Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada tantangan eksistensial yang dihadapi oleh industri konstruksi selama pandemi COVID-19. Penulis menggarisbawahi bahwa organisasi konstruksi, dalam operasional normal sekalipun, dipaksa untuk terus berinvestasi dalam membangun pengalaman kumulatif untuk meningkatkan peluang keberhasilan. Krisis pandemi secara dramatis mengamplifikasi kebutuhan ini, menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian, mulai dari kebijakan mitigasi global yang mengganggu rantai pasokan hingga peraturan spesifik negara yang menyebabkan penutupan proyek dan peningkatan risiko PHK.
Kerangka teoretis yang diusung oleh AlMaian dan Bu Qammaz memposisikan Organizational Learning (OL)—yang didefinisikan sebagai sebuah filosofi dan proses untuk mengamati serta memperbaiki kesalahan—sebagai variabel penentu utama dalam kemampuan sebuah organisasi untuk bertahan dan beradaptasi. Masalah inti yang diidentifikasi adalah bahwa meskipun banyak studi telah menentukan strategi untuk mengendalikan dampak pandemi, pemahaman mengenai peran fundamental dari praktik OL dalam membangun resiliensi organisasi masih kurang dieksplorasi secara sistematis. Dengan demikian, hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa organisasi konstruksi yang telah menanamkan budaya OL yang kuat secara inheren lebih siap untuk menghadapi dan bahkan memanfaatkan disrupsi. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menyelidiki secara mendalam peran praktik OL dalam resiliensi organisasi konstruksi selama pandemi COVID-19.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi kualitatif yang kuat, yang berpusat pada analisis data yang kaya dari wawancara semi-terstruktur. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menggali wawasan yang mendalam dan bernuansa dari para ahli industri. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan para ahli di lokasi konstruksi, dengan durasi rata-rata 60 menit per sesi, memastikan bahwa data yang diperoleh tertanam dalam konteks praktis di lapangan.
Kerangka analisis utama yang digunakan adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Pendekatan ini menjadi kebaruan utama dari penelitian ini. Alih-alih hanya membuat daftar dampak pandemi, penulis secara inovatif menggunakan kerangka SWOT untuk memetakan secara sistematis bagaimana praktik OL berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Pertanyaan-pertanyaan wawancara dirancang secara spesifik untuk mengelompokkan respons ke dalam empat kuadran SWOT, sehingga memungkinkan analisis yang terstruktur mengenai bagaimana kekuatan dan kelemahan internal (terkait OL) berinteraksi dengan peluang dan ancaman eksternal (yang diciptakan oleh pandemi).
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kualitatif yang dibingkai dalam kerangka SWOT menghasilkan serangkaian temuan yang saling terkait, yang melukiskan gambaran komprehensif mengenai peran OL dalam resiliensi.
Aspek Kekuatan (Strengths): Ditemukan bahwa kekuatan internal organisasi yang paling signifikan terkait dengan proses manajemen yang sudah mapan, seperti perencanaan, pemantauan, dan peninjauan. Organisasi yang memiliki praktik OL yang kuat cenderung memiliki mekanisme yang lebih baik untuk belajar dari proyek-proyek sebelumnya, yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan lebih cepat terhadap kondisi yang berubah.
Aspek Kelemahan (Weaknesses): Kelemahan internal utama yang diidentifikasi adalah persistensi masalah dari satu proyek ke proyek berikutnya dan adanya penghambat implementasi OL. Ini mencakup faktor-faktor seperti kurangnya motivasi dan kemauan untuk belajar di kalangan beberapa karyawan, serta resistensi untuk mendokumentasikan pelajaran yang didapat (lessons learned). Pandemi secara efektif mengekspos kelemahan-kelemahan ini, di mana organisasi tanpa budaya belajar yang kuat merasa lebih sulit untuk beradaptasi.
Aspek Peluang (Opportunities): Krisis pandemi, meskipun merupakan ancaman, juga menciptakan peluang fundamental untuk perubahan. Ditemukan bahwa disrupsi ini mendorong organisasi untuk mengevaluasi kembali praktik bisnis mereka, yang pada gilirannya menciptakan keunggulan kompetitif berbasis OL. Organisasi yang mampu belajar dengan cepat dari tantangan baru—misalnya, dengan mengadopsi teknologi digital untuk kerja jarak jauh atau menerapkan protokol kesehatan yang lebih ketat—dapat mengubah krisis menjadi peluang untuk inovasi jangka panjang.
Aspek Ancaman (Threats): Ancaman eksternal utama yang diidentifikasi tidak hanya berasal dari virus itu sendiri, tetapi juga dari lingkungan operasional, seperti birokrasi pemerintah dan proses yang panjang untuk persetujuan rutin. Ancaman-ancaman ini menyoroti pentingnya resiliensi yang tidak hanya bersifat teknis tetapi juga adaptif secara organisasional.
Secara kontekstual, temuan ini menegaskan bahwa resiliensi bukanlah sebuah kondisi statis, melainkan sebuah proses dinamis yang dimungkinkan oleh pembelajaran. Organisasi yang berhasil adalah mereka yang mampu memanfaatkan kekuatan internal (praktik OL yang baik) untuk menangkap peluang eksternal (kebutuhan akan inovasi), sambil secara bersamaan memitigasi kelemahan internal (resistensi terhadap perubahan) untuk menghadapi ancaman eksternal.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi kualitatif, keterbatasan utama dari penelitian ini adalah generalisasi temuannya. Hasil yang didasarkan pada wawancara dengan sekelompok ahli yang terbatas dalam konteks geografis atau industri tertentu mungkin tidak sepenuhnya dapat diterapkan secara universal. Selain itu, sifat retrospektif dari analisis—melihat kembali pengalaman selama pandemi—dapat dipengaruhi oleh bias ingatan (recall bias) dari para responden.
Secara kritis, meskipun kerangka SWOT memberikan struktur yang jelas, ia berisiko menyederhanakan realitas yang sangat dinamis dan sering kali kacau dari sebuah krisis. Analisis yang lebih dalam mengenai bagaimana faktor-faktor non-OL, seperti dukungan finansial pemerintah atau keberuntungan semata, berinteraksi dengan kemampuan belajar organisasi dapat memperkaya pemahaman lebih lanjut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti. Ia memberikan argumen yang kuat bagi para pemimpin di industri konstruksi untuk secara proaktif berinvestasi dalam membangun budaya dan praktik OL sebagai strategi mitigasi risiko jangka panjang. Kerangka SWOT yang digunakan dapat diadopsi sebagai alat diagnostik internal bagi organisasi untuk menilai kesiapan mereka sendiri dalam menghadapi krisis di masa depan.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini meletakkan fondasi kualitatif yang kokoh. Ada kebutuhan untuk studi kuantitatif pada skala yang lebih besar untuk menguji secara statistik hubungan antara berbagai praktik OL dengan metrik resiliensi organisasi (misalnya, kinerja keuangan, kelangsungan proyek). Studi longitudinal yang melacak organisasi dari waktu ke waktu, sebelum, selama, dan setelah krisis, juga akan memberikan wawasan yang tak ternilai mengenai evolusi proses pembelajaran dan adaptasi.
Sumber
AlMaian, R., & Bu Qammaz, A. (2023). The Organizational Learning Role in Construction Organizations Resilience during the COVID-19 Pandemic. Sustainability, 15(2), 1082. https://doi.org/10.3390/su15021082
Wirausaha
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Industri konstruksi, sebuah sektor yang menuntut kolaborasi intensif dan sering kali menghilangkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, menghadapi tantangan kronis dalam mempertahankan talenta, terutama di kalangan generasi baru. Karya Norawit Sang-rit dan Bhumiphat Gilitwala yang berjudul, "The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises," secara tajam menginvestigasi permasalahan ini dalam konteks spesifik Usaha Kecil Menengah (UKM) di Krung Thep Maha Nakhon (Bangkok), Thailand. Latar belakang masalah yang diangkat adalah adanya pergeseran fundamental dalam ekspektasi kerja, di mana karyawan generasi baru (Milenial dan Gen Z) lebih menyukai lingkungan kerja yang tangkas (agile) dan transparan, sebuah kontras yang tajam dengan pola pikir konservatif dan hierarkis yang sering kali masih dianut oleh para senior.
Kerangka teoretis penelitian ini dibangun untuk membedah dinamika kompleks ini dengan menguji sebuah model yang mengintegrasikan beberapa variabel kunci. Penulis memposisikan Retensi Karyawan sebagai variabel dependen utama, yang dipengaruhi secara langsung oleh Kerja Tangkas dan Niat Kewirausahaan. Sementara itu, Kerja Tangkas itu sendiri dipandang sebagai hasil dari dua anteseden penting: Saling Ketergantungan Tugas dan Penghargaan dan Pengakuan. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa dengan memahami hubungan kausal antar variabel-variabel ini, para manajer dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam mengenai faktor-faktor yang benar-benar mendorong karyawan untuk bertahan di industri yang penuh tuntutan ini.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kuantitatif yang kuat, dengan menggunakan Regresi Linear Berganda (Multiple Linear Regression - MLR) sebagai teknik analisis utama untuk menguji serangkaian hipotesis yang telah dirumuskan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner daring yang dirancang dengan cermat, yang terdiri dari pertanyaan demografis dan item-item pengukuran variabel menggunakan skala Likert.
