Kebijakan Infrastruktur Air

Strategi Inklusif Infrastruktur: Cara Mewujudkan Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan Sosial

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Besar Infrastruktur Modern

Di tengah percepatan urbanisasi dan pembangunan ekonomi, infrastruktur menjadi tulang punggung kemajuan bangsa. Namun, pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keadilan sosial justru memperlebar kesenjangan. Infrastruktur yang inklusif adalah jawaban agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal, baik itu kelompok berpenghasilan rendah, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, maupun mereka yang tinggal di wilayah terpencil1.

Pentingnya inklusivitas dalam proyek infrastruktur telah ditegaskan dalam berbagai forum global, salah satunya pada KTT G20 2016 di Hangzhou. Di sana, investasi infrastruktur berkualitas didefinisikan tidak hanya harus efisien dan tahan bencana, tapi juga mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, transfer pengetahuan, dan mengatasi dampak sosial serta lingkungan1.

Kerangka Kerja Infrastruktur Inklusif: Pilar dan Strategi Utama

Berdasarkan Reference Tool dari Global Infrastructure Hub, ada beberapa pilar kunci yang mendorong pertumbuhan inklusif:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan: Melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan proyek agar kebutuhan dan aspirasi kelompok rentan benar-benar terakomodasi.
  • Kepemimpinan politik dan tata kelola: Dukungan kuat dari pemerintah dan tata kelola yang transparan sangat penting untuk memastikan kebijakan inklusif berjalan efektif.
  • Penguatan kapasitas dan regulasi: Pengembangan kapasitas institusi dan penyusunan regulasi yang pro-inklusi menjadi fondasi agar praktik baik dapat diadopsi secara luas.
  • Sinergi dengan sektor swasta: Mendorong kemitraan dengan sektor swasta untuk memperluas dampak sosial dan menjamin keberlanjutan proyek.
  • Optimalisasi subsidi dan pembiayaan: Menggunakan skema subsidi dan pembiayaan inovatif agar kelompok miskin tetap terjangkau dalam mengakses layanan infrastruktur1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Angka-angka Nyata

1. Proyek Jalan Pedesaan Liupanshan, Ningxia, Tiongkok
Proyek ini berhasil meningkatkan akses transportasi bagi lebih dari 500.000 penduduk miskin di daerah terpencil. Dengan membangun jalan baru dan memperbaiki infrastruktur lama, angka kemiskinan di wilayah tersebut menurun signifikan, dan mobilitas masyarakat meningkat pesat1.

2. International Solar Training Program, Barefoot College
Program pelatihan tenaga surya ini memberdayakan perempuan di desa-desa miskin di berbagai negara berkembang. Lebih dari 1.000 perempuan dari 96 negara telah dilatih menjadi teknisi surya, menciptakan efek domino dalam pemberdayaan ekonomi dan akses energi bersih1.

3. Social and Affordable Housing Fund (SAHF), New South Wales, Australia
Dana ini mengintegrasikan penyediaan hunian layak bagi kelompok rentan, termasuk lansia, penyandang disabilitas, dan keluarga berpenghasilan rendah. Dengan investasi lebih dari AUD 1,1 miliar, SAHF telah menyediakan ribuan unit hunian yang terjangkau dan ramah akses1.

4. Universal Design pada Transportasi Publik di Inggris
Penerapan standar universal design pada kereta dan bus memastikan layanan transportasi dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas dan lansia. Hasilnya, tingkat kepuasan dan partisipasi kelompok rentan dalam aktivitas ekonomi dan sosial meningkat1.

Analisis Kritis: Kunci Sukses dan Tantangan

Mengapa banyak proyek gagal menjadi inklusif?
Seringkali, kegagalan terjadi karena kurangnya keterlibatan masyarakat, lemahnya tata kelola, dan minimnya data tentang kebutuhan kelompok rentan. Reference Tool menegaskan pentingnya melakukan identifikasi dan pemetaan pemangku kepentingan sejak awal, serta mengadopsi pendekatan partisipatif sepanjang siklus proyek.

Tantangan besar lainnya adalah pembiayaan.
Proyek inklusif biasanya membutuhkan investasi awal yang lebih besar, terutama untuk memastikan aksesibilitas fisik dan sosial. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa manfaat jangka panjang—seperti peningkatan produktivitas, penurunan angka kemiskinan, dan penguatan kohesi sosial—jauh melebihi biaya awal tersebut.

