Industrialized Building System
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Industri Konstruksi Malaysia di Persimpangan Jalan
Industri konstruksi merupakan pilar penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk di Malaysia. Menyumbang sekitar 4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2016 dan diproyeksikan meningkat hingga 5,5% pada 2020, sektor ini mempekerjakan lebih dari 1,2 juta orang. Namun, di balik kontribusinya yang besar, industri ini menghadapi tantangan klasik seperti rendahnya produktivitas, ketergantungan pada tenaga kerja asing, dan proses pembangunan yang lambat.
Dalam konteks inilah muncul kebutuhan mendesak untuk mentransformasi industri konstruksi melalui pendekatan yang lebih modern dan efisien: Industrialized Building System (IBS).
Apa Itu IBS? Evolusi Terminologi dan Definisi Global
IBS atau Industrialized Building System adalah sistem konstruksi yang menekankan produksi komponen bangunan secara massal dalam lingkungan terkendali, baik off-site maupun on-site, sebelum dirakit di lokasi pembangunan. Konsep ini berakar dari filosofi manufaktur, di mana efisiensi, kontrol mutu, dan produktivitas menjadi fokus utama.
Berbagai istilah global seperti prefabrication, off-site manufacturing (OSM), modular construction, hingga modern methods of construction (MMC) sering digunakan untuk menggambarkan praktik serupa. Namun, Malaysia mengadaptasi konsep IBS secara lokal sejak akhir 1990-an dan mengintegrasikannya dalam berbagai inisiatif nasional seperti IBS Roadmap dan Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016–2020.
Penulis paper, Rashidi dan Ibrahim, mengusulkan definisi IBS yang komprehensif: "Sebuah sistem desain, manufaktur, dan konstruksi terintegrasi komputer, menggunakan teknik produksi massal dalam lingkungan terkendali, dengan perencanaan yang terkoordinasi dan minim pekerjaan di lapangan."
Klasifikasi IBS: Sistem, Material, dan Tingkat Industrialisasi
IBS tidak bersifat satu dimensi. Ada berbagai klasifikasi yang dapat digunakan untuk memahami spektrum penerapannya:
Berdasarkan Material dan Sistem:
Berdasarkan Level Industrialisasi:
Studi Kasus: Implementasi IBS di Malaysia
Sejak 1999, pemerintah Malaysia telah meluncurkan beberapa roadmap IBS, termasuk target adopsi 100% pada proyek sektor publik dengan skor IBS minimal 70. Namun realitanya, hingga 2015 hanya 24% proyek publik bernilai >RM10 juta yang mencapai target ini. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.
Kegagalan ini disebabkan oleh berbagai hambatan:
Faktor Kunci Keberhasilan (Critical Success Factors - CSFs) Implementasi IBS
Untuk menjembatani celah antara potensi dan realisasi IBS, para peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor kunci kesuksesan yang dapat dijadikan pedoman:
1. Kolaborasi dan Komunikasi Efektif
Koordinasi sejak tahap awal antara desainer, pabrikator, dan kontraktor sangat penting. Desain sebaiknya tidak dibuat dalam silo, melainkan secara kolaboratif dengan mempertimbangkan aspek produksi dan logistik.
2. Standarisasi dan Repetisi Desain
Proyek IBS idealnya menggunakan desain berulang dan modular untuk mengefisienkan produksi dan perakitan. Ini menurunkan biaya dan mempercepat proses.
3. Manajemen Rantai Pasok dan Logistik
Pengiriman tepat waktu dan dalam urutan yang benar sangat menentukan kelancaran konstruksi. Kegagalan pada satu titik logistik bisa mengganggu seluruh jadwal proyek.
4. Investasi pada Teknologi Informasi
Integrasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) menjadi penopang penting untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi miskomunikasi.
5. Pelatihan dan Pengembangan SDM
Salah satu kelemahan utama di Malaysia adalah kurangnya tenaga kerja lokal yang terlatih dalam IBS. Solusinya adalah pelatihan vokasional berbasis teknologi dan realitas campuran (mixed reality) sebagai sarana pembelajaran interaktif.
Integrasi Teknologi: BIM dan Realitas Campuran sebagai Masa Depan Pelatihan IBS
Penelitian ini secara inovatif mengusulkan integrasi objek BIM dengan teknologi pelatihan berbasis mixed reality seperti simulasi 3D dan serious games. Tujuannya adalah melatih tenaga kerja untuk merakit komponen IBS secara realistis namun hemat biaya dan waktu.
