Tantangan Hukum

Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin

Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.

Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya

Indus Basin: Lifeline yang Terancam

  • Pakistan adalah salah satu negara paling rawan air di dunia, mendekati ambang kelangkaan air dengan populasi lebih dari 220 juta jiwa dan pertumbuhan pesat1.
  • Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi Pakistan, sangat bergantung pada aliran Sungai Indus dan anak-anak sungainya, yang sebagian besar hulunya berada di India1.
  • Konflik air antara India (upper riparian) dan Pakistan (lower riparian) telah berlangsung sejak kemerdekaan, diperparah oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan persaingan antarprovinsi di Pakistan sendiri1.

Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik

  • IWT ditandatangani pada 1960 dengan mediasi Bank Dunia, membagi sungai menjadi “Western Rivers” (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan dan “Eastern Rivers” (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India, namun tetap menyisakan hak terbatas bagi India di sungai barat untuk pembangkit listrik dan irigasi1.
  • IWT bertahan melewati tiga perang besar, namun kini dianggap kaku dan tidak responsif terhadap tantangan modern seperti perubahan iklim, pembangunan dam baru, dan kebutuhan ekosistem1.
  • Kritik utama: IWT hanya membagi volume air, bukan prinsip “equitable sharing”; mekanisme penyelesaian sengketa yang lamban dan sering buntu; serta tidak adanya mekanisme adaptif terhadap perubahan kondisi hidrologi1.

Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan

1. Proyek Dam dan Sengketa Data

  • Baglihar Dam (India) dan Kishenganga Project menjadi contoh nyata di mana Pakistan menggugat India atas dugaan pelanggaran IWT. Namun, hasil arbitrase kerap tidak sepenuhnya memuaskan Pakistan, menandakan keterbatasan IWT dalam melindungi kepentingan negara hilir1.
  • India, sebagai negara hulu, mengendalikan headworks dan dapat mempengaruhi aliran air ke Pakistan, menimbulkan kekhawatiran akan “water blackmail” sebagai alat tekanan politik1.
  • Perselisihan data debit, pembangunan dam tanpa konsultasi, dan dugaan pengurangan aliran air ke Pakistan menjadi isu berulang, diperparah oleh minimnya transparansi dan pertukaran data1.

2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian

  • Krisis air di Sindh: Provinsi Sindh di Pakistan kerap mengalami kekeringan dan kelangkaan air akibat fluktuasi aliran Indus, diperparah oleh perubahan iklim dan pembangunan dam di India1.
  • Banjir dan kekeringan ekstrim: Variasi curah hujan dan debit sungai yang semakin ekstrem mengancam ketahanan pangan dan ekonomi Pakistan, menuntut mekanisme tata kelola air yang lebih adaptif dan kolaboratif1.

Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan

1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara

  • CIL menegaskan bahwa negara-negara riparian (baik hulu maupun hilir) berhak berbagi penggunaan sungai internasional secara setara, terlepas ada atau tidaknya perjanjian formal1.
  • Lake Lanoux Arbitration dan putusan ICJ dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros menegaskan prinsip “community of interest”—tidak ada satu negara pun yang dapat memveto hak negara lain atas sungai bersama1.
  • India sendiri, dalam perjanjian dengan Nepal (Mahakali Treaty) dan Bangladesh (Ganges Treaty), mengakui prinsip hak setara dan “optimum utilization” air lintas negara, yang secara doktrinal juga berlaku bagi Pakistan1.

2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization

  • CIL, melalui Helsinki Rules, Berlin Rules, dan UN Watercourses Convention, mengatur bahwa setiap negara riparian berhak menggunakan air secara “adil dan wajar” (equitable and reasonable), mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi kedua belah pihak1.
  • Putusan ICJ dalam kasus Hungary v Slovakia (Gabcikovo-Nagymaros) dan Pulp Mills menegaskan bahwa prinsip ini adalah “basic right” dalam hukum internasional1.
  • Dalam praktiknya, “adil” tidak selalu berarti “sama rata” secara kuantitas. Pakistan harus membuktikan bahwa porsi sekitar 80% air Indus yang diterimanya memang adil dan wajar menurut faktor-faktor yang diakui CIL1.

3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)

  • Negara hulu (India) wajib mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kerugian signifikan (significant harm) pada negara hilir (Pakistan), baik secara sengaja maupun karena kelalaian1.
  • Prinsip ini ditegaskan dalam Trail Smelter Arbitration, ICJ (Pulp Mills, Costa Rica v Nicaragua), Stockholm Declaration, dan Rio Declaration1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam atau proyek yang mengurangi debit atau mencemari air ke Pakistan dapat menjadi dasar klaim hukum berdasarkan prinsip ini1.

4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data

  • CIL mewajibkan negara-negara riparian untuk saling bekerja sama, berkonsultasi, dan berbagi data secara reguler terkait kondisi sungai, kualitas air, dan rencana pembangunan yang berpotensi berdampak lintas batas1.
  • Watercourses Convention (Pasal 8–9), Helsinki Rules, Berlin Rules, dan berbagai resolusi PBB menegaskan pentingnya mekanisme konsultasi, notifikasi, dan pertukaran data secara transparan1.
  • Dalam praktiknya, India telah menerapkan mekanisme serupa dengan Bhutan dan China untuk berbagi data hidrologi, namun seringkali enggan melakukannya dengan Pakistan, menimbulkan ketimpangan dan kecurigaan1.

5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai

  • Negara-negara riparian wajib melindungi ekosistem sungai, mencegah polusi, dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di sepanjang aliran sungai1.
  • India, melalui Water Act 1974 dan putusan Mahkamah Agungnya, bahkan telah memberikan status “legal person” pada Sungai Ganges dan Yamuna, menegaskan pentingnya perlindungan lingkungan1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam dan polusi di hulu yang berdampak ke hilir dapat menjadi dasar klaim lingkungan oleh Pakistan1.

6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai

  • CIL dan berbagai konvensi internasional menegaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan sengketa air secara damai melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau forum hukum internasional seperti ICJ1.
  • IWT sendiri menyediakan mekanisme multi-level (negosiasi, arbitrase, panel ahli), namun seringkali prosesnya lambat dan tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa kontemporer1.

Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis

Kekuatan Argumen dan Studi Kasus

  • Paper ini secara meyakinkan menegaskan bahwa Pakistan memiliki hak-hak kuat di bawah CIL yang tetap berlaku meski IWT dianggap usang atau tidak memadai1.
  • Studi kasus Baglihar dan Kishenganga menunjukkan bahwa meski arbitrase internasional cenderung menafsirkan IWT secara sempit, prinsip-prinsip CIL tetap menjadi rujukan utama dalam interpretasi dan pengambilan keputusan1.
  • Praktik India dalam perjanjian air dengan negara lain (Nepal, Bangladesh, Bhutan) memperkuat argumen bahwa prinsip CIL bersifat universal dan berlaku timbal balik (prinsip estoppel)1.

Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL

  • Kelemahan utama: CIL tidak memiliki mekanisme penegakan yang kuat. Tanpa persetujuan kedua negara untuk membawa sengketa ke ICJ atau arbitrase, implementasi hak-hak CIL sangat bergantung pada goodwill dan diplomasi1.
  • Konteks politik: Sengketa Kashmir, rivalitas militer, dan sentimen nasionalisme sering membayangi negosiasi air, membuat kerja sama dan kompromi sulit tercapai1.
  • Keterbatasan IWT: Meski IWT dianggap outdated, kekuatan utamanya justru pada mekanisme penyelesaian sengketa yang tetap terbuka, meski lambat. Tanpa IWT, implementasi CIL akan jauh lebih sulit dan rawan deadlock1.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Global

  • Tren global: Negara-negara lain seperti di Mekong, Danube, dan Nil mulai beralih ke model “benefit sharing” dan pengelolaan adaptif berbasis ekosistem, bukan sekadar pembagian volume air1.
  • Studi lain: Penelitian Eckstein & Sindico (2014) dan Zeitoun et al. (2016) menekankan pentingnya insentif ekonomi, tekanan publik, dan kolaborasi multipihak untuk memperkuat implementasi CIL dalam tata kelola air lintas negara1.

Opini dan Rekomendasi Penulis

  • Pakistan sebaiknya mendorong amandemen atau renegosiasi IWT agar lebih responsif terhadap prinsip CIL dan tantangan modern (perubahan iklim, ekosistem, kebutuhan sosial-ekonomi)1.
  • Ratifikasi konvensi global seperti UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention dapat memperkuat posisi hukum Pakistan di forum internasional1.
  • Diplomasi air yang proaktif, transparansi data, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) menjadi kunci menuju tata kelola air yang adil dan berkelanjutan di Indus Basin1.

Relevansi Industri dan Tren Kebijakan

1. Industri Pertanian dan Energi

  • Ketergantungan Pakistan pada sektor pertanian dan PLTA berbasis Indus menuntut kepastian pasokan air jangka panjang. Sengketa air dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan dan energi nasional1.
  • Industri agribisnis dan manufaktur di Pakistan juga sangat rentan terhadap fluktuasi debit sungai akibat pembangunan dam di hulu1.

2. Digitalisasi dan Transparansi Data

  • Tren global menuju digitalisasi data hidrologi, pemantauan real-time, dan platform kolaboratif lintas negara dapat memperkuat transparansi dan mitigasi risiko sengketa air1.
  • Pakistan dan India perlu mengadopsi teknologi ini untuk membangun kepercayaan dan meminimalkan kecurigaan1.

3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air

  • Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan LSM sangat penting untuk mendorong solusi inovatif dalam pengelolaan air lintas negara1.
  • Diplomasi air yang mengedepankan “benefit sharing” dan perlindungan ekosistem dapat menjadi jalan keluar dari deadlock politik yang berkepanjangan1.

Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin

  1. Amandemen atau Renegosiasi IWT
    Dorong pembaruan IWT agar mengadopsi prinsip CIL, memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, dan memperhatikan kebutuhan ekosistem serta perubahan iklim1.
  2. Ratifikasi Konvensi Global
    Pakistan dan India sebaiknya meratifikasi UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention untuk memperkuat kerangka hukum dan mekanisme implementasi1.
  3. Transparansi dan Pertukaran Data
    Bangun sistem pertukaran data hidrologi yang real-time, transparan, dan dapat diakses kedua negara serta publik untuk membangun kepercayaan dan mitigasi risiko1.
  4. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Proaktif
    Libatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) dalam perumusan kebijakan dan implementasi tata kelola air lintas negara1.
  5. Fokus pada Perlindungan Ekosistem
    Integrasikan perlindungan ekosistem dan adaptasi perubahan iklim dalam setiap kebijakan dan proyek pembangunan di Indus Basin1.

Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin

Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.

Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.

Selengkapnya
Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Tantangan Hukum

Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.

Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato

Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting

  • Deforestasi Masif: Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara 2021–2023, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melakukan deforestasi 1.105 hektare hutan alam, sementara PT Inti Global Laksana (IGL) membabat 36 hektare hutan alam di Gorontalo. Kedua perusahaan ini memasok bahan baku utama untuk PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), produsen wood pellet terbesar di Gorontalo1.
  • Volume dan Nilai Ekspor: Data PT Equality Indonesia mencatat, sepanjang Februari–Desember 2023, PT BJA mengekspor 95.253.282 kg wood pellet senilai USD 12.990.019. Pada Februari–Agustus 2024, ekspor melonjak ke 124.980.503 kg dengan nilai USD 17.052.6751.
  • Ekspor ke Luar Negeri: Ekspor wood pellet Gorontalo mayoritas menuju Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang tengah agresif mengadopsi biomassa untuk transisi energi mereka. Jepang menargetkan 3,7–4,6% bauran energi 2030 berasal dari biomassa, sedangkan Korea Selatan menargetkan 20% energi terbarukan pada 20301.
  • Transhipment Ilegal: Pelet kayu diekspor melalui pelabuhan khusus BJA di Desa Trikora, Pohuwato, lalu dipindahkan (transhipment) ke kapal asing di tengah laut, di zona inti kawasan konservasi perairan—wilayah penting bagi perlindungan gurita dan mata pencaharian Suku Bajo Torosiaje1.

Modus Pelanggaran dan Unreported Logging

  • Pemalsuan Dokumen: Investigasi menemukan pemalsuan dokumen angkutan kayu, manipulasi jenis kayu, serta penggunaan perusahaan “pinjam bendera” tanpa sertifikat legalitas (V-Legal) untuk mengekspor kayu olahan1.
  • Unreported Export: Ekspor wood pellet tidak tercatat dalam Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga diduga kuat terjadi praktik unreported logging dan penghindaran pajak1.
  • Transhipment di Wilayah Konservasi: Proses pemindahan muatan di tengah laut, tanpa pemeriksaan bea cukai resmi (port to port), menambah indikasi pelanggaran hukum nasional dan internasional (UNCLOS)1.

Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan

Kerangka Hukum Nasional

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menjadi dasar hukum utama pencegahan illegal logging. Pasal 12 UU P3H melarang penebangan, pengangkutan, dan perdagangan hasil hutan tanpa izin serta tanpa dokumen sah (SKSHH)1.
  • Sanksi Berat: Pelaku illegal logging, termasuk korporasi, terancam pidana penjara 10–15 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Untuk pelanggaran pengangkutan tanpa SKSHH, ancaman penjara 1–5 tahun dan denda Rp 500 juta–2,5 miliar; untuk korporasi, 5–15 tahun dan denda Rp 5–15 miliar1.
  • Penyelundupan dan Pemalsuan: Modus pemalsuan dokumen diatur dalam KUHP Pasal 263–276, sedangkan pengangkutan kayu tanpa dokumen sah masuk dalam delik pidana kehutanan khusus1.