Kritik dan pembelajaran:
Beberapa proyek yang terlalu fokus pada aspek fisik tanpa memperhatikan aspek sosial justru memperbesar kesenjangan. Misal, pembangunan jalan tanpa memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas atau perempuan bisa memperkuat eksklusi sosial. Oleh karena itu, Reference Tool menekankan pentingnya integrasi Social Equity Plan sejak tahap perencanaan.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan literatur lain, seperti studi oleh Asian Development Bank dan World Bank, Reference Tool ini lebih menekankan pada praktik nyata dan studi kasus lintas negara. Pendekatan berbasis aksi (action area) membuatnya mudah diadopsi oleh pemerintah dan pelaku industri. Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang masih lemah dalam tata kelola dan partisipasi masyarakat.

Nilai tambah utama dari Reference Tool:

  • Menyediakan framework yang aplikatif, bukan sekadar teori.
  • Menampilkan contoh konkret dan angka-angka keberhasilan.
  • Mendorong diskusi lintas sektor dan negara.

Implikasi untuk Masa Depan Infrastruktur

Infrastruktur inklusif adalah syarat mutlak untuk mencapai SDGs dan membangun masyarakat yang adil. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bersinergi agar manfaat pembangunan benar-benar dirasakan semua kelompok. Dengan mengadopsi strategi inklusif, pembangunan infrastruktur tidak hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tapi juga penggerak keadilan sosial dan keberlanjutan.

Kesimpulan: Infrastruktur untuk Semua

Inklusivitas bukan sekadar jargon, melainkan fondasi utama pembangunan berkelanjutan. Reference Tool dari Global Infrastructure Hub membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat—mulai dari keterlibatan pemangku kepentingan, tata kelola yang kuat, hingga inovasi pembiayaan—pembangunan infrastruktur dapat menjadi katalis perubahan sosial yang nyata. Studi kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa investasi pada inklusivitas membawa dampak berlipat ganda: menurunkan kemiskinan, meningkatkan akses layanan dasar, dan memperkuat kohesi sosial.

Pemerintah dan pelaku industri harus menjadikan inklusivitas sebagai standar baru dalam setiap proyek infrastruktur. Hanya dengan begitu, visi “no one left behind” benar-benar bisa diwujudkan.

Sumber : Global Infrastructure Hub. (2019). Inclusive Infrastructure and Social Equity: Practical guidance for increasing the positive social outcomes of large infrastructure projects.

Selengkapnya
Strategi Inklusif Infrastruktur: Cara Mewujudkan Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan Sosial

Kebijakan Infrastruktur Air

Mengurai Peluang dan Tantangan Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia: Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan Air

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Krisis Air Global dan Pentingnya Inovasi Teknologi

Krisis air bersih adalah tantangan global yang semakin nyata. Dengan pertumbuhan penduduk dunia, permintaan air meningkat drastis, sementara ketersediaan air bersih semakin menipis. Data dari UNDP (2021) menunjukkan lebih dari 40% populasi dunia terdampak kelangkaan air, dan pada 2015, 844 juta orang masih belum memiliki akses ke air minum layak. Tantangan ini tidak hanya dialami negara-negara berkembang, namun juga mulai mengancam negara maju, termasuk Swedia, terutama akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan persaingan sumber daya air1.

Teknologi menjadi kunci solusi. Salah satu inovasi yang kini banyak dibahas adalah smart water meter—alat ukur digital yang mampu memantau konsumsi air secara real-time, memberikan data akurat, serta mendukung pengelolaan air yang lebih efisien dan berkelanjutan. Namun, seberapa besar peluang dan hambatan implementasi teknologi ini di negara seperti Swedia, yang selama ini dikenal tidak kekurangan air?

Studi Kasus: Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia

Penelitian oleh Ekström & Sivadasan (2021) dari KTH Royal Institute of Technology mengupas tuntas peluang dan tantangan implementasi smart water meter secara luas di rumah tangga Swedia. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kombinasi studi literatur, pre-study, dan wawancara mendalam dengan pelaku industri, utilitas air, serta produsen teknologi1.

Latar Belakang Swedia: Unik di Tengah Krisis Global

Swedia memiliki karakteristik unik: tingkat konsumsi air rumah tangga cenderung menurun, dan secara umum tidak mengalami masalah kekurangan air. Namun, ancaman perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk tetap menuntut inovasi dalam pengelolaan air. Smart water meter dianggap sebagai solusi masa depan yang dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi kebocoran, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data1.