Dengan adanya platform pelatihan semacam itu, keterampilan pekerja dapat ditingkatkan tanpa harus langsung ke lokasi proyek, sekaligus memperkecil risiko kesalahan dalam tahap konstruksi.
Kritik dan Perbandingan: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?
Beberapa negara seperti Jepang, Singapura, dan Swedia telah lebih dulu sukses dalam industrialisasi konstruksi. Kuncinya terletak pada:
Malaysia dapat belajar dari model ini, sambil tetap menyesuaikan dengan konteks lokal. Upaya yang telah dilakukan seperti CITP 2016–2020 dan berbagai roadmap IBS memang sudah berada di jalur yang benar, namun implementasi masih perlu diperkuat melalui regulasi, edukasi, dan insentif pasar.
Dampak Praktis: Menuju Industri Konstruksi yang Tangguh dan Berkelanjutan
Jika diterapkan secara menyeluruh, IBS menawarkan berbagai manfaat:
Namun tanpa strategi implementasi yang menyentuh akar masalah—yakni fragmentasi industri dan kekurangan SDM terlatih—potensi ini akan sulit tercapai.
Kesimpulan: IBS sebagai Masa Depan Industri Konstruksi Malaysia
IBS bukan sekadar metode konstruksi baru, tetapi transformasi menyeluruh dalam cara berpikir, merancang, dan membangun. Untuk mewujudkan industri konstruksi yang tangguh dan berkelanjutan, Malaysia perlu mengadopsi pendekatan menyeluruh: mulai dari pendidikan dan pelatihan, hingga reformasi regulasi dan sistem kerja kolaboratif.
Keberhasilan IBS tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada kemampuan manusia untuk beradaptasi dan berinovasi. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan, IBS bisa menjadi motor penggerak industri konstruksi Malaysia menuju era baru yang lebih efisien, hijau, dan kompetitif.
Sumber artikel:
Rashidi, A., & Ibrahim, R. (2017). Industrialized Construction Chronology: The Disputes and Success Factors for a Resilient Construction Industry in Malaysia. The Open Construction and Building Technology Journal, 11, 286–300. https://doi.org/10.2174/1874836801711010286
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Pendahuluan: Tantangan Lempung dan Peluang dari Limbah Pertanian
Tanah lempung, meski umum dijumpai, kerap menjadi penghambat konstruksi karena karakteristiknya yang ekspansif, plastisitas tinggi, dan kekuatan rendah. Di sisi lain, limbah pertanian seperti abu kulit kopi (Coffee Husk Ash/CHA) kerap diabaikan, meski Indonesia merupakan eksportir kopi terbesar keempat dunia. Kajian oleh Munirwan et al. (2022) menunjukkan bagaimana CHA dapat digunakan sebagai material stabilisasi ramah lingkungan untuk meningkatkan kekuatan geser tanah lempung tropis plastis tinggi.
1. Latar Belakang: Krisis Lingkungan dan Solusi Berbasis Limbah
2. Bahan dan Metode
2.1 Tanah Lempung
2.2 Abu Kulit Kopi (CHA)
2.3 Prosedur Pengujian
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Perubahan Karakteristik Fisik Tanah
Penambahan Calcium Hydroxide Additive (CHA) 25% secara signifikan mengubah sifat fisik tanah. Nilai Liquid Limit (LL) turun dari 70,9% menjadi 67,0%, sementara Plastic Limit (PL) meningkat dari 27,77% menjadi 32,42%, sehingga Plasticity Index (PI) berkurang dari 43,13% menjadi 34,58%. Penurunan PI ini menunjukkan bahwa stabilisasi CHA efektif mengurangi potensi ekspansifitas tanah. Selain itu, Specific Gravity (SG) tanah menurun dari 2,67 menjadi 2,49, mengindikasikan perubahan komposisi partikel. Klasifikasi tanah juga mengalami pergeseran dari CH (Clay High Plasticity) → MH (Silt High Plasticity) dalam sistem USCS dan dari A-7-6 → A-7-5 dalam klasifikasi AASHTO, yang menandakan tanah menjadi lebih kasar akibat agregasi partikel pasca-pencampuran CHA. Perubahan ini membuktikan bahwa CHA tidak hanya meningkatkan stabilitas tanah tetapi juga memodifikasi sifat dasarnya secara struktural.
