOPW dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk kontraktor dan konsultan. Fokus harus diberikan pada pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip DB, manajemen risiko, serta praktik terbaik dari negara-negara yang sukses mengimplementasikan DB.

Ketiga, keberhasilan proyek DB sangat bergantung pada kolaborasi dan komunikasi yang efektif. Membangun budaya kerja yang mengedepankan sinergi antara klien, desainer, dan kontraktor adalah esensial. Ini bisa difasilitasi melalui lokakarya, sesi berbagi pengalaman, dan pembentukan tim proyek multi-disiplin sejak tahap awal. Konsep Early Contractor Involvement (ECI), di mana kontraktor terlibat sejak tahap desain awal, terbukti efektif dalam proyek DB di banyak negara dan bisa menjadi model yang relevan untuk dipertimbangkan di Indonesia. ECI memungkinkan buildability yang lebih baik, identifikasi risiko lebih awal, dan inovasi yang lebih besar.

Dalam konteks tren industri global, Building Information Modeling (BIM) menjadi teknologi yang semakin tak terpisahkan dari proyek DB. BIM memungkinkan kolaborasi yang lebih baik, visualisasi proyek yang komprehensif, deteksi clash yang efisien, dan estimasi biaya serta jadwal yang lebih akurat. Implementasi BIM bersamaan dengan metode DB dapat memaksimalkan potensi efisiensi dan inovasi yang ditawarkan oleh DB. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan investasi dalam teknologi BIM dan pengembangan keahlian terkait.

Selain itu, tren Public-Private Partnerships (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) juga semakin relevan. Jika DB digabungkan dengan skema PPP, beban anggaran pemerintah dapat berkurang, dan sektor swasta dapat membawa keahlian, teknologi, dan efisiensi yang lebih besar dalam proyek infrastruktur sanitasi. Namun, implementasi PPP juga memerlukan kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat, serta kapasitas klien yang mumpuni untuk mengelola kontrak yang kompleks.

6. Studi Kasus dan Data Pendukung: Urgensi Pergeseran Paradigma

Studi ini menyoroti bahwa Indonesia menghadapi tantangan signifikan untuk memenuhi target akses sanitasi 100% pada tahun 2019. Dengan populasi sekitar 230 juta jiwa dan hampir separuh di antaranya tinggal di perkotaan, kebutuhan akan infrastruktur sanitasi sangat mendesak. Data dari UNICEF (2007) yang dikutip dalam studi menunjukkan bahwa Indonesia kemungkinan akan gagal mencapai target MDG sanitasi sebesar 73% sebesar 10 poin persentase, setara dengan 25 juta orang. Anggaran yang meningkat menjadi sekitar 35,6 triliun rupiah untuk periode 2015-2019 menunjukkan komitmen finansial pemerintah, tetapi masalah DED yang memakan waktu 7-8 bulan menjadi penghambat nyata efisiensi alokasi anggaran ini.

Inilah mengapa pendekatan seperti DB sangat vital. Dengan DB, konstruksi tidak harus menunggu DED selesai sepenuhnya. Hal ini berpotensi memangkas waktu proyek secara drastis, memungkinkan proyek yang direncanakan pada tahun 2015 dapat dimulai konstruksinya di tahun yang sama, bukan di tahun 2016 seperti pada metode tradisional. Peningkatan kecepatan ini bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang dampak sosial-ekonomi yang lebih luas, yaitu percepatan akses masyarakat terhadap sanitasi yang layak.

Sebagai perbandingan, Singapura, yang merupakan negara maju di Asia Tenggara, secara progresif beralih ke metode DB dari metode tradisional. Demikian pula, Hong Kong telah mengadopsi pendekatan DB di sektor publik dan lembaga pemerintah, dengan penerapan metode ini semakin diterima dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan negara-negara ini dalam mengadopsi DB di sektor publik menjadi bukti konkret potensi metode ini. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penyesuaian regulasi, peningkatan kapasitas, dan komitmen yang kuat, Indonesia juga dapat mereplikasi keberhasilan tersebut.

Kesimpulan

Penelitian Muhammad Iqbal Perkasa secara meyakinkan menunjukkan bahwa metode pengadaan Design and Build memiliki potensi besar untuk merevolusi pembangunan infrastruktur sanitasi di Indonesia. Meskipun ada hambatan signifikan, terutama terkait dengan pengalaman, regulasi, dan kapasitas pemangku kepentingan, hambatan ini bukan tidak dapat diatasi. Dengan fokus pada pengembangan kerangka hukum yang mendukung, peningkatan kompetensi klien dan kontraktor, serta pemupukan budaya kolaborasi, Indonesia dapat memanfaatkan keuntungan DB untuk mencapai target sanitasi nasional yang ambisius. Studi ini bukan hanya sebuah analisis akademis, melainkan sebuah seruan untuk pergeseran paradigma dalam praktik pengadaan proyek pemerintah, demi masa depan sanitasi Indonesia yang lebih baik dan lebih cepat terwujud.

