Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin
Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.
Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya
Indus Basin: Lifeline yang Terancam
Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik
Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan
1. Proyek Dam dan Sengketa Data
2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian
Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan
1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara
2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization
3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)
4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data
5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai
6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai
Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis
Kekuatan Argumen dan Studi Kasus
Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL
Perbandingan dengan Studi dan Tren Global
Opini dan Rekomendasi Penulis
Relevansi Industri dan Tren Kebijakan
1. Industri Pertanian dan Energi
2. Digitalisasi dan Transparansi Data
3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air
Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin
Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin
Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.
Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.
Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato
Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting
Modus Pelanggaran dan Unreported Logging
Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan
Kerangka Hukum Nasional
Masalah Penegakan Hukum
Aspek Hukum Internasional
Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas
Kerusakan Ekologis
Dampak Sosial dan Konflik Agraria
Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan
Greenwashing dalam Transisi Energi
Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.
Perbandingan dengan Studi Lain
Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.
Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan
Langkah Preventif
Langkah Represif
Transformasi Kebijakan Energi
Kesimpulan
Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.
Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.
Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi
Fakta dan Angka Kunci
Dampak Sosial dan Politik
Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab
1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian
Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.
2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif
Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.
3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”
UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.
Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust
1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi
Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.
2. Kegagalan Regulasi dan Insentif
3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi
Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi
1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.
2. Reformasi Manajemen Utilitas
3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik
Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.
4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi
Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.
Kritik, Opini, dan Perbandingan
Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur
Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.
Perbandingan dengan Negara Lain
Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru
Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.
Tantangan Implementasi dan Rekomendasi
Tantangan Utama
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air
Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.
Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.
Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Sungai sebagai Nadi Peradaban Asia
Sungai selalu menjadi pusat kehidupan, budaya, dan spiritualitas di Asia, terutama di Tiongkok dan India. Dalam bab “River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications” oleh Yixin Cao dan Alvin M. Vazhayil (2023), penulis mengupas secara mendalam bagaimana sungai membentuk peradaban, menghadapi tantangan modern, serta bagaimana kedua negara berupaya menyelamatkan warisan sungai mereka. Resensi ini akan membedah isi paper dengan mengaitkan data, studi kasus, dan tren global, serta memberikan analisis kritis dan opini untuk memperkaya perspektif pembaca.
Makna Sungai dalam Budaya Tiongkok dan India
Sungai di Tiongkok dan India bukan sekadar sumber air, melainkan juga simbol identitas, spiritualitas, dan kekuatan alam. Di Tiongkok, sungai seperti Yangtze dan Yellow River dijuluki “Mother River”, menjadi sumber inspirasi sastra, filosofi, dan ritual. Di India, sungai seperti Ganga dan Yamuna dipuja sebagai dewi, pusat ritual keagamaan, dan dipercaya mampu memberikan pembebasan spiritual (moksha).
Kedua negara memiliki kekayaan sungai yang luar biasa. Tiongkok tercatat memiliki lebih dari 45.000 sungai dengan total panjang 1,6 juta km, sementara India memiliki 14 sungai besar dan empat tipe utama sungai yang menopang hampir 60% penduduknya. Sungai-sungai ini menjadi fondasi pertanian, kota, perdagangan, hingga seni dan sastra.
Studi Kasus: Krisis Ekologi dan Budaya Sungai
Degradasi Ekosistem dan Budaya
Krisis ekologi melanda kedua negara. Data dari paper menunjukkan bahwa biodiversitas air tawar global menurun 84% sejak 1970, bahkan hingga 97% untuk spesies ikan besar di sungai-sungai Asia. Tiongkok kini memiliki lebih dari 23.000 bendungan besar, sementara India 4.400—fragmentasi sungai akibat dam dan kanal sangat masif.