Masalah Penegakan Hukum

  • Jaringan Terorganisir: Perdagangan kayu ilegal termasuk kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan banyak pihak, mulai dari perusahaan, oknum pejabat, hingga jaringan internasional. Penegakan hukum kerap terhambat oleh lemahnya pengawasan, kolusi, dan celah regulasi1.
  • Kasus Unreported Logging: Praktik unreported logging sulit diberantas karena pengawasan lemah, dokumen mudah dimanipulasi, dan sistem pelaporan ekspor tidak transparan. Modus seperti “dokumen terbang” dan transhipment di laut lepas memperburuk situasi1.
  • Kerugian Negara: Kerugian akibat illegal logging di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 30,42 triliun per tahun, belum termasuk kerugian ekologis dan sosial1.

Aspek Hukum Internasional

  • UNCLOS dan Transhipment: Menurut UNCLOS, negara pantai berhak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di wilayah yurisdiksinya, termasuk menaiki, memeriksa, dan menangkap kapal pelaku transhipment ilegal. Namun, yurisdiksi di laut lepas tetap menjadi tantangan, sehingga penegakan hukum harus melibatkan negara bendera kapal dan kerja sama internasional1.

Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas

Kerusakan Ekologis

  • Deforestasi dan Hilangnya Biodiversitas: Sepanjang 2017–2023, Gorontalo kehilangan 35.770,36 hektare hutan alam. Dari 693.795 hektare hutan alam yang tersisa (57% dari luas daratan), 10 izin konsesi hutan (282.100 hektare) disiapkan untuk proyek bioenergi. Deforestasi ini mengancam keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, dan ketahanan ekosistem1.
  • Emisi Karbon: Alih-alih menurunkan emisi, produksi wood pellet dari hutan alam justru menghasilkan emisi karbon baru akibat deforestasi, bertentangan dengan prinsip transisi energi berkelanjutan1.

Dampak Sosial dan Konflik Agraria

  • Konflik Lahan: Data Walhi 2018 mencatat 85 konflik SDA di bidang kehutanan di enam provinsi, dengan 91,14% melibatkan masyarakat versus perusahaan/pemerintah. Sengketa agraria di Gorontalo berpotensi meningkat seiring ekspansi konsesi untuk wood pellet1.
  • Kehilangan Mata Pencaharian: Zona konservasi perairan yang menjadi lokasi transhipment adalah wilayah tangkap gurita Suku Bajo Torosiaje. Aktivitas ekspor ilegal mengancam ekonomi lokal dan keberlanjutan komunitas pesisir1.

Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan

Greenwashing dalam Transisi Energi

Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.

Perbandingan dengan Studi Lain

Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.

Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan

Langkah Preventif

  • Audit dan Moratorium: Pemerintah harus segera mengaudit seluruh aktivitas produksi wood pellet, terutama yang berbasis hutan alam, dan memberlakukan moratorium ekspansi hingga ada jaminan legalitas dan keberlanjutan1.
  • Reformasi Sistem Legalitas: Perbaiki sistem SILK dan sertifikasi V-Legal agar tidak mudah dimanipulasi; pastikan seluruh rantai pasok kayu tercatat dan transparan.
  • Peningkatan Peran Masyarakat: Libatkan masyarakat lokal dalam pengawasan, pelaporan, dan pengelolaan hutan lestari.

Langkah Represif

  • Penegakan Hukum Tegas: Proses hukum harus menyasar korporasi, bukan hanya pelaku lapangan. Sanksi pidana dan denda maksimal harus diterapkan, termasuk pencabutan izin dan sertifikat legalitas bagi perusahaan pelanggar1.
  • Patroli dan Pengawasan Terpadu: Tingkatkan patroli hutan dan pengawasan pelabuhan, serta perkuat kerja sama dengan lembaga internasional untuk memberantas transhipment ilegal.

Transformasi Kebijakan Energi

  • Transisi Energi yang Adil: Hentikan program biomassa yang berbasis deforestasi. Fokus pada pengembangan energi terbarukan lain seperti surya, angin, dan hutan tanaman energi yang benar-benar berkelanjutan1.
  • Kolaborasi Multi Pihak: Bangun kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, LSM, dan sektor swasta untuk memastikan tata kelola hutan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.

Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268

Selengkapnya
Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Sumber Daya Air

Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global

Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.

Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.

Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi

Fakta dan Angka Kunci

  • Ketersediaan Air: Pada 2030, rata-rata ketersediaan air per kapita di MENA diperkirakan turun di bawah 500 m³/tahun—ambang batas kelangkaan absolut menurut Falkenmark Index12.
  • Pertumbuhan Penduduk: Dari 100 juta (1960) menjadi 450 juta (2018), diproyeksikan 720 juta (2050)12.
  • Kebutuhan Tambahan: Pada 2050, dibutuhkan tambahan 25 miliar m³ air per tahun, setara membangun 65 instalasi desalinasi raksasa seperti Ras Al Khair di Arab Saudi1.
  • Penggunaan Air: 83% air di kawasan digunakan untuk irigasi pertanian, jauh di atas rata-rata global 70%, meski kontribusi sektor ini terhadap PDB terus menurun2.
  • Kerugian Ekonomi: Jika tidak ada perubahan, krisis air dapat memangkas 6–14% PDB kawasan pada 2050, jauh di atas rata-rata global (<1%)24.
  • Kebocoran dan Pemborosan: Lebih dari 30% air yang diproduksi utilitas air hilang akibat kebocoran, meteran rusak, atau pencurian12.

Dampak Sosial dan Politik

  • Migrasi dan Urbanisasi: Kekurangan air mendorong migrasi dari desa ke kota, memperparah tekanan pada infrastruktur perkotaan4.
  • Konflik dan Instabilitas: Persaingan air memicu ketegangan antarnegara, konflik domestik, hingga protes massal terkait kenaikan tarif air54.
  • Ketidaksetaraan: Akses air di perkotaan bisa mencapai 95%, namun di pedesaan hanya 63% (kasus Maroko), memperlebar jurang kesenjangan5.

Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab

1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian

Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.

2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif

Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.

3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”

UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.

Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust

1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi

Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.

2. Kegagalan Regulasi dan Insentif

  • Tarif Air Rendah: Tarif air di MENA termasuk terendah di dunia, didorong keengganan politik menaikkan harga karena takut protes34.
  • Subsidi Membebani Fiskal: Negara menanggung subsidi besar, namun kualitas layanan tetap buruk sehingga masyarakat lebih memilih air kemasan atau truk air mahal24.
  • Utilitas Tidak Mandiri: Hanya dua utilitas air di MENA yang mampu menutupi biaya operasionalnya sendiri, sisanya defisit dan tergantung subsidi pemerintah1.