Sumber Artikel:

Penelitian ini dapat diakses di Universiti Teknologi Malaysia Repository: "The Potential of Design and Build Procurement Method Implementation in the Directorate of Environmental Sanitation Development Indonesia" oleh Muhammad Iqbal Perkasa, September 2015.

Selengkapnya
Menggali Potensi Revolusioner: Metode Pengadaan Design and Build dalam Pembangunan Sanitasi di Indonesia

Elevasi Digital

Teknologi LiDAR dan Simulasi Hidrodinamik: Masa Depan Analisis Genangan Banjir di Indonesia

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025


Dari Data Ketinggian ke Peta Genangan: Revolusi Digital dalam Manajemen Risiko Banjir

Permasalahan banjir di Indonesia bukan sekedar urusan air yang meluap, melainkan kombinasi antara kompleks urbanisasi cepat, pengelolaan DAS yang lemah, dan kurangnya presisi data dalam perencanaan. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan pendekatan ilmiah berbasis teknologi tinggi. Salah satu solusi yang kini menunjukkan potensi luar biasa adalah penggunaan LiDAR (Light Detection and Ranging) yang dipadukan dengan simulasi model hidrodinamik .

Makalah karya M. Baitullah Al Amin dari Universitas Sriwijaya ini menguraikan bagaimana integrasi antara data LiDAR dan perangkat lunak pemodelan seperti HEC-RAS dan HEC-GeoRAS mampu menyajikan ekosistem pengumpulan banjir dengan akurasi tinggi. Artikel ini akan membedah pendekatan, hasil, dan relevansi dari studi tersebut, lengkap dengan opini, perbandingan, dan tantangan implementasinya di Indonesia.

Apa Itu Teknologi LiDAR dan Mengapa Penting?

LiDAR: Fotografi Udara yang Bisa Mengukur Ketinggian

LiDAR adalah teknologi penginderaan jauh yang menggunakan pulsa laser dari pesawat atau drone untuk mengukur jarak ke permukaan bumi. Tiap pantulan cahaya dihitung, lalu dikonversi menjadi data titik (titik awan) dengan koordinat X, Y, Z. Dengan jutaan titik ini, terbentuklah Digital Elevation Model (DEM) yang menggambarkan permukaan bumi secara tiga dimensi.

Keunggulan LiDAR:

  • Akurasi tinggi: Vertikal ±15 cm dan horizontal ±30 cm
  • Resolusi tinggi: Bisa mencapai 1m×1m atau lebih halus
  • Mampu menembus vegetasi , sehingga cocok untuk memetakan aliran sungai di daerah pembuangan atau bangunan padat

Perbandingan metode lama (survei total station atau SRTM satelit), LiDAR memberikan efisiensi waktu dan detail yang jauh lebih baik. Untuk keperluan analisis banjir, ketelitian ini krusial dalam menggambarkan aliran udara dan batas-batas kapasitas.

Studi Kasus: Pemodelan Banjir di Wilayah AS dengan Data LiDAR Publik

Karena ketersediaan data LiDAR di Indonesia masih terbatas, penulis mengambil contoh wilayah di Amerika Serikat yang data LiDAR-nya tersedia secara gratis melalui OpenTopography.

Tahapan Analisis:

  1. Pembuatan DEM: Data point cloud diolah dengan Global Mapper 15 menjadi DEM beresolusi 1×1 meter.
  2. Pembuatan Model Geometri Sungai: Menggunakan ArcGIS dan HEC-GeoRAS untuk membuat alur sungai dan penampang melintang otomatis dari DEM.
  3. Simulasi Banjir: Menggunakan HEC-RAS 4.1, debit banjir divariasikan (1.000, 2.000, dan 3.000 m³/s), dengan elevasi muka air hilir tetap di +3,0 m.
  4. Delineasi Genangan: Hasil simulasi konversi ke peta akumulasi menggunakan HEC-GeoRAS.
  5. Overlay Peta Genangan: Digabung dengan citra udara untuk memvisualisasikan wilayah yang terdampak banjir.