Di Tiongkok, pembangunan Three Gorges Dam berdampak besar: 13 kota, 140 kota kecil, dan lebih dari 1.300 desa tenggelam; panen ikan alami di Yangtze turun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, dan beberapa spesies punah. Urbanisasi ekstrem di kota seperti Shenzhen mengubah 80% sungai menjadi kanal beton, menghilangkan karakter alami dan budaya sungai.
Di India, polusi air menjadi masalah akut. Jumlah sungai tercemar melonjak dari 150 pada 2009 menjadi 302 pada 2015. Sungai Yamuna dan Ganga kini sangat tercemar limbah domestik dan industri. Di Delhi, perikanan air tawar turun 68% antara 2002–2016. Ritual keagamaan dan festival justru memperparah polusi, karena limbah persembahan dan mandi massal masuk ke sungai tanpa pengolahan.
Dinamika Sosial dan Politik Sungai
Tiongkok: Modernisasi dan Homogenisasi
Modernisasi di Tiongkok seringkali mengorbankan keaslian budaya sungai. Sistem polder tradisional di Delta Yangtze hilang, situs arkeologi tenggelam, dan relokasi massal akibat proyek bendungan memutus hubungan komunitas minoritas dengan sungai. Pariwisata masif di beberapa sungai justru memperparah pencemaran dan menghilangkan karakter lokal.
India: Urbanisasi, Ketimpangan, dan Ritual
Di India, urbanisasi dan migrasi besar-besaran menyebabkan keterputusan budaya antara manusia dan sungai. Warga miskin tinggal di bantaran sungai yang tercemar, sementara kelas menengah dan atas seringkali hanya mengadvokasi pelestarian tanpa benar-benar mengubah gaya hidup konsumtif yang memperparah polusi. Ritual keagamaan, meski memperkuat identitas budaya, juga berkontribusi pada pencemaran sungai.
Tantangan dan Upaya Pemulihan Sungai
Motivasi Global dan Lokal
Perubahan iklim memperburuk krisis sungai. India masuk 13 besar negara dengan stres air tertinggi, sedangkan Tiongkok peringkat 56. Suhu di DAS Ganges naik 0,5°C dalam 100 tahun terakhir, meningkatkan risiko banjir hingga 40%. Kedua negara punya target ambisius: Tiongkok ingin 25% energi dari terbarukan dan netral karbon pada 2060, India menargetkan 40% kapasitas listrik dari non-fosil pada 2030.
Konflik dan Kerja Sama Sungai Lintas Batas
Empat sungai lintas batas utama antara Tiongkok dan India, seperti Brahmaputra/Yarlung Tsangpo, menjadi sumber konflik geopolitik. Tiongkok membangun dam di hulu, India khawatir akan dampak ekologi dan keamanan air. Di Tiongkok, mekanisme kompensasi ekologi antar provinsi mulai diterapkan, sedangkan di India, sengketa antar negara bagian seperti Cauvery dan Krishna masih berlangsung.
Reformasi Tata Kelola dan Partisipasi Publik
Tiongkok meluncurkan River Chief System (RCS) pada 2016, menunjuk lebih dari 1,2 juta “kepala sungai” di semua level pemerintahan untuk mengelola sungai secara terpadu, berbasis data, dan melibatkan masyarakat. Inovasi seperti aplikasi WeChat untuk pelaporan polusi memperkuat pengawasan publik. Selain itu, konsep “Sponge City” diterapkan untuk menahan limpasan air dan mengurangi banjir dengan infrastruktur hijau.
India mengandalkan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Gerakan Save Ganga mendorong pemerintah melakukan intervensi, meski implementasi sering lambat. Komunitas lokal seperti Mishing di Assam mengembangkan adaptasi tradisional yang kini diakui sebagai praktik ekosistem bionik. Festival sungai, pengakuan Ramsar Sites, dan promosi wisata budaya juga menjadi bagian dari strategi pelestarian.