Peluang (Enablers) Implementasi Smart Water Meter

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor utama yang mendukung implementasi smart water meter secara luas di Swedia:

  • Lingkungan Sektor Air yang Terbuka dan Mendukung:
    Sektor air Swedia dikenal progresif, terbuka terhadap inovasi, dan memiliki ekosistem kolaboratif antara pemerintah, penyedia utilitas, dan pelaku industri. Hal ini mempercepat adopsi teknologi baru1.
  • Keunggulan Teknologi Dibandingkan Meter Mekanik:
    Smart water meter menawarkan keunggulan signifikan dibandingkan meter mekanik, seperti deteksi kebocoran secara otomatis, pembacaan data real-time, dan potensi integrasi dengan sistem smart city. Teknologi ini juga memungkinkan penghematan air hingga 5–15% berdasarkan studi di sektor energi, dan potensi serupa juga diharapkan pada air1.
  • Penerimaan Aktor dan Masyarakat:
    Mayoritas pelaku industri dan utilitas air di Swedia sudah menerima dan menganggap smart water meter sebagai solusi optimal untuk masa depan. Hal ini memperkecil resistensi sosial dan mempercepat proses implementasi1.
  • Dukungan Kebijakan dan Regulasi:
    Pemerintah dan regulator Swedia cenderung mendukung inovasi digitalisasi di sektor publik, termasuk air. Hal ini menjadi landasan penting bagi ekspansi teknologi smart water meter1.

Hambatan (Barriers) Implementasi Smart Water Meter

Meski peluangnya besar, penelitian ini juga menyoroti sejumlah hambatan yang harus diatasi:

  • Biaya Investasi Awal yang Tinggi:
    Salah satu tantangan utama adalah harga smart water meter yang jauh lebih mahal dibandingkan meter mekanik konvensional. Biaya ini mencakup perangkat keras, instalasi, integrasi sistem, hingga pelatihan SDM. Meski biaya operasional jangka panjang bisa lebih rendah, investasi awal tetap menjadi penghalang utama bagi banyak utilitas air1.
  • Ketidakpastian Teknologi dan Risiko Inovasi:
    Pilihan teknologi yang beragam memunculkan masalah kompatibilitas, risiko lock-in (terjebak pada satu vendor/teknologi), dan kekhawatiran teknologi cepat usang. Hal ini membuat beberapa pelaku industri ragu untuk berinvestasi besar-besaran sebelum standar teknologi benar-benar mapan1.
  • Keterbatasan Infrastruktur dan SDM:
    Implementasi smart water meter menuntut kesiapan infrastruktur digital dan tenaga kerja yang terampil. Tidak semua daerah di Swedia memiliki kesiapan yang sama, sehingga dibutuhkan strategi bertahap dan pelatihan intensif1.
  • Isu Privasi dan Keamanan Data:
    Pengumpulan data konsumsi air secara real-time menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data pelanggan. Regulasi perlindungan data dan transparansi pengelolaan data menjadi isu penting yang harus diantisipasi sejak awal1.

Studi Angka dan Dampak Nyata

Penelitian ini tidak hanya bersifat konseptual, namun juga menyajikan data dan studi kasus nyata:

  • Efisiensi Konsumsi Air:
    Studi di sektor energi menunjukkan penghematan 5–15% setelah pemasangan smart meter. Studi internasional di sektor air (misal, Australia dan AS) juga melaporkan penurunan konsumsi air rumah tangga setelah implementasi smart water meter, meski angka spesifik di Swedia masih perlu riset lanjutan1.
  • Deteksi Kebocoran:
    Smart water meter terbukti mampu mendeteksi kebocoran lebih cepat, mengurangi potensi kerugian air dan biaya perbaikan. Di beberapa kota, kebocoran air dapat ditekan hingga 20% setelah implementasi sistem monitoring digital1.
  • Dampak Ekonomi:
    Meski biaya awal tinggi, potensi penghematan jangka panjang dari efisiensi operasional, pengurangan kebocoran, dan pengelolaan air yang lebih baik dapat mengimbangi investasi tersebut dalam beberapa tahun ke depan1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengalami krisis air akut, Swedia berada pada posisi unik. Negara-negara seperti Australia dan AS mengadopsi smart water meter sebagai solusi mendesak, sedangkan Swedia lebih menekankan aspek efisiensi, keberlanjutan, dan kesiapan masa depan. Penelitian Ekström & Sivadasan (2021) menegaskan bahwa meski tantangan biaya dan teknologi masih ada, peluang jangka panjang sangat besar berkat dukungan ekosistem inovasi dan penerimaan sosial yang tinggi1.

