Industri Kontruksi

Penerapan BIM di Industri Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Revolusi digital dalam konstruksi telah menempatkan Building Information Modeling (BIM) sebagai salah satu inovasi paling penting. BIM bukan sekadar perangkat lunak, melainkan kerangka kerja kolaboratif yang mengintegrasikan data proyek dalam model digital. Dengan BIM, informasi proyek (dimensi 3D) dapat dikembangkan menjadi model yang juga memasukkan dimensi waktu (4D), biaya (5D), keberlanjutan (6D), dan manajemen fasilitas (7D). Pendekatan ini memungkinkan para pemangku kepentingan berbagi “satu sumber kebenaran” sepanjang siklus hidup proyek, dari desain hingga pemeliharaan. Manfaat BIM secara global telah banyak dilaporkan: peningkatan efisiensi, pengendalian biaya dan waktu, kualitas desain yang lebih baik, deteksi dini konflik desain, pengurangan kebutuhan tenaga kerja manual, serta dukungan pada bangunan yang lebih berkelanjutan. Survei di industri konstruksi Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, menemukan BIM meningkatkan kreativitas perancangan sekaligus menekan biaya dan durasi proyek. Selain itu, konsep BIM mendorong kolaborasi multi-disiplin yang lebih erat, sehingga mengurangi risiko miskomunikasi dan kesalahan interpretasi gambar kerja.

Di sisi lain, adopsi BIM di negara berkembang menghadapi hambatan khas, seperti kurangnya tenaga ahli terampil, resistensi perubahan organisasi, estimasi yang belum terlatih, dan infrastruktur IT yang kurang memadai. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Meskipun teknologi BIM telah dikenal dan seharusnya mendorong efisiensi industri konstruksi yang selama ini cenderung rendah, pelaksanaannya di Indonesia masih terbatas. Literatur lokal tentang BIM masih minim; hanya sedikit studi empiris yang mengeksplorasi bagaimana para praktisi Indonesia memahami dan memanfaatkan BIM. Sementara itu, semakin kompleksnya proyek-proyek infrastruktur nasional semestinya menjadi momentum bagi penerapan BIM. Penelitian Mieslenna dan Wibowo (2019) hadir untuk mengisi gap pengetahuan ini dengan menggali perspektif pengguna tentang implementasi BIM di Indonesia. Study ini dibangun atas pemahaman bahwa pengalaman praktisi BIM setempat berharga untuk memperkaya wawasan teoretis dan memetakan kebutuhan kebijakan serta pelatihan di masa mendatang.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis wawancara semi-terstruktur, yang dinilai sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang persepsi dan pengalaman para pelaku industri. Metode semacam ini memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap motivasi, manfaat, dan kendala BIM menurut narasumber yang berpengalaman. Sebelum wawancara, peneliti memetakan isu-isu kunci dari kajian pustaka global terkait adopsi BIM, yang kemudian dijabarkan menjadi lebih dari 30 pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan dalam enam tema utama: faktor industri, faktor proyek, kebijakan/regulasi, sumber daya, investasi, dan risiko terkait BIM. Misalnya, untuk tema sumber daya, ditanyakan ketersediaan tenaga ahli BIM di perusahaan dan persyaratan kompetensi yang diperlukan.

Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan purposif melalui asosiasi BIM nasional (IBIMI). Berdasarkan rekomendasi, diperoleh sepuluh perusahaan yang mewakili ekosistem BIM: kontraktor pelaksana, konsultan perencana, pengembang, hingga penyedia (supplier) material. Setiap narasumber yang diwawancara dipilih karena memiliki pengalaman luas di proyek konstruksi Indonesia dan peran manajerial dalam implementasi BIM. Wawancara dilakukan di Jakarta selama September–Oktober 2018, dengan durasi 35–70 menit per sesi. Data yang diperoleh ditranskrip verbatim, kemudian dianalisis dengan memberi kode pada kata kunci jawaban untuk setiap pertanyaan. Hasil analisis digabung dalam matriks kategori-responden, dari situ diidentifikasi jawaban yang kemudian dielaborasi untuk menjawab empat pertanyaan riset utama.

Pendekatan ini cukup baru dalam konteks Indonesia karena studi berbasis kualitatif terhadap pengguna BIM masih jarang. Banyak penelitian global mengandalkan survei kuantitatif atau analisis sekunder, sementara penelitian ini menyajikan narasi langsung dari praktisi lokal. Kebaruan metodologis penelitian ini terletak pada penetrasi perspektif pengguna (user perspective) di Indonesia yang selama ini kurang terwakili di literatur akademis. Melalui wawancara semi-terstruktur, paper ini mengisi kekosongan studi empiris tentang BIM di Indonesia dengan memberikan insight yang nyata dari lapangan, sekaligus memberi dasar awal bagi rekomendasi kebijakan dan pengembangan kapabilitas BIM di masa depan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Hasil wawancara mengungkap gambaran adopsi BIM di beberapa perusahaan konstruksi Indonesia yang masih berskala awal namun bervariasi. Lama adopsi berbeda-beda: ada yang mulai bereksperimen dengan BIM sejak awal 2000-an, sementara yang lain baru memasukkannya sejak pertengahan 2010-an. Dalam praktiknya, sebagian besar responden mengakui bahwa implementasi BIM baru diterapkan di kantor pusat atau departemen perencanaan, sedangkan di lapangan konstruksi proses koordinasi masih banyak mengandalkan metode konvensional. Perangkat lunak BIM yang paling sering disebutkan adalah Autodesk Revit®, meskipun ada juga beberapa yang menggunakan aplikasi lain sesuai kebutuhan spesifik pekerjaan.

Adopsi BIM dipicu oleh berbagai faktor motivasi. Beberapa perusahaan memulainya atas inisiatif internal semata (bottom-up), didorong oleh tim desain atau R&D yang ingin mengikuti inovasi global. Contohnya, sekelompok engineer menyadari kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi internal dan lalu mengusulkan penggunaan BIM. Penerapan awal sering kali berskala terbatas pada satu divisi atau proyek percontohan, lalu berkembang jika mendapat dukungan manajemen. Sementara itu, beberapa perusahaan memulai implementasi BIM secara top-down: pimpinan atau komisaris menugaskan penggunaan BIM dalam proyek tertentu. Skema top-down ini biasanya memulai dengan komitmen penuh dan rencana jelas dari manajemen, sehingga penerapannya lebih menyeluruh sejak awal.

Para responden juga menyebutkan faktor pendorong eksternal. Antara lain, menurunnya permintaan clarifikasi desain (Request for Information/RFI) saat menggunakan BIM. Dengan model 3D yang lengkap, kontraktor dan subkon dapat memahami desain lebih baik sehingga frekuensi permintaan klarifikasi gambar ke perencana berkurang. BIM juga memudahkan deteksi dini potensi benturan (clash) antara elemen struktural, utilitas, dan arsitektur saat masih di fase desain, sehingga meminimalkan rework di lapangan. Manfaat lain yang ditekankan adalah peningkatan efisiensi secara keseluruhan: beberapa responden mengamati bahwa sejumlah gambar detail dapat dihasilkan dengan tenaga yang lebih sedikit dibanding cara tradisional, berkat otomatisasi dan integrasi di dalam software BIM.

Berikut beberapa temuan utama terkait motivasi adopsi dan keuntungan yang dirasakan:

  • Alasan adopsi BIM: kebutuhan internal untuk pengendalian proyek yang lebih baik; mengikuti tren inovasi dunia konstruksi; mempermudah RFI dan dokumentasi perencanaan; kemampuan clash detection untuk mencegah konflik desain; efisiensi waktu dan pengurangan biaya proyek; serta permintaan langsung dari klien, khususnya klien swasta, yang ingin melihat model BIM dalam studi kelayakan atau presentasi penawaran.

  • Manfaat utama: kontrol proyek yang lebih efektif dan penjadwalan yang lebih baik; deteksi konflik desain secara dini sehingga menghindari pekerjaan ulang (rework); pengurangan permintaan informasi tambahan (RFI) selama konstruksi; penghematan material (karena perhitungan volume menjadi akurat); penghematan sumber daya manusia (beberapa responden mencatat bisa menghasilkan beberapa jenis gambar dengan jumlah tenaga lebih sedikit); serta kemudahan dokumentasi desain yang terpusat dalam satu model. Selain aspek teknis, penggunaan BIM ternyata juga memengaruhi sisi bisnis: model tiga dimensi yang informatif sangat membantu dalam presentasi kepada calon klien, sehingga perusahaan bisa lebih meyakinkan dalam memenangkan proyek baru. Dalam hal komunikasi, seorang responden menggambarkan BIM sebagai “bahasa digital bersama” antar-peran: karena model digital bersifat visual dan standar, semua pihak (perencana, kontraktor, subkon) dapat melihat informasi yang sama meski dari perspektif berbeda, sehingga mengurangi miskomunikasi.