Populasi target adalah para profesional yang bekerja di UKM terkait konstruksi di wilayah Krung Thep. Dengan menggunakan teknik judgement sampling, peneliti berhasil mengumpulkan sampel sebanyak 386 responden yang valid. Untuk memastikan keandalan instrumen, uji reliabilitas menggunakan Cronbach's alpha dilakukan pada tahap uji coba (pilot test) dan pada sampel akhir, dengan hasil yang menunjukkan bahwa kuesioner tersebut dapat diterima untuk analisis lebih lanjut.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada variabel-variabelnya secara individual, yang sebagian besar telah mapan dalam literatur manajemen. Sebaliknya, kontribusi utamanya adalah pada sintesis dan validasi empiris dari model spesifik ini dalam konteks yang sering kali kurang terwakili dalam penelitian akademis: UKM di sektor konstruksi negara berkembang. Dengan secara eksplisit menghubungkan konsep-konsep modern seperti "kerja tangkas" dan "niat kewirausahaan" dengan retensi, penelitian ini memberikan sebuah perspektif yang relevan dengan dinamika tenaga kerja saat ini.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kuantitatif menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan bernuansa mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi retensi karyawan.
Anteseden dari Kerja Tangkas:
Saling Ketergantungan Tugas (H2): Ditemukan bahwa saling ketergantungan tugas memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap kerja tangkas (p < 0.05). Namun, temuan yang paling menarik dan agak kontra-intuitif adalah bahwa hubungan ini bersifat negatif (B = -0.228). Ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat ketergantungan antar tugas, semakin rendah persepsi terhadap kerja tangkas. Hal ini mungkin mencerminkan bahwa dalam praktik, ketergantungan yang tinggi dapat menciptakan friksi atau birokrasi yang justru menghambat fleksibilitas.
Penghargaan dan Pengakuan (H3): Sebaliknya, penghargaan dan pengakuan ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kerja tangkas (B = 0.279). Temuan ini sejalan dengan teori motivasi klasik, yang menegaskan bahwa pengakuan atas kontribusi individu mendorong lingkungan kerja yang lebih dinamis dan kolaboratif.
Determinan dari Retensi Karyawan:
Niat Kewirausahaan (H1a): Ditemukan bahwa niat kewirausahaan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap retensi karyawan (B = 0.328). Temuan ini pada awalnya tampak paradoksal, namun dapat diinterpretasikan bahwa karyawan yang memiliki ambisi wirausaha cenderung bertahan lebih lama di sebuah perusahaan untuk menyerap pengetahuan dan pengalaman sebanyak mungkin sebelum memulai bisnis mereka sendiri.
Kerja Tangkas (H4): Kerja tangkas juga ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap retensi karyawan (B = 0.357). Ini mengonfirmasi bahwa lingkungan kerja yang fleksibel, berpusat pada manusia, dan memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat sangat dihargai oleh para profesional konstruksi dan menjadi faktor pendorong yang kuat bagi mereka untuk tetap tinggal.
Secara kontekstual, model ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan karyawan, perusahaan tidak hanya perlu menciptakan lingkungan kerja yang tangkas, tetapi juga harus menyadari dan bahkan mungkin memfasilitasi ambisi kewirausahaan dari para staf mereka.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara eksplisit mengakui bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan karena kendala waktu, yang menyebabkan fokus hanya pada retensi karyawan secara umum tanpa membedah lebih dalam dinamika antar generasi. Sebagai refleksi kritis, penggunaan judgement sampling membatasi kemampuan untuk menggeneralisasi temuan ini ke seluruh populasi industri konstruksi di Thailand. Selain itu, sifat penelitian yang bersifat cross-sectional hanya dapat mengidentifikasi korelasi, bukan kausalitas definitif dari waktu ke waktu. Temuan yang paling provokatif—yaitu hubungan negatif antara saling ketergantungan tugas dan kerja tangkas—memerlukan investigasi kualitatif lebih lanjut untuk membongkar mekanisme di baliknya.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas bagi departemen Sumber Daya Manusia dan para manajer proyek. Temuan ini memberikan argumen berbasis bukti untuk memprioritaskan implementasi praktik kerja tangkas dan mengembangkan sistem penghargaan dan pengakuan yang adil. Lebih jauh lagi, alih-alih memandang niat kewirausahaan sebagai ancaman, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengembangkan program "intrapreneurship" yang memungkinkan karyawan untuk menyalurkan ide-ide inovatif mereka di dalam struktur perusahaan, sehingga mengubah potensi "risiko kepergian" menjadi "peluang inovasi".
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Penulis menyarankan studi lebih lanjut mengenai hubungan antara pendapatan, tingkat pendidikan, dan niat kewirausahaan. Selain itu, penelitian kualitatif melalui studi kasus mendalam dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai bagaimana dinamika kerja tangkas dan saling ketergantungan tugas benar-benar terwujud di lapangan. Studi longitudinal yang melacak sekelompok karyawan dari waktu ke waktu juga akan sangat berharga untuk memvalidasi hubungan kausal yang diusulkan dalam model ini.
Sumber
Sang-rit, N., & Gilitwala, B. (2024). The factors affecting employee retention in construction-related small-medium enterprises situating in Krung Thep Maha Nakhon. Rajagiri Management Journal, 18(2), 106-124.(https://doi.org/10.1108/RAMJ-03-2023-0061)
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Revolusi digital dalam konstruksi telah menempatkan Building Information Modeling (BIM) sebagai salah satu inovasi paling penting. BIM bukan sekadar perangkat lunak, melainkan kerangka kerja kolaboratif yang mengintegrasikan data proyek dalam model digital. Dengan BIM, informasi proyek (dimensi 3D) dapat dikembangkan menjadi model yang juga memasukkan dimensi waktu (4D), biaya (5D), keberlanjutan (6D), dan manajemen fasilitas (7D). Pendekatan ini memungkinkan para pemangku kepentingan berbagi “satu sumber kebenaran” sepanjang siklus hidup proyek, dari desain hingga pemeliharaan. Manfaat BIM secara global telah banyak dilaporkan: peningkatan efisiensi, pengendalian biaya dan waktu, kualitas desain yang lebih baik, deteksi dini konflik desain, pengurangan kebutuhan tenaga kerja manual, serta dukungan pada bangunan yang lebih berkelanjutan. Survei di industri konstruksi Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, menemukan BIM meningkatkan kreativitas perancangan sekaligus menekan biaya dan durasi proyek. Selain itu, konsep BIM mendorong kolaborasi multi-disiplin yang lebih erat, sehingga mengurangi risiko miskomunikasi dan kesalahan interpretasi gambar kerja.
Di sisi lain, adopsi BIM di negara berkembang menghadapi hambatan khas, seperti kurangnya tenaga ahli terampil, resistensi perubahan organisasi, estimasi yang belum terlatih, dan infrastruktur IT yang kurang memadai. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia. Meskipun teknologi BIM telah dikenal dan seharusnya mendorong efisiensi industri konstruksi yang selama ini cenderung rendah, pelaksanaannya di Indonesia masih terbatas. Literatur lokal tentang BIM masih minim; hanya sedikit studi empiris yang mengeksplorasi bagaimana para praktisi Indonesia memahami dan memanfaatkan BIM. Sementara itu, semakin kompleksnya proyek-proyek infrastruktur nasional semestinya menjadi momentum bagi penerapan BIM. Penelitian Mieslenna dan Wibowo (2019) hadir untuk mengisi gap pengetahuan ini dengan menggali perspektif pengguna tentang implementasi BIM di Indonesia. Study ini dibangun atas pemahaman bahwa pengalaman praktisi BIM setempat berharga untuk memperkaya wawasan teoretis dan memetakan kebutuhan kebijakan serta pelatihan di masa mendatang.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis wawancara semi-terstruktur, yang dinilai sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang persepsi dan pengalaman para pelaku industri. Metode semacam ini memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap motivasi, manfaat, dan kendala BIM menurut narasumber yang berpengalaman. Sebelum wawancara, peneliti memetakan isu-isu kunci dari kajian pustaka global terkait adopsi BIM, yang kemudian dijabarkan menjadi lebih dari 30 pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan dalam enam tema utama: faktor industri, faktor proyek, kebijakan/regulasi, sumber daya, investasi, dan risiko terkait BIM. Misalnya, untuk tema sumber daya, ditanyakan ketersediaan tenaga ahli BIM di perusahaan dan persyaratan kompetensi yang diperlukan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan purposif melalui asosiasi BIM nasional (IBIMI). Berdasarkan rekomendasi, diperoleh sepuluh perusahaan yang mewakili ekosistem BIM: kontraktor pelaksana, konsultan perencana, pengembang, hingga penyedia (supplier) material. Setiap narasumber yang diwawancara dipilih karena memiliki pengalaman luas di proyek konstruksi Indonesia dan peran manajerial dalam implementasi BIM. Wawancara dilakukan di Jakarta selama September–Oktober 2018, dengan durasi 35–70 menit per sesi. Data yang diperoleh ditranskrip verbatim, kemudian dianalisis dengan memberi kode pada kata kunci jawaban untuk setiap pertanyaan. Hasil analisis digabung dalam matriks kategori-responden, dari situ diidentifikasi jawaban yang kemudian dielaborasi untuk menjawab empat pertanyaan riset utama.