3.2 Kompaksi dan Kerapatan Kering Maksimum
3.3 Uji Kuat Tekan Bebas (UCS)
Penambahan Calcium Hydroxide Additive (CHA) 25% meningkatkan nilai Unconfined Compressive Strength (UCS) tanah secara signifikan dari 89,17 kN/m² menjadi 130,83 kN/m², atau mengalami peningkatan sebesar 46,7%. Kenaikan yang cukup besar ini disebabkan oleh reaksi hidrasi dan pozzolanik antara CHA dengan partikel tanah, yang mengisi pori-pori dan membentuk struktur lebih padat serta kuat. Hasil ini membuktikan bahwa CHA tidak hanya meningkatkan stabilitas tanah, tetapi juga secara efektif memperkuat sifat mekaniknya.
3.4 Uji Geser Langsung (Direct Shear Test)
Penambahan 25% Calcium Hydroxide Additive (CHA) secara signifikan meningkatkan parameter kekuatan tanah, dimana nilai kohesi (c) meningkat sebesar 85% dari 80,1 kN/m² menjadi 148,7 kN/m², menunjukkan peningkatan daya dukung struktural yang nyata. Selain itu, sudut geser dalam (φ) juga mengalami kenaikan dari 16,1° menjadi 25,8°, yang disebabkan oleh efek agregasi partikel tanah dan pengisian rongga mikro oleh material CHA. Hasil ini membuktikan bahwa stabilisasi dengan CHA tidak hanya memperbaiki kekuatan tanah tetapi juga meningkatkan stabilitas geserannya, menjadikannya lebih cocok untuk aplikasi konstruksi.
4. Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Kekurangan & Ruang Pengembangan:
5. Relevansi terhadap Tren Global dan Industri
6. Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis
Studi ini membuktikan bahwa CHA mampu secara signifikan meningkatkan kekuatan geser tanah lempung plastis tinggi. Penggunaan CHA:
Rekomendasi:
Sumber : Munirwan, R.P.; Taha, M.R.; Mohd Taib, A.; Munirwansyah, M. Shear Strength Improvement of Clay Soil Stabilized by Coffee Husk Ash. Applied Sciences, 2022, 12(11), 5542.
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Pendahuluan: Tantangan Tanah Lunak dan Peran Solusi Geoteknik
Di tengah keterbatasan lahan akibat urbanisasi cepat dan pertumbuhan infrastruktur, para insinyur ditantang untuk membangun di atas tanah lemah seperti tanah lunak, lempung organik, dan tanah urug bekas. Paper karya Brajesh Mishra dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology (Vol. 5, Issue 1, 2016) menyajikan kajian komprehensif mengenai teknik perbaikan tanah (ground improvement) dengan pendekatan mekanik, kimia, biologis, hingga termal, beserta aplikasinya di lapangan.
1. Teknik Mekanis: Meningkatkan Densitas Tanah secara Fisik
1.1 Vibro-flotasi
Studi Kasus:
Menurut Brown (1976), digunakan Suitability Number untuk mengevaluasi bahan isian:
1.2 Dynamic Compaction
1.3 Stone Columns dan Sand Compaction Piles
2. Teknik Kimia dan Fisik: Stabilisasi dengan Campuran dan Injeksi
2.1 Grouting (Penyuntikan Material)
Studi Kasus:
2.2 Soil-Cement dan Fly Ash
2.3 Vitrifikasi
3. Teknik Drainase dan Konsolidasi
3.1 Preloading dan Vertical Drain
3.2 Sand Drain
4. Inovasi: Teknik Perbaikan Tanah Ramah Lingkungan & Canggih
4.1 Mikroba untuk Perkuatan Tanah
4.2 Geosintetik dan Geocell
4.3 Freezing
5. Evaluasi Metode: Kekuatan, Efisiensi, dan Aplikasi
Dalam teknik geoteknik, evaluasi metode meliputi analisis kekuatan, efisiensi, dan aplikasi dari berbagai teknik. Metode seperti vibro-flotasi dan stone column menunjukkan kekuatan tinggi dan efisiensi yang baik untuk pondasi dan infrastruktur, sementara grouting dan freezing menawarkan solusi efisien untuk kondisi tanah yang menantang.