Hasil Simulasi: Debit Semakin Tinggi, Semakin Luas Genangan

Temuan Utama:

  • Debit 1.000 m³/s: Kedalaman penampungan 0–5 m
  • Debit 2.000 m³/s: Kedalaman meningkat 0–6,5 m
  • Debit 3.000 m³/s: Genangan mencapai kedalaman hingga 7,5 m

Dari peta terlihat bahwa daerah organisasi kanan dan kiri sungai merupakan daerah paling terdampak. Peta hasil simulasi memberikan visualisasi yang tajam, lengkap dengan kedalaman banjir tiap zona.

Keunggulan Pendekatan Ini

🔹 Akurasi Geometri Tinggi

Dengan resolusi DEM 1m×1m, kontur tanah, saluran udara, dan elevasi organisasi menjadi sangat presisi. Hal ini memungkinkan perencanaan infrastruktur drainase, tanggul, dan retensi udara menjadi lebih tepat sasaran.

🔹 Simulasi Interaktif dan Prediktif

Menggunakan HEC-RAS, berbagai skenario debit banjir dapat diuji dalam waktu singkat. Kita bisa tahu apa yang terjadi jika curah hujan ekstrem menyebabkan debit 3.000 m³/s—tanpa harus menunggu bencana nyata.

🔹 Efisiensi Waktu dan Biaya

Proses survei dan pemetaan lapangan bisa memakan waktu berminggu-minggu. Dengan LiDAR dan software GIS, seluruh analisis dapat dilakukan dalam hitungan hari.

Tantangan Implementasi di Indonesia

1. Keterbatasan Akses Data LiDAR

Hingga saat ini, data LiDAR di Indonesia sangat terbatas. Padahal, LiDAR adalah fondasi awal analisis yang akurat. Pemerintah melalui BIG (Badan Informasi Geospasial) perlu memperluas cakupan data ini, terutama di kota-kota rawan banjir seperti Jakarta, Semarang, dan Banjarmasin.

2. Sumber Daya Manusia

Belum semua daerah memiliki tenaga ahli GIS dan pemodelan hidrodinamik. Diperlukan pelatihan intensif dan penyebaran teknologi ke daerah.

3. Integrasi dengan Sistem Peringatan Dini

Model simulasi hanya akan maksimal jika diintegrasikan dengan sistem peringatan dini berbasis data curah hujan real-time dan sensor muka udara.

Perbandingan Internasional

Amerika Serikat:

USGS dan FEMA telah menggunakan LiDAR dan HEC-RAS untuk seluruh sungai besar. Bahkan, peta risiko banjir tersedia untuk umum melalui Portal Peta Banjir.

Belanda:

Negara datar ini memanfaatkan DEM dan model hidrodinamik untuk merancang kanal, tanggul, dan sistem retensi udara super presisi. Semua berbasis simulasi seperti yang diteliti Al Amin.

Jepang:

Kota seperti Tokyo memiliki sistem digital twin (model kota virtual) yang selalu diperbarui berdasarkan peta udara dan LiDAR.

Indonesia bisa belajar dari praktik-praktik tersebut untuk mendorong transformasi digital dalam perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana.

Saran Praktis untuk Pemerintah dan Akademisi

  1. Prioritaskan akuisisi LiDAR nasional mulai dari DAS prioritas nasional dan kota besar.
  2. Libatkan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan sistem simulasi banjir dan tenaga pelatihan ahli.
  3. Integrasikan hasil pemodelan dengan RTRW dan RDTR agar pembangunan infrastruktur tidak menutup aliran alami.
  4. Dorong keterbukaan data antara pemerintah, sejarawan, dan masyarakat sipil demi perencanaan kolaboratif.

Kesimpulan: Dari Data ke Tindakan

Studi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi LiDAR dan pemodelan hidrodinamik tidak hanya mungkin, tetapi juga sangat efektif dan terjadi dalam penanganan banjir yang berbasis data. Peta pengumpulan yang dihasilkan tidak hanya informatif, tetapi juga prediktif dan preskriptif.

Dengan pendekatan seperti ini, pemerintah tidak lagi menanggapi banjir sebagai kejadian dadakan, namun sebagai risiko yang dapat dimitigasi, direncanakan, dan dikelola. Teknologi telah tersedia—yang dibutuhkan adalah kemauan untuk menikmatinya secara terstruktur dan inklusif.

Referensi

Al Amin, MB (2015). Pemanfaatan teknologi LIDAR dalam analisis pengumpulan banjir akibat luapan sungai berdasarkan simulasi model hidrodinamik. Info Teknik, 16 (1), 21–32.