Analisis Kritis dan Perbandingan
Tiongkok cenderung mengandalkan kebijakan top-down yang terpusat, seperti River Chief System dan pembangunan dam besar-besaran. Keunggulannya adalah efektivitas administratif dan integrasi kebijakan, namun seringkali mengorbankan keaslian budaya, relokasi massal, dan homogenisasi lanskap sungai. Proyek ekologi kadang lebih berorientasi politik atau ekonomi daripada pelestarian sejati.
India, sebaliknya, mengedepankan partisipasi masyarakat dan pluralisme hukum. Inovasi lokal berkembang pesat, namun koordinasi nasional lemah. Polusi sungai utama masih menjadi tantangan besar, sementara proyek revitalisasi sering terhambat birokrasi dan kepentingan politik. Ritual keagamaan yang seharusnya memperkuat ikatan manusia-sungai justru memperparah pencemaran jika tidak diimbangi edukasi dan inovasi pengelolaan limbah.
Kedua negara kini berada pada titik balik: dari eksploitasi ke konservasi sungai. Tiongkok lebih progresif dalam legislasi dan inovasi teknologi, sementara India unggul dalam pelestarian nilai-nilai tradisional dan partisipasi komunitas. Namun, keduanya harus memperkuat sinergi antara kebijakan, sains, dan budaya untuk mencapai keberlanjutan ekologi dan sosial sungai.
Opini dan Hubungan dengan Tren Global
Krisis sungai di Tiongkok dan India mencerminkan tantangan global: fragmentasi ekosistem, polusi, dan hilangnya identitas budaya akibat modernisasi dan urbanisasi. Dunia kini mengarah pada pendekatan integratif yang menggabungkan sains, tradisi, dan partisipasi publik. Konsep seperti “ecological civilization” di Tiongkok dan gerakan masyarakat sipil di India selaras dengan tren global pengelolaan sungai berbasis ekosistem dan budaya.
Kunci keberhasilan ada pada redefinisi nilai sungai—bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan pemberdayaan komunitas lokal menjadi fondasi utama menuju harmoni manusia dan sungai.
Rekomendasi untuk Masa Depan Sungai Asia
Jalan Panjang Menuju Harmoni Manusia-Sungai
Bab ini menegaskan bahwa sungai adalah cermin perjalanan peradaban, spiritualitas, dan dinamika sosial-ekonomi. Tantangan modern berupa fragmentasi, polusi, dan hilangnya identitas menuntut inovasi tata kelola, kolaborasi lintas sektor, serta sinergi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.
Baik Tiongkok maupun India telah memulai langkah besar, namun perjalanan menuju harmoni manusia-sungai masih panjang dan penuh tantangan. Keberhasilan masa depan sungai Asia akan sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk mengintegrasikan kebijakan, sains, budaya, dan partisipasi publik dalam satu visi keberlanjutan.
Sumber artikel:
Cao, Y.; Vazhayil, A.M. (2023): River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications. In: Wantzen, K.M. (ed.): River Culture – Life as a Dance to the Rhythm of the Waters. Pp. 281–311. UNESCO Publishing, Paris. DOI: 10.54677/CVXL8810
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air Global dan Pentingnya Akuifer Lintas Batas
Di tengah krisis air global yang semakin nyata akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi sumber daya permukaan, perhatian dunia kini tertuju pada air tanah—khususnya akuifer lintas batas (transboundary aquifers/TBA). Buku “Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” (UNESCO, 2022) menyajikan kompilasi studi dan pengalaman dari berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan, peluang, dan strategi tata kelola akuifer lintas batas untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan gaya yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global.
Definisi, Skala, dan Urgensi Akuifer Lintas Batas
Akuifer lintas batas adalah cadangan air tanah yang membentang di bawah dua negara atau lebih. Secara global, 153 negara berbagi sumber air lintas batas, dengan lebih dari 40% air tawar dunia berada di wilayah ini. Data IGRAC (2021) menunjukkan terdapat 468 akuifer lintas batas di seluruh dunia, mencakup hampir setiap negara kecuali pulau-pulau kecil. Di kawasan Arab, ada 42 akuifer lintas batas di 21 dari 22 negara, mencakup 58% wilayah regional1.