  • Kolaborasi terfragmentasi: Responden mengamati bahwa potensi kolaborasi penuh dari BIM belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Sebabnya, masih sedikit pihak yang terintegrasi dalam model bersama. Jika hanya perencana dan kontraktor utama yang menggunakan BIM, tetapi subkontraktor atau pemasok belum, proses koordinasi tetap menggunakan cara lama (misalnya sketsa manual atau modifikasi gambar 2D). Dalam situasi semacam itu, pengguna BIM sering harus melakukan pekerjaan tambahan—misalnya menyiapkan versi data yang lebih konvensional untuk dipahami pihak lain. Seorang responden menyimpulkan bahwa jika tidak semua pemangku kepentingan menggunakan BIM, salah satu pihak terpaksa “menyulap” semua data sendirian sehingga manfaat BIM menurun.

Menariknya, hampir semua responden belum menemukan “kekurangan” signifikan dari penggunaan BIM. Dalam wawancara tidak muncul keluhan teknis spesifik terkait BIM itu sendiri. Beberapa menekankan justru kelebihannya, sambil mengingatkan bahwa perhatian utama harus pada risiko penerapan. Mereka menyoroti bahwa implementasi BIM mengandung tingkat kegagalan tinggi jika tidak direncanakan dengan baik. Oleh karena itu, rekomendasi praktis yang diusulkan adalah memulai dengan proyek percontohan atau pilot project sebelum penerapan skala besar, guna mengidentifikasi masalah awal dan belajar dari pengalaman tersebut.

Selain itu, responden mengidentifikasi sejumlah faktor penghambat implementasi BIM di industri konstruksi nasional:

  • Investasi Awal yang Besar: Hampir semua perusahaan menyebutkan biaya tinggi sebagai kendala. Implementasi BIM memerlukan lisensi perangkat lunak khusus, upgrade perangkat keras (komputer dengan spesifikasi lebih tinggi), serta pelatihan staf. Return on Investment (ROI) dari BIM baru terasa dalam jangka panjang, sementara modal awal sangat besar. Sebagian besar responden berpendapat bahwa saat ini penerapan BIM lebih ekonomis jika dikhususkan pada proyek-proyek dengan nilai besar, agar investasi tersebut sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

  • Perubahan Budaya Kerja: Peralihan dari metode tradisional ke BIM membutuhkan perubahan cara berpikir dan proses kerja. Divisi-divisi di dalam perusahaan harus belajar berkomunikasi secara digital dan mengelola data dalam satu platform bersama. Beberapa responden menyoroti masalah komunikasi internal: jika tim perencana sudah BIM tapi tim pelaksana belum siap, atau vice versa, koordinasi menjadi hambatan. Selain itu, diperlukan latihan berkelanjutan agar tenaga kerja terbiasa dengan alur kerja baru dan tidak kembali ke cara lama.

  • Kekurangan Tenaga Ahli BIM: Ketersediaan ahli BIM yang kompeten masih terbatas di Indonesia. Responden mengungkapkan bahwa kebutuhan akan spesialis BIM (seperti BIM manager, BIM coordinator) meningkat seiring penerapan BIM, namun belum diimbangi jumlah tenaga profesional yang memadai. Hal ini terkait pula dengan kurangnya program pelatihan dan sertifikasi kompetensi nasional khusus BIM. Tanpa standardisasi kompetensi, perusahaan sulit memastikan kualitas staf BIM.

  • Kebijakan dan Regulasi: Regulasi pemerintah menjadi sorotan. Beberapa orang mendukung inisiatif pemerintah seperti Peraturan Menteri PUPR (2018) yang mewajibkan BIM pada proyek gedung negara berskala besar (misalnya gedung >2 lantai dan luas >2.000 m²). Regulasi seperti ini dapat mendorong adopsi BIM secara lebih luas. Namun, ada kekhawatiran dari kalangan tertentu bahwa kebijakan wajib BIM dapat memberatkan perusahaan kecil-menengah jika tidak disertai bantuan insentif. Seorang konsultan perencana mengingatkan bahwa BIM sebaiknya tidak menjadi beban bagi usaha kecil; bila diwajibkan tanpa persiapan, bisa memicu hambatan usaha.

  • Kepemilikan Data BIM: Isu hak atas model informasi digital juga muncul. Data dan informasi dalam BIM adalah “aset intelektual” yang penting. Beberapa responden pernah mengalami kebocoran data desain ke pihak lain, sehingga muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan informasi. Praktik di lapangan beragam: ada perusahaan yang secara otomatis menyerahkan data kepada klien, sementara yang lain mempertahankan kepemilikan data desain. Untuk menghindari perselisihan, narasumber menyarankan agar kontrak kerja secara tegas mengatur hak dan akses data BIM. Dengan regulasi yang belum baku tentang kepemilikan data digital, kejelasan kontrak menjadi kunci.

  • Standardisasi Proses dan Notasi: Beberapa narasumber menggarisbawahi perlunya standar teknis yang baku, misalnya penamaan komponen konstruksi (kolom, balok, dinding) dalam model BIM agar semua pihak menggunakan istilah yang sama. Standarisasi seperti ini juga sebaiknya disisipkan dalam standar nasional atau aturan industri. Sebagai tambahan, diperlukan juga standar kompetensi nasional BIM, sehingga lulusan atau pekerja BIM memiliki sertifikasi kemampuan yang diakui luas.

Secara keseluruhan, narasi dari wawancara menunjukkan bahwa di tingkat perusahaan yang mempraktikkan BIM, dampak positif sudah mulai dirasakan, terutama pada aspek efisiensi dan koordinasi internal. Namun, hambatan struktural di tingkat industri masih signifikan. Responden optimistis bahwa dengan meningkatnya kesadaran dan tren pasar, potensi BIM untuk mengubah industri konstruksi Indonesia ke arah lebih efisien dan transparan sangat besar.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penelitian ini memberikan wawasan berharga, namun perlu diingat sejumlah keterbatasan metodologisnya. Pertama, sampel terdiri dari 10 perusahaan terpilih yang sudah menggunakan atau akan menggunakan BIM, yang dipilih atas pertimbangan pengalaman dan jaringan asosiasi. Artinya, hasil wawancara ini lebih mencerminkan pandangan pelaku yang sudah “berorientasi BIM” dan punya akses ke sumber daya tertentu. Pandangan perusahaan yang belum pernah mencoba BIM atau usaha kecil menengah yang belum siap secara sumber daya mungkin tidak terwakili. Kondisi demikian dapat menimbulkan bias positif: para responden cenderung optimis terhadap BIM karena mereka berada di garis depan adopsi teknologi ini. Oleh karena itu, temuan seperti “tidak ada kelemahan BIM yang ditemukan” mungkin didorong oleh konteks sampel yang maju dalam teknologi, bukan gambaran industri secara umum.

Kedua, sebagai studi kualitatif, wawancara semi-terstruktur bergantung pada persepsi dan interpretasi narasumber. Argumen atau pengalaman yang disampaikan berupa narasi pribadi, sehingga cenderung subjektif. Hasil analisis bergantung pada kemampuan peneliti mengode dan mentranskripsi jawaban, yang bisa ada interpretasi peneliti di balik setiap sintesis. Tidak ada data kuantitatif yang mengukur seberapa besar (misalnya persentase pengurangan biaya) sehingga kesimpulan tentang manfaat masih bersifat kualitatif. Hal ini membatasi kemampuan menarik generalisasi luas atau melakukan perbandingan objektif antar-variabel.

Ketiga, penelitian ini hanya mencakup perspektif pengguna BIM (main contractor, konsultan, developer, supplier) dalam lingkup proyek swasta. Sudut pandang pemangku kepentingan lain seperti pemberi proyek (owner) di sektor publik, lembaga regulasi, atau bahkan kontraktor level-2 tidak disertakan. Implikasinya, masukan terkait kebijakan pemerintah atau kebutuhan kurikulum pendidikan, misalnya, harus ditafsirkan dari perspektif pengguna saja. Selain itu, wawancara dilakukan pada periode tertentu (2018); karena BIM adalah bidang yang dinamis, temuan bisa berubah seiring waktu—misalnya saat regulasi baru diberlakukan atau tren global berubah.