Pendekatan ini cukup baru dalam konteks Indonesia karena studi berbasis kualitatif terhadap pengguna BIM masih jarang. Banyak penelitian global mengandalkan survei kuantitatif atau analisis sekunder, sementara penelitian ini menyajikan narasi langsung dari praktisi lokal. Kebaruan metodologis penelitian ini terletak pada penetrasi perspektif pengguna (user perspective) di Indonesia yang selama ini kurang terwakili di literatur akademis. Melalui wawancara semi-terstruktur, paper ini mengisi kekosongan studi empiris tentang BIM di Indonesia dengan memberikan insight yang nyata dari lapangan, sekaligus memberi dasar awal bagi rekomendasi kebijakan dan pengembangan kapabilitas BIM di masa depan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil wawancara mengungkap gambaran adopsi BIM di beberapa perusahaan konstruksi Indonesia yang masih berskala awal namun bervariasi. Lama adopsi berbeda-beda: ada yang mulai bereksperimen dengan BIM sejak awal 2000-an, sementara yang lain baru memasukkannya sejak pertengahan 2010-an. Dalam praktiknya, sebagian besar responden mengakui bahwa implementasi BIM baru diterapkan di kantor pusat atau departemen perencanaan, sedangkan di lapangan konstruksi proses koordinasi masih banyak mengandalkan metode konvensional. Perangkat lunak BIM yang paling sering disebutkan adalah Autodesk Revit®, meskipun ada juga beberapa yang menggunakan aplikasi lain sesuai kebutuhan spesifik pekerjaan.
Adopsi BIM dipicu oleh berbagai faktor motivasi. Beberapa perusahaan memulainya atas inisiatif internal semata (bottom-up), didorong oleh tim desain atau R&D yang ingin mengikuti inovasi global. Contohnya, sekelompok engineer menyadari kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi internal dan lalu mengusulkan penggunaan BIM. Penerapan awal sering kali berskala terbatas pada satu divisi atau proyek percontohan, lalu berkembang jika mendapat dukungan manajemen. Sementara itu, beberapa perusahaan memulai implementasi BIM secara top-down: pimpinan atau komisaris menugaskan penggunaan BIM dalam proyek tertentu. Skema top-down ini biasanya memulai dengan komitmen penuh dan rencana jelas dari manajemen, sehingga penerapannya lebih menyeluruh sejak awal.
Para responden juga menyebutkan faktor pendorong eksternal. Antara lain, menurunnya permintaan clarifikasi desain (Request for Information/RFI) saat menggunakan BIM. Dengan model 3D yang lengkap, kontraktor dan subkon dapat memahami desain lebih baik sehingga frekuensi permintaan klarifikasi gambar ke perencana berkurang. BIM juga memudahkan deteksi dini potensi benturan (clash) antara elemen struktural, utilitas, dan arsitektur saat masih di fase desain, sehingga meminimalkan rework di lapangan. Manfaat lain yang ditekankan adalah peningkatan efisiensi secara keseluruhan: beberapa responden mengamati bahwa sejumlah gambar detail dapat dihasilkan dengan tenaga yang lebih sedikit dibanding cara tradisional, berkat otomatisasi dan integrasi di dalam software BIM.
Berikut beberapa temuan utama terkait motivasi adopsi dan keuntungan yang dirasakan:
Alasan adopsi BIM: kebutuhan internal untuk pengendalian proyek yang lebih baik; mengikuti tren inovasi dunia konstruksi; mempermudah RFI dan dokumentasi perencanaan; kemampuan clash detection untuk mencegah konflik desain; efisiensi waktu dan pengurangan biaya proyek; serta permintaan langsung dari klien, khususnya klien swasta, yang ingin melihat model BIM dalam studi kelayakan atau presentasi penawaran.
Manfaat utama: kontrol proyek yang lebih efektif dan penjadwalan yang lebih baik; deteksi konflik desain secara dini sehingga menghindari pekerjaan ulang (rework); pengurangan permintaan informasi tambahan (RFI) selama konstruksi; penghematan material (karena perhitungan volume menjadi akurat); penghematan sumber daya manusia (beberapa responden mencatat bisa menghasilkan beberapa jenis gambar dengan jumlah tenaga lebih sedikit); serta kemudahan dokumentasi desain yang terpusat dalam satu model. Selain aspek teknis, penggunaan BIM ternyata juga memengaruhi sisi bisnis: model tiga dimensi yang informatif sangat membantu dalam presentasi kepada calon klien, sehingga perusahaan bisa lebih meyakinkan dalam memenangkan proyek baru. Dalam hal komunikasi, seorang responden menggambarkan BIM sebagai “bahasa digital bersama” antar-peran: karena model digital bersifat visual dan standar, semua pihak (perencana, kontraktor, subkon) dapat melihat informasi yang sama meski dari perspektif berbeda, sehingga mengurangi miskomunikasi.
Kolaborasi terfragmentasi: Responden mengamati bahwa potensi kolaborasi penuh dari BIM belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. Sebabnya, masih sedikit pihak yang terintegrasi dalam model bersama. Jika hanya perencana dan kontraktor utama yang menggunakan BIM, tetapi subkontraktor atau pemasok belum, proses koordinasi tetap menggunakan cara lama (misalnya sketsa manual atau modifikasi gambar 2D). Dalam situasi semacam itu, pengguna BIM sering harus melakukan pekerjaan tambahan—misalnya menyiapkan versi data yang lebih konvensional untuk dipahami pihak lain. Seorang responden menyimpulkan bahwa jika tidak semua pemangku kepentingan menggunakan BIM, salah satu pihak terpaksa “menyulap” semua data sendirian sehingga manfaat BIM menurun.
Menariknya, hampir semua responden belum menemukan “kekurangan” signifikan dari penggunaan BIM. Dalam wawancara tidak muncul keluhan teknis spesifik terkait BIM itu sendiri. Beberapa menekankan justru kelebihannya, sambil mengingatkan bahwa perhatian utama harus pada risiko penerapan. Mereka menyoroti bahwa implementasi BIM mengandung tingkat kegagalan tinggi jika tidak direncanakan dengan baik. Oleh karena itu, rekomendasi praktis yang diusulkan adalah memulai dengan proyek percontohan atau pilot project sebelum penerapan skala besar, guna mengidentifikasi masalah awal dan belajar dari pengalaman tersebut.
Selain itu, responden mengidentifikasi sejumlah faktor penghambat implementasi BIM di industri konstruksi nasional:
Investasi Awal yang Besar: Hampir semua perusahaan menyebutkan biaya tinggi sebagai kendala. Implementasi BIM memerlukan lisensi perangkat lunak khusus, upgrade perangkat keras (komputer dengan spesifikasi lebih tinggi), serta pelatihan staf. Return on Investment (ROI) dari BIM baru terasa dalam jangka panjang, sementara modal awal sangat besar. Sebagian besar responden berpendapat bahwa saat ini penerapan BIM lebih ekonomis jika dikhususkan pada proyek-proyek dengan nilai besar, agar investasi tersebut sebanding dengan manfaat yang diperoleh.
Perubahan Budaya Kerja: Peralihan dari metode tradisional ke BIM membutuhkan perubahan cara berpikir dan proses kerja. Divisi-divisi di dalam perusahaan harus belajar berkomunikasi secara digital dan mengelola data dalam satu platform bersama. Beberapa responden menyoroti masalah komunikasi internal: jika tim perencana sudah BIM tapi tim pelaksana belum siap, atau vice versa, koordinasi menjadi hambatan. Selain itu, diperlukan latihan berkelanjutan agar tenaga kerja terbiasa dengan alur kerja baru dan tidak kembali ke cara lama.
Kekurangan Tenaga Ahli BIM: Ketersediaan ahli BIM yang kompeten masih terbatas di Indonesia. Responden mengungkapkan bahwa kebutuhan akan spesialis BIM (seperti BIM manager, BIM coordinator) meningkat seiring penerapan BIM, namun belum diimbangi jumlah tenaga profesional yang memadai. Hal ini terkait pula dengan kurangnya program pelatihan dan sertifikasi kompetensi nasional khusus BIM. Tanpa standardisasi kompetensi, perusahaan sulit memastikan kualitas staf BIM.