Akuifer ini menjadi sumber utama air bersih bagi populasi besar, terutama di kawasan kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Libya, Palestina, dan Arab Saudi, lebih dari 80% pengambilan air tawar berasal dari air tanah. Namun, tekanan eksploitasi, polusi, dan kurangnya tata kelola lintas negara membuat keberlanjutan akuifer semakin terancam1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
1. Kawasan Arab: Ketergantungan dan Kerentanan
2. ISARM: Inisiatif Global dan Perkembangan Kerja Sama
3. Eropa dan Amerika: Regulasi dan Implementasi
Tantangan Utama dalam Tata Kelola Akuifer Lintas Batas
1. Kekurangan Data dan Pengetahuan
Kurangnya data yang akurat dan keterbukaan informasi menjadi hambatan utama. Banyak negara tidak memiliki pemetaan akuifer yang memadai, dan data yang ada sering tidak dibagikan antarnegara. Inisiatif seperti Inventory of Shared Water Resources in Western Asia (UNESCWA & BGR, 2013) membantu mengidentifikasi dan memetakan akuifer, namun pembaruan dan keterbukaan data masih terbatas1.
2. Kapasitas Teknis dan Kelembagaan
Banyak negara kekurangan kapasitas teknis untuk memantau dan mengelola akuifer secara berkelanjutan. Kapasitas ini meliputi kemampuan analisis hidrogeologi, pemantauan kualitas air, hingga pengembangan sistem informasi bersama. Tanpa kapasitas yang memadai, sulit bagi negara untuk bernegosiasi atau menerapkan kebijakan bersama1.
3. Keterbatasan Kerangka Hukum dan Politik
Hanya sedikit akuifer lintas batas yang diatur oleh perjanjian formal. Di tingkat global, baru ada 8 perjanjian spesifik akuifer, dan cakupan kerja sama operasional untuk SDG 6.5.2 masih 42% (lebih rendah dari target global). Proses negosiasi sering terhambat oleh perbedaan kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan kekhawatiran kedaulatan1.
4. Pendanaan dan Keberlanjutan Proyek
Pendanaan menjadi isu krusial, baik untuk riset, pengembangan kapasitas, maupun pembentukan institusi bersama. Banyak proyek kerja sama bergantung pada dana internasional (misal, GEF, SDC), sehingga keberlanjutan jangka panjang sering dipertanyakan1.
Studi Kasus: Praktik Baik dan Pelajaran Penting
1. North Western Sahara Aquifer System (NWSAS):
Tiga negara (Aljazair, Tunisia, Libya) membentuk mekanisme konsultasi sejak 2008, dengan tujuan pertukaran data, pemantauan bersama, dan skenario pengelolaan. Meski belum menghasilkan perjanjian formal, mekanisme ini meningkatkan transparansi dan kapasitas teknis1.
2. Stampriet Transboundary Aquifer System (STAS), Afrika Selatan:
Melalui proyek GGRETA (Governance of Groundwater Resources in Transboundary Aquifers), Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan membentuk Multi-Country Cooperation Mechanism (MCCM) untuk pertukaran data dan pemantauan bersama. MCCM menjadi model pertama integrasi tata kelola akuifer ke dalam organisasi DAS lintas negara (ORASECOM)1.
3. Eropa: Pengelolaan Terpadu dan Tantangan Implementasi
Water Framework Directive mendorong pendekatan berbasis DAS, namun implementasi di tingkat lokal kerap terhambat fragmentasi kelembagaan dan perbedaan standar antarnegara. Studi di Belanda menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dan skala, serta keterlibatan aktor lokal dalam penetapan tujuan dan pemantauan kualitas air1.