Oleh sebab itu, ketika membaca resensi ini perlu dicatat bahwa hasilnya memberikan gambaran awal berdasarkan opini terpilih, bukan hasil survei representatif. Selalu ada kemungkinan bias seleksi responden (hanya yang tergabung di asosiasi BIM), bias optimisme (hanya pengadopsi BIM yang diwawancara), dan bias peneliti dalam menafsirkan data kualitatif. Meskipun demikian, kekritisan penelitian tetap terlihat: penulisnya sendiri menyadari aspek-aspek yang belum tercakup dan menggarisbawahi perlunya validasi lebih luas. Hal ini memungkinkan pembaca melihat temuan ini sebagai titik tolak diskusi, bukan fakta mutlak untuk seluruh industri.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Meski fokus utamanya eksplorasi pendapat pengguna, hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan penting untuk pengembangan ilmu dan praktik selanjutnya. Dari sisi akademik, studi ini merekomendasikan penelitian lanjutan yang lebih khusus, misalnya analisis rasio manfaat-biaya (benefit-cost) penggunaan BIM dalam proyek konstruksi Indonesia, serta studi komparatif waktu pengerjaan proyek dengan dan tanpa BIM. Data empiris mengenai keuntungan kuantitatif tentu dibutuhkan untuk melengkapi temuan kualitatif ini. Demikian pula, ada peluang penelitian pengembangan indikator kinerja BIM dan sertifikasi kompetensi BIM nasional, agar keahlian yang diperlukan bisa distandardisasi.

Bagi pengambil kebijakan dan pemerintah, temuan ini bisa menjadi referensi awal untuk merumuskan strategi adopsi BIM. Misalnya, data hambatan investasi tinggi dan kekhawatiran UMKM menghadapi BIM wajib dapat membantu merancang kebijakan insentif atau bantuan teknis. Regulasi PUPR telah menandakan arah, namun riset ini menggarisbawahi kebutuhan akan sosialisasi dan dukungan pelatihan (capacity building) bagi pelaku industri agar kebijakan tersebut efektif. Lembaga pemerintah juga dapat menggunakan hasil ini untuk mengevaluasi cakupan dan manfaat program digitalisasi proyek publik, serta mengukur kesiapan pemangku kepentingan di daerah-daerah lain selain Jakarta.

Di ranah pendidikan, kurikulum teknik sipil dan arsitektur sebaiknya menambah modul BIM yang lebih aplikatif. Karena responden menyoroti kurangnya tenaga ahli, perguruan tinggi dan lembaga pelatihan profesional berpeluang memanfaatkan temuan ini untuk menyesuaikan kurikulum agar lulusan siap menghadapi tuntutan digital. Misalnya, materi tentang manajemen data proyek dan kolaborasi digital yang ditemui di lapangan dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah atau workshop.

Akhirnya, industri konstruksi sendiri dapat meninjau ulang strategi adopsi teknologi berdasarkan wawasan ini. Perusahaan dapat mulai mengalokasikan investasi untuk pilot project BIM dengan skala terbatas, sesuai rekomendasi penelitian, sebelum memperluas penggunaannya. Temuan tentang manfaat pemasaran proyek lewat model 3D misalnya bisa dijadikan argumentasi internal untuk memulai BIM di awal tahun anggaran. Organisasi bisa membangun tim BIM atau keahlian internal khusus sebagai unit strategis. Kesadaran akan hambatan budaya kerja juga menyoroti perlunya manajemen perubahan dalam perusahaan; pelatihan dan komunikasi internal menjadi kunci agar peralihan ke BIM berjalan mulus.

Secara keseluruhan, studi ini menandai fase awal pengembangan kajian BIM di Indonesia. Dengan dasar temuan ini, studi ilmiah berikutnya dapat menguji hipotesis baru atau menjangkau responden lebih luas. Temuan ini, yang bersandar pada perspektif pengguna langsung, menguatkan landasan untuk merumuskan kebijakan, kurikulum, dan strategi teknis secara lebih matang.

Penutup Reflektif

Hasil temuan penelitian ini punya relevansi penting dengan tren global digitalisasi konstruksi. Di berbagai belahan dunia, BIM telah menjadi standar baru yang memacu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas proyek infrastruktur. Temuan-temuan yang diperoleh Mieslenna dan Wibowo selaras dengan kebutuhan industri yang semakin menuntut produktivitas tinggi dan kendali biaya yang ketat. Indonesia, dengan proyek infrastruktur masifnya, sangat mungkin memperoleh manfaat serupa bila adopsi BIM lebih meluas. Misalnya, dalam era keuangan publik yang diawasi ketat, penggunaan BIM bisa meningkatkan transparansi perencanaan anggaran proyek. Begitu pula dalam pengoperasian, informasi terintegrasi di BIM dapat mendukung e-manajemen aset.

Refleksi lebih jauh, penelitian ini menggarisbawahi bahwa penerapan BIM bukanlah sekadar tren teknologi, melainkan bagian dari transformasi digital industri konstruksi menuju yang lebih canggih. Ke depan, tantangan efisiensi, keberlanjutan, dan keterbukaan data hanya akan semakin penting. Dengan mengangkat contoh penerapan BIM di lokal, resensi ini mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh tertinggal dalam perkembangan global seperti Building Industry 4.0. Diperlukan sinergi antara dunia akademik, pembuat kebijakan, dan pelaku industri untuk merealisasikan potensi digitalisasi tersebut. Dengan dorongan yang tepat, BIM bisa menjadi fondasi inovasi yang mendorong proyek infrastruktur nasional menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal – sesuai dengan kebutuhan dan harapan era globalisasi konstruksi saat ini.

Sumber:
Mieslenna, C. F. dan Wibowo, A. (2019). Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna. Universitas Katolik Parahyangan. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.17664.81921 

Selengkapnya
Penerapan BIM di Industri Konstruksi Indonesia

Industri 4.0

Sistem Manajemen Pembelajaran Berbasis Online dalam Era Industri 4.0 – Realita di Perguruan Tinggi Islam

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena revolusi industri 4.0 yang mengintegrasikan media elektronik dan internet dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Model pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mendukung proses belajar jarak jauh yang mandiri. Sejumlah platform daring—seperti Zoom, Google Classroom, WhatsApp, serta Moodle dan YouTube—dipergunakan sebagai media pembelajaran virtual. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa penggunaan aplikasi daring yang sudah familiar bagi guru dan siswa dapat memotivasi keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (misalnya aplikasi yang sudah dikuasai siswa). Misalnya, mahasiswa dapat belajar dari mana saja tanpa harus hadir secara fisik, sehingga akses pembelajaran daring lebih fleksibel dan tidak memakan banyak waktu.

Namun, sejumlah kajian juga menunjukkan tantangan signifikan dalam konteks e-learning. Ketersediaan layanan internet yang tidak merata dan tidak stabil di beberapa wilayah menghambat partisipasi aktif siswa. Beberapa siswa kesulitan mengikuti kelas daring karena sinyal lemah sehingga terjadi gangguan komunikasi dan keterlambatan pengumpulan tugas. Selain itu, biaya kuota internet yang ditanggung siswa menimbulkan beban tersendiri. Dalam implementasi pembelajaran daring, video konferensi (seperti Zoom) terbukti memakan kuota lebih besar dibanding aplikasi pesan instan (WhatsApp). Meski demikian, dalam studi blended learning, penggunaan Zoom dan WhatsApp tetap dipilih karena terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa secara daring.

Secara teoritis, penggunaan platform dan media digital didukung oleh karakteristik era Industri 4.0, di mana sistem siber-fisik dan konektivitas internet memungkinkan fitur seperti sensor, perangkat pintar, dan interaksi manusia-mesin. Penelitian terdahulu menunjukkan penerapan Learning Management System (LMS) berbasis elektronik di institusi pendidikan meningkatkan pencapaian belajar dan direkomendasikan diimplementasikan untuk mencapai tujuan kurikulum. Media pembelajaran daring yang menarik (misalnya video kuliah, forum akademik) juga mendapat penerimaan tinggi oleh mahasiswa. Penelitian eksperimental lain menyimpulkan media interaktif elektronik lebih efektif dibanding media konvensional. Oleh karena itu, pemanfaatan media elektronik dalam LMS mendukung sistem pembelajaran hybrid atau blended learning. Konteks pandemi COVID-19 mempercepat adopsi sistem pembelajaran elektronik secara masif, karena kebijakan pembelajaran jarak jauh oleh pemerintah. Meskipun demikian, penelitian ini mengamati bahwa setelah pandemi, beberapa mahasiswa masih kurang siap dengan pembelajaran online: beberapa bersikap pasif atau terlambat mengumpulkan tugas, mengindikasikan kesiapan implementasi sistem daring yang belum optimal.

Dari tinjauan ini, penelitian berfokus pada persepsi mahasiswa tentang delapan platform e-learning yang digunakan di perguruan tinggi Islam di Jambi, dan mengaitkannya dengan tiga aspek penilaian: proses belajar-mengajar, kompetensi dosen, serta fasilitas dan infrastruktur. Kerangka teoritis penelitian ini berisi asumsi bahwa adopsi teknologi 4.0 dan LMS berbasis web memberikan peluang perluasan akses pembelajaran, namun juga membawa tantangan infrastruktur dan kompetensi yang perlu dianalisis secara mendalam. Tujuan penelitian jelas dirumuskan pada penggalan akhir pendahuluan: “Penelitian ini bertujuan menganalisis realitas pembelajaran berbasis online di perguruan tinggi Islam di Jambi dan menganalisis persepsi mahasiswa terhadap implementasi delapan platform LMS dalam proses pembelajaran, dilihat dari tiga aspek penilaian: aspek pembelajaran-mengajar, kompetensi dosen, dan infrastruktur”. Meski tanpa hipotesis eksplisit, struktur argumentasi penulis membangun konteks dari literatur dan observasi pendahuluan menuju pertanyaan penelitian tersebut.