Kebijakan dan Regulasi: Regulasi pemerintah menjadi sorotan. Beberapa orang mendukung inisiatif pemerintah seperti Peraturan Menteri PUPR (2018) yang mewajibkan BIM pada proyek gedung negara berskala besar (misalnya gedung >2 lantai dan luas >2.000 m²). Regulasi seperti ini dapat mendorong adopsi BIM secara lebih luas. Namun, ada kekhawatiran dari kalangan tertentu bahwa kebijakan wajib BIM dapat memberatkan perusahaan kecil-menengah jika tidak disertai bantuan insentif. Seorang konsultan perencana mengingatkan bahwa BIM sebaiknya tidak menjadi beban bagi usaha kecil; bila diwajibkan tanpa persiapan, bisa memicu hambatan usaha.
Kepemilikan Data BIM: Isu hak atas model informasi digital juga muncul. Data dan informasi dalam BIM adalah “aset intelektual” yang penting. Beberapa responden pernah mengalami kebocoran data desain ke pihak lain, sehingga muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan informasi. Praktik di lapangan beragam: ada perusahaan yang secara otomatis menyerahkan data kepada klien, sementara yang lain mempertahankan kepemilikan data desain. Untuk menghindari perselisihan, narasumber menyarankan agar kontrak kerja secara tegas mengatur hak dan akses data BIM. Dengan regulasi yang belum baku tentang kepemilikan data digital, kejelasan kontrak menjadi kunci.
Standardisasi Proses dan Notasi: Beberapa narasumber menggarisbawahi perlunya standar teknis yang baku, misalnya penamaan komponen konstruksi (kolom, balok, dinding) dalam model BIM agar semua pihak menggunakan istilah yang sama. Standarisasi seperti ini juga sebaiknya disisipkan dalam standar nasional atau aturan industri. Sebagai tambahan, diperlukan juga standar kompetensi nasional BIM, sehingga lulusan atau pekerja BIM memiliki sertifikasi kemampuan yang diakui luas.
Secara keseluruhan, narasi dari wawancara menunjukkan bahwa di tingkat perusahaan yang mempraktikkan BIM, dampak positif sudah mulai dirasakan, terutama pada aspek efisiensi dan koordinasi internal. Namun, hambatan struktural di tingkat industri masih signifikan. Responden optimistis bahwa dengan meningkatnya kesadaran dan tren pasar, potensi BIM untuk mengubah industri konstruksi Indonesia ke arah lebih efisien dan transparan sangat besar.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penelitian ini memberikan wawasan berharga, namun perlu diingat sejumlah keterbatasan metodologisnya. Pertama, sampel terdiri dari 10 perusahaan terpilih yang sudah menggunakan atau akan menggunakan BIM, yang dipilih atas pertimbangan pengalaman dan jaringan asosiasi. Artinya, hasil wawancara ini lebih mencerminkan pandangan pelaku yang sudah “berorientasi BIM” dan punya akses ke sumber daya tertentu. Pandangan perusahaan yang belum pernah mencoba BIM atau usaha kecil menengah yang belum siap secara sumber daya mungkin tidak terwakili. Kondisi demikian dapat menimbulkan bias positif: para responden cenderung optimis terhadap BIM karena mereka berada di garis depan adopsi teknologi ini. Oleh karena itu, temuan seperti “tidak ada kelemahan BIM yang ditemukan” mungkin didorong oleh konteks sampel yang maju dalam teknologi, bukan gambaran industri secara umum.
Kedua, sebagai studi kualitatif, wawancara semi-terstruktur bergantung pada persepsi dan interpretasi narasumber. Argumen atau pengalaman yang disampaikan berupa narasi pribadi, sehingga cenderung subjektif. Hasil analisis bergantung pada kemampuan peneliti mengode dan mentranskripsi jawaban, yang bisa ada interpretasi peneliti di balik setiap sintesis. Tidak ada data kuantitatif yang mengukur seberapa besar (misalnya persentase pengurangan biaya) sehingga kesimpulan tentang manfaat masih bersifat kualitatif. Hal ini membatasi kemampuan menarik generalisasi luas atau melakukan perbandingan objektif antar-variabel.
Ketiga, penelitian ini hanya mencakup perspektif pengguna BIM (main contractor, konsultan, developer, supplier) dalam lingkup proyek swasta. Sudut pandang pemangku kepentingan lain seperti pemberi proyek (owner) di sektor publik, lembaga regulasi, atau bahkan kontraktor level-2 tidak disertakan. Implikasinya, masukan terkait kebijakan pemerintah atau kebutuhan kurikulum pendidikan, misalnya, harus ditafsirkan dari perspektif pengguna saja. Selain itu, wawancara dilakukan pada periode tertentu (2018); karena BIM adalah bidang yang dinamis, temuan bisa berubah seiring waktu—misalnya saat regulasi baru diberlakukan atau tren global berubah.
Oleh sebab itu, ketika membaca resensi ini perlu dicatat bahwa hasilnya memberikan gambaran awal berdasarkan opini terpilih, bukan hasil survei representatif. Selalu ada kemungkinan bias seleksi responden (hanya yang tergabung di asosiasi BIM), bias optimisme (hanya pengadopsi BIM yang diwawancara), dan bias peneliti dalam menafsirkan data kualitatif. Meskipun demikian, kekritisan penelitian tetap terlihat: penulisnya sendiri menyadari aspek-aspek yang belum tercakup dan menggarisbawahi perlunya validasi lebih luas. Hal ini memungkinkan pembaca melihat temuan ini sebagai titik tolak diskusi, bukan fakta mutlak untuk seluruh industri.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Meski fokus utamanya eksplorasi pendapat pengguna, hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan penting untuk pengembangan ilmu dan praktik selanjutnya. Dari sisi akademik, studi ini merekomendasikan penelitian lanjutan yang lebih khusus, misalnya analisis rasio manfaat-biaya (benefit-cost) penggunaan BIM dalam proyek konstruksi Indonesia, serta studi komparatif waktu pengerjaan proyek dengan dan tanpa BIM. Data empiris mengenai keuntungan kuantitatif tentu dibutuhkan untuk melengkapi temuan kualitatif ini. Demikian pula, ada peluang penelitian pengembangan indikator kinerja BIM dan sertifikasi kompetensi BIM nasional, agar keahlian yang diperlukan bisa distandardisasi.
Bagi pengambil kebijakan dan pemerintah, temuan ini bisa menjadi referensi awal untuk merumuskan strategi adopsi BIM. Misalnya, data hambatan investasi tinggi dan kekhawatiran UMKM menghadapi BIM wajib dapat membantu merancang kebijakan insentif atau bantuan teknis. Regulasi PUPR telah menandakan arah, namun riset ini menggarisbawahi kebutuhan akan sosialisasi dan dukungan pelatihan (capacity building) bagi pelaku industri agar kebijakan tersebut efektif. Lembaga pemerintah juga dapat menggunakan hasil ini untuk mengevaluasi cakupan dan manfaat program digitalisasi proyek publik, serta mengukur kesiapan pemangku kepentingan di daerah-daerah lain selain Jakarta.
Di ranah pendidikan, kurikulum teknik sipil dan arsitektur sebaiknya menambah modul BIM yang lebih aplikatif. Karena responden menyoroti kurangnya tenaga ahli, perguruan tinggi dan lembaga pelatihan profesional berpeluang memanfaatkan temuan ini untuk menyesuaikan kurikulum agar lulusan siap menghadapi tuntutan digital. Misalnya, materi tentang manajemen data proyek dan kolaborasi digital yang ditemui di lapangan dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah atau workshop.
Akhirnya, industri konstruksi sendiri dapat meninjau ulang strategi adopsi teknologi berdasarkan wawasan ini. Perusahaan dapat mulai mengalokasikan investasi untuk pilot project BIM dengan skala terbatas, sesuai rekomendasi penelitian, sebelum memperluas penggunaannya. Temuan tentang manfaat pemasaran proyek lewat model 3D misalnya bisa dijadikan argumentasi internal untuk memulai BIM di awal tahun anggaran. Organisasi bisa membangun tim BIM atau keahlian internal khusus sebagai unit strategis. Kesadaran akan hambatan budaya kerja juga menyoroti perlunya manajemen perubahan dalam perusahaan; pelatihan dan komunikasi internal menjadi kunci agar peralihan ke BIM berjalan mulus.
Secara keseluruhan, studi ini menandai fase awal pengembangan kajian BIM di Indonesia. Dengan dasar temuan ini, studi ilmiah berikutnya dapat menguji hipotesis baru atau menjangkau responden lebih luas. Temuan ini, yang bersandar pada perspektif pengguna langsung, menguatkan landasan untuk merumuskan kebijakan, kurikulum, dan strategi teknis secara lebih matang.