Preloading dengan drain memiliki kedalaman efektif yang lebih rendah, namun tetap memberikan efisiensi yang memadai untuk rehabilitasi lahan rawa. Di sisi lain, penggunaan mikroba sebagai metode baru menunjukkan potensi dalam aplikasi lingkungan, meskipun masih dalam tahap eksperimen. Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan proyek, sehingga pemilihan teknik yang tepat sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal dalam konstruksi dan pengelolaan tanah.
6. Kritik dan Analisis
Kelebihan:
Kekurangan:
7. Opini dan Rekomendasi Strategis
Dalam dunia konstruksi modern, tidak ada satu metode perbaikan tanah yang cocok untuk semua kondisi. Oleh karena itu:
Kesimpulan
Artikel ini membuktikan bahwa teknik perbaikan tanah tidak hanya menjadi solusi alternatif, tapi kebutuhan mendesak dalam dunia konstruksi. Dalam menghadapi keterbatasan lahan dan kondisi tanah yang kompleks, pendekatan multi-metode, inovatif, dan berkelanjutan adalah kunci sukses proyek. Meskipun teknologi terus berkembang, pemilihan metode tetap harus mempertimbangkan parameter lokal, tujuan struktural, dan efisiensi biaya.
Sumber : Brajesh Mishra. A Study on Ground Improvement Techniques and Its Applications. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, Vol. 5, Issue 1, January 2016.
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Itu Krusial?
Dalam industri konstruksi yang kompetitif dan padat modal, produktivitas tenaga kerja menjadi indikator vital keberhasilan proyek. Produktivitas yang tinggi bukan hanya mempercepat waktu penyelesaian proyek, tetapi juga menghemat biaya dan mengurangi pemborosan sumber daya. Salah satu pekerjaan yang sering luput dari perhatian analisis produktivitas adalah pemasangan dinding bata ringan, padahal material ini semakin populer di tengah tren pembangunan vertikal dan efisiensi struktur.
Penelitian oleh Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode Muhamad Nurrakhmad Arsyad menjawab kebutuhan tersebut dengan menganalisis produktivitas tukang dalam pekerjaan pemasangan bata ringan menggunakan acuan Peraturan Menteri PUPR No. 1 Tahun 2022 tentang Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP).
Metodologi: Studi Empiris dengan Pendekatan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan metode survei lapangan langsung pada proyek pembangunan rusun ASN IAIN Kendari. Peneliti mencatat data aktivitas tukang selama 6 hari kerja, mengamati durasi waktu kerja produktif dan non-produktif, serta mengukur volume pekerjaan yang dihasilkan.
Pengukuran produktivitas dilakukan berdasarkan dua kategori:
Tukang Pasang Bata Ringan
Pekerja Pembantu Tukang (Kenek)
Data ini kemudian dibandingkan dengan standar AHSP PUPR No. 1 Tahun 2022 untuk mengetahui kesenjangan antara realita di lapangan dan teori pemerintah.
Hasil dan Temuan Utama
1. Produktivitas Tukang
Hasil Lapangan: Rata-rata 0,66 m²/jam.
Standar PUPR: 0,57 m²/jam.
Produktivitas tukang di proyek ini melampaui standar sebesar 15,8%.
2. Produktivitas Pekerja (Kenek)
Hasil Lapangan: 0,82 m²/jam.
Standar PUPR: 0,72 m²/jam.
Produktivitas pekerja juga lebih tinggi, dengan selisih 13,9%.
3. Durasi Jam Kerja
Waktu kerja efektif per hari: ± 6,65 jam dari total 8 jam.
Aktivitas non-produktif (menunggu bahan, istirahat tidak terjadwal) memakan waktu hingga ± 1,35 jam/hari.
Fakta ini menunjukkan potensi peningkatan efisiensi waktu kerja sebesar 16,9% jika waktu non-produktif bisa ditekan.
Analisis dan Interpretasi Tambahan
Mengapa Produktivitas Lebih Tinggi dari Standar?
Beberapa faktor yang kemungkinan besar mempengaruhi:
Spesialisasi Tenaga Kerja: Pekerja sudah terbiasa dengan metode kerja bata ringan.
Manajemen Proyek yang Efisien: Koordinasi antar divisi dan penyediaan bahan yang tepat waktu meminimalkan waktu tunggu.
Motivasi dan Insentif: Sistem upah harian atau borongan dapat memicu semangat kerja lebih tinggi.