Metodologi dan Kebaruan

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain survei. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di dua universitas Islam di Kota Jambi, dengan teknik purposive sampling. Kriteria responden adalah mahasiswa yang telah menjalani pembelajaran jarak jauh selama empat tahun terakhir (2019–2022) dan pernah menggunakan platform daring yang disurvei. Sampel terdiri dari 147 mahasiswa (117 di perguruan tinggi negeri, 30 di swasta). Data dikumpulkan melalui kuesioner berskala Likert yang mencakup 19 butir pertanyaan terbagi ke dalam empat kelompok: (1) penggunaan platform LMS (3 butir), (2) aspek pembelajaran-mengajar (5), (3) aspek kompetensi dosen (6), dan (4) aspek fasilitas-infrastruktur (5). Instrumen survei ini merupakan adaptasi dari studi terdahulu dan telah diuji isi. Analisis data dilakukan secara deskriptif, menghitung persentase jawaban untuk setiap pernyataan, baik frekuensi penggunaan platform maupun tingkat persetujuan terhadap pernyataan Likert.

Kebaruan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap delapan platform e-learning sekaligus dalam konteks pendidikan tinggi Islam, dengan pembobotan aspek teknologi dan akademik. Selain itu, studi ini menggabungkan penilaian persepsi mahasiswa atas penggunaannya (usage frequency) dengan preferensi dan evaluasi tiga aspek kualitas pembelajaran berbasis online. Kerangka survei yang menghubungkan delapan aplikasi populer dengan indikator pembelajaran, kompetensi dosen, dan infrastruktur jarang ditemukan dalam kajian serupa. Namun, penelitian ini tidak mengembangkan model konseptual baru maupun pengujian hipotesis statistik, melainkan murni deskriptif sesuai dengan tujuannya.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

       Penggunaan dan Preferensi Platform Daring

Hasil survei menunjukkan pola penggunaan platform LMS oleh mahasiswa. Tabel 4 mengungkap bahwa platform yang paling banyak digunakan adalah Zoom Meeting (113 responden, 76,9%), kemudian WhatsApp (93 responden, 63,3%) dan Google Classroom (88 responden, 59,9%). Platform lain seperti Google Meet (46,9%) dan YouTube (47,6%) juga cukup banyak dipakai, sedangkan platform institusi (SPIDOL-SUTHA) sekitar 30% dan Edmodo (12,9%). Penggunaan Moodle sangat rendah (1 responden, 0,7%). Paragraf hasil menyatakan bahwa mayoritas siswa memang menggunakan Zoom (hampir 77% total) sebagai platform utama, diikuti oleh penggunaan WhatsApp dan Google Classroom yang lebih dari setengah responden. Sebaliknya, Edmodo dan Moodle “sangat jarang digunakan dalam pembelajaran daring” – hanya satu mahasiswa yang memilih Moodle dalam proses pembelajaran jarak jauh. Kondisi ini konsisten dengan temuan penulis di abstrak yang menyimpulkan “Zoom, Google Classroom and Whatsapp […] were the most frequently used distance learning media”.

Selaras dengan frekuensi penggunaan, preferensi mahasiswa (tabel 5) cenderung mirip. Zoom Meeting dan Google Classroom menempati posisi teratas dengan masing-masing 44,9% responden menyatakan menyukainya. WhatsApp disukai oleh 42,2% mahasiswa, sedangkan Google Meet sekitar 30,6%. Platform berbasis video (YouTube) hanya disukai sekitar 26,5%, sementara platform institusi kampus yang khusus hanya 7,5% mahasiswa yang menganggapnya favorit. Edmodo (1,4%) dan Moodle (0,7%) merupakan platform paling tidak diminati. Narasi penulis menjelaskan bahwa tidak ada satu pun platform yang dipilih oleh mayoritas (>50%), namun Zoom dan Google Classroom berkedudukan tertinggi pada masing-masing ~45% responden. WhatsApp pun dipilih oleh lebih dari 40% karena kemudahannya dalam membentuk grup diskusi dan berbagi materi belajar, meski faktor lain (seperti keterbatasan pengiriman informasi) membuatnya tidak menjadi favorit utama. Temuan ini relevan dengan kenyataan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform yang mudah diakses dan dikenal (Zoom dan Google Classroom), sementara platform yang lebih rumit atau kurang familiar seperti Moodle diabaikan.

       Persepsi Aspek Pembelajaran Daring

Penilaian mahasiswa terhadap aspek proses pembelajaran-mengajar daring juga digambarkan secara deskriptif. Tabel 6 menunjukkan sebagian besar siswa menyatakan akses materi perkuliahan online dapat dilakukan dengan mudah: sekitar 50% memilih “Setuju” atau “Sangat Setuju” bahwa kuliah online mudah diakses. Sebagai contoh, 13,6% siswa sangat setuju dan 36,7% setuju bahwa kuliah daring dapat diakses dengan mudah. Persentase yang memilih netral relatif tinggi (38,1%), menunjukkan sebagian lain cenderung mempertimbangkan hambatan akses. Pada item kedua terkait ketepatan waktu kuliah online, sebagian besar responden memilih netral (46,3%) atau setuju (38,8% gabungan SA/A), mengindikasikan umumnya tidak ada kendala waktu yang signifikan.

Item ketiga menanyakan apakah kuliah online meningkatkan pemahaman materi. Hasilnya, 7,5% sangat setuju dan 33,3% setuju, total 41% setuju bahwa e-learning dapat mencapai sasaran belajar dan meningkatkan pemahaman, sedangkan sekitar 20% menolaknya. Artinya, hampir setengah responden cenderung melihat keberhasilan transfer pengetahuan secara daring, meski sekitar sepertiga netral dan sebagian kecil tidak sepakat. Pernyataan keempat, yang menilai kesesuaian materi daring dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS), mendapat 15,6% SA dan 49,7% A – total 65% menyetujui bahwa dosen melaksanakan pembelajaran sesuai RPS. Ini menunjukkan mahasiswa menghargai tata kelola perkuliahan daring yang terstruktur. Terakhir, perihal kemudahan pengumpulan tugas daring (misalnya tanpa perlu duplikasi fisik), sekitar 62% (SA+A) merasa sangat mudah melakukan submission tugas secara daring. Hanya sekitar 10% yang menilai adanya hambatan substansial (pilih tidak setuju), menandakan mayoritas melihat proses pengumpulan tugas telah difasilitasi secara memadai.

Secara keseluruhan, bagian pembelajaran-mengajar dinilai positif. Penulis mencatat bahwa hampir 79% mahasiswa setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kuliah daring. Lebih dari setengah mahasiswa juga menilai dosen merespons pertanyaan (51% setuju ditambah 12% sangat setuju) dan mampu menjelaskan materi kuliah secara umum. Sekitar 60% siswa menyatakan dosen aktif mendampingi jalannya kelas daring hingga selesai. Temuan ini mendukung kesimpulan penulis bahwa “responden secara umum positif terhadap aspek proses pembelajaran” dan bahwa proses pembelajaran online berjalan dengan baik walau masih perlu perbaikan untuk kasus mahasiswa yang tidak setuju.

       Persepsi Aspek Kompetensi Dosen

Penilaian terhadap kompetensi dosen juga menunjukkan kecenderungan positif. Hampir semua item kompetensi mendapatkan persentase tertinggi pada kategori “Setuju” (berkisar 46–59%). Sebagai contoh, 79% mahasiswa menyatakan setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kelas daring. Sekitar 63% setuju (dan tambahan 18% sangat setuju) bahwa dosen merespon pertanyaan serta memberikan pemahaman umum terhadap materi perkuliahan. Demikian pula, sekitar 60% menyetujui bahwa dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan menunjukkan sikap kooperatif selama pembelajaran daring. Perihal pendampingan, total 60% responden (46% setuju + 14% sangat setuju) merasakan bahwa dosen benar-benar mendampingi proses belajar hingga selesai. Persentase yang tidak setuju relatif kecil (<5%), menunjukkan mayoritas mahasiswa puas dengan kinerja pengajar dalam proses pembelajaran online. Temuan ini konsisten dengan narasi artikel bahwa “lecturers provide opportunities for students to ask questions and discuss” yang disetujui oleh hampir 80% responden. Dengan demikian, persepsi mahasiswa menunjukkan kompetensi dosen dalam pembelajaran daring dinilai memadai dan cenderung “baik” (good) secara keseluruhan.