Analisis Kritis: Kesenjangan, Inovasi, dan Rekomendasi
1. Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan
Meskipun kemajuan besar dicapai dalam pemetaan dan penilaian akuifer, transfer pengetahuan ke pembuat kebijakan masih lemah. Banyak keputusan strategis diambil tanpa data ilmiah yang memadai, atau tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi dan ekologi1.
2. Inovasi Tata Kelola: Kolaborasi dan Keterbukaan
3. Peran Hukum Internasional
Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers (UNILC, 2008) menjadi rujukan utama, meski belum mengikat secara hukum. Konvensi PBB (1997, 1992) dan protokol regional seperti SADC Revised Protocol on Shared Watercourses juga memberi kerangka kerja sama, namun adopsi dan implementasinya masih terbatas1.
4. Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Partisipasi masyarakat, pelaku usaha, dan LSM sangat penting untuk membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang. Studi kasus di perbatasan AS-Meksiko menunjukkan bahwa kerja sama informal dan berbasis komunitas sering lebih efektif daripada pendekatan top-down, terutama dalam konteks sosial-budaya yang kompleks1.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Krisis air tanah lintas batas kini menjadi isu strategis di tengah perubahan iklim, urbanisasi, dan peningkatan kebutuhan pangan. Industri air minum, pertanian, dan energi kini semakin sadar akan risiko over-extraction dan polusi akuifer. Di sisi lain, digitalisasi data air, inovasi pemantauan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi tren baru dalam tata kelola sumber daya air global.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Buku ini berhasil mengangkat kompleksitas isu akuifer lintas batas dari berbagai perspektif—ilmiah, hukum, sosial, dan politik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: kurangnya insentif politik, ketimpangan kapasitas, dan resistensi terhadap transparansi. Studi lain (misal, Eckstein & Sindico, 2014) menyoroti bahwa tanpa insentif ekonomi dan tekanan publik, negara cenderung lamban dalam membangun kerja sama formal.
Rekomendasi Strategis
Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Akuifer Lintas Batas yang Berkelanjutan
“Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” menegaskan bahwa akuifer lintas batas adalah kunci ketahanan air masa depan, namun pengelolaannya menuntut kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Meski kemajuan signifikan telah dicapai dalam dua dekade terakhir, dunia masih jauh dari target SDG 6.5.2 tentang kerja sama air lintas batas. Tanpa komitmen politik, investasi, dan inovasi tata kelola, risiko konflik, degradasi ekosistem, dan krisis air akan terus membayangi. Buku ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, ilmuwan, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air tanah yang adil dan berkelanjutan.
Sumber artikel :
UNESCO, 2022. Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward. Sanchez, R. (Ed). Paris, UNESCO.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Isu keamanan air (water security) kini menjadi perhatian utama dalam wacana pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara Global Selatan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk menopang kehidupan pedesaan. Paper karya Sameer H. Shah ini melakukan telaah sistematis terhadap 99 artikel jurnal internasional (2000–2019) untuk menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana konsep water security didefinisikan, didorong, dan dipraktikkan dalam konteks penghidupan pedesaan di Global Selatan? Dengan pendekatan scoping review, Shah menyoroti kekuatan, kelemahan, dan peluang riset water security, serta menawarkan agenda riset baru yang sangat relevan untuk kebijakan, riset, dan praktik pembangunan pedesaan.
Konsep Water Security: Dari Ketahanan Fisik ke Dimensi Sosial-Ekologis
Awal mula konsep water security berakar dari upaya negara-negara mengamankan pasokan air demi pertanian, pemukiman, dan keamanan nasional. Namun, sejak Deklarasi Den Haag (2000), definisi water security berkembang menjadi kondisi di mana setiap orang memiliki akses air yang cukup, aman, terjangkau, serta terlindungi dari risiko bencana air. Water security kini dipahami sebagai kerangka yang mengintegrasikan kebutuhan manusia dan ekologi secara simultan, dengan pendekatan sistem sosial-ekologis yang menekankan keterkaitan antara ketersediaan, kualitas, akses, dan risiko air12.