3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi

  • Legitimasi: Negara gagal mendapatkan kepatuhan sukarela masyarakat atas pembatasan atau kenaikan tarif air. Aturan pembatasan irigasi sering diabaikan petani karena dianggap tidak adil atau tidak konsisten12.
  • Trust: Ketidakpercayaan antara masyarakat, utilitas, dan pemerintah memperparah siklus kegagalan. Banyak warga menolak membayar tagihan karena tidak yakin akan ada perbaikan layanan1.

Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi

1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan

Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.

2. Reformasi Manajemen Utilitas

  • Otonomi dan Insentif: Memberikan otonomi lebih ke manajemen utilitas, memperbaiki insentif kinerja, dan membangun budaya profesional berbasis kepercayaan internal dapat meningkatkan efisiensi dan layanan1.
  • Keterbukaan Data: Publikasi laporan keuangan dan kinerja utilitas secara terbuka dapat membangun kepercayaan publik dan menarik investasi1.

3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik

Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.

4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi

Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur

Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • Australia dan AS: Negara-negara seperti Australia dan bagian barat AS telah mencoba pasar air (water trading) dengan pengawasan ketat. Namun, penerapan di MENA lebih rumit karena pluralisme hukum dan hak air berbasis adat1.
  • Argentina: Studi privatisasi air di Buenos Aires menunjukkan keberhasilan menurunkan kematian anak, namun hanya jika regulasi dan transparansi kuat. Tanpa pengawasan, privatisasi bisa gagal1.

Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru

Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.

Tantangan Implementasi dan Rekomendasi

Tantangan Utama

  • Resistensi Politik: Pemerintah takut kehilangan dukungan jika menaikkan tarif atau membatasi irigasi.
  • Kapasitas Lokal: Pemerintah daerah sering kekurangan kapasitas teknis dan keuangan.
  • Ketidaksetaraan: Reformasi berisiko memperlebar kesenjangan jika tidak disertai perlindungan sosial.

Rekomendasi Strategis

  • Audit dan Evaluasi Kelembagaan: Lakukan audit menyeluruh atas utilitas air dan sistem distribusi.
  • Peningkatan Kapasitas Lokal: Investasi dalam pelatihan, teknologi, dan sistem informasi untuk pemerintah daerah.
  • Transparansi dan Partisipasi: Libatkan masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan air.
  • Inovasi Teknologi: Kembangkan teknologi hemat air, daur ulang, dan digitalisasi sistem pemantauan.
  • Kolaborasi Regional: Negara-negara MENA perlu memperkuat kerja sama lintas batas dalam pengelolaan air bersama.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air

Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.

Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.

Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.

Selengkapnya
Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Sumber Daya Air

River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Sungai sebagai Nadi Peradaban Asia

Sungai selalu menjadi pusat kehidupan, budaya, dan spiritualitas di Asia, terutama di Tiongkok dan India. Dalam bab “River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications” oleh Yixin Cao dan Alvin M. Vazhayil (2023), penulis mengupas secara mendalam bagaimana sungai membentuk peradaban, menghadapi tantangan modern, serta bagaimana kedua negara berupaya menyelamatkan warisan sungai mereka. Resensi ini akan membedah isi paper dengan mengaitkan data, studi kasus, dan tren global, serta memberikan analisis kritis dan opini untuk memperkaya perspektif pembaca.

Makna Sungai dalam Budaya Tiongkok dan India

Sungai di Tiongkok dan India bukan sekadar sumber air, melainkan juga simbol identitas, spiritualitas, dan kekuatan alam. Di Tiongkok, sungai seperti Yangtze dan Yellow River dijuluki “Mother River”, menjadi sumber inspirasi sastra, filosofi, dan ritual. Di India, sungai seperti Ganga dan Yamuna dipuja sebagai dewi, pusat ritual keagamaan, dan dipercaya mampu memberikan pembebasan spiritual (moksha).

Kedua negara memiliki kekayaan sungai yang luar biasa. Tiongkok tercatat memiliki lebih dari 45.000 sungai dengan total panjang 1,6 juta km, sementara India memiliki 14 sungai besar dan empat tipe utama sungai yang menopang hampir 60% penduduknya. Sungai-sungai ini menjadi fondasi pertanian, kota, perdagangan, hingga seni dan sastra.

Studi Kasus: Krisis Ekologi dan Budaya Sungai

Degradasi Ekosistem dan Budaya

Krisis ekologi melanda kedua negara. Data dari paper menunjukkan bahwa biodiversitas air tawar global menurun 84% sejak 1970, bahkan hingga 97% untuk spesies ikan besar di sungai-sungai Asia. Tiongkok kini memiliki lebih dari 23.000 bendungan besar, sementara India 4.400—fragmentasi sungai akibat dam dan kanal sangat masif.

Di Tiongkok, pembangunan Three Gorges Dam berdampak besar: 13 kota, 140 kota kecil, dan lebih dari 1.300 desa tenggelam; panen ikan alami di Yangtze turun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, dan beberapa spesies punah. Urbanisasi ekstrem di kota seperti Shenzhen mengubah 80% sungai menjadi kanal beton, menghilangkan karakter alami dan budaya sungai.

Di India, polusi air menjadi masalah akut. Jumlah sungai tercemar melonjak dari 150 pada 2009 menjadi 302 pada 2015. Sungai Yamuna dan Ganga kini sangat tercemar limbah domestik dan industri. Di Delhi, perikanan air tawar turun 68% antara 2002–2016. Ritual keagamaan dan festival justru memperparah polusi, karena limbah persembahan dan mandi massal masuk ke sungai tanpa pengolahan.

Dinamika Sosial dan Politik Sungai

Tiongkok: Modernisasi dan Homogenisasi

Modernisasi di Tiongkok seringkali mengorbankan keaslian budaya sungai. Sistem polder tradisional di Delta Yangtze hilang, situs arkeologi tenggelam, dan relokasi massal akibat proyek bendungan memutus hubungan komunitas minoritas dengan sungai. Pariwisata masif di beberapa sungai justru memperparah pencemaran dan menghilangkan karakter lokal.

India: Urbanisasi, Ketimpangan, dan Ritual

Di India, urbanisasi dan migrasi besar-besaran menyebabkan keterputusan budaya antara manusia dan sungai. Warga miskin tinggal di bantaran sungai yang tercemar, sementara kelas menengah dan atas seringkali hanya mengadvokasi pelestarian tanpa benar-benar mengubah gaya hidup konsumtif yang memperparah polusi. Ritual keagamaan, meski memperkuat identitas budaya, juga berkontribusi pada pencemaran sungai.

Tantangan dan Upaya Pemulihan Sungai

Motivasi Global dan Lokal

Perubahan iklim memperburuk krisis sungai. India masuk 13 besar negara dengan stres air tertinggi, sedangkan Tiongkok peringkat 56. Suhu di DAS Ganges naik 0,5°C dalam 100 tahun terakhir, meningkatkan risiko banjir hingga 40%. Kedua negara punya target ambisius: Tiongkok ingin 25% energi dari terbarukan dan netral karbon pada 2060, India menargetkan 40% kapasitas listrik dari non-fosil pada 2030.