Selengkapnya
Teknologi LiDAR dan Simulasi Hidrodinamik: Masa Depan Analisis Genangan Banjir di Indonesia

Pengendalian Banjir

Pompa Aksial Horizontal: Inovasi Pengendalian Banjir untuk Kota-Kota Pantura

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025


Solusi Teknologi Cerdas untuk Genangan Kronis di Wilayah Datar dan Pesisir

Banjir perkotaan kini tidak lagi hanya menjadi urusan penanganan darurat, namun telah berkembang menjadi tantangan ekosistem yang menuntut solusi teknologi terintegrasi. Apalagi di kawasan pesisir seperti Pantura Jawa Tengah, banjir bukan hanya akibat hujan lokal, tetapi juga karena pasang surut laut dan sistem drainase yang stagnan.

Dalam laporan Pengkajian Tipologi dan Pengendalian Banjir Perkotaan – Studi Kasus Pantura Jawa Tengah yang dipublikasikan oleh Pusat Litbang Sumber Daya Air (2014), diperkenalkanlah teknologi pompa aksial horizontal sebagai jawaban atas kebutuhan pengendalian banjir yang efisien dan cocok untuk wilayah pesisir yang datar.

Mengapa Pantura Jawa Tengah Rawan Banjir?

Wilayah pantai utara Jawa dikenal dengan topografi datarnya, aliran air yang lambat, dan tekanan dari pasang surut air laut. Kota-kota seperti Semarang, Pekalongan, Demak, hingga Rembang menjadi langganan banjir tahunan karena:

  • Kecepatan aliran udara yang rendah akibat kemiringan sungai yang landai
  • Fenomena terpencil saat air laut pasang menghambat aliran keluar ke laut
  • Sistem drainase perkotaan yang tidak hirarkis dan kurang terintegrasi
  • Tingginya volume limpasan air dari hulu yang tidak bisa ditampung oleh saluran yang ada

Inovasi Teknologi: Pompa Aksial Horizontal

Apa Itu Pompa Aksial Horizontal?

Pompa ini dirancang untuk menggerakkan udara secara horizontal, bukan mengangkatnya ke tempat lebih tinggi seperti pompa vertikal. Karena tidak melawan gravitasi, pompa ini:

  • Memiliki kapasitas debit besar (hingga m³/detik)
  • Membutuhkan daya listrik atau bahan bakar yang relatif rendah
  • Cocok untuk pengendalian banjir di daerah datar

Berbeda dengan sistem pompa biasa, pompa aksial horizontal bersifat mendorong udara sejajar dengan permukaan tanah, sehingga efisien dalam wadah menampung udara tanpa mengubah energi kinetik menjadi potensial.

Studi Kasus: Lasem, Rembang sebagai Lokasi Uji Coba

Kabupaten Rembang dipilih sebagai lokasi penerapan prototipe pompa aksial horizontal karena memiliki karakteristik topografi dan tipologi banjir yang sesuai:

  • Rawan banjir terkumpul akibat limpasan dan pasang laut
  • Elevasi wilayah rendah, sehingga gravitasi tidak cukup membantu aliran udara
  • Infrastruktur pendukung seperti gorong-gorong dan tanggul telah tersedia

Pemasangan dilakukan pada drainase gorong-gorong di Kecamatan Lasem, lengkap dengan rumah pompa, pintu klep otomatis, dan sistem penggerak mesin diesel yang efisien.

Keunggulan Pompa Aksial Horizontal Dibanding Sistem Konvensional

1. Efisiensi Energi

Pompa ini hanya membutuhkan energi untuk mendorong udara, bukan mengangkatnya. Dalam rumusan teknis, daya pemompaanP=1akuP⋅12akuBahasa Indonesia: V2QP = \frac{1}{\eta_p} \cdot \frac{1}{2} \rho V^2 QP=akuPBahasa Indonesia:1Bahasa Indonesia:⋅21Bahasa Indonesia:ρ V2Q, tanpa faktor gravitasi seperti pada pompa vertikal.

2. Kemampuan Debit Tinggi

Dengan diameter hingga 1 meter dan kecepatan putar (RPM) optimal, pompa dapat menggerakkan udara dalam jumlah besar dalam waktu singkat—cocok untuk hujan ekstrem.

3. Biaya Operasional Lebih Murah

Karena tidak membutuhkan tekanan tinggi, motor diesel standar sudah cukup untuk pengoperasian. Ditambah lagi, desain modularnya memudahkan perawatan.

4. Desain Adaptif

Baling-baling pompa dapat disesuaikan jumlah dan sudutnya (misalnya 4 sudu, 30 derajat) untuk mengoptimalkan debit sesuai kondisi lokasi.