Studi Kasus Tambahan: Proyek Gedung Tinggi di Jakarta
Pada proyek pembangunan apartemen di Jakarta tahun 2023 yang menggunakan bata ringan precast, ditemukan bahwa produktivitas tukang bisa mencapai 0,70–0,75 m²/jam—lebih tinggi dari standar namun sejalan dengan temuan Afrian dkk. Ini menunjukkan bahwa standar pemerintah perlu dievaluasi ulang secara berkala untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi dan kebiasaan lapangan.
Tantangan Umum di Lapangan
Berikut beberapa hambatan umum dalam pekerjaan bata ringan yang dapat menurunkan produktivitas:
Keterlambatan pengadaan bahan bangunan.
Kurangnya pelatihan khusus pemasangan bata ringan.
Penjadwalan kerja yang tidak optimal (misalnya overlap dengan pekerjaan MEP).
Dengan perencanaan yang lebih presisi dan manajemen waktu yang disiplin, hambatan ini bisa ditekan.
Nilai Tambah Penelitian: Relevansi dengan Industri Konstruksi Terkini
1. Validasi Lapangan terhadap Regulasi
Penelitian ini memberikan feedback nyata terhadap AHSP yang digunakan sebagai rujukan seluruh Indonesia. Ketika data aktual di lapangan melebihi standar, ini menandakan potensi efisiensi biaya dan waktu yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam perhitungan RAB (Rencana Anggaran Biaya).
2. Rekomendasi untuk Kontraktor dan Konsultan
Kontraktor dapat menggunakan data ini untuk memetakan estimasi kerja lebih realistis, serta menerapkan sistem insentif berbasis produktivitas aktual.
3. Relevansi terhadap Pembangunan Rendah Emisi
Penggunaan bata ringan yang lebih cepat dan efisien berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dari kegiatan konstruksi, karena waktu proyek yang lebih singkat = konsumsi energi lebih rendah.
Kesimpulan dan Implikasi Praktis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa produktivitas tukang dan pekerja dalam pekerjaan pemasangan bata ringan di proyek studi lebih tinggi dibandingkan standar nasional. Temuan ini memberi insight berharga bahwa standar AHSP PUPR No. 1 Tahun 2022 bisa saja perlu direvisi atau disesuaikan menurut kondisi regional dan kemajuan metode kerja.
Implikasi Praktis:
Bagi Kontraktor: Dapat mengoptimalkan jadwal proyek dan penghitungan tenaga kerja.
Bagi Pemerintah: Perlunya penyusunan AHSP yang lebih dinamis dan berbasis data lapangan terkini.
Bagi Akademisi: Membuka peluang riset lanjutan di bidang benchmarking produktivitas pekerja konstruksi.
Sumber Artikel
Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode Muhamad Nurrakhmad Arsyad. “Analisis Produktivitas Tenaga Kerja pada Pekerjaan Dinding Bata Ringan Berdasarkan PUPR No. 1 Tahun 2022.” Dapat diakses melalui Journal of Advanced Civil Engineering
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Anisa pada 30 April 2025
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Pembangunan Infrastruktur Nasional
Indonesia tengah menghadapi kebutuhan mendesak akan percepatan pembangunan infrastruktur. Dalam konteks itu, sistem pengadaan proyek Design and Build (D&B) mulai dipertimbangkan sebagai pendekatan inovatif untuk menjawab permasalahan keterlambatan proyek, efisiensi anggaran, serta peningkatan kualitas hasil bangunan. Paper oleh Dwijendra (2024) menyelami topik ini secara komprehensif, menelaah efektivitas sistem D&B dalam konteks pembangunan infrastruktur Indonesia yang kompleks dan penuh tantangan birokrasi.
Artikel ini mengulas dan menganalisis secara kritis isi paper tersebut, menambahkan studi kasus, tren terkini, serta implikasi praktis di lapangan agar menjadi rujukan yang informatif dan unik bagi pembaca profesional maupun awam.
Apa Itu Sistem Design and Build?
Berbeda dengan metode konvensional (Design-Bid-Build), sistem D&B menggabungkan perencanaan desain dan pelaksanaan konstruksi dalam satu kontrak. Artinya, satu pihak bertanggung jawab penuh dari awal hingga akhir proyek. Tujuannya adalah menciptakan efisiensi waktu, penghematan biaya, dan peningkatan kualitas proyek.