Konflik dan Kerja Sama Sungai Lintas Batas

Empat sungai lintas batas utama antara Tiongkok dan India, seperti Brahmaputra/Yarlung Tsangpo, menjadi sumber konflik geopolitik. Tiongkok membangun dam di hulu, India khawatir akan dampak ekologi dan keamanan air. Di Tiongkok, mekanisme kompensasi ekologi antar provinsi mulai diterapkan, sedangkan di India, sengketa antar negara bagian seperti Cauvery dan Krishna masih berlangsung.

Reformasi Tata Kelola dan Partisipasi Publik

Tiongkok meluncurkan River Chief System (RCS) pada 2016, menunjuk lebih dari 1,2 juta “kepala sungai” di semua level pemerintahan untuk mengelola sungai secara terpadu, berbasis data, dan melibatkan masyarakat. Inovasi seperti aplikasi WeChat untuk pelaporan polusi memperkuat pengawasan publik. Selain itu, konsep “Sponge City” diterapkan untuk menahan limpasan air dan mengurangi banjir dengan infrastruktur hijau.

India mengandalkan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Gerakan Save Ganga mendorong pemerintah melakukan intervensi, meski implementasi sering lambat. Komunitas lokal seperti Mishing di Assam mengembangkan adaptasi tradisional yang kini diakui sebagai praktik ekosistem bionik. Festival sungai, pengakuan Ramsar Sites, dan promosi wisata budaya juga menjadi bagian dari strategi pelestarian.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Tiongkok cenderung mengandalkan kebijakan top-down yang terpusat, seperti River Chief System dan pembangunan dam besar-besaran. Keunggulannya adalah efektivitas administratif dan integrasi kebijakan, namun seringkali mengorbankan keaslian budaya, relokasi massal, dan homogenisasi lanskap sungai. Proyek ekologi kadang lebih berorientasi politik atau ekonomi daripada pelestarian sejati.

India, sebaliknya, mengedepankan partisipasi masyarakat dan pluralisme hukum. Inovasi lokal berkembang pesat, namun koordinasi nasional lemah. Polusi sungai utama masih menjadi tantangan besar, sementara proyek revitalisasi sering terhambat birokrasi dan kepentingan politik. Ritual keagamaan yang seharusnya memperkuat ikatan manusia-sungai justru memperparah pencemaran jika tidak diimbangi edukasi dan inovasi pengelolaan limbah.

Kedua negara kini berada pada titik balik: dari eksploitasi ke konservasi sungai. Tiongkok lebih progresif dalam legislasi dan inovasi teknologi, sementara India unggul dalam pelestarian nilai-nilai tradisional dan partisipasi komunitas. Namun, keduanya harus memperkuat sinergi antara kebijakan, sains, dan budaya untuk mencapai keberlanjutan ekologi dan sosial sungai.

Opini dan Hubungan dengan Tren Global

Krisis sungai di Tiongkok dan India mencerminkan tantangan global: fragmentasi ekosistem, polusi, dan hilangnya identitas budaya akibat modernisasi dan urbanisasi. Dunia kini mengarah pada pendekatan integratif yang menggabungkan sains, tradisi, dan partisipasi publik. Konsep seperti “ecological civilization” di Tiongkok dan gerakan masyarakat sipil di India selaras dengan tren global pengelolaan sungai berbasis ekosistem dan budaya.

Kunci keberhasilan ada pada redefinisi nilai sungai—bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan pemberdayaan komunitas lokal menjadi fondasi utama menuju harmoni manusia dan sungai.

Rekomendasi untuk Masa Depan Sungai Asia

  1. Integrasi Kebijakan dan Sains
    Kedua negara perlu memperkuat integrasi antara kebijakan nasional, sains, dan pengetahuan lokal agar solusi yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga relevan secara sosial dan ekologis.
  2. Pendidikan dan Inovasi Sosial
    Edukasi publik tentang pentingnya sungai harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda dan komunitas urban. Inovasi sosial seperti aplikasi digital untuk pelaporan polusi dan festival budaya berbasis pelestarian harus diperluas.
  3. Penguatan Partisipasi Masyarakat
    Pengelolaan sungai tidak bisa hanya top-down. Penguatan peran komunitas lokal, pengakuan hak-hak masyarakat adat, dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting.
  4. Restorasi Ekosistem dan Revitalisasi Budaya
    Restorasi ekosistem sungai harus diimbangi dengan revitalisasi budaya lokal, seperti pengakuan situs sakral, festival sungai, dan promosi wisata berbasis konservasi.
  5. Kolaborasi Regional dan Internasional
    Konflik lintas batas harus diatasi dengan dialog, kerja sama, dan mekanisme kompensasi ekologi yang adil. Kolaborasi antara Tiongkok, India, dan negara-negara lain di Asia Selatan dan Tenggara sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sungai lintas negara.

Jalan Panjang Menuju Harmoni Manusia-Sungai

Bab ini menegaskan bahwa sungai adalah cermin perjalanan peradaban, spiritualitas, dan dinamika sosial-ekonomi. Tantangan modern berupa fragmentasi, polusi, dan hilangnya identitas menuntut inovasi tata kelola, kolaborasi lintas sektor, serta sinergi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.

Baik Tiongkok maupun India telah memulai langkah besar, namun perjalanan menuju harmoni manusia-sungai masih panjang dan penuh tantangan. Keberhasilan masa depan sungai Asia akan sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk mengintegrasikan kebijakan, sains, budaya, dan partisipasi publik dalam satu visi keberlanjutan.

Sumber artikel:
Cao, Y.; Vazhayil, A.M. (2023): River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications. In: Wantzen, K.M. (ed.): River Culture – Life as a Dance to the Rhythm of the Waters. Pp. 281–311. UNESCO Publishing, Paris. DOI: 10.54677/CVXL8810

Selengkapnya
River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Sumber Daya Air

Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air Global dan Pentingnya Akuifer Lintas Batas

Di tengah krisis air global yang semakin nyata akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi sumber daya permukaan, perhatian dunia kini tertuju pada air tanah—khususnya akuifer lintas batas (transboundary aquifers/TBA). Buku “Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” (UNESCO, 2022) menyajikan kompilasi studi dan pengalaman dari berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan, peluang, dan strategi tata kelola akuifer lintas batas untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan gaya yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global.

Definisi, Skala, dan Urgensi Akuifer Lintas Batas

Akuifer lintas batas adalah cadangan air tanah yang membentang di bawah dua negara atau lebih. Secara global, 153 negara berbagi sumber air lintas batas, dengan lebih dari 40% air tawar dunia berada di wilayah ini. Data IGRAC (2021) menunjukkan terdapat 468 akuifer lintas batas di seluruh dunia, mencakup hampir setiap negara kecuali pulau-pulau kecil. Di kawasan Arab, ada 42 akuifer lintas batas di 21 dari 22 negara, mencakup 58% wilayah regional1.