Penelitian lain (Liu & Mukheibir, 2018; Sønderlund et al., 2016) juga menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi smart water meter sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan kebijakan lokal. Swedia, dengan sistem tata kelola air yang transparan dan kolaboratif, memiliki modal sosial yang kuat untuk mendukung transformasi digital di sektor air.

Opini dan Implikasi untuk Industri

Smart water meter bukan sekadar alat ukur, tapi fondasi transformasi digital sektor air. Keberhasilan implementasi di Swedia dapat menjadi model bagi negara-negara lain yang ingin beralih ke pengelolaan air berbasis data dan teknologi. Namun, penting untuk memastikan:

  • Investasi awal didukung insentif atau skema pembiayaan inovatif.
  • Standarisasi teknologi dan interoperabilitas sistem dijaga untuk menghindari lock-in.
  • Edukasi masyarakat dan pelaku industri dilakukan secara berkelanjutan.
  • Regulasi privasi dan keamanan data diperkuat.

Jika tantangan ini diatasi, Swedia berpotensi menjadi pelopor smart water management di Eropa, bahkan dunia.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan Pengelolaan Air yang Lebih Cerdas dan Berkelanjutan

Implementasi smart water meter di rumah tangga Swedia menawarkan peluang besar untuk efisiensi, deteksi kebocoran, dan pengelolaan air berkelanjutan. Dukungan ekosistem inovasi, penerimaan sosial, serta kesiapan sektor air menjadi modal utama. Namun, tantangan biaya, teknologi, dan keamanan data harus direspons dengan strategi matang dan kolaboratif.

Transformasi digital di sektor air bukan hanya kebutuhan, tapi keniscayaan di era perubahan iklim dan urbanisasi. Swedia, dengan segala keunggulan dan tantangannya, sedang menunjukkan bagaimana inovasi teknologi dapat mengubah paradigma pengelolaan air untuk masa depan yang lebih baik.

Sumber : Ekström, E., & Sivadasan, S. (2021). Smart Water Meters in Swedish Households: The Enablers and Barriers for a Large-Scale Implementation. KTH Royal Institute of Technology, School of Industrial Engineering and Management, Stockholm, Sweden.

Selengkapnya
Mengurai Peluang dan Tantangan Implementasi Smart Water Meter di Rumah Tangga Swedia: Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan Air

Kebijakan Infrastruktur Air

Bagaimana Konsep Infrastruktur Biru-Hijau dan Resiliensi Kota Menyebar: Studi Kasus Cloudburst Management Plan Kopenhagen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Kota di Era Krisis Iklim

Perubahan iklim global telah memaksa kota-kota di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan risiko cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kota-kota kini menghadapi tantangan besar untuk membangun resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan pulih dari gangguan lingkungan dan sosial. Salah satu pendekatan inovatif yang kini banyak diadopsi adalah pengembangan infrastruktur biru-hijau (Blue-Green Infrastructure/BGI), yaitu integrasi solusi berbasis alam dalam tata kelola air, drainase, dan ruang terbuka kota.

Namun, bagaimana konsep-konsep ini menyebar dari satu kota ke kota lain? Siapa saja aktor kunci di balik transfer pengetahuan ini? Studi yang dilakukan oleh Sutthi Suteerasan (2020) melalui tesis di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, mengupas tuntas mekanisme, aktor, dan tantangan dalam mobilisasi kebijakan resiliensi kota, dengan menyoroti studi kasus Cloudburst Management Plan (CMP) di Kopenhagen, Denmark1.

Latar Belakang: Urbanisasi, Kerentanan, dan Pergeseran Paradigma

Kota-kota modern adalah simpul utama infrastruktur dan populasi. Ketika terjadi kegagalan infrastruktur akibat cuaca ekstrem, dampaknya bisa sangat luas—mulai dari kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga penurunan kualitas hidup warga. Paradigma lama yang mengandalkan pendekatan fail-safe (menghindari kegagalan sama sekali) kini bergeser ke safe-to-fail, yaitu menerima kemungkinan kegagalan namun memastikan sistem kota tetap dapat pulih dengan cepat1.