Penutup Reflektif
Hasil temuan penelitian ini punya relevansi penting dengan tren global digitalisasi konstruksi. Di berbagai belahan dunia, BIM telah menjadi standar baru yang memacu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas proyek infrastruktur. Temuan-temuan yang diperoleh Mieslenna dan Wibowo selaras dengan kebutuhan industri yang semakin menuntut produktivitas tinggi dan kendali biaya yang ketat. Indonesia, dengan proyek infrastruktur masifnya, sangat mungkin memperoleh manfaat serupa bila adopsi BIM lebih meluas. Misalnya, dalam era keuangan publik yang diawasi ketat, penggunaan BIM bisa meningkatkan transparansi perencanaan anggaran proyek. Begitu pula dalam pengoperasian, informasi terintegrasi di BIM dapat mendukung e-manajemen aset.
Refleksi lebih jauh, penelitian ini menggarisbawahi bahwa penerapan BIM bukanlah sekadar tren teknologi, melainkan bagian dari transformasi digital industri konstruksi menuju yang lebih canggih. Ke depan, tantangan efisiensi, keberlanjutan, dan keterbukaan data hanya akan semakin penting. Dengan mengangkat contoh penerapan BIM di lokal, resensi ini mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh tertinggal dalam perkembangan global seperti Building Industry 4.0. Diperlukan sinergi antara dunia akademik, pembuat kebijakan, dan pelaku industri untuk merealisasikan potensi digitalisasi tersebut. Dengan dorongan yang tepat, BIM bisa menjadi fondasi inovasi yang mendorong proyek infrastruktur nasional menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal – sesuai dengan kebutuhan dan harapan era globalisasi konstruksi saat ini.
Sumber:
Mieslenna, C. F. dan Wibowo, A. (2019). Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna. Universitas Katolik Parahyangan. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.17664.81921
Industri 4.0
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena revolusi industri 4.0 yang mengintegrasikan media elektronik dan internet dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Model pembelajaran berbasis elektronik (e-learning) memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk mendukung proses belajar jarak jauh yang mandiri. Sejumlah platform daring—seperti Zoom, Google Classroom, WhatsApp, serta Moodle dan YouTube—dipergunakan sebagai media pembelajaran virtual. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa penggunaan aplikasi daring yang sudah familiar bagi guru dan siswa dapat memotivasi keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (misalnya aplikasi yang sudah dikuasai siswa). Misalnya, mahasiswa dapat belajar dari mana saja tanpa harus hadir secara fisik, sehingga akses pembelajaran daring lebih fleksibel dan tidak memakan banyak waktu.
Namun, sejumlah kajian juga menunjukkan tantangan signifikan dalam konteks e-learning. Ketersediaan layanan internet yang tidak merata dan tidak stabil di beberapa wilayah menghambat partisipasi aktif siswa. Beberapa siswa kesulitan mengikuti kelas daring karena sinyal lemah sehingga terjadi gangguan komunikasi dan keterlambatan pengumpulan tugas. Selain itu, biaya kuota internet yang ditanggung siswa menimbulkan beban tersendiri. Dalam implementasi pembelajaran daring, video konferensi (seperti Zoom) terbukti memakan kuota lebih besar dibanding aplikasi pesan instan (WhatsApp). Meski demikian, dalam studi blended learning, penggunaan Zoom dan WhatsApp tetap dipilih karena terbukti meningkatkan motivasi belajar siswa secara daring.
Secara teoritis, penggunaan platform dan media digital didukung oleh karakteristik era Industri 4.0, di mana sistem siber-fisik dan konektivitas internet memungkinkan fitur seperti sensor, perangkat pintar, dan interaksi manusia-mesin. Penelitian terdahulu menunjukkan penerapan Learning Management System (LMS) berbasis elektronik di institusi pendidikan meningkatkan pencapaian belajar dan direkomendasikan diimplementasikan untuk mencapai tujuan kurikulum. Media pembelajaran daring yang menarik (misalnya video kuliah, forum akademik) juga mendapat penerimaan tinggi oleh mahasiswa. Penelitian eksperimental lain menyimpulkan media interaktif elektronik lebih efektif dibanding media konvensional. Oleh karena itu, pemanfaatan media elektronik dalam LMS mendukung sistem pembelajaran hybrid atau blended learning. Konteks pandemi COVID-19 mempercepat adopsi sistem pembelajaran elektronik secara masif, karena kebijakan pembelajaran jarak jauh oleh pemerintah. Meskipun demikian, penelitian ini mengamati bahwa setelah pandemi, beberapa mahasiswa masih kurang siap dengan pembelajaran online: beberapa bersikap pasif atau terlambat mengumpulkan tugas, mengindikasikan kesiapan implementasi sistem daring yang belum optimal.
Dari tinjauan ini, penelitian berfokus pada persepsi mahasiswa tentang delapan platform e-learning yang digunakan di perguruan tinggi Islam di Jambi, dan mengaitkannya dengan tiga aspek penilaian: proses belajar-mengajar, kompetensi dosen, serta fasilitas dan infrastruktur. Kerangka teoritis penelitian ini berisi asumsi bahwa adopsi teknologi 4.0 dan LMS berbasis web memberikan peluang perluasan akses pembelajaran, namun juga membawa tantangan infrastruktur dan kompetensi yang perlu dianalisis secara mendalam. Tujuan penelitian jelas dirumuskan pada penggalan akhir pendahuluan: “Penelitian ini bertujuan menganalisis realitas pembelajaran berbasis online di perguruan tinggi Islam di Jambi dan menganalisis persepsi mahasiswa terhadap implementasi delapan platform LMS dalam proses pembelajaran, dilihat dari tiga aspek penilaian: aspek pembelajaran-mengajar, kompetensi dosen, dan infrastruktur”. Meski tanpa hipotesis eksplisit, struktur argumentasi penulis membangun konteks dari literatur dan observasi pendahuluan menuju pertanyaan penelitian tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain survei. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di dua universitas Islam di Kota Jambi, dengan teknik purposive sampling. Kriteria responden adalah mahasiswa yang telah menjalani pembelajaran jarak jauh selama empat tahun terakhir (2019–2022) dan pernah menggunakan platform daring yang disurvei. Sampel terdiri dari 147 mahasiswa (117 di perguruan tinggi negeri, 30 di swasta). Data dikumpulkan melalui kuesioner berskala Likert yang mencakup 19 butir pertanyaan terbagi ke dalam empat kelompok: (1) penggunaan platform LMS (3 butir), (2) aspek pembelajaran-mengajar (5), (3) aspek kompetensi dosen (6), dan (4) aspek fasilitas-infrastruktur (5). Instrumen survei ini merupakan adaptasi dari studi terdahulu dan telah diuji isi. Analisis data dilakukan secara deskriptif, menghitung persentase jawaban untuk setiap pernyataan, baik frekuensi penggunaan platform maupun tingkat persetujuan terhadap pernyataan Likert.
Kebaruan penelitian ini terletak pada kajian komprehensif terhadap delapan platform e-learning sekaligus dalam konteks pendidikan tinggi Islam, dengan pembobotan aspek teknologi dan akademik. Selain itu, studi ini menggabungkan penilaian persepsi mahasiswa atas penggunaannya (usage frequency) dengan preferensi dan evaluasi tiga aspek kualitas pembelajaran berbasis online. Kerangka survei yang menghubungkan delapan aplikasi populer dengan indikator pembelajaran, kompetensi dosen, dan infrastruktur jarang ditemukan dalam kajian serupa. Namun, penelitian ini tidak mengembangkan model konseptual baru maupun pengujian hipotesis statistik, melainkan murni deskriptif sesuai dengan tujuannya.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Penggunaan dan Preferensi Platform Daring
Hasil survei menunjukkan pola penggunaan platform LMS oleh mahasiswa. Tabel 4 mengungkap bahwa platform yang paling banyak digunakan adalah Zoom Meeting (113 responden, 76,9%), kemudian WhatsApp (93 responden, 63,3%) dan Google Classroom (88 responden, 59,9%). Platform lain seperti Google Meet (46,9%) dan YouTube (47,6%) juga cukup banyak dipakai, sedangkan platform institusi (SPIDOL-SUTHA) sekitar 30% dan Edmodo (12,9%). Penggunaan Moodle sangat rendah (1 responden, 0,7%). Paragraf hasil menyatakan bahwa mayoritas siswa memang menggunakan Zoom (hampir 77% total) sebagai platform utama, diikuti oleh penggunaan WhatsApp dan Google Classroom yang lebih dari setengah responden. Sebaliknya, Edmodo dan Moodle “sangat jarang digunakan dalam pembelajaran daring” – hanya satu mahasiswa yang memilih Moodle dalam proses pembelajaran jarak jauh. Kondisi ini konsisten dengan temuan penulis di abstrak yang menyimpulkan “Zoom, Google Classroom and Whatsapp […] were the most frequently used distance learning media”.