Akuifer ini menjadi sumber utama air bersih bagi populasi besar, terutama di kawasan kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Libya, Palestina, dan Arab Saudi, lebih dari 80% pengambilan air tawar berasal dari air tanah. Namun, tekanan eksploitasi, polusi, dan kurangnya tata kelola lintas negara membuat keberlanjutan akuifer semakin terancam1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Kawasan Arab: Ketergantungan dan Kerentanan

  • Krisis Air dan Ketergantungan Eksternal: 18 dari 22 negara Arab berada di bawah ambang kelangkaan air (kurang dari 1.000 m³/kapita/tahun), 13 di antaranya bahkan di bawah 500 m³/kapita/tahun.
  • Ekstraksi Tak Berkelanjutan: Di banyak negara, eksploitasi air tanah melebihi tingkat pengisian ulang, terutama untuk pertanian dan pertumbuhan kota besar.
  • Inisiatif Regional: Kerja sama pada akuifer Nubian Sandstone (Mesir, Libya, Chad, Sudan), North Western Sahara Aquifer System (Aljazair, Tunisia, Libya), dan Al-Saq/Al-Disi (Yordania, Arab Saudi) menjadi contoh penting. Perjanjian Al-Saq/Al-Disi (2015) mengatur pembentukan Komite Teknis Bersama untuk pemantauan dan pertukaran data secara rutin1.

2. ISARM: Inisiatif Global dan Perkembangan Kerja Sama

  • ISARM (International Shared Aquifer Resources Management): Diluncurkan UNESCO pada 2000, ISARM telah mengidentifikasi dan memetakan ratusan akuifer lintas batas, serta mendorong kerja sama ilmiah dan hukum antarnegara.
  • Transboundary Waters Assessment Programme (TWAP): Pada fase pertama (2011), TWAP menilai 199 akuifer lintas batas dan 43 akuifer di negara kepulauan kecil, menghasilkan peta dan basis data global yang kini menjadi rujukan utama1.
  • Pencapaian Hukum: ISARM berkontribusi pada penyusunan 19 Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers oleh UNILC (2008), yang kini menjadi acuan teknis dan normatif dalam negosiasi kerja sama lintas negara1.

3. Eropa dan Amerika: Regulasi dan Implementasi

  • Eropa: Dengan 226 ‘groundwater bodies’ lintas batas, Uni Eropa mengadopsi Water Framework Directive (WFD) yang mewajibkan pengelolaan berbasis DAS dan kerja sama internasional. Namun, hanya 74% akuifer yang mencapai status kimia baik, dan 40% badan air permukaan yang memenuhi standar1.
  • Amerika Utara: Di perbatasan AS-Meksiko, lebih dari 30 akuifer lintas batas menopang lebih dari 15 juta jiwa. Namun, hanya satu perjanjian formal yang berlaku (San Luis Mesa, 1973), selebihnya masih berupa kerja sama informal dan terbatas1.

Tantangan Utama dalam Tata Kelola Akuifer Lintas Batas

1. Kekurangan Data dan Pengetahuan

Kurangnya data yang akurat dan keterbukaan informasi menjadi hambatan utama. Banyak negara tidak memiliki pemetaan akuifer yang memadai, dan data yang ada sering tidak dibagikan antarnegara. Inisiatif seperti Inventory of Shared Water Resources in Western Asia (UNESCWA & BGR, 2013) membantu mengidentifikasi dan memetakan akuifer, namun pembaruan dan keterbukaan data masih terbatas1.

2. Kapasitas Teknis dan Kelembagaan

Banyak negara kekurangan kapasitas teknis untuk memantau dan mengelola akuifer secara berkelanjutan. Kapasitas ini meliputi kemampuan analisis hidrogeologi, pemantauan kualitas air, hingga pengembangan sistem informasi bersama. Tanpa kapasitas yang memadai, sulit bagi negara untuk bernegosiasi atau menerapkan kebijakan bersama1.

3. Keterbatasan Kerangka Hukum dan Politik

Hanya sedikit akuifer lintas batas yang diatur oleh perjanjian formal. Di tingkat global, baru ada 8 perjanjian spesifik akuifer, dan cakupan kerja sama operasional untuk SDG 6.5.2 masih 42% (lebih rendah dari target global). Proses negosiasi sering terhambat oleh perbedaan kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan kekhawatiran kedaulatan1.

4. Pendanaan dan Keberlanjutan Proyek

Pendanaan menjadi isu krusial, baik untuk riset, pengembangan kapasitas, maupun pembentukan institusi bersama. Banyak proyek kerja sama bergantung pada dana internasional (misal, GEF, SDC), sehingga keberlanjutan jangka panjang sering dipertanyakan1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Pelajaran Penting

1. North Western Sahara Aquifer System (NWSAS):

Tiga negara (Aljazair, Tunisia, Libya) membentuk mekanisme konsultasi sejak 2008, dengan tujuan pertukaran data, pemantauan bersama, dan skenario pengelolaan. Meski belum menghasilkan perjanjian formal, mekanisme ini meningkatkan transparansi dan kapasitas teknis1.

2. Stampriet Transboundary Aquifer System (STAS), Afrika Selatan:

Melalui proyek GGRETA (Governance of Groundwater Resources in Transboundary Aquifers), Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan membentuk Multi-Country Cooperation Mechanism (MCCM) untuk pertukaran data dan pemantauan bersama. MCCM menjadi model pertama integrasi tata kelola akuifer ke dalam organisasi DAS lintas negara (ORASECOM)1.

3. Eropa: Pengelolaan Terpadu dan Tantangan Implementasi

Water Framework Directive mendorong pendekatan berbasis DAS, namun implementasi di tingkat lokal kerap terhambat fragmentasi kelembagaan dan perbedaan standar antarnegara. Studi di Belanda menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dan skala, serta keterlibatan aktor lokal dalam penetapan tujuan dan pemantauan kualitas air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Inovasi, dan Rekomendasi

1. Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan

Meskipun kemajuan besar dicapai dalam pemetaan dan penilaian akuifer, transfer pengetahuan ke pembuat kebijakan masih lemah. Banyak keputusan strategis diambil tanpa data ilmiah yang memadai, atau tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi dan ekologi1.

2. Inovasi Tata Kelola: Kolaborasi dan Keterbukaan

  • Platform Digital: Inisiatif Arab Groundwater Digital Knowledge Platform bertujuan membuka akses data dan memperkuat dialog berbasis bukti.
  • Pendekatan Multi-Level: Studi Belanda menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan nasional, regional, dan lokal, serta keterlibatan lintas sektor (ekologi, hukum, sosial, ekonomi) dalam pengelolaan akuifer1.