Konsep resiliensi menjadi kunci. Kota tidak lagi hanya membangun tembok atau saluran air besar, tapi juga mengintegrasikan ruang hijau, area resapan, dan sistem drainase berkelanjutan (Sustainable Urban Drainage Systems/SuDS). Pendekatan ini terbukti efektif menekan risiko banjir dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.

Studi Kasus: Cloudburst Management Plan (CMP) Kopenhagen

CMP Kopenhagen adalah respons inovatif terhadap banjir besar yang melanda kota pada 2 Juli 2011, yang menyebabkan kerugian sekitar 1 miliar euro dan menenggelamkan sebagian besar kota dalam waktu singkat. Pemerintah kota, bekerja sama dengan konsultan global seperti Rambøll, mengembangkan strategi cloudburst yang mengintegrasikan solusi infrastruktur biru-hijau, seperti taman banjir, kanal terbuka, dan sistem penyerapan air di ruang publik1.

CMP tidak hanya berhasil menurunkan risiko banjir, tetapi juga meningkatkan kualitas ruang publik dan nilai ekonomi kawasan. Misalnya, kawasan-kawasan yang sebelumnya rawan banjir kini menjadi ruang terbuka hijau yang diminati warga. Selain itu, CMP menjadi model yang diadopsi kota-kota lain, seperti New York, yang bekerja sama dengan Rambøll untuk mengembangkan Cloudburst Resiliency Plan di Brooklyn1.

Bagaimana Konsep Resiliensi dan BGI Menyebar Antar Kota?

Penelitian Suteerasan membedah proses transfer pengetahuan kebijakan menjadi empat tahap utama:

1. Eksplorasi, Produksi, dan Pemasaran Pengetahuan

Aktor utama di tahap ini adalah para policy mobilizers—baik dari pemerintah lokal, konsultan global, maupun lembaga internasional. Mereka mengeksplorasi dan memproduksi pengetahuan, lalu mengamplifikasi dan memasarkan konsep tersebut ke jaringan kota lain. Contohnya, Rambøll berperan aktif mempromosikan solusi CMP ke kota-kota besar dunia1.

2. Kontak Antar Kota

Terjadi pertukaran pengetahuan melalui konferensi, studi banding, dan kerja sama proyek. Di sinilah jaringan profesional dan institusi memainkan peran penting. Kota-kota seperti Kopenhagen dan New York membangun kemitraan strategis, bertukar data, dan menyesuaikan solusi sesuai konteks lokal masing-masing1.

3. Transfer dan Translasi

Konsep yang sudah matang kemudian diadopsi dan diterjemahkan ke dalam kebijakan lokal kota tujuan. Proses ini tidak sekadar menyalin, tetapi juga menyesuaikan dengan kebutuhan, regulasi, dan budaya setempat. Misalnya, solusi taman banjir di Kopenhagen diadaptasi menjadi rain gardens di New York yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan pola tata kota Amerika1.

4. Refleksi dan Internalasi

Setelah implementasi, kota melakukan evaluasi, refleksi, dan perbaikan berkelanjutan. Di tahap ini, muncul tantangan baru seperti risiko gentrifikasi (kenaikan harga tanah dan penggusuran warga asli) dan ketimpangan akses terhadap manfaat infrastruktur baru1.

Peran Aktor dan Studi Kasus Angka

Penelitian ini menyoroti peran penting policy mobilizers:

  • Konsultan Global (misal: Rambøll): Berperan sebagai jembatan pengetahuan dan inovasi antar kota. Rambøll, misalnya, telah mengembangkan lebih dari 300 proyek BGI di 20 negara, termasuk di Eropa, Amerika Utara, dan Asia.
  • Pemerintah Kota: Menjadi motor penggerak kebijakan dan memastikan adopsi sesuai kebutuhan lokal. Di Kopenhagen, pemerintah kota mengalokasikan lebih dari 1,5 miliar euro untuk program CMP hingga 2035.
  • Jaringan Internasional: Organisasi seperti C40 Cities dan ICLEI mempercepat pertukaran pengetahuan melalui platform global, mempertemukan lebih dari 90 kota besar dunia untuk berbagi pengalaman dan solusi.