       Persepsi Aspek Infrastruktur

Aspek fasilitas dan infrastruktur mendapatkan respons beragam. Tabel 8 mengindikasikan 62,6% (13,6% SA + 49,0% A) mahasiswa menyetujui bahwa materi pembelajaran daring tersedia dengan baik di platform online. Sekitar 29% memilih netral dan 10% merasa bahan pembelajaran tidak tersaji dengan memadai. Pada item kedua (perangkat praktikum di rumah), 9,5% sangat setuju dan 37,4% setuju – total 46,9% – merasa memiliki perangkat yang dibutuhkan, sedangkan 11,6% tidak memilikinya sama sekali. Fakta ini menegaskan bahwa sebagian mahasiswa membutuhkan ketersediaan alat dari institusi; penulis mengamati banyak yang netral karena tidak bisa menuntut penyediaan alat. Item ketiga mengonfirmasi bahwa hanya sekitar 48,3% (16,3% SA + 32% A) yang merasa data internet disediakan oleh institusi untuk pembelajaran online. Sekitar 23,8% netral dan 28% menolak pernyataan ini, sesuai kondisi bahwa subsidi kuota internet oleh kampus telah dihentikan pasca-2020. Terakhir, pada item kemudahan mengumpulkan tugas (misalnya link pengumpulan tugas), 13,6% SA dan 53,7% A (total ~67,3%) mahasiswa menyatakan proses tersebut mudah berkat fasilitas tersebut[40]. Hanya 1% yang menyatakan ketidaksetujuan, menegaskan bahwa kemudahan teknis ini telah dihadirkan oleh sebagian besar dosen.

Secara keseluruhan, mahasiswa menilai infrastruktur memadai dalam beberapa aspek (tersedianya materi online, kemudahan pengumpulan tugas), namun masih muncul tantangan pada ketersediaan perangkat praktik dan akses internet. Penulis menyoroti bahwa hanya setengah mahasiswa memiliki peralatan praktikum di rumah, dan hampir sepertiga merasa paket data harus ditanggung sendiri, menciptakan kesenjangan akses dalam pembelajaran jarak jauh. Temuan ini menunjukkan bahwa sebelum mengandalkan teknologi baru, institusi perlu menuntaskan infrastruktur dasar agar pembelajaran daring lebih merata.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Beberapa batasan metodologis penelitian perlu dicermati. Desain survei kuantitatif dengan purposive sampling mengumpulkan data persepsi dari 147 mahasiswa satu program studi (Pendidikan Bahasa Inggris) di Jambi. Metode ini memudahkan pengambilan sampel spesifik, tetapi mengurangi generalisasi hasil. Karena sampel tidak acak dan hanya mencakup jurusan tertentu, hasilnya sulit digeneralisasi ke semua mahasiswa perguruan tinggi Islam atau disiplin ilmu lain. Selain itu, instrumen berupa kuesioner Likert hanya menghasilkan data deskriptif; penulis menganalisis hasil dengan persentase tanpa melakukan uji statistik inferensial. Tidak terdapat pengujian signifikansi antara kelompok atau korelasi antar variabel (misalnya pengaruh infrastruktur terhadap kepuasan belajar), sehingga kesimpulan bersifat deskriptif dan tidak dapat membuktikan hipotesis tertentu. Hal ini menimbulkan kekurangan ilmiah karena tidak ada analisis model atau uji hipotesis yang mengukur kekuatan hubungan antar aspek.

Kerangka teori dan model konseptual studi ini juga tidak dijabarkan secara eksplisit. Walaupun penulis merujuk banyak literatur pendukung, tidak terlihat adanya model atau hipotesis terukur yang diuji. Penelitian ini lebih bersifat eksploratif-deskriptif; konsekuensinya, kontribusi pada pengembangan teori e-learning menjadi terbatas. Selain itu, validitas dan reliabilitas instrumen tidak dibahas, yang penting untuk memastikan kualitas data kuantitatif. Metode purposive sampling dapat menyebabkan bias pilihan responden yang lebih paham atau tertarik dengan teknologi, sehingga persepsi mahasiswa secara keseluruhan mungkin terdistorsi. Secara statistik, karena menggunakan data ordinal dari skala Likert, analisis deskriptif tanpa uji lebih lanjut mengabaikan variabilitas antar individu. Dengan kata lain, signifikansi perbedaan (misalnya preferensi Zoom vs. Google Meet) tidak diuji, sehingga tidak dapat diketahui apakah selisih persentase tersebut bermakna.

Meski demikian, metodologi survei kuantitatif ini sesuai dengan tujuan mengetahui persepsi umum. Penulis berhasil memetakan penggunaan platform dan menilai tiga aspek penting melalui data kuantitatif sederhana. Namun, untuk studi lanjutan, diperlukan metode campuran (misalnya wawancara pendalam) atau eksperimen intervensi untuk mengukur efektivitas nyata LMS tertentu. Secara keseluruhan, desain penelitian sudah menjawab tujuan deskriptif, tapi lebih banyak modifikasi diperlukan agar temuan dapat dijadikan dasar kebijakan atau model konseptual yang lebih kuat.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Penelitian ini menawarkan wawasan praktis dan implikasi bagi pengembangan e-learning dan pendidikan tinggi. Temuan bahwa Zoom, Google Classroom, dan WhatsApp paling banyak digunakan dan disukai menandakan kebutuhan pengembangan teknologi pembelajaran yang mudah diakses. Institusi dapat memfokuskan pelatihan dan dukungan pada platform-platform populer tersebut, sekaligus meningkatkan integrasi antara LMS kampus dengan media sosial agar pengajar lebih termotivasi menggunakan sistem yang sudah dikenal. Hasil positif pada aspek pembelajaran dan kompetensi dosen menunjukkan bahwa elemen pedagogis dan kelengkapan materi sudah memadai; penelitian selanjutnya dapat menggali bagaimana perbaikan lebih lanjut (misalnya optimasi konten multimedia atau interaksi real-time) dapat meningkatkan proses belajar daring. Temuan kendala infrastruktur (misalnya alat praktikum, kuota) menunjukkan perlunya upaya pengurangan digital divide – dapat menjadi topik riset lanjutan, misalnya mengevaluasi program subsidi atau pengembangan perangkat praktikum murah berbasis internet.

Secara ilmiah, kajian mendatang dapat membangun model konseptual yang lebih komprehensif, misalnya dengan menguji teori penerimaan teknologi (TAM) atau model belajar daring yang menghubungkan variabel motivasi, self-efficacy, dan satisfaction. Data survei yang ada menyiratkan adanya hubungan antar aspek (misalnya kualitas infrastruktur berdampak pada persepsi kemudahan belajar), namun belum dieksplorasi secara statistik. Oleh karena itu, analisis lanjutan dengan metode inferensial (uji t, ANOVA, regresi, atau SEM) dapat mengungkap faktor determinan keberhasilan e-learning. Penelitian eksperimen, misalnya memantau hasil belajar spesifik setelah pelatihan penggunaan LMS, akan menguatkan bukti empiris dan signifikansi statistik keterkaitan teknologi pendidikan.

Dalam ranah praktis dan kebijakan, hasil ini relevan dengan tren perkembangan e-learning terkini. Walaupun pandemi telah mereda, adaptasi terhadap era 4.0 mendorong pengembangan pembelajaran hibrid dan smart campus. Temuan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform sederhana mengindikasikan bahwa pengembangan LMS ke depan harus mempertimbangkan antarmuka yang intuitif dan keterpaduan dengan aplikasi mobile. Selain itu, refleksi data menunjukkan tantangan nyata: kemampuan guru dalam memanfaatkan platform, keterbatasan jaringan internet, dan masalah integritas (misalnya kecurangan ujian) masih perlu perhatian. Riset masa depan sebaiknya mengeksplorasi solusi berbasis teknologi mutakhir—misalnya penggunaan AI tutor, augmented reality (AR) dalam praktikum, atau sistem deteksi plagiarisme—untuk menanggulangi hambatan tersebut. Pada akhirnya, hasil penelitian ini menggarisbawahi bahwa kemajuan e-learning tidak hanya soal teknologi, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan manusia. Temuan positif soal penerapan e-learning selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam di era 4.0 memiliki landasan bagus untuk inovasi berkelanjutan di bidang pendidikan tinggi.