3. Peran Hukum Internasional

Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers (UNILC, 2008) menjadi rujukan utama, meski belum mengikat secara hukum. Konvensi PBB (1997, 1992) dan protokol regional seperti SADC Revised Protocol on Shared Watercourses juga memberi kerangka kerja sama, namun adopsi dan implementasinya masih terbatas1.

4. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Partisipasi masyarakat, pelaku usaha, dan LSM sangat penting untuk membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang. Studi kasus di perbatasan AS-Meksiko menunjukkan bahwa kerja sama informal dan berbasis komunitas sering lebih efektif daripada pendekatan top-down, terutama dalam konteks sosial-budaya yang kompleks1.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Krisis air tanah lintas batas kini menjadi isu strategis di tengah perubahan iklim, urbanisasi, dan peningkatan kebutuhan pangan. Industri air minum, pertanian, dan energi kini semakin sadar akan risiko over-extraction dan polusi akuifer. Di sisi lain, digitalisasi data air, inovasi pemantauan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi tren baru dalam tata kelola sumber daya air global.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Buku ini berhasil mengangkat kompleksitas isu akuifer lintas batas dari berbagai perspektif—ilmiah, hukum, sosial, dan politik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: kurangnya insentif politik, ketimpangan kapasitas, dan resistensi terhadap transparansi. Studi lain (misal, Eckstein & Sindico, 2014) menyoroti bahwa tanpa insentif ekonomi dan tekanan publik, negara cenderung lamban dalam membangun kerja sama formal.

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat Pengetahuan dan Data Bersama
    Investasi dalam pemetaan, pemantauan, dan pertukaran data lintas negara harus menjadi prioritas utama.
  2. Bangun Kapasitas dan Kelembagaan
    Penguatan kapasitas teknis, hukum, dan kelembagaan di tingkat nasional dan regional sangat penting untuk mendukung negosiasi dan implementasi bersama.
  3. Dorong Kerangka Hukum dan Kesepakatan Formal
    Negara perlu didorong untuk mengadopsi Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers sebagai pedoman, serta membangun perjanjian formal yang mengikat.
  4. Optimalkan Pendanaan dan Inovasi
    Diversifikasi sumber pendanaan, termasuk dari dana perubahan iklim dan pembangunan internasional, serta adopsi teknologi digital untuk pemantauan dan pelaporan.
  5. Libatkan Pemangku Kepentingan Multi-Level
    Keterlibatan masyarakat, sektor swasta, dan LSM dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi sangat penting untuk membangun legitimasi dan keberlanjutan.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Akuifer Lintas Batas yang Berkelanjutan

“Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” menegaskan bahwa akuifer lintas batas adalah kunci ketahanan air masa depan, namun pengelolaannya menuntut kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Meski kemajuan signifikan telah dicapai dalam dua dekade terakhir, dunia masih jauh dari target SDG 6.5.2 tentang kerja sama air lintas batas. Tanpa komitmen politik, investasi, dan inovasi tata kelola, risiko konflik, degradasi ekosistem, dan krisis air akan terus membayangi. Buku ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, ilmuwan, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air tanah yang adil dan berkelanjutan.

Sumber artikel :
UNESCO, 2022. Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward. Sanchez, R. (Ed). Paris, UNESCO.

Selengkapnya
Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Sumber Daya Air

How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Isu keamanan air (water security) kini menjadi perhatian utama dalam wacana pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara Global Selatan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk menopang kehidupan pedesaan. Paper karya Sameer H. Shah ini melakukan telaah sistematis terhadap 99 artikel jurnal internasional (2000–2019) untuk menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana konsep water security didefinisikan, didorong, dan dipraktikkan dalam konteks penghidupan pedesaan di Global Selatan? Dengan pendekatan scoping review, Shah menyoroti kekuatan, kelemahan, dan peluang riset water security, serta menawarkan agenda riset baru yang sangat relevan untuk kebijakan, riset, dan praktik pembangunan pedesaan.

Konsep Water Security: Dari Ketahanan Fisik ke Dimensi Sosial-Ekologis

Awal mula konsep water security berakar dari upaya negara-negara mengamankan pasokan air demi pertanian, pemukiman, dan keamanan nasional. Namun, sejak Deklarasi Den Haag (2000), definisi water security berkembang menjadi kondisi di mana setiap orang memiliki akses air yang cukup, aman, terjangkau, serta terlindungi dari risiko bencana air. Water security kini dipahami sebagai kerangka yang mengintegrasikan kebutuhan manusia dan ekologi secara simultan, dengan pendekatan sistem sosial-ekologis yang menekankan keterkaitan antara ketersediaan, kualitas, akses, dan risiko air12.

Metodologi Review: Cakupan, Seleksi, dan Analisis

Penulis menelusuri empat basis data besar, menyeleksi artikel peer-reviewed berbahasa Inggris yang terbit antara 2000–2019, dan secara eksplisit membahas water security dalam kaitan dengan penghidupan pedesaan di Global Selatan. Dari 2.359 publikasi awal, setelah proses penyaringan ketat, terpilih 99 artikel yang dianalisis secara tematik dan metodologis. Hasilnya, mayoritas artikel terbit setelah 2010, menandakan meningkatnya perhatian terhadap isu ini seiring menguatnya diskursus nexus air–energi–pangan dan perubahan iklim1.

Bagaimana Water Security Didefinisikan?

Hanya 30,3% publikasi yang secara eksplisit mendefinisikan water security. Mayoritas definisi berfokus pada ketersediaan air yang “memadai”, “cukup”, dan “dapat diterima” untuk kebutuhan kesehatan, penghidupan, ekosistem, dan produksi. Definisi yang benar-benar mengaitkan water security dengan peningkatan produktivitas, kesejahteraan, dan kapabilitas manusia sangat sedikit (hanya 16,7% dari definisi yang ada)12. Sebagian besar publikasi masih menempatkan water security sebagai upaya menghindari risiko atau kekurangan air, bukan sebagai alat untuk membangun kapasitas dan kemakmuran masyarakat pedesaan.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Distribusi Geografis: 86 negara Global Selatan menjadi fokus, dengan dominasi studi di India (21 publikasi), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Sekitar 42,4% artikel menyoroti salah satu dari tiga negara ini, sementara Afrika Utara dan Amerika Selatan Tengah relatif kurang terwakili.
  • Fokus Livelihood: Hampir semua artikel menyoroti pertanian, dari subsisten hingga komoditas ekspor. Hanya 24,2% yang membahas peternakan, dan sangat sedikit yang mengupas perikanan (8,1%) atau akuakultur. Padahal, pastoralism mendukung sekitar 200 juta rumah tangga secara global.
  • Aktor Kunci: Pemerintah menjadi aktor utama yang dianggap bertanggung jawab dalam 81,8% publikasi, diikuti komunitas lokal (20,2%) dan individu (21,2%). Peran LSM dan donor kurang menonjol1.