Metodologi Review: Cakupan, Seleksi, dan Analisis
Penulis menelusuri empat basis data besar, menyeleksi artikel peer-reviewed berbahasa Inggris yang terbit antara 2000–2019, dan secara eksplisit membahas water security dalam kaitan dengan penghidupan pedesaan di Global Selatan. Dari 2.359 publikasi awal, setelah proses penyaringan ketat, terpilih 99 artikel yang dianalisis secara tematik dan metodologis. Hasilnya, mayoritas artikel terbit setelah 2010, menandakan meningkatnya perhatian terhadap isu ini seiring menguatnya diskursus nexus air–energi–pangan dan perubahan iklim1.
Bagaimana Water Security Didefinisikan?
Hanya 30,3% publikasi yang secara eksplisit mendefinisikan water security. Mayoritas definisi berfokus pada ketersediaan air yang “memadai”, “cukup”, dan “dapat diterima” untuk kebutuhan kesehatan, penghidupan, ekosistem, dan produksi. Definisi yang benar-benar mengaitkan water security dengan peningkatan produktivitas, kesejahteraan, dan kapabilitas manusia sangat sedikit (hanya 16,7% dari definisi yang ada)12. Sebagian besar publikasi masih menempatkan water security sebagai upaya menghindari risiko atau kekurangan air, bukan sebagai alat untuk membangun kapasitas dan kemakmuran masyarakat pedesaan.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Dinamika dan Penyebab Water Insecurity
Faktor Penyebab Utama
Studi Kasus Nyata
Solusi yang Ditemukan: Antara Teknikal dan Transformasi Sosial
Strategi Umum
Skala Intervensi
Solusi yang diusulkan tersebar di berbagai level: individu/rumah tangga (24,2%), komunitas (21,2%), DAS (37,4%), negara bagian (21,2%), nasional (35,4%), hingga internasional (23,2%). Namun, intervensi di tingkat internasional sering terbatas pada perjanjian lintas batas atau integrasi pada nexus air–energi–pangan, bukan pada transformasi sistemik1.
Analisis Kritis dan Agenda Riset Masa Depan
Empat Temuan Kunci
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Temuan Shah sejalan dengan kritik literatur lain yang menilai pendekatan water security masih terlalu teknokratik dan kurang integratif. Studi Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) juga menyoroti lemahnya fokus pada kapabilitas dan keadilan sosial dalam program water security. Sementara itu, pendekatan “hydro-social” yang menggabungkan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi mulai berkembang, namun belum menjadi arus utama dalam kebijakan maupun riset di Global Selatan.
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan
Isu water security kini menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 2 (pengentasan kelaparan). Industri pertanian, pangan, dan energi kini dituntut untuk mengadopsi pendekatan efisiensi air, circular economy, serta pemberdayaan petani kecil. Namun, tanpa transformasi tata kelola dan distribusi air yang adil, inovasi teknologi saja tidak cukup untuk menjamin water security yang inklusif dan berkelanjutan.
Rekomendasi Praktis dan Agenda Riset ke Depan
Menuju Water Security yang Inklusif dan Berkeadilan
Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana konsep water security dipraktikkan di Global Selatan. Kelemahan utama terletak pada definisi yang konservatif, fokus livelihood yang sempit, dan minimnya transformasi struktural. Untuk menjawab tantangan masa depan, water security harus didefinisikan ulang sebagai alat untuk membangun kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial, bukan sekadar menghindari risiko. Agenda riset dan kebijakan ke depan harus lebih inklusif, integratif, dan transformatif, agar penghidupan pedesaan di Global Selatan benar-benar tangguh menghadapi krisis air dan perubahan zaman.
Sumber artikel :
Sameer H. Shah. "How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review." Water Policy, Vol 23 No 5, 2021, pp. 1129–1152.