Selaras dengan frekuensi penggunaan, preferensi mahasiswa (tabel 5) cenderung mirip. Zoom Meeting dan Google Classroom menempati posisi teratas dengan masing-masing 44,9% responden menyatakan menyukainya. WhatsApp disukai oleh 42,2% mahasiswa, sedangkan Google Meet sekitar 30,6%. Platform berbasis video (YouTube) hanya disukai sekitar 26,5%, sementara platform institusi kampus yang khusus hanya 7,5% mahasiswa yang menganggapnya favorit. Edmodo (1,4%) dan Moodle (0,7%) merupakan platform paling tidak diminati. Narasi penulis menjelaskan bahwa tidak ada satu pun platform yang dipilih oleh mayoritas (>50%), namun Zoom dan Google Classroom berkedudukan tertinggi pada masing-masing ~45% responden. WhatsApp pun dipilih oleh lebih dari 40% karena kemudahannya dalam membentuk grup diskusi dan berbagi materi belajar, meski faktor lain (seperti keterbatasan pengiriman informasi) membuatnya tidak menjadi favorit utama. Temuan ini relevan dengan kenyataan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform yang mudah diakses dan dikenal (Zoom dan Google Classroom), sementara platform yang lebih rumit atau kurang familiar seperti Moodle diabaikan.
Persepsi Aspek Pembelajaran Daring
Penilaian mahasiswa terhadap aspek proses pembelajaran-mengajar daring juga digambarkan secara deskriptif. Tabel 6 menunjukkan sebagian besar siswa menyatakan akses materi perkuliahan online dapat dilakukan dengan mudah: sekitar 50% memilih “Setuju” atau “Sangat Setuju” bahwa kuliah online mudah diakses. Sebagai contoh, 13,6% siswa sangat setuju dan 36,7% setuju bahwa kuliah daring dapat diakses dengan mudah. Persentase yang memilih netral relatif tinggi (38,1%), menunjukkan sebagian lain cenderung mempertimbangkan hambatan akses. Pada item kedua terkait ketepatan waktu kuliah online, sebagian besar responden memilih netral (46,3%) atau setuju (38,8% gabungan SA/A), mengindikasikan umumnya tidak ada kendala waktu yang signifikan.
Item ketiga menanyakan apakah kuliah online meningkatkan pemahaman materi. Hasilnya, 7,5% sangat setuju dan 33,3% setuju, total 41% setuju bahwa e-learning dapat mencapai sasaran belajar dan meningkatkan pemahaman, sedangkan sekitar 20% menolaknya. Artinya, hampir setengah responden cenderung melihat keberhasilan transfer pengetahuan secara daring, meski sekitar sepertiga netral dan sebagian kecil tidak sepakat. Pernyataan keempat, yang menilai kesesuaian materi daring dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS), mendapat 15,6% SA dan 49,7% A – total 65% menyetujui bahwa dosen melaksanakan pembelajaran sesuai RPS. Ini menunjukkan mahasiswa menghargai tata kelola perkuliahan daring yang terstruktur. Terakhir, perihal kemudahan pengumpulan tugas daring (misalnya tanpa perlu duplikasi fisik), sekitar 62% (SA+A) merasa sangat mudah melakukan submission tugas secara daring. Hanya sekitar 10% yang menilai adanya hambatan substansial (pilih tidak setuju), menandakan mayoritas melihat proses pengumpulan tugas telah difasilitasi secara memadai.
Secara keseluruhan, bagian pembelajaran-mengajar dinilai positif. Penulis mencatat bahwa hampir 79% mahasiswa setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kuliah daring. Lebih dari setengah mahasiswa juga menilai dosen merespons pertanyaan (51% setuju ditambah 12% sangat setuju) dan mampu menjelaskan materi kuliah secara umum. Sekitar 60% siswa menyatakan dosen aktif mendampingi jalannya kelas daring hingga selesai. Temuan ini mendukung kesimpulan penulis bahwa “responden secara umum positif terhadap aspek proses pembelajaran” dan bahwa proses pembelajaran online berjalan dengan baik walau masih perlu perbaikan untuk kasus mahasiswa yang tidak setuju.
Persepsi Aspek Kompetensi Dosen
Penilaian terhadap kompetensi dosen juga menunjukkan kecenderungan positif. Hampir semua item kompetensi mendapatkan persentase tertinggi pada kategori “Setuju” (berkisar 46–59%). Sebagai contoh, 79% mahasiswa menyatakan setuju bahwa dosen memberikan kesempatan bertanya dan berdiskusi selama kelas daring. Sekitar 63% setuju (dan tambahan 18% sangat setuju) bahwa dosen merespon pertanyaan serta memberikan pemahaman umum terhadap materi perkuliahan. Demikian pula, sekitar 60% menyetujui bahwa dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan menunjukkan sikap kooperatif selama pembelajaran daring. Perihal pendampingan, total 60% responden (46% setuju + 14% sangat setuju) merasakan bahwa dosen benar-benar mendampingi proses belajar hingga selesai. Persentase yang tidak setuju relatif kecil (<5%), menunjukkan mayoritas mahasiswa puas dengan kinerja pengajar dalam proses pembelajaran online. Temuan ini konsisten dengan narasi artikel bahwa “lecturers provide opportunities for students to ask questions and discuss” yang disetujui oleh hampir 80% responden. Dengan demikian, persepsi mahasiswa menunjukkan kompetensi dosen dalam pembelajaran daring dinilai memadai dan cenderung “baik” (good) secara keseluruhan.
Persepsi Aspek Infrastruktur
Aspek fasilitas dan infrastruktur mendapatkan respons beragam. Tabel 8 mengindikasikan 62,6% (13,6% SA + 49,0% A) mahasiswa menyetujui bahwa materi pembelajaran daring tersedia dengan baik di platform online. Sekitar 29% memilih netral dan 10% merasa bahan pembelajaran tidak tersaji dengan memadai. Pada item kedua (perangkat praktikum di rumah), 9,5% sangat setuju dan 37,4% setuju – total 46,9% – merasa memiliki perangkat yang dibutuhkan, sedangkan 11,6% tidak memilikinya sama sekali. Fakta ini menegaskan bahwa sebagian mahasiswa membutuhkan ketersediaan alat dari institusi; penulis mengamati banyak yang netral karena tidak bisa menuntut penyediaan alat. Item ketiga mengonfirmasi bahwa hanya sekitar 48,3% (16,3% SA + 32% A) yang merasa data internet disediakan oleh institusi untuk pembelajaran online. Sekitar 23,8% netral dan 28% menolak pernyataan ini, sesuai kondisi bahwa subsidi kuota internet oleh kampus telah dihentikan pasca-2020. Terakhir, pada item kemudahan mengumpulkan tugas (misalnya link pengumpulan tugas), 13,6% SA dan 53,7% A (total ~67,3%) mahasiswa menyatakan proses tersebut mudah berkat fasilitas tersebut[40]. Hanya 1% yang menyatakan ketidaksetujuan, menegaskan bahwa kemudahan teknis ini telah dihadirkan oleh sebagian besar dosen.
Secara keseluruhan, mahasiswa menilai infrastruktur memadai dalam beberapa aspek (tersedianya materi online, kemudahan pengumpulan tugas), namun masih muncul tantangan pada ketersediaan perangkat praktik dan akses internet. Penulis menyoroti bahwa hanya setengah mahasiswa memiliki peralatan praktikum di rumah, dan hampir sepertiga merasa paket data harus ditanggung sendiri, menciptakan kesenjangan akses dalam pembelajaran jarak jauh. Temuan ini menunjukkan bahwa sebelum mengandalkan teknologi baru, institusi perlu menuntaskan infrastruktur dasar agar pembelajaran daring lebih merata.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Beberapa batasan metodologis penelitian perlu dicermati. Desain survei kuantitatif dengan purposive sampling mengumpulkan data persepsi dari 147 mahasiswa satu program studi (Pendidikan Bahasa Inggris) di Jambi. Metode ini memudahkan pengambilan sampel spesifik, tetapi mengurangi generalisasi hasil. Karena sampel tidak acak dan hanya mencakup jurusan tertentu, hasilnya sulit digeneralisasi ke semua mahasiswa perguruan tinggi Islam atau disiplin ilmu lain. Selain itu, instrumen berupa kuesioner Likert hanya menghasilkan data deskriptif; penulis menganalisis hasil dengan persentase tanpa melakukan uji statistik inferensial. Tidak terdapat pengujian signifikansi antara kelompok atau korelasi antar variabel (misalnya pengaruh infrastruktur terhadap kepuasan belajar), sehingga kesimpulan bersifat deskriptif dan tidak dapat membuktikan hipotesis tertentu. Hal ini menimbulkan kekurangan ilmiah karena tidak ada analisis model atau uji hipotesis yang mengukur kekuatan hubungan antar aspek.