Dinamika dan Penyebab Water Insecurity

Faktor Penyebab Utama

  • Perubahan Iklim dan Variabilitas Cuaca: 64,7% publikasi menyoroti perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir sebagai penyebab utama risiko air.
  • Persaingan Antar Sektor: Kompetisi air antara sektor pertanian, industri, dan kebutuhan domestik muncul di 36,4% publikasi.
  • Ekstraksi dan Degradasi: 32,3% publikasi membahas eksploitasi air tanah berlebihan dan degradasi sumber air akibat pertanian intensif dan ekspansi perkotaan.
  • Ketimpangan Sosial-Ekonomi: Sekitar 20,2% publikasi mengaitkan water insecurity dengan kemiskinan, marginalisasi, dan eksklusi sosial, namun hanya sedikit yang benar-benar menganalisis akar sistemik ketidakadilan distribusi air12.

Studi Kasus Nyata

  • India: Studi di Hyderabad menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi distribusi air perkotaan, pemanfaatan air limpasan, dan 500.000 unit panen air hujan rumah tangga dapat secara signifikan meningkatkan keamanan air pertanian dan rumah tangga.
  • Brazil: Di Western Bahia, irigasi meningkat 150 kali lipat dalam beberapa dekade, sementara curah hujan dan aliran sungai menurun. Solusi yang diusulkan adalah pembatasan irigasi saat musim kering dan investasi sistem pemantauan hidroklimatik.
  • Lebanon: Petani di DAS Sungai Litani bersedia membayar lebih untuk pemasangan irigasi tetes dan sistem meter air guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakpastian pasokan air1.

Solusi yang Ditemukan: Antara Teknikal dan Transformasi Sosial

Strategi Umum

  • Peningkatan Pasokan Air: 45,5% publikasi mengusulkan pembangunan bendungan, transfer antar-basin, dan panen air hujan skala rumah tangga sebagai solusi utama.
  • Efisiensi dan Produktivitas: 38,4% publikasi menyoroti irigasi hemat air, varietas tanaman tahan kering, dan pengelolaan lahan sebagai respons terhadap kelangkaan air.
  • Perbaikan Tata Kelola dan Manajemen: 75,8% publikasi menekankan pentingnya tata kelola multi-level, penguatan regulasi, pemantauan, dan transparansi. Namun, solusi yang benar-benar menargetkan perubahan struktural atau pemberdayaan kelompok marginal masih sangat terbatas.
  • Pengurangan Ketimpangan Sosial: Hanya 14,1% publikasi yang secara eksplisit membahas strategi membangun hak atas air, distribusi air yang adil, dan penguatan representasi kelompok termarjinalkan12.

Skala Intervensi

Solusi yang diusulkan tersebar di berbagai level: individu/rumah tangga (24,2%), komunitas (21,2%), DAS (37,4%), negara bagian (21,2%), nasional (35,4%), hingga internasional (23,2%). Namun, intervensi di tingkat internasional sering terbatas pada perjanjian lintas batas atau integrasi pada nexus air–energi–pangan, bukan pada transformasi sistemik1.

Analisis Kritis dan Agenda Riset Masa Depan

Empat Temuan Kunci

  1. Fokus pada “Cukup”, Bukan Kemakmuran: Definisi water security cenderung konservatif, hanya menekankan kecukupan dan pengurangan risiko, bukan peningkatan kapabilitas dan kesejahteraan masyarakat. Padahal, penghidupan berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar kecukupan—yaitu kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi.
  2. Representasi Livelihood Sempit: Studi terlalu fokus pada pertanian, mengabaikan keberagaman penghidupan seperti peternakan, akuakultur, dan kerja musiman. Padahal, rumah tangga pedesaan sering mengandalkan portofolio livelihood yang kompleks dan saling terkait.
  3. Kurangnya Transformasi Struktural: Solusi yang diusulkan lebih banyak bersifat teknikal dan manajerial, kurang menyasar akar ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang melanggengkan water insecurity. Transformasi sistem distribusi, hak atas air, dan pemberdayaan kelompok rentan masih minim.
  4. Kurang Memahami Dinamika Global: Studi tentang dampak globalisasi, perubahan politik, dan interaksi lintas level (local-global) terhadap water security masih sangat terbatas. Padahal, perubahan di satu skala dapat berdampak luas pada sistem penghidupan pedesaan12.

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan Shah sejalan dengan kritik literatur lain yang menilai pendekatan water security masih terlalu teknokratik dan kurang integratif. Studi Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) juga menyoroti lemahnya fokus pada kapabilitas dan keadilan sosial dalam program water security. Sementara itu, pendekatan “hydro-social” yang menggabungkan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi mulai berkembang, namun belum menjadi arus utama dalam kebijakan maupun riset di Global Selatan.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Isu water security kini menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 2 (pengentasan kelaparan). Industri pertanian, pangan, dan energi kini dituntut untuk mengadopsi pendekatan efisiensi air, circular economy, serta pemberdayaan petani kecil. Namun, tanpa transformasi tata kelola dan distribusi air yang adil, inovasi teknologi saja tidak cukup untuk menjamin water security yang inklusif dan berkelanjutan.

Rekomendasi Praktis dan Agenda Riset ke Depan

  1. Redefinisi Water Security: Perlu menggeser fokus dari kecukupan dan mitigasi risiko ke pembangunan kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
  2. Diversifikasi Studi Livelihood: Riset dan kebijakan harus memperhitungkan keberagaman penghidupan pedesaan, termasuk peternakan, akuakultur, dan kerja musiman.
  3. Transformasi Tata Kelola: Diperlukan intervensi yang menyasar akar ketidakadilan distribusi air, penguatan hak atas air, dan pemberdayaan kelompok marginal.
  4. Integrasi Skala Lokal-Global: Studi dan kebijakan harus memahami interaksi antara perubahan global (iklim, pasar, politik) dengan dinamika lokal penghidupan pedesaan.
  5. Kolaborasi Multi-Aktor: Pemerintah, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM perlu bersinergi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program water security.

 Menuju Water Security yang Inklusif dan Berkeadilan

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana konsep water security dipraktikkan di Global Selatan. Kelemahan utama terletak pada definisi yang konservatif, fokus livelihood yang sempit, dan minimnya transformasi struktural. Untuk menjawab tantangan masa depan, water security harus didefinisikan ulang sebagai alat untuk membangun kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial, bukan sekadar menghindari risiko. Agenda riset dan kebijakan ke depan harus lebih inklusif, integratif, dan transformatif, agar penghidupan pedesaan di Global Selatan benar-benar tangguh menghadapi krisis air dan perubahan zaman.

Sumber artikel :
Sameer H. Shah. "How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review." Water Policy, Vol 23 No 5, 2021, pp. 1129–1152.

Selengkapnya
How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review
« First Previous page 124 of 1.160 Next Last »