Kelebihan sistem D&B menurut Dwijendra:
Mengurangi konflik antar pihak (perencana dan pelaksana).
Mempercepat waktu pelaksanaan karena proses desain dan konstruksi bisa dilakukan paralel.
Menekan potensi pembengkakan biaya.
Namun, sistem ini juga menimbulkan tantangan tersendiri, terutama dalam hal pengawasan kualitas, kesenjangan kompetensi, dan potensi monopoli oleh penyedia jasa besar.
Analisis Kontekstual: Mengapa D&B Jadi Pilihan?
Tren Nasional
Dalam proyek-proyek strategis nasional (PSN) seperti jalan tol, bendungan, dan bandara, pendekatan D&B mulai dipilih oleh pemerintah untuk memangkas waktu dan biaya tender yang rumit. Dalam data Bappenas, tercatat bahwa proyek yang menggunakan metode D&B rata-rata selesai 20–25% lebih cepat dibanding metode konvensional.
Studi Kasus: Proyek Jalan Tol Cisumdawu
Proyek Tol Cisumdawu menjadi salah satu contoh penerapan metode D&B yang relatif berhasil. Dalam proyek sepanjang 60 km ini, kolaborasi desain dan konstruksi oleh satu konsorsium mempercepat penyelesaian proyek yang sebelumnya tersendat akibat permasalahan pembebasan lahan dan koordinasi desain.
Temuan Utama dari Paper Dwijendra
Dwijendra menyoroti beberapa temuan kunci yang layak menjadi bahan diskusi lanjutan:
1. Dukungan Regulasi Masih Lemah
Meski Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengakomodasi metode D&B, implementasinya di lapangan masih minim panduan teknis. Akibatnya, banyak pelaksana proyek bingung dalam menerapkan standar operasional (SOP) yang sesuai.
2. Rendahnya Kapasitas SDM
Mayoritas instansi pemerintah daerah belum siap mengelola proyek D&B karena kurangnya pemahaman teknis serta lemahnya sistem manajemen risiko.
3. Konflik Peran Pengawas
Karena desain dan pelaksanaan dilakukan oleh satu entitas, potensi konflik kepentingan meningkat. Fungsi pengawasan cenderung lemah, karena tidak ada pihak independen yang benar-benar netral.
4. Efektivitas Biaya Belum Konsisten
Meski D&B diklaim mampu menekan biaya, dalam beberapa kasus justru terjadi cost overrun akibat spesifikasi desain berubah selama proses berjalan. Ini menunjukkan perlunya perencanaan yang lebih matang sejak awal.
Perbandingan dengan Sistem Internasional
Di Amerika Serikat dan Inggris, metode D&B telah menjadi praktik umum, terutama dalam proyek sektor swasta dan militer. Perbedaannya terletak pada:
Kematangan regulasi.
Adanya lembaga independen pengontrol kualitas.
Penggunaan teknologi Building Information Modeling (BIM) yang membuat desain terintegrasi dan transparan.
Indonesia, menurut penulis, belum optimal dalam aspek tersebut. BIM masih belum diadopsi luas, dan belum ada badan audit proyek yang terintegrasi digital.
Tantangan di Indonesia: Birokrasi, Korupsi, dan Kesenjangan Kapasitas
Salah satu kendala besar adalah struktur birokrasi yang lamban serta potensi praktik korupsi dalam proses pengadaan. Dalam Laporan ICW tahun 2023, pengadaan barang/jasa masih menjadi sektor dengan potensi korupsi terbesar. Sistem D&B, jika tidak diawasi ketat, bisa membuka celah lebih besar karena kontrol teknis yang minim.
Rekomendasi Praktis dari Dwijendra
Dwijendra menyarankan reformasi besar-besaran dalam sistem pengadaan, dengan beberapa poin kunci:
Peningkatan kapasitas SDM pengelola proyek di daerah.
Penyusunan pedoman teknis khusus proyek D&B.
Pelibatan lembaga pengawas independen.
Adopsi sistem digital seperti e-procurement dan BIM.
Pandangan Kritis & Nilai Tambah
Meski Dwijendra menyajikan kajian yang solid, ada beberapa hal yang bisa dipertajam:
Belum adanya kuantifikasi dampak D&B di proyek-proyek gagal. Kajian lebih dalam soal risiko kegagalan D&B perlu dilakukan, misalnya dalam konteks proyek rusunawa yang desainnya buruk dan tak bisa dihuni.