📚 Sumber Asli:

Monalisa, Mahmudah, K., Hasanah, I. A., Pratama, A., Sumardi, M. S., Putri, R., Fitria, W., Rozal, E., & Alhazzy, R. (2023). Online-based Learning Management System in the Industrial Revolution 4.0 Era: Reality in Islamic Higher Education. Journal of Education Technology, 7(2), 247–260. Universitas Pendidikan Ganesha. https://doi.org/10.23887/jet.v7i2.56612

Selengkapnya
Sistem Manajemen Pembelajaran Berbasis Online dalam Era Industri 4.0 – Realita di Perguruan Tinggi Islam

Manajemen Konstruksi

AOA sebagai Alat Pedagogis: Tinjauan Konseptual dalam Pendidikan Manajemen Konstruksi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Dalam diskursus pedagogi teknik, penanaman kemampuan berpikir tingkat tinggi sering kali menjadi tujuan yang lebih fundamental daripada sekadar transfer pengetahuan teknis. Karya konseptual Susan Analika yang berjudul, "Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN," secara spesifik membahas peran sebuah alat manajemen proyek klasik—metode Activity on Arrow (AOA)—sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pedagogis yang lebih tinggi tersebut. Latar belakang masalah yang diangkat adalah pentingnya mencapai hasil belajar yang optimal, yang didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dalam hal kecakapan, keterampilan, dan sikap.

Kerangka teoretis penelitian ini berpusat pada mata kuliah Manajemen Konstruksi (MK) di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Universitas Negeri Jakarta. Penulis memposisikan pembelajaran AOA bukan hanya sebagai salah satu topik dalam silabus, melainkan sebagai sebuah latihan fundamental yang dirancang untuk membentuk karakter mahasiswa agar mahir dalam manajemen industri konstruksi. Hipotesis implisit yang mendasari argumen ini adalah bahwa penguasaan metode AOA secara langsung berkontribusi pada pengembangan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Dengan demikian, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menegaskan kembali peranan penting AOA dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teknik penjadwalan tetapi juga sebagai fondasi untuk metode yang lebih kompleks dan sebagai alat untuk mencapai prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengumpulkan data empiris baru, melainkan untuk membangun sebuah argumen pedagogis yang koheren melalui sintesis definisi-definisi dan konsep-konsep yang telah mapan. Penulis secara sistematis menguraikan konsep-konsep dasar seperti "belajar", "pembelajaran", dan "hasil belajar" dengan merujuk pada berbagai sumber literatur untuk membangun landasan teoretisnya.

Analisis yang dilakukan bersifat kualitatif-argumentatif, di mana konsep-konsep tersebut kemudian dihubungkan secara logis dengan peran dan fungsi metode AOA dalam konteks mata kuliah Manajemen Konstruksi. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan metode baru, melainkan pada artikulasi ulang nilai pedagogis dari sebuah metode yang sudah dikenal. Alih-alih hanya membahas AOA dari perspektif teknis (bagaimana cara menggunakannya), penelitian ini memberikan kontribusi dengan membingkainya sebagai alat pengembangan kognitif, sebuah perspektif yang sering kali terabaikan dalam literatur teknis.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Sebagai sebuah studi konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah serangkaian argumen yang menegaskan kembali signifikansi AOA dalam pendidikan teknik.

  1. AOA sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Berpikir: Temuan sentral dari argumen penulis adalah bahwa proses pembelajaran AOA secara inheren melatih mahasiswa untuk berpikir secara sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Proses memetakan ketergantungan antar aktivitas, mengidentifikasi jalur kritis, dan menghitung float memaksa pembelajar untuk melihat proyek sebagai sebuah sistem yang saling terhubung, bukan sebagai serangkaian tugas yang terisolasi.

  2. AOA sebagai Fondasi untuk Pembelajaran Berkelanjutan: Ditemukan bahwa AOA memiliki peran strategis sebagai pemahaman awal sebelum mahasiswa mempelajari metode jaringan kerja yang lebih lanjut, seperti Precedence Diagram Method (PDM). Dengan menguasai logika dasar AOA terlebih dahulu, mahasiswa dipersiapkan dengan lebih baik untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks, sejalan dengan prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.

  3. AOA sebagai Jembatan menuju Praktik Industri: Kontekstualisasi temuan ini sangat jelas: tujuan akhir dari pembelajaran AOA dalam mata kuliah MK adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya manajemen proyek dan membekali mahasiswa dengan pola pikir yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan nyata di industri jasa konstruksi.

Secara interpretatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa AOA memiliki peranan yang jauh melampaui fungsinya sebagai alat penjadwalan; ia adalah sebuah latihan pedagogis fundamental yang membentuk cara berpikir seorang calon profesional konstruksi.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya konseptual dan tidak didukung oleh data empiris. Klaim bahwa pembelajaran AOA secara langsung meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif merupakan sebuah hipotesis yang kuat, namun tetap menjadi sebuah asersi teoretis yang belum divalidasi. Studi ini tidak menyajikan data dari hasil tes, survei, atau studi kasus yang dapat membuktikan secara kuantitatif atau kualitatif adanya hubungan sebab-akibat antara penguasaan AOA dengan peningkatan keterampilan kognitif tersebut. Hubungan kausal yang diasumsikan kemungkinan besar lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti metode pengajaran dosen dan motivasi mahasiswa.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, tulisan ini memberikan justifikasi pedagogis yang kuat bagi para pendidik di bidang teknik sipil untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat pengajaran metode-metode fundamental seperti AOA dalam kurikulum mereka, dengan penekanan pada pengembangan proses berpikir di balik teknik tersebut.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif merumuskan serangkaian hipotesis yang matang untuk diuji secara empiris. Studi selanjutnya dapat merancang penelitian quasi-eksperimental dengan desain pra-tes dan pasca-tes untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kritis pada kelompok mahasiswa yang mempelajari AOA dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dengan para profesional industri dapat mengeksplorasi apakah mereka mempersepsikan adanya korelasi antara pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip jaringan kerja dengan kemampuan pemecahan masalah di lapangan.

Sumber

Analika, S. (2020). Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 10-17.

Selengkapnya
AOA sebagai Alat Pedagogis: Tinjauan Konseptual dalam Pendidikan Manajemen Konstruksi

Pendidikan

Menjembatani Akademisi dan Industri: Panduan Praktis untuk Tesis Master Berbasis Design Science Research

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Dalam dunia akademis yang menuntut keseimbangan antara rigor teoretis dan relevansi praktis, tesis Master di bidang rekayasa perangkat lunak sering kali menjadi arena pertarungan yang kompleks. Karya Eric Knauss yang berjudul, "Constructive Master's Thesis Work in Industry: Guidelines for Applying Design Science Research," secara tajam mengidentifikasi tantangan ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah sifat terapan dari rekayasa perangkat lunak, di mana pendidikan harus mencakup metode penelitian empiris yang kuat. Bagi sebagian besar mahasiswa, tesis Master yang dilakukan dalam kemitraan dengan industri menjadi ujian akhir dari kemampuan ini, menuntut mereka untuk menavigasi ekspektasi yang sering kali berbeda antara akademisi dan praktisi.

Masalah inti yang disorot adalah kesulitan mahasiswa dalam menerapkan metode penelitian konstruktif yang ada, seperti Design Science Research (DSR), dalam kerangka waktu yang terbatas. DSR, yang berfokus pada pembangunan artefak untuk memecahkan masalah praktis sambil menjawab pertanyaan pengetahuan, secara teoretis ideal untuk konteks ini. Namun, pedoman yang ada (misalnya, dari Hevner dkk.) sering kali terlalu abstrak, menyebabkan mahasiswa kesulitan menerjemahkannya ke dalam tindakan konkret. Dengan berlandaskan pada kerangka siklus regulatif Wieringa, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengembangkan seperangkat pedoman yang dapat ditindaklanjuti dan pragmatis, yang secara spesifik dirancang untuk memandu mahasiswa, pembimbing, dan mitra industri melalui proses tesis konstruktif.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini sendiri secara unik mengadopsi metodologi DSR sebagai kerangka kerjanya. Artefak yang dikembangkan adalah seperangkat pedoman, yang telah disempurnakan secara iteratif selama tujuh tahun melalui pengalaman membimbing dua belas tesis Master. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk secara sistematis mengumpulkan dan mensintesis "praktik baik" dan "jebakan umum" dari setiap siklus.

Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi sumber yang kaya, mencakup catatan pribadi penulis, analisis tesis dan publikasi yang dihasilkan, umpan balik dari penguji dan peninjau, serta survei yang disebarkan kepada mahasiswa dan staf akademik untuk mengevaluasi kejelasan dan kegunaan pedoman yang diusulkan.

Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penciptaan teori DSR yang baru, melainkan pada kontribusinya yang sangat praktis: menerjemahkan prinsip-prinsip DSR yang sering kali bersifat teoretis menjadi sebuah proses kerja yang terstruktur dan dapat diakses oleh mahasiswa dalam waktu singkat. Dengan demikian, penelitian ini secara efektif mendemokratisasi DSR untuk konteks pendidikan Master, menjadikannya alat yang lebih mudah didekati dan diterapkan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data yang dilakukan selama bertahun-tahun menghasilkan serangkaian temuan yang terwujud dalam tujuh pedoman utama yang dapat ditindaklanjuti:

  1. Definisikan Artefak Sejak Awal (G1): Kesepakatan yang jelas mengenai artefak yang akan dibangun sangat penting untuk menyelaraskan ekspektasi antara mahasiswa, pembimbing akademis, dan mitra industri.