Tantangan & Rekomendasi

Tantangan:

  • Minimnya pengetahuan teknis lokal dalam pengoperasian pompa aksial
  • Ketergantungan pada energi fosil jika belum dikombinasikan dengan sumber terbarukan
  • Kerentanan terhadap penyumbatan dari sampah jika tidak disertai saringan aktif

Rekomendasi:

  1. Integrasi dengan sistem smart sensor untuk mengatur RPM sesuai muka udara
  2. Edukasi masyarakat agar tidak membuang sampah ke saluran
  3. Kombinasi dengan sistem retensi seperti kolam tandon di hulu saluran

Dibandingkan dengan Sistem Polder Konvensional

Sistem polder memang telah digunakan di Semarang dan Belanda sebagai standar pengendalian banjir di dataran rendah. Namun sistem ini mahal karena membutuhkan:

  • Tanggul besar
  • Kolam retensi luas
  • Pusat kendali pompa yang kompleks

Pompa aksial horizontal menawarkan versi “polder ringan” yang lebih modular , hemat energi , dan dapat diterapkan di banyak lokasi tanpa perlu infrastruktur besar.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Penggunaan teknologi ini, jika diterapkan secara luas di Pantura, akan berdampak langsung pada:

  • Pengurangan gangguan transportasi lintas kota dan logistik
  • Penurunan risiko penyakit berbasis air karena akumulasi yang lebih cepat surut
  • Peningkatan produktivitas masyarakat , khususnya sektor informal yang sering terhambat akibat banjir

Kritik terhadap Studi

Meskipun cukup komprehensif, laporan ini masih memiliki beberapa kekurangan:

  • Belum ada data lapangan pasca uji coba untuk menunjukkan dampak jangka panjang
  • Tidak membahas aspek hukum atau kelembagaan , seperti siapa yang bertanggung jawab atas operasional dan pemeliharaan
  • Tidak menguraikan skenario perubahan iklim , yang dapat memperparah intensitas banjir

Studi lanjutan sangat dianjurkan untuk mencakup aspek-aspek tersebut serta memperluas pemodelan terhadap tipologi kota lain.

Kesimpulan

Teknologi pompa aksial horizontal adalah langkah maju dalam pengendalian banjir perkotaan yang adaptif terhadap kondisi geografis Indonesia. Solusi ini menjawab tantangan:

  • Ketinggian minimum alami
  • Besarnya beban limpasan udara dari hulu
  • Efek pasang surut laut yang menghambat aliran keluar

Dengan desain inovasi yang hemat energi dan kapasitas debit besar, pompa ini cocok untuk diadopsi tidak hanya di Pantura, tetapi juga kota-kota pesisir lainnya seperti Surabaya, Makassar, dan Pontianak.

Referensi 

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. (2014). Teknologi Pengendalian Banjir pada Berbagai Tipologi di Kawasan Pantura Jawa Tengah . Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

 

Selengkapnya
Pompa Aksial Horizontal: Inovasi Pengendalian Banjir untuk Kota-Kota Pantura

Ketenagakerjaan

Dampak Tenaga Kerja Terampil dan Tidak Terampil terhadap Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Empiris dengan Pendekatan PLS-SEM

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Keterampilan Tenaga Kerja Adalah Kunci Kinerja Proyek

Dalam industri konstruksi yang padat karya, keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kualitas tenaga kerja yang terlibat. Artikel ilmiah "Impact of Skilled and Unskilled Labor on Project Performance Using Structural Equation Modeling Approach" oleh Shahid Hussain et al. (2020), memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara keterampilan tenaga kerja dan kinerja proyek, khususnya di negara berkembang seperti Pakistan.

Dengan menggunakan pendekatan Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini menyelidiki dampak tenaga kerja terampil dan tidak terampil terhadap keberhasilan proyek konstruksi publik. Artikel ini bukan sekadar menyajikan data kuantitatif, tetapi juga membangun model konseptual yang dapat menjadi rujukan praktis bagi pengambil kebijakan dan pelaku industri.

Metodologi: Model Konseptual dan Pendekatan Kuantitatif

Penelitian ini mengadopsi pendekatan deduktif dengan rancangan survei kuantitatif. Kuesioner dibagikan kepada 750 profesional di industri konstruksi publik Pakistan, dan 400 responden terlibat aktif dalam pengisian. Responden berasal dari instansi besar seperti Public Works Development (PWD), Defense Housing Authority (DHA), dan National Logistic Cell (NLC).

Data dianalisis menggunakan SmartPLS v3.2.8 untuk membangun model hubungan antara dua variabel independen (tenaga kerja terampil dan tidak terampil) terhadap satu variabel dependen (kinerja proyek). Validitas model diperiksa melalui uji Cronbach’s Alpha, Composite Reliability (CR), Average Variance Extracted (AVE), serta analisis validitas diskriminan melalui HTMT dan cross-loading.