Kritik, Tantangan, dan Nilai Tambah

Walaupun transfer pengetahuan kebijakan mempercepat inovasi, ada risiko yang perlu diwaspadai:

  • Adaptasi Konteks Lokal: Tidak semua solusi bisa langsung diadopsi. Kota dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan geografis berbeda harus melakukan penyesuaian signifikan agar solusi benar-benar efektif.
  • Risiko Gentrifikasi: Infrastruktur baru yang meningkatkan kualitas kawasan sering kali menyebabkan kenaikan harga tanah dan penggusuran warga berpenghasilan rendah. Di Kopenhagen, beberapa kawasan yang sukses melakukan revitalisasi justru mengalami pergeseran demografi yang memicu ketimpangan baru.
  • Ketergantungan pada Konsultan Global: Dominasi perusahaan konsultan besar kadang mengurangi otonomi kota dalam merancang solusi lokal, serta berpotensi menstandarkan solusi tanpa mempertimbangkan keunikan lokal.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian Suteerasan memperkuat temuan sebelumnya bahwa policy mobility di era globalisasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan interaktif dan adaptif. Studi Wachsmuth & Angelo (2018) dan Monstadt & Schmidt (2019) juga menyoroti pentingnya jaringan pengetahuan dan peran aktor non-pemerintah dalam mempercepat adopsi solusi inovatif.

Namun, Suteerasan menambahkan dimensi penting: proses transfer pengetahuan tidak hanya membawa manfaat, tapi juga risiko sosial-ekonomi yang harus diantisipasi sejak awal. Dibutuhkan mekanisme refleksi dan evaluasi berkelanjutan agar transfer kebijakan benar-benar menciptakan kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kesimpulan: Pelajaran Penting untuk Kota Masa Depan

Infrastruktur biru-hijau dan konsep resiliensi kota terbukti efektif meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Namun, keberhasilan transfer pengetahuan kebijakan sangat bergantung pada:

  • Peran aktif aktor lokal dan global dalam membangun jaringan pengetahuan.
  • Kemampuan kota untuk menyesuaikan solusi dengan konteks lokal.
  • Mekanisme evaluasi dan refleksi untuk mengantisipasi dampak sosial-ekonomi.

CMP Kopenhagen menjadi contoh nyata bagaimana inovasi lokal bisa menjadi inspirasi global, asalkan proses transfer pengetahuan dilakukan secara adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber : Suteerasan, S. (2020). Blue-Green Infrastructure on the Move: How Resilience Concepts Travel Between Cities. KTH Royal Institute of Technology, Stockholm.

Selengkapnya
Bagaimana Konsep Infrastruktur Biru-Hijau dan Resiliensi Kota Menyebar: Studi Kasus Cloudburst Management Plan Kopenhagen

Kebijakan Infrastruktur Air

Mengurai Hambatan Digitalisasi Utilitas Air di Swedia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan: Air, Digitalisasi, dan Masa Depan Layanan Publik

Air merupakan infrastruktur vital yang menopang kehidupan sosial dan ekonomi. Di Swedia, tantangan seperti urbanisasi, infrastruktur menua, dan perubahan iklim mendorong kebutuhan untuk mendigitalisasi sistem penyediaan air. Namun, adopsi solusi digital masih tertinggal dibandingkan sektor lain. Laporan tesis "Aligning Currents" oleh Emelie Skantz (2024) menyoroti berbagai hambatan utama dalam proses digitalisasi utilitas air, berdasarkan wawancara dengan penyedia teknologi dan operator air di Swedia.

Tujuan dan Metodologi Studi

Penelitian ini mengeksplorasi dua pertanyaan utama:

  • Apa saja hambatan utama digitalisasi utilitas air di Swedia?
  • Bagaimana perbedaan persepsi antara operator air dan penyedia teknologi?

Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan 11 pemangku kepentingan dari utilitas air, penyedia teknologi, konsultan, dan akademisi, serta ditunjang dengan literatur sekunder.

Hambatan Utama Digitalisasi Utilitas Air

1. Tidak Ada Strategi dan Visi Digitalisasi yang Jelas
Banyak utilitas air tidak memiliki strategi digitalisasi formal. WU4 menyebut meski telah melakukan beberapa lokakarya, belum ada arah strategis yang konkret. WU1 menekankan digitalisasi dilakukan secara “instingtif” tanpa panduan tujuan jangka panjang.