  2. Bekerja secara Iteratif (G2): Setiap iterasi harus bertujuan untuk meningkatkan artefak dan memperdalam pengetahuan, dengan kontribusi pada setiap pertanyaan penelitian di setiap siklus.

  3. Rumuskan Pertanyaan Penelitian sesuai Siklus Regulatif (G3): Tesis harus memiliki pertanyaan yang berfokus pada masalah, solusi, dan evaluasi.

  4. Adakan Pertemuan Rutin (G4): Pertemuan mingguan antara mahasiswa dan pembimbing, serta pertemuan bulanan yang melibatkan mitra industri, sangat penting untuk menjaga rigor dan relevansi.

  5. Geser Penekanan Antar Siklus (G5): Meskipun semua pertanyaan penelitian disentuh di setiap siklus, fokus utama harus bergeser dari investigasi masalah di siklus pertama, ke konstruksi solusi di siklus kedua, dan ke evaluasi di siklus ketiga.

  6. Sediakan Bagian Khusus untuk Deskripsi Artefak (G6): Deskripsi artefak yang ringkas dan terpusat membantu pembaca memahami konteks dan memungkinkan bagian lain dari tesis untuk fokus pada temuan dan pembelajaran.

  7. Tulis Seiring Berjalan, Namun Restrukturisasi untuk Penyerahan (G7): Temuan yang paling menarik secara kontekstual adalah pengakuan bahwa struktur laporan yang paling efektif untuk penyerahan akhir sering kali berbeda dari catatan kerja kronologis. Selama proses, dokumentasi per siklus adalah yang paling logis. Namun, untuk laporan akhir, struktur yang berpusat pada pertanyaan penelitian (masalah, solusi, evaluasi) jauh lebih koheren dan berdampak.

Temuan ini diperkuat oleh hasil survei yang mengonfirmasi bahwa para peserta merasa kesulitan dengan pedoman DSR asli dari Hevner dkk. yang lebih abstrak, dan menganggap pedoman yang diusulkan oleh Knauss lebih membantu dan ditargetkan secara spesifik untuk kebutuhan mereka.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya, terutama sifat interpretasi yang subjektif berdasarkan pengalaman pribadi dan ukuran sampel survei yang kecil. Selain itu, beberapa peserta survei menyuarakan kekhawatiran bahwa pedoman yang diusulkan mungkin terlalu spesifik untuk konteks universitas penulis, yang membatasi generalisasinya. Sebagai refleksi kritis, validitas pedoman ini di luar lingkungan rekayasa perangkat lunak atau di institusi dengan struktur tesis yang berbeda memang memerlukan pengujian lebih lanjut.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, penelitian ini memberikan implikasi yang signifikan bagi semua pemangku kepentingan dalam ekosistem tesis Master. Bagi mahasiswa, ia menawarkan peta jalan yang jelas. Bagi praktisi industri, ia menguraikan cara-cara untuk berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan nilai maksimal. Bagi pembimbing akademis, ia menyoroti peran krusial mereka dalam menavigasi pertukaran antara rigor dan relevansi. Dan bagi penguji, ia memberikan kerangka kerja untuk menilai tesis konstruktif secara adil, dengan mempertimbangkan upaya dalam desain dan manajemen iterasi.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi validasi pedoman ini di konteks institusional dan disiplin ilmu yang lebih luas. Selain itu, penulis mengidentifikasi dua area terbuka untuk pengembangan pedoman di masa depan: bagaimana melanjutkan pekerjaan di luar batas satu tesis individu, dan bagaimana memformalkan definisi masalah untuk tantangan yang bersifat ambigu atau "jahat" (wicked problems).

Sumber

Knauss, E. (2020). Constructive Master's Thesis Work in Industry: Guidelines for Applying Design Science Research. arXiv:2012.04966v1.

Selengkapnya
Menjembatani Akademisi dan Industri: Panduan Praktis untuk Tesis Master Berbasis Design Science Research

Ilmu Pendidikan

Analisis Kebutuhan Media Pembelajaran Interaktif untuk Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah tantangan pedagogis yang umum namun sering kali kurang teratasi: bagaimana cara menyajikan materi yang bersifat abstrak dan teoretis, seperti Filsafat Ilmu, kepada audiens mahasiswa dari program studi teknis yang lebih berorientasi pada aplikasi praktis. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, media pembelajaran telah menjadi semakin beragam. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan pendidik untuk memilih dan merancang media yang tepat agar dapat memudahkan pemahaman mahasiswa.

Dalam konteks Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan di Universitas Negeri Jakarta, masalah ini menjadi sangat nyata. Observasi awal menunjukkan bahwa media pembelajaran yang digunakan untuk mata kuliah Filsafat Ilmu masih bersifat konvensional, dan terdapat persepsi umum di kalangan mahasiswa bahwa materi tersebut sulit untuk dipahami. Dengan berlandaskan pada fase pertama dari model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation), yaitu fase analisis, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi secara sistematis permasalahan yang ada dengan menganalisis perbedaan antara kondisi media pembelajaran saat ini dengan kondisi yang seharusnya atau yang diinginkan oleh mahasiswa.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode kualitatif dengan pendekatan analisis kebutuhan (needs analysis). Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dirancang dan didistribusikan secara daring menggunakan platform Google Form. Kuesioner ini ditujukan kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan yang telah atau sedang mengambil mata kuliah Filsafat Ilmu.

Proses analisis data bersifat deskriptif, di mana hasil dari kuesioner diolah untuk memetakan persepsi mahasiswa mengenai media pembelajaran yang ada, tingkat pemahaman mereka terhadap materi, serta preferensi mereka untuk pengembangan media di masa depan. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada aplikasinya yang spesifik dan pragmatis. Dengan melakukan analisis kebutuhan yang terstruktur untuk sebuah mata kuliah non-teknis dalam kurikulum teknik, penelitian ini memberikan sebuah justifikasi berbasis data yang kuat untuk inovasi pedagogis, sebuah langkah yang sering kali terlewatkan dalam proses pengembangan kurikulum.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data dari kuesioner yang diisi oleh responden menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang secara jelas mengonfirmasi masalah yang dihipotesiskan.

  1. Inefektivitas Media Pembelajaran Saat Ini: Ditemukan bahwa media pembelajaran yang dominan digunakan dalam mata kuliah Filsafat Ilmu adalah presentasi PowerPoint. Namun, media ini dinilai tidak efektif. Sebanyak 78% mahasiswa menyatakan bahwa media yang digunakan saat ini belum membantu memudahkan mereka untuk memahami materi yang dianggap sulit. Lebih lanjut, 81,6% mahasiswa menilai media tersebut kurang menarik, dan 75,5% menganggapnya terlalu monoton.

  2. Kesulitan dalam Pemahaman Materi: Persepsi mengenai inefektivitas media ini berkorelasi dengan kesulitan dalam penguasaan materi. Sebagian besar mahasiswa secara eksplisit menyatakan bahwa mata kuliah Filsafat Ilmu sulit untuk dipahami. Hal ini juga tercermin dalam data perolehan nilai, di mana hanya 6% mahasiswa yang berhasil meraih nilai A, sementara sebagian besar berada di rentang A- hingga B.

  3. Permintaan Kuat akan Inovasi: Sebagai respons terhadap kondisi saat ini, terdapat permintaan yang sangat kuat dari mahasiswa untuk pengembangan media pembelajaran baru. Sebanyak 90% responden secara spesifik menginginkan pengembangan media berupa multimedia interaktif, dengan beberapa di antaranya juga menyebutkan video animasi sebagai alternatif yang menarik.

Secara kontekstual, temuan-temuan ini secara meyakinkan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara alat pedagogis yang disediakan dengan kebutuhan dan preferensi belajar mahasiswa modern. Ketergantungan pada presentasi statis untuk subjek yang kompleks terbukti tidak memadai, dan ada mandat yang jelas dari para pembelajar untuk beralih ke format yang lebih dinamis dan menarik.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Sebagai sebuah studi yang berfokus pada fase analisis, keterbatasan utama dari penelitian ini adalah bahwa ia mengidentifikasi masalah tanpa menyajikan atau menguji solusinya. Validitas temuan juga bergantung pada data pelaporan mandiri (self-reported data) dari sekelompok mahasiswa di satu program studi, yang membatasi generalisasi hasilnya.