Hasil Temuan: Kekuatan dan Kelemahan Dua Kategori Tenaga Kerja

Tenaga Kerja Tidak Terampil: Ancaman terhadap Keberhasilan Proyek

Hasil analisis menunjukkan bahwa tenaga kerja tidak terampil memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kinerja proyek (path coefficient β = -0.561; p = 0.000). Faktor-faktor seperti kurangnya pelatihan, pengetahuan, keterampilan kerja, serta pengalaman diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan produktivitas dan kualitas.

Temuan ini mendukung literatur sebelumnya seperti Hossein et al. (2018) dan Karimi et al. (2016) yang menyatakan bahwa kekurangan tenaga kerja berpengalaman berdampak langsung pada peningkatan biaya, keterlambatan, serta insiden keselamatan kerja. Bahkan, studi Glazner et al. (2005) menunjukkan bahwa 54,5% insiden di proyek konstruksi berasal dari kurangnya pemahaman prosedur keselamatan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman.

Tenaga Kerja Terampil: Penggerak Utama Keberhasilan Proyek

Sebaliknya, tenaga kerja terampil terbukti memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kinerja proyek (path coefficient β = 0.574; p = 0.000). Kriteria seperti pelatihan khusus, pengalaman luas, kualifikasi teknis, dan pengetahuan praktis berkontribusi dalam pencapaian tujuan proyek.

Penelitian ini sejalan dengan temuan Jarkas (2017) dan Abdul-Rahman et al. (2006) yang menegaskan pentingnya keterampilan tenaga kerja dalam menjamin ketepatan waktu, efisiensi biaya, dan mutu pekerjaan. Keterampilan teknis juga berkaitan dengan pengurangan pengerjaan ulang (rework) dan peningkatan keselamatan kerja, sebagaimana disorot oleh Choudhry & Fang (2008).

Nilai Tambah: Implikasi Praktis dan Kebijakan

Manfaat Bagi Praktisi Proyek

Model konseptual yang dikembangkan dalam studi ini menjadi alat penting bagi manajer proyek untuk merancang strategi perekrutan dan pelatihan tenaga kerja. Kebijakan pengadaan tenaga kerja seharusnya tidak semata-mata mempertimbangkan biaya upah, melainkan juga potensi dampaknya terhadap mutu dan ketepatan waktu penyelesaian proyek.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan Lembaga Pendidikan

Pemerintah dan lembaga pendidikan vokasi perlu memperluas akses terhadap pelatihan teknis, sertifikasi profesi, dan pelatihan keselamatan. Studi ini menggarisbawahi perlunya intervensi sistemik untuk menciptakan angkatan kerja yang kompeten, guna mendukung keberhasilan proyek konstruksi nasional.

Studi Kasus: Tren Global dan Pembelajaran Lokal

Tren kekurangan tenaga kerja terampil bukan hanya terjadi di Pakistan. Studi Paul (2016) di Hong Kong juga menunjukkan fenomena serupa. Di Amerika Utara, Karimi et al. (2017) membuktikan bahwa ketersediaan tenaga kerja terampil secara signifikan meningkatkan produktivitas dan ketepatan jadwal proyek.

Indonesia pun menghadapi tantangan serupa, terutama dalam proyek infrastruktur berskala besar. Inisiatif seperti program sertifikasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) menjadi langkah positif dalam meningkatkan kualitas SDM konstruksi.

Kritik dan Keterbatasan: Membaca Di Antara Angka

Meski memiliki kontribusi kuat, studi ini terbatas pada konteks proyek konstruksi publik di Pakistan. Penggunaan metode snowball sampling dapat menimbulkan bias representasi. Studi lanjutan disarankan untuk mencakup proyek sektor swasta dan membandingkan lintas negara guna generalisasi lebih luas.

Selain itu, model PLS-SEM hanya menjelaskan 36% varians kinerja proyek, yang berarti terdapat faktor lain seperti perencanaan, manajemen risiko, dan teknologi yang juga mempengaruhi keberhasilan proyek.

Kesimpulan: Keterampilan sebagai Investasi, Bukan Biaya

Penelitian oleh Hussain et al. (2020) memberikan bukti empiris bahwa keterampilan tenaga kerja merupakan faktor krusial dalam menentukan kinerja proyek konstruksi. Penggunaan tenaga kerja terampil bukan sekadar keputusan teknis, melainkan strategi manajerial yang berdampak pada keseluruhan performa proyek.