Minimnya pendekatan studi ekonomi. Apakah D&B memang efisien secara makroekonomi, atau hanya terlihat lebih cepat dalam jangka pendek?
Dampak Strategis untuk Indonesia
Dengan masuknya Ibu Kota Negara (IKN) dan ratusan proyek PSN lainnya, sistem pengadaan yang cepat, efisien, dan adaptif sangat krusial. D&B bisa menjadi solusi—jika dan hanya jika—peraturan, sumber daya manusia, dan sistem pengawasan dibenahi.
Jika tidak, sistem ini justru bisa menjadi alat legitimasi praktik korupsi yang lebih terstruktur, di mana satu entitas mengendalikan seluruh proses tanpa kontrol eksternal yang memadai.
Kesimpulan: Menuju D&B yang Cerdas dan Transparan
Paper karya Dwijendra menjadi pengingat penting bahwa inovasi dalam sistem pengadaan proyek tidak cukup hanya di atas kertas. D&B hanya akan efektif jika dibarengi dengan:
Peningkatan kapasitas lembaga publik,
Reformasi regulasi,
Integrasi teknologi digital,
Dan, tentu saja, akuntabilitas dalam setiap tahap.
Sistem Design and Build bisa menjadi masa depan pengadaan proyek di Indonesia—tapi hanya jika dijalankan dengan visi yang jelas, etika yang kuat, dan kontrol yang tepat.
Sumber Asli Paper
Ngakan Ketut Acwin Dwijendra. (2024). Kajian Sistem Pengadaan Proyek Design and Build dalam Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Diakses dari: ResearchGate Link
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi (Construction Labour Productivity/CLP) telah menjadi isu sentral dalam sektor konstruksi global. Dibandingkan dengan industri lain, pertumbuhan produktivitas di sektor ini justru mengalami stagnasi atau bahkan penurunan dalam beberapa dekade terakhir. Artikel yang diulas ini menawarkan pendekatan ilmiah berbasis bibliometrik dan scientometrik untuk memetakan arah, tren, dan kesenjangan dalam riset CLP selama sepuluh tahun terakhir (2012–2021), berdasarkan data dari basis Scopus.
Penelitian ini tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga memiliki dampak langsung pada efisiensi proyek, strategi perusahaan konstruksi, hingga kebijakan nasional yang menyangkut pembangunan infrastruktur.
Metodologi: Analisis Bibliometrik dan Scientometrik sebagai Alat Strategis
Penulis memanfaatkan perangkat lunak VOSviewer untuk mengidentifikasi pola, jaringan kolaborasi, kata kunci dominan, dan publikasi yang paling berpengaruh dalam bidang CLP. Sebanyak 528 artikel awalnya ditemukan, namun setelah disaring sesuai kriteria inklusi (artikel jurnal dan prosiding, berbahasa Inggris, relevan dengan topik), 460 artikel dianalisis lebih lanjut.
Langkah ini penting karena memperbaiki kelemahan pada pendekatan review tradisional yang bersifat subjektif. Dengan pendekatan visualisasi jaringan ilmiah, pembaca dapat memahami bagaimana riset berkembang, siapa yang paling aktif, dan area mana yang masih kurang tersentuh.
Temuan Utama: Dimensi Ilmiah dan Praktis
1. Dominasi Negara dan Institusi
Amerika Serikat, Australia, dan Kanada adalah tiga negara dengan kontribusi artikel terbanyak. Namun, dari segi average citations, Hong Kong menempati posisi tertinggi, menunjukkan bahwa kualitas dan pengaruh publikasinya lebih tinggi secara relatif.
2. Penulis dan Kolaborator Kunci
P.M. Goodrum adalah penulis paling produktif (24 artikel; 1.321 sitasi).
Kolaborasi kuat terlihat antara Goodrum, Caldas, dan Zhai, yang memengaruhi diskursus global mengenai CLP.
3. Jurnal Paling Berpengaruh
Journal of Construction Engineering and Management memimpin dari segi jumlah publikasi.
Automation in Construction menjadi rujukan utama terkait inovasi dan teknologi.