Secara kritis, meskipun penelitian ini berhasil mengidentifikasi preferensi untuk "multimedia interaktif", definisi dari istilah ini masih bersifat luas. Analisis yang lebih dalam mengenai jenis-jenis interaktivitas spesifik apa yang paling diinginkan oleh mahasiswa (misalnya, simulasi, studi kasus interaktif, kuis formatif) dapat memperkaya temuan ini lebih lanjut.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat langsung dan dapat ditindaklanjuti. Hasil analisis ini memberikan dasar yang kuat bagi Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ untuk memprioritaskan pengembangan media pembelajaran baru untuk mata kuliah Filsafat Ilmu, dengan fokus pada format multimedia interaktif.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi untuk siklus pengembangan selanjutnya. Langkah berikutnya yang paling logis adalah melanjutkan ke tahap Desain dan Pengembangan dari model ADDIE, dengan merancang prototipe media interaktif berdasarkan temuan ini. Setelah itu, penelitian eksperimental dapat dilakukan untuk membandingkan secara kuantitatif hasil belajar dan tingkat keterlibatan antara kelompok mahasiswa yang menggunakan media baru dengan kelompok kontrol yang masih menggunakan metode konvensional.

Sumber

Malindo, R. (2020). Analisa Kebutuhan Pengembangan Media Pembelajaran pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 361-367.

Selengkapnya
Analisis Kebutuhan Media Pembelajaran Interaktif untuk Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Building Information Modeling

Mendefinisikan Keberlanjutan BIM: Analisis Faktor Kunci untuk Keberhasilan Proyek Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Di tengah lanskap industri konstruksi global yang semakin kompleks, Building Information Modeling (BIM) telah diakui sebagai aset penting yang mampu merevolusi seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan konseptual hingga tahap operasi. Namun, karya Josefine Ernestine Latupeirissa dan Hermin Arrang yang berjudul, "Sustainability factors of building information modeling (BIM) for a successful construction project management life cycle in Indonesia," menyoroti sebuah kesenjangan yang signifikan. Latar belakang masalah yang diangkat adalah lambatnya adopsi dan tingkat kematangan BIM di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju.

Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas premis bahwa keberhasilan proyek konstruksi modern tidak lagi dapat diukur hanya dengan "segitiga besi" tradisional yang terdiri dari waktu, biaya, dan kualitas. Sebaliknya, keberhasilan implementasi BIM bergantung pada serangkaian "faktor keberlanjutan" (sustainability factors) yang lebih luas, yang mencakup aspek teknologi, organisasi, dan manusia. Dengan demikian, hipotesis implisit yang mendasari studi ini adalah bahwa dengan mengidentifikasi dan memvalidasi faktor-faktor keberlanjutan yang paling krusial dalam konteks Indonesia, sebuah model dapat dibangun untuk memandu perusahaan konstruksi dalam mengatasi masalah informasi dan komunikasi, sehingga meningkatkan peluang keberhasilan proyek secara keseluruhan.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang terstruktur untuk membangun dan memvalidasi model faktor keberlanjutan implementasi BIM. Prosesnya diawali dengan tinjauan literatur yang komprehensif untuk mengidentifikasi serangkaian faktor potensial yang mempengaruhi keberhasilan BIM. Faktor-faktor ini kemudian dirumuskan ke dalam sebuah kerangka kerja konseptual.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada para pemangku kepentingan di industri konstruksi Indonesia. Responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan dari setiap faktor yang diusulkan menggunakan skala Likert. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara statistik untuk menguji validitas dan reliabilitas dari setiap faktor, serta untuk menentukan peringkat pengaruhnya terhadap keberhasilan proyek.

Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan manfaat baru dari BIM, melainkan pada kontribusinya dalam membangun sebuah model keberlanjutan yang spesifik konteks dan berbasis bukti. Alih-alih hanya menyajikan daftar manfaat atau hambatan yang bersifat umum, penelitian ini secara sistematis menyaring dan memprioritaskan faktor-faktor yang paling esensial untuk memastikan bahwa implementasi BIM tidak hanya terjadi, tetapi juga berkelanjutan dan berhasil dalam jangka panjang di lingkungan industri konstruksi Indonesia.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data statistik menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan mendalam mengenai dinamika implementasi BIM di Indonesia.

  1. Dominasi Faktor Penggunaan dan Adopsi: Temuan yang paling menonjol adalah bahwa faktor Penggunaan dan Adopsi BIM (U&AofBIM - X3) menempati peringkat pertama sebagai faktor keberlanjutan yang paling penting, dengan lebih dari separuh (68%) responden memilihnya. Ini secara kuat mengindikasikan bahwa dari perspektif para praktisi di Indonesia, keberhasilan BIM lebih ditentukan oleh aspek manusia dan organisasi—seperti kemauan tim proyek untuk menggunakan dan mengadopsi teknologi secara konsisten—daripada sekadar ketersediaan teknologi itu sendiri.

  2. Pentingnya Efektivitas Sistem BIM: Faktor kedua yang paling berpengaruh adalah Efektivitas Sistem BIM (E of BIMS), yang dipilih oleh 54,55% responden. Temuan ini menegaskan bahwa setelah komitmen untuk adopsi terbentuk, kualitas dan keandalan dari perangkat lunak dan alur kerja BIM yang dipilih menjadi sangat krusial.

  3. Eliminasi Faktor yang Tidak Terduga: Salah satu temuan yang paling menarik secara kontekstual adalah bahwa beberapa faktor yang secara teoretis dianggap penting—seperti Ekspektasi Klien (EL - X2), Umpan Balik (Fb - X6), dan Manajemen Pemangku Kepentingan (MofS - X8)—justru tereliminasi dari model akhir setelah melalui pengujian validitas statistik. Penulis secara eksplisit menyatakan bahwa hasil ini "bertentangan dengan ekspektasi penelitian," yang menunjukkan bahwa dalam praktik di Indonesia, faktor-faktor internal seperti komitmen tim dan efektivitas sistem saat ini memiliki bobot yang lebih besar daripada tekanan atau masukan dari pihak eksternal.

Secara keseluruhan, temuan ini melukiskan gambaran di mana keberhasilan BIM di Indonesia sangat bergantung pada fondasi internal yang kuat: komitmen tim untuk secara konsisten menggunakan teknologi, yang didukung oleh sistem yang efektif dan andal. Hal ini sangat relevan mengingat studi lain yang dirujuk dalam paper ini menunjukkan bahwa jumlah insinyur di Indonesia yang memiliki kompetensi dalam menggunakan BIM masih tergolong rendah.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Meskipun menyajikan analisis yang berharga, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, sebagai studi kuantitatif yang berbasis survei, temuan ini merefleksikan persepsi para responden dan mungkin tidak sepenuhnya menangkap kompleksitas dinamika proyek di lapangan. Kedua, paper ini tidak merinci demografi atau jumlah responden secara spesifik, yang membuat evaluasi terhadap generalisasi temuan menjadi sulit.

Secara kritis, temuan mengenai eliminasi faktor-faktor seperti ekspektasi klien dan umpan balik merupakan hasil yang provokatif. Namun, penelitian ini dapat diperdalam lebih lanjut dengan analisis kualitatif untuk mengeksplorasi mengapa faktor-faktor ini dianggap kurang signifikan oleh para praktisi di Indonesia. Apakah ini disebabkan oleh kurangnya kematangan klien dalam menuntut standar BIM, atau karena fokus internal pada pembangunan kapabilitas dasar saat ini lebih diutamakan?

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas bagi perusahaan konstruksi di Indonesia. Pesan utamanya adalah bahwa investasi dalam perangkat lunak BIM saja tidak cukup. Prioritas utama harus diberikan pada pembangunan budaya adopsi dan memastikan komitmen yang konsisten dari seluruh tim proyek. Ini mencakup investasi dalam pelatihan untuk meningkatkan kompetensi SDM dan pemilihan sistem BIM yang terbukti efektif dan sesuai dengan kebutuhan.

Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi kualitatif melalui studi kasus mendalam dapat dilakukan untuk membongkar "kotak hitam" dari faktor "Penggunaan dan Adopsi," mengeksplorasi secara rinci bagaimana komitmen tim dibangun dan dipertahankan dalam proyek-proyek yang berhasil. Selain itu, penelitian longitudinal yang melacak proyek dari waktu ke waktu dapat memberikan bukti yang lebih kuat mengenai bagaimana fokus pada faktor-faktor keberlanjutan yang diidentifikasi dalam model ini secara nyata mempengaruhi metrik keberhasilan proyek seperti biaya, waktu, dan kualitas.

Sumber

Latupeirissa, J. E., & Arrang, H. (2024). Sustainability factors of building information modeling (BIM) for a successful construction project management life cycle in Indonesia. Journal of Building Pathology and Rehabilitation, 9(26). https://doi.org/10.1007/s41024-023-00376-1

Selengkapnya
Mendefinisikan Keberlanjutan BIM: Analisis Faktor Kunci untuk Keberhasilan Proyek Konstruksi di Indonesia
page 1 of 1.163 Next Last »