2. Dukungan Manajemen dan Struktur Organisasi Lemah
Digitalisasi belum menjadi prioritas manajerial. Banyak CEO/utilitas masih menganggap digitalisasi sebagai proyek teknologi, bukan investasi strategis. Konsultan C1 menyebut banyak perusahaan air “belum siap secara budaya dan struktur” menghadapi proyek transformasi digital.

3. Kekurangan Kompetensi dan Sumber Daya Manusia
Kekurangan tenaga ahli membuat inisiatif digitalisasi seringkali gagal dieksekusi meskipun sudah direncanakan. Bahkan, posisi seperti manajer digitalisasi kadang tidak dibekali dengan kewenangan atau dukungan memadai.

4. Isu Keamanan Siber dan Kepemilikan Data
Kekhawatiran tentang cybersecurity dan kontrol data jadi penghambat utama, terutama untuk layanan berbasis cloud atau “data as a service”. Risiko vendor lock-in juga menghambat adopsi luas.

5. Kurangnya Insentif Regulasi dan Kebijakan
Tidak ada mandat nasional untuk mendorong digitalisasi. Operator tidak diberi insentif dari pemerintah, padahal biaya investasi tinggi dan tarif air rendah membuat pengembalian investasi sulit dihitung.

Perspektif Penyedia Teknologi: Selaras tapi Terkendala

Penyedia teknologi, terutama yang sudah mapan dan tergabung dalam asosiasi industri seperti Vattenindustrin, merasa sudah cukup memahami kebutuhan pasar. Namun mereka menyebut tantangan utama datang dari organisasi pelanggan sendiri, terutama lambatnya pengambilan keputusan, struktur birokratis, dan sikap konservatif.

Peluang solusi yang diusulkan:

  • Membangun “champion” internal di dalam utilitas air (pegawai dengan minat digitalisasi)
  • Memberikan pelatihan bersama, bukan hanya menjual produk
  • Mengemas digitalisasi sebagai solusi efisiensi atau penghematan energi, bukan sekadar proyek teknologi

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • 90% penduduk Swedia bergantung pada layanan air milik publik
  • Infrastruktur air Swedia dibangun pada era 1950–1970 dan kini menua
  • Swedia memiliki 1.200–1.300 IPAL dan 1.600 instalasi air bersih
  • Selisih tarif antar kota bisa mencapai 500%
  • 90% utilitas air menggunakan air tanah sebagai sumber

Data ini menunjukkan kompleksitas dan kebutuhan investasi besar yang sulit diatasi tanpa transformasi struktural dan digitalisasi yang sistemik.

Temuan Tambahan dari Literatur

  • Digitalisasi belum didefinisikan secara universal; tiap organisasi punya interpretasi berbeda.
  • Budaya organisasi konservatif dan keengganan terhadap risiko sangat tinggi di sektor air.
  • Regulasi justru sering menghambat inovasi karena tumpang tindih otoritas dan kurangnya insentif eksplisit.
  • Banyak teknologi canggih gagal diimplementasikan karena kurangnya model bisnis yang mendukung atau kegagalan dalam proses scaling-up.
  • Kolaborasi lintas sektor (dengan penyedia teknologi, akademisi, pemerintah) belum optimal, padahal sangat krusial.

Rekomendasi Praktis

  1. Bentuk Strategi Digitalisasi Nasional: Pemerintah perlu menetapkan arahan dan insentif untuk mendorong utilitas air melakukan transformasi digital.
  2. Bangun Kapasitas Internal: Prioritaskan pelatihan SDM, pembentukan tim digital internal, dan pemberian otoritas pada manajer digital.
  3. Dorong Kemitraan Strategis: Fasilitasi kolaborasi berkelanjutan antara utilitas air dan penyedia teknologi, termasuk sandbox regulasi.
  4. Perbarui Infrastruktur dan Model Investasi: Pemerintah daerah perlu mendesain ulang skema investasi utilitas agar bisa menyerap solusi digital jangka panjang.
  5. Gunakan Pendekatan Multistakeholder: Libatkan asosiasi industri, lembaga riset, dan komunitas pengguna dalam proses transformasi.

Kesimpulan: Digitalisasi Butuh Tata Kelola dan Budaya Baru

Digitalisasi sektor air bukan sekadar mengganti meter manual dengan sensor pintar. Ia menuntut perubahan budaya, restrukturisasi organisasi, penyesuaian regulasi, dan peningkatan kompetensi. Studi ini menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi di sektor air akan sangat bergantung pada kemampuan berbagai aktor untuk bekerja sama secara terkoordinasi, dengan tujuan dan tanggung jawab yang jelas.