Kerangka teori dan model konseptual studi ini juga tidak dijabarkan secara eksplisit. Walaupun penulis merujuk banyak literatur pendukung, tidak terlihat adanya model atau hipotesis terukur yang diuji. Penelitian ini lebih bersifat eksploratif-deskriptif; konsekuensinya, kontribusi pada pengembangan teori e-learning menjadi terbatas. Selain itu, validitas dan reliabilitas instrumen tidak dibahas, yang penting untuk memastikan kualitas data kuantitatif. Metode purposive sampling dapat menyebabkan bias pilihan responden yang lebih paham atau tertarik dengan teknologi, sehingga persepsi mahasiswa secara keseluruhan mungkin terdistorsi. Secara statistik, karena menggunakan data ordinal dari skala Likert, analisis deskriptif tanpa uji lebih lanjut mengabaikan variabilitas antar individu. Dengan kata lain, signifikansi perbedaan (misalnya preferensi Zoom vs. Google Meet) tidak diuji, sehingga tidak dapat diketahui apakah selisih persentase tersebut bermakna.
Meski demikian, metodologi survei kuantitatif ini sesuai dengan tujuan mengetahui persepsi umum. Penulis berhasil memetakan penggunaan platform dan menilai tiga aspek penting melalui data kuantitatif sederhana. Namun, untuk studi lanjutan, diperlukan metode campuran (misalnya wawancara pendalam) atau eksperimen intervensi untuk mengukur efektivitas nyata LMS tertentu. Secara keseluruhan, desain penelitian sudah menjawab tujuan deskriptif, tapi lebih banyak modifikasi diperlukan agar temuan dapat dijadikan dasar kebijakan atau model konseptual yang lebih kuat.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Penelitian ini menawarkan wawasan praktis dan implikasi bagi pengembangan e-learning dan pendidikan tinggi. Temuan bahwa Zoom, Google Classroom, dan WhatsApp paling banyak digunakan dan disukai menandakan kebutuhan pengembangan teknologi pembelajaran yang mudah diakses. Institusi dapat memfokuskan pelatihan dan dukungan pada platform-platform populer tersebut, sekaligus meningkatkan integrasi antara LMS kampus dengan media sosial agar pengajar lebih termotivasi menggunakan sistem yang sudah dikenal. Hasil positif pada aspek pembelajaran dan kompetensi dosen menunjukkan bahwa elemen pedagogis dan kelengkapan materi sudah memadai; penelitian selanjutnya dapat menggali bagaimana perbaikan lebih lanjut (misalnya optimasi konten multimedia atau interaksi real-time) dapat meningkatkan proses belajar daring. Temuan kendala infrastruktur (misalnya alat praktikum, kuota) menunjukkan perlunya upaya pengurangan digital divide – dapat menjadi topik riset lanjutan, misalnya mengevaluasi program subsidi atau pengembangan perangkat praktikum murah berbasis internet.
Secara ilmiah, kajian mendatang dapat membangun model konseptual yang lebih komprehensif, misalnya dengan menguji teori penerimaan teknologi (TAM) atau model belajar daring yang menghubungkan variabel motivasi, self-efficacy, dan satisfaction. Data survei yang ada menyiratkan adanya hubungan antar aspek (misalnya kualitas infrastruktur berdampak pada persepsi kemudahan belajar), namun belum dieksplorasi secara statistik. Oleh karena itu, analisis lanjutan dengan metode inferensial (uji t, ANOVA, regresi, atau SEM) dapat mengungkap faktor determinan keberhasilan e-learning. Penelitian eksperimen, misalnya memantau hasil belajar spesifik setelah pelatihan penggunaan LMS, akan menguatkan bukti empiris dan signifikansi statistik keterkaitan teknologi pendidikan.
Dalam ranah praktis dan kebijakan, hasil ini relevan dengan tren perkembangan e-learning terkini. Walaupun pandemi telah mereda, adaptasi terhadap era 4.0 mendorong pengembangan pembelajaran hibrid dan smart campus. Temuan bahwa mahasiswa cenderung memilih platform sederhana mengindikasikan bahwa pengembangan LMS ke depan harus mempertimbangkan antarmuka yang intuitif dan keterpaduan dengan aplikasi mobile. Selain itu, refleksi data menunjukkan tantangan nyata: kemampuan guru dalam memanfaatkan platform, keterbatasan jaringan internet, dan masalah integritas (misalnya kecurangan ujian) masih perlu perhatian. Riset masa depan sebaiknya mengeksplorasi solusi berbasis teknologi mutakhir—misalnya penggunaan AI tutor, augmented reality (AR) dalam praktikum, atau sistem deteksi plagiarisme—untuk menanggulangi hambatan tersebut. Pada akhirnya, hasil penelitian ini menggarisbawahi bahwa kemajuan e-learning tidak hanya soal teknologi, melainkan juga kesiapan infrastruktur dan manusia. Temuan positif soal penerapan e-learning selama empat tahun terakhir menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam di era 4.0 memiliki landasan bagus untuk inovasi berkelanjutan di bidang pendidikan tinggi.
📚 Sumber Asli:
Monalisa, Mahmudah, K., Hasanah, I. A., Pratama, A., Sumardi, M. S., Putri, R., Fitria, W., Rozal, E., & Alhazzy, R. (2023). Online-based Learning Management System in the Industrial Revolution 4.0 Era: Reality in Islamic Higher Education. Journal of Education Technology, 7(2), 247–260. Universitas Pendidikan Ganesha. https://doi.org/10.23887/jet.v7i2.56612
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Dalam diskursus pedagogi teknik, penanaman kemampuan berpikir tingkat tinggi sering kali menjadi tujuan yang lebih fundamental daripada sekadar transfer pengetahuan teknis. Karya konseptual Susan Analika yang berjudul, "Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN," secara spesifik membahas peran sebuah alat manajemen proyek klasik—metode Activity on Arrow (AOA)—sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pedagogis yang lebih tinggi tersebut. Latar belakang masalah yang diangkat adalah pentingnya mencapai hasil belajar yang optimal, yang didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dalam hal kecakapan, keterampilan, dan sikap.
Kerangka teoretis penelitian ini berpusat pada mata kuliah Manajemen Konstruksi (MK) di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Universitas Negeri Jakarta. Penulis memposisikan pembelajaran AOA bukan hanya sebagai salah satu topik dalam silabus, melainkan sebagai sebuah latihan fundamental yang dirancang untuk membentuk karakter mahasiswa agar mahir dalam manajemen industri konstruksi. Hipotesis implisit yang mendasari argumen ini adalah bahwa penguasaan metode AOA secara langsung berkontribusi pada pengembangan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Dengan demikian, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menegaskan kembali peranan penting AOA dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teknik penjadwalan tetapi juga sebagai fondasi untuk metode yang lebih kompleks dan sebagai alat untuk mencapai prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengumpulkan data empiris baru, melainkan untuk membangun sebuah argumen pedagogis yang koheren melalui sintesis definisi-definisi dan konsep-konsep yang telah mapan. Penulis secara sistematis menguraikan konsep-konsep dasar seperti "belajar", "pembelajaran", dan "hasil belajar" dengan merujuk pada berbagai sumber literatur untuk membangun landasan teoretisnya.
Analisis yang dilakukan bersifat kualitatif-argumentatif, di mana konsep-konsep tersebut kemudian dihubungkan secara logis dengan peran dan fungsi metode AOA dalam konteks mata kuliah Manajemen Konstruksi. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan metode baru, melainkan pada artikulasi ulang nilai pedagogis dari sebuah metode yang sudah dikenal. Alih-alih hanya membahas AOA dari perspektif teknis (bagaimana cara menggunakannya), penelitian ini memberikan kontribusi dengan membingkainya sebagai alat pengembangan kognitif, sebuah perspektif yang sering kali terabaikan dalam literatur teknis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah studi konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah serangkaian argumen yang menegaskan kembali signifikansi AOA dalam pendidikan teknik.
AOA sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Berpikir: Temuan sentral dari argumen penulis adalah bahwa proses pembelajaran AOA secara inheren melatih mahasiswa untuk berpikir secara sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Proses memetakan ketergantungan antar aktivitas, mengidentifikasi jalur kritis, dan menghitung float memaksa pembelajar untuk melihat proyek sebagai sebuah sistem yang saling terhubung, bukan sebagai serangkaian tugas yang terisolasi.
AOA sebagai Fondasi untuk Pembelajaran Berkelanjutan: Ditemukan bahwa AOA memiliki peran strategis sebagai pemahaman awal sebelum mahasiswa mempelajari metode jaringan kerja yang lebih lanjut, seperti Precedence Diagram Method (PDM). Dengan menguasai logika dasar AOA terlebih dahulu, mahasiswa dipersiapkan dengan lebih baik untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks, sejalan dengan prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
AOA sebagai Jembatan menuju Praktik Industri: Kontekstualisasi temuan ini sangat jelas: tujuan akhir dari pembelajaran AOA dalam mata kuliah MK adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya manajemen proyek dan membekali mahasiswa dengan pola pikir yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan nyata di industri jasa konstruksi.