Investasi dalam pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan tenaga kerja harus dipandang sebagai kebutuhan mendesak, bukan beban anggaran. Dengan pendekatan berbasis data dan model konseptual yang valid, studi ini memberikan peta jalan bagi masa depan industri konstruksi yang lebih produktif, aman, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Hussain, S., Xuetong, W., & Hussain, T. (2020). Impact of Skilled and Unskilled Labor on Project Performance Using Structural Equation Modeling Approach. SAGE Open. https://doi.org/10.1177/2158244020914590

Selengkapnya
Dampak Tenaga Kerja Terampil dan Tidak Terampil terhadap Kinerja Proyek Konstruksi: Studi Empiris dengan Pendekatan PLS-SEM

Normalisasi Sungai

Sistem Pompa Sungai Bendung: Solusi Teknis untuk Banjir Kronis Palembang

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025


Ketika Saluran Tak Mampu Lagi, Saatnya Air Dipompa Keluar

Banjir di kota besar seperti Palembang bukan hanya bencana musiman—ia adalah masalah struktural yang meresap ke akar tata ruang, sistem drainase, dan topografi perkotaan. Salah satu daerah paling terdampak di kota ini adalah kawasan Sungai Bendung, anak Sungai Musi yang mengalami banjir tahunan akibat kombinasi hujan lokal dan aliran balik (terpencil) dari Sungai Musi.

Dalam konteks tersebut, penelitian Apriadi dkk. (2021) menghadirkan solusi teknis berbasis sistem pompa dan normalisasi saluran sungai . Pendekatan ini bukan hanya reaktif, tetapi mencakup analisis berbasis numerik untuk menemukan kombinasi infrastruktur yang paling efektif.

Apa Masalah Utamanya?

Sungai Bendung membentang sepanjang 5,4 km dengan daerah aliran sungai (DAS) seluas 15,4 km² dan berada di dataran rendah (+2 m hingga +18 m dari permukaan laut). Topografi datar membuat aliran lambat, ditambah sedimentasi yang menyaring bagian sungai. Namun, persoalan utamanya justru datang dari hilir: backwater dari Sungai Musi menyebabkan udara tak bisa mengalir keluar ketika permukaan Musi naik.

Akibatnya, saat hujan deras datang, air tak hanya sulit mengalir ke Musi, tapi justru terdorong kembali ke dalam kota. Dampaknya? Banjir dengan tinggi muka air mencapai lebih dari 1,3 meter dan durasi konsentrasi lebih dari 19 jam di beberapa titik.

Solusi yang Ditawarkan: Sistem Pompa Terintegrasi

Penelitian ini mengkaji empat alternatif penanganan banjir melalui simulasi dengan perangkat lunak MIKE 11 (1D) dan MIKE Flood (2D), yaitu:

  1. Alternatif 1: 6 pompa di hilir Sungai Bendung.
  2. Alternatif 2: 6 pompa di hilir + 2 pompa di hulu (udik).
  3. Alternatif 3: 6 pompa di hilir + normalisasi dasar sungai.
  4. Alternatif 4: Gabungan lengkap—pompa hulu dan hilir serta normalisasi saluran Bendung.

Hasil Kunci: Seberapa Efektif Sistem Pompa Ini?

✅ Luas Genangan Banjir Berkurang Signifikan

  • Tanpa intervensi , luas keseluruhan tercatat 1,93 km².
  • Dengan Alternatif 4 , luas pemukiman menyusut hingga 1,19 km².
  • Ini berarti penurunan luas genangan sebesar 38,3% .

✅ Kedalaman Maksimum Genangan Menurun

  • Pada kondisi awal, kedalamannya bisa mencapai 1.303 meter .
  • Alternatif 4 mampu menurunkan ketinggian genangan menjadi hanya 0,656 meter , atau hampir 50% lebih rendah .

✅ Durasi Genangan Drastis Menurun

  • Genangan di daerah hulu : dari 19,11 jam turun menjadi 4,33 jam.
  • Di area hilir , bahkan dari 8,49 jam menjadi 0 jam —artinya, tak ada akumulasi yang tersisa di area ini pompa setelah beroperasi.

Analisis: Mengapa Alternatif 4 Paling Efektif?

Kombinasi antara sistem pompa di dua titik dan pengerukan (normalisasi) dasar sungai memberikan dampak sinergis. Tanpa normalisasi, pompa tetap bekerja keras karena saluran udara tetap dangkal dan lambat. Tanpa pompa, normalisasi pun tidak cukup karena debit besar tidak bisa keluar akibat backwater dari Sungai Musi.

Pompa-pompa dirancang tipe submersible dengan kapasitas 6 m³/s per unit , total 6 unit di hilir dan 2 unit tambahan di hulu. Dengan total kapasitas 36 m³/s, sistem ini mampu menangani debit banjir dari kejadian ulang 10 tahun.