Tanpa strategi menyeluruh dan reformasi institusional, digitalisasi hanya akan jadi buzzword—bukan solusi nyata atas tantangan air masa kini.

Sumber : Skantz, E. (2024). Aligning Currents: Uncovering Perspectives on Barriers in Water Utility Digitalization. Master of Science Thesis, KTH Royal Institute of Technology. TRITA-ITM-EX 2024:302.

Selengkapnya
Mengurai Hambatan Digitalisasi Utilitas Air di Swedia

Kebijakan Infrastruktur Air

Meter Air Pintar Hadapi Tantangan Regulasi Digital di Belanda

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pengantar: Data Besar dan Inovasi Infrastruktur

Big data dan Internet of Things (IoT) telah menjadi penggerak utama dalam manajemen infrastruktur publik, termasuk air minum. Melalui data-driven innovation (DDI), operator jaringan bisa melakukan pemeliharaan prediktif, deteksi kebocoran, dan penghematan biaya secara signifikan. Namun, transformasi digital seperti penerapan Smart Water Meter (SWM) di Belanda menghadapi hambatan besar: aturan hukum yang belum siap.

Makalah oleh Espinosa dan Lavrijssen (2019) membedah tantangan regulasi SWM di Belanda. Penelitian ini jadi diskusi awal tentang bagaimana kerangka hukum lama berinteraksi (atau bertabrakan) dengan teknologi baru.

Fungsi dan Manfaat SWM: Lebih dari Sekadar Tagihan

Smart Water Meter bukan hanya alat ukur konsumsi, tapi sistem sensor real-time yang:

  • Mendeteksi kebocoran dan pencurian air
  • Menyediakan data berkualitas tinggi untuk analisis permintaan air
  • Mengurangi biaya operasional dan tenaga kerja manual
  • Memonitor kualitas air seperti suhu dan tekanan
  • Memfasilitasi harga dinamis dan pengelolaan konservasi

Namun teknologi ini juga membawa risiko privasi dan keamanan data, karena informasi dikumpulkan secara real-time di rumah pelanggan dan bisa menggambarkan pola hidup pengguna.

Situasi Terkini di Belanda: Potensi Besar, Payung Hukum Kurang

Belanda belum memiliki kebijakan nasional untuk SWM. Tidak ada regulasi khusus, standar teknis, maupun mandat instalasi. Pilot project hanya dilakukan oleh tiga perusahaan air: Vitens, Oasen, dan Brabant Water.

Mengapa belum diluncurkan secara nasional?

  • Biaya tinggi implementasi SWM belum sebanding dengan harga air yang relatif murah
  • Tidak ada insentif regulasi atau mandat Uni Eropa
  • Ketersediaan air masih tinggi—Belanda tidak (belum) mengalami krisis air serius

Namun, cuaca ekstrem seperti musim panas 2018 yang sangat kering menunjukkan bahwa krisis air bisa datang lebih cepat dari perkiraan.

Studi Kasus: Ketidaksiapan Regulasi Mikro dan Makro

Tingkat Mikro (Peraturan Metering)

Aturan yang ada hanya mengatur meteran untuk kebutuhan tagihan. Fitur-fitur baru seperti pengiriman data otomatis, deteksi kebocoran, atau pemantauan kualitas air tidak tercakup.

Masalah krusial:

  • Tidak ada kerangka hukum untuk privasi dan keamanan data SWM
  • Belum ada pengakuan hukum terhadap fungsi analitik SWM
  • Pengguna masih diwajibkan mencatat meteran manual setahun sekali

Tingkat Makro (Kerangka Umum Sektor Air)

Sebagai sektor monopoli publik, perusahaan air Belanda terikat pada aturan ketat:

  • Tarif dikontrol oleh Kementerian Infrastruktur dan ILT
  • Investasi harus sesuai rencana lima tahunan
  • Return of Investment dibatasi oleh WACC yang ditentukan regulator

SWM sebagai investasi baru sulit dimasukkan tanpa aturan nasional yang jelas, apalagi karena konsumen tidak bisa memilih operator air mereka (captive consumers).

Regulasi dan Teknologi: Empat Dilema Hukum

Berdasarkan kerangka Bennett Moses, regulasi menghadapi