Secara interpretatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa AOA memiliki peranan yang jauh melampaui fungsinya sebagai alat penjadwalan; ia adalah sebuah latihan pedagogis fundamental yang membentuk cara berpikir seorang calon profesional konstruksi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya konseptual dan tidak didukung oleh data empiris. Klaim bahwa pembelajaran AOA secara langsung meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif merupakan sebuah hipotesis yang kuat, namun tetap menjadi sebuah asersi teoretis yang belum divalidasi. Studi ini tidak menyajikan data dari hasil tes, survei, atau studi kasus yang dapat membuktikan secara kuantitatif atau kualitatif adanya hubungan sebab-akibat antara penguasaan AOA dengan peningkatan keterampilan kognitif tersebut. Hubungan kausal yang diasumsikan kemungkinan besar lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti metode pengajaran dosen dan motivasi mahasiswa.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, tulisan ini memberikan justifikasi pedagogis yang kuat bagi para pendidik di bidang teknik sipil untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat pengajaran metode-metode fundamental seperti AOA dalam kurikulum mereka, dengan penekanan pada pengembangan proses berpikir di balik teknik tersebut.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif merumuskan serangkaian hipotesis yang matang untuk diuji secara empiris. Studi selanjutnya dapat merancang penelitian quasi-eksperimental dengan desain pra-tes dan pasca-tes untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kritis pada kelompok mahasiswa yang mempelajari AOA dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dengan para profesional industri dapat mengeksplorasi apakah mereka mempersepsikan adanya korelasi antara pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip jaringan kerja dengan kemampuan pemecahan masalah di lapangan.
Sumber
Analika, S. (2020). Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 10-17.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Dalam dunia akademis yang menuntut keseimbangan antara rigor teoretis dan relevansi praktis, tesis Master di bidang rekayasa perangkat lunak sering kali menjadi arena pertarungan yang kompleks. Karya Eric Knauss yang berjudul, "Constructive Master's Thesis Work in Industry: Guidelines for Applying Design Science Research," secara tajam mengidentifikasi tantangan ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah sifat terapan dari rekayasa perangkat lunak, di mana pendidikan harus mencakup metode penelitian empiris yang kuat. Bagi sebagian besar mahasiswa, tesis Master yang dilakukan dalam kemitraan dengan industri menjadi ujian akhir dari kemampuan ini, menuntut mereka untuk menavigasi ekspektasi yang sering kali berbeda antara akademisi dan praktisi.
Masalah inti yang disorot adalah kesulitan mahasiswa dalam menerapkan metode penelitian konstruktif yang ada, seperti Design Science Research (DSR), dalam kerangka waktu yang terbatas. DSR, yang berfokus pada pembangunan artefak untuk memecahkan masalah praktis sambil menjawab pertanyaan pengetahuan, secara teoretis ideal untuk konteks ini. Namun, pedoman yang ada (misalnya, dari Hevner dkk.) sering kali terlalu abstrak, menyebabkan mahasiswa kesulitan menerjemahkannya ke dalam tindakan konkret. Dengan berlandaskan pada kerangka siklus regulatif Wieringa, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dengan mengembangkan seperangkat pedoman yang dapat ditindaklanjuti dan pragmatis, yang secara spesifik dirancang untuk memandu mahasiswa, pembimbing, dan mitra industri melalui proses tesis konstruktif.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini sendiri secara unik mengadopsi metodologi DSR sebagai kerangka kerjanya. Artefak yang dikembangkan adalah seperangkat pedoman, yang telah disempurnakan secara iteratif selama tujuh tahun melalui pengalaman membimbing dua belas tesis Master. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk secara sistematis mengumpulkan dan mensintesis "praktik baik" dan "jebakan umum" dari setiap siklus.
Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi sumber yang kaya, mencakup catatan pribadi penulis, analisis tesis dan publikasi yang dihasilkan, umpan balik dari penguji dan peninjau, serta survei yang disebarkan kepada mahasiswa dan staf akademik untuk mengevaluasi kejelasan dan kegunaan pedoman yang diusulkan.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penciptaan teori DSR yang baru, melainkan pada kontribusinya yang sangat praktis: menerjemahkan prinsip-prinsip DSR yang sering kali bersifat teoretis menjadi sebuah proses kerja yang terstruktur dan dapat diakses oleh mahasiswa dalam waktu singkat. Dengan demikian, penelitian ini secara efektif mendemokratisasi DSR untuk konteks pendidikan Master, menjadikannya alat yang lebih mudah didekati dan diterapkan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang dilakukan selama bertahun-tahun menghasilkan serangkaian temuan yang terwujud dalam tujuh pedoman utama yang dapat ditindaklanjuti:
Definisikan Artefak Sejak Awal (G1): Kesepakatan yang jelas mengenai artefak yang akan dibangun sangat penting untuk menyelaraskan ekspektasi antara mahasiswa, pembimbing akademis, dan mitra industri.
Bekerja secara Iteratif (G2): Setiap iterasi harus bertujuan untuk meningkatkan artefak dan memperdalam pengetahuan, dengan kontribusi pada setiap pertanyaan penelitian di setiap siklus.
Rumuskan Pertanyaan Penelitian sesuai Siklus Regulatif (G3): Tesis harus memiliki pertanyaan yang berfokus pada masalah, solusi, dan evaluasi.
Adakan Pertemuan Rutin (G4): Pertemuan mingguan antara mahasiswa dan pembimbing, serta pertemuan bulanan yang melibatkan mitra industri, sangat penting untuk menjaga rigor dan relevansi.
Geser Penekanan Antar Siklus (G5): Meskipun semua pertanyaan penelitian disentuh di setiap siklus, fokus utama harus bergeser dari investigasi masalah di siklus pertama, ke konstruksi solusi di siklus kedua, dan ke evaluasi di siklus ketiga.
Sediakan Bagian Khusus untuk Deskripsi Artefak (G6): Deskripsi artefak yang ringkas dan terpusat membantu pembaca memahami konteks dan memungkinkan bagian lain dari tesis untuk fokus pada temuan dan pembelajaran.
Tulis Seiring Berjalan, Namun Restrukturisasi untuk Penyerahan (G7): Temuan yang paling menarik secara kontekstual adalah pengakuan bahwa struktur laporan yang paling efektif untuk penyerahan akhir sering kali berbeda dari catatan kerja kronologis. Selama proses, dokumentasi per siklus adalah yang paling logis. Namun, untuk laporan akhir, struktur yang berpusat pada pertanyaan penelitian (masalah, solusi, evaluasi) jauh lebih koheren dan berdampak.
Temuan ini diperkuat oleh hasil survei yang mengonfirmasi bahwa para peserta merasa kesulitan dengan pedoman DSR asli dari Hevner dkk. yang lebih abstrak, dan menganggap pedoman yang diusulkan oleh Knauss lebih membantu dan ditargetkan secara spesifik untuk kebutuhan mereka.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan penelitiannya, terutama sifat interpretasi yang subjektif berdasarkan pengalaman pribadi dan ukuran sampel survei yang kecil. Selain itu, beberapa peserta survei menyuarakan kekhawatiran bahwa pedoman yang diusulkan mungkin terlalu spesifik untuk konteks universitas penulis, yang membatasi generalisasinya. Sebagai refleksi kritis, validitas pedoman ini di luar lingkungan rekayasa perangkat lunak atau di institusi dengan struktur tesis yang berbeda memang memerlukan pengujian lebih lanjut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, penelitian ini memberikan implikasi yang signifikan bagi semua pemangku kepentingan dalam ekosistem tesis Master. Bagi mahasiswa, ia menawarkan peta jalan yang jelas. Bagi praktisi industri, ia menguraikan cara-cara untuk berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan nilai maksimal. Bagi pembimbing akademis, ia menyoroti peran krusial mereka dalam menavigasi pertukaran antara rigor dan relevansi. Dan bagi penguji, ia memberikan kerangka kerja untuk menilai tesis konstruktif secara adil, dengan mempertimbangkan upaya dalam desain dan manajemen iterasi.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi validasi pedoman ini di konteks institusional dan disiplin ilmu yang lebih luas. Selain itu, penulis mengidentifikasi dua area terbuka untuk pengembangan pedoman di masa depan: bagaimana melanjutkan pekerjaan di luar batas satu tesis individu, dan bagaimana memformalkan definisi masalah untuk tantangan yang bersifat ambigu atau "jahat" (wicked problems).
Sumber
Knauss, E. (2020). Constructive Master's Thesis Work in Industry: Guidelines for Applying Design Science Research. arXiv:2012.04966v1.