Studi Banding: Penggunaan Sistem Pompa di Kota Lain

Penelitian ini sejalan dengan pendekatan pengendalian banjir yang telah diterapkan di kota-kota besar lainnya:

  • Jakarta: Sistem pompa di Waduk Pluit dan Manggarai digunakan untuk menahan limpasan dari DAS Ciliwung.
  • Semarang: Polder dan pompa digunakan di wilayah pesisir timur untuk menangani banjir rob.
  • Jambi: Studi Rusli dkk. (2016) juga menyarankan kombinasi pompa dan pintu air sebagai solusi paling ekonomis.

Kesamaan dari semua studi ini adalah satu: normalisasi saja tidak cukup. Sistem pompa menjadi tulang punggung pengendalian banjir, terutama saat gravitasi tidak lagi mampu mengalirkan udara.

Tantangan Implementasi di Lapangan

1. Biaya dan Energi

Pompa besar memerlukan biaya investasi dan operasional tinggi. Jika tidak disertai manajemen operasional yang cerdas, sistem ini dapat menjadi beban APBD, terutama untuk biaya listrik.

2. Pemeliharaan

Sistem pompa harus rutin dicek. Lumpur, sampah, dan korosi menjadi ancaman nyata terhadap efisiensi dan usia pompa.

3. Kesadaran Publik

Sampah domestik yang menyumbat saluran masih menjadi masalah klasik. Tanpa edukasi masyarakat dan pengelolaan limbah yang baik, pompa apapun tidak akan efektif.

Solusi Tambahan yang Disarankan

  1. Smart Pump System: Integrasikan pompa dengan sensor muka air dan sistem kontrol berbasis AI untuk pengoperasian otomatis.
  2. Energi Terbarukan: memperingatkan penggunaan panel surya untuk memasok listrik cadangan pompa, terutama saat bencana memutus aliran PLN.
  3. Peta Bahaya Digital: Memasang sensor banjir dan membuat dashboard publik agar masyarakat dapat memantau area rawan secara real-time.
  4. Sistem Peringatan Dini: Kombinasikan pompa dengan sistem sirine dan notifikasi agar warga bisa membantu sebelum air menggenang tinggi.

Dampak Luas: Ekonomi, Sosial, dan Tata Ruang

🔹 Ekonomi

Waktu berkumpul yang lebih singkat berarti gangguan terhadap transportasi, bisnis, dan sekolah bisa diminimalkan. Ini meningkatkan produktivitas kota dan mengurangi biaya tanggap darurat.

🔹 Sosial

Sistem pompa yang andal menumbuhkan rasa aman di masyarakat. Ini penting terutama bagi kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.

🔹 Tata Ruang

Pompa dan normalisasi dapat diintegrasikan dengan proyek penataan kota, seperti jalur hijau atau ruang terbuka publik yang multifungsi sebagai kolam retensi darurat.

Kritik dan Catatan Tambahan

Penelitian ini sangat kuat dari sisi teknis dan metodologi, terutama karena menggabungkan model hidrolik 1D dan 2D serta menguji beberapa skenario. Namun, ada beberapa catatan:

  • Belum ada integrasi sosial-budaya. Misalnya, bagaimana penerimaan warga terhadap pembangunan rumah pompa atau relokasi saat normalisasi?
  • Studi belum mencakup prediksi perubahan iklim. Debit sungai bisa meningkat jika curah hujan ekstrem menjadi lebih sering.
  • Kapasitas operasional SDM lokal belum didiskusikan. Siapa yang akan mengoperasikan pompa saat banjir terjadi?

Kesimpulan: Kombinasi Strategi adalah Kunci

Penelitian Heru Gunawan Apriadi dkk. memberikan gambaran nyata bahwa penanganan banjir tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan. Sistem pompa memang efektif, tapi harus dikombinasikan dengan normalisasi sungai dan tata kelola udara perkotaan yang baik.

Dengan hasil nyata berupa:

  • Pengurangan tinggi akumulasi hingga 50% ,
  • Penurunan luas mencakup hampir 40% , dan
  • Durasi terakumulasi yang ditekan hingga 0 jam di area hilir,

kombinasi pompa dan normalisasi layak dijadikan prioritas strategi pengendalian banjir di Palembang dan kota-kota dataran rendah lainnya.

Referensi

Apriadi, HG, Saggaf, A., & Sarino. (2021). Kajian penanganan banjir dengan sistem pompa di Sungai Bendung, Kota Palembang. Jurnal Sumber Daya Air, 17 (1), 49–58.

 

Selengkapnya
Sistem Pompa Sungai Bendung: Solusi Teknis untuk Banjir Kronis Palembang
« First Previous page 145 of 1.131 Next Last »