4. Tren Kata Kunci dan Area Baru
Dari analisis ko-occurence kata kunci, tren terbaru mencakup:
Lean construction
Variabilitas produktivitas
Inovasi dan prefabrikasi
Total factor productivity
Motivasi tenaga kerja
Ini menunjukkan bahwa riset CLP mulai beralih dari sekadar identifikasi faktor penghambat ke arah pemodelan prediktif, teknologi digital, dan pendekatan sistemik.
Studi Kasus & Data Penting
Beberapa publikasi dengan dampak tinggi dalam 5 tahun terakhir yang dikaji:
De Soto et al. (2018): Menganalisis efisiensi pembangunan dinding beton menggunakan robotik – hasilnya menunjukkan bahwa metode fabrikasi digital memberikan efisiensi waktu dan biaya signifikan (157 sitasi).
Hwang et al. (2017): Mengkaji proyek gedung hijau di Singapura – faktor seperti pengalaman pekerja dan perubahan desain menjadi hambatan produktivitas utama.
Yi & Chan (2017): Menghubungkan heat stress dengan produktivitas pekerja baja di Hong Kong – temuan menunjukkan bahwa suhu kerja tinggi menurunkan efisiensi kerja secara drastis.
Nilai Tambah & Opini Kritis
1. Kritik terhadap Pendekatan Penelitian
Mayoritas studi CLP menggunakan pendekatan kuantitatif, seperti survei kuesioner. Padahal, faktor-faktor produktivitas bersifat kontekstual dan seharusnya diselidiki terlebih dahulu secara kualitatif, sesuai kondisi proyek dan wilayah. Ketergantungan pada faktor dari literatur bisa membuat temuan menjadi repetitif dan tidak aplikatif.
2. Kurangnya Pendekatan Sistemik
Faktor-faktor CLP tidak berdiri sendiri. Ketiadaan pendekatan sistem berpikir (system thinking) menyebabkan banyak solusi yang ditawarkan bersifat parsial. Penulis menyarankan penggunaan Causal Layered Analysis (CLA) dan integrasi BIM, VR/AR untuk menjawab tantangan kompleks ini.
3. Tantangan Nyata di Industri
Studi ini sangat relevan dalam konteks Indonesia. Di tengah percepatan pembangunan infrastruktur, isu rendahnya produktivitas pekerja tetap menjadi masalah klasik. Faktor seperti upah rendah, pelatihan minim, hingga manajemen proyek yang kurang adaptif terhadap teknologi perlu diatasi secara menyeluruh.
Implikasi Praktis bagi Industri
Bagi kontraktor, arsitek, dan manajer proyek, studi ini menegaskan bahwa:
Efisiensi tenaga kerja adalah refleksi langsung dari manajemen proyek.
Variabilitas produktivitas harus dimonitor bukan hanya sebagai angka, tetapi sebagai indikator kesehatan sistem kerja.
Motivasi pekerja melalui insentif berbasis kinerja, lingkungan kerja layak, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perlu ditingkatkan.
Studi ini juga menjadi panduan bagi pemerintah untuk menyusun regulasi tenaga kerja konstruksi berbasis data ilmiah, bukan asumsi.
Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Penulis menyarankan lima arah penelitian baru:
Menyelidiki akar penyebab (bukan hanya gejala) dari penurunan produktivitas.
Menggunakan pendekatan metodologi inovatif seperti CLA.
Mendahulukan riset kualitatif sebelum survei kuantitatif.
Mengadopsi teknologi digital seperti BIM dan sensor lapangan untuk monitoring.
Eksplorasi lanjutan terhadap emerging themes seperti prefabrikasi dan benchmarking.
Penutup: Refleksi Strategis
Artikel ini layak diapresiasi karena menyatukan berbagai potongan besar dari puzzle penelitian produktivitas konstruksi menjadi satu peta utuh. Pendekatan bibliometrik memberikan perspektif objektif, sementara pembahasan kualitatif di akhir memperkaya pemahaman kita terhadap konteks.
Sebagai bangsa yang tengah giat membangun, Indonesia bisa mengambil pelajaran besar dari riset ini: tanpa reformasi dalam pengelolaan produktivitas tenaga kerja, percepatan pembangunan hanya akan menjadi beban, bukan kemajuan.
Sumber:
Adebowale, O.J., & Agumba, J.N. (2023). A scientometric analysis and review of construction labour productivity research. International Journal of Productivity and Performance Management, 72(7), 1903–1923. https://doi.org/10.1108/IJPPM-09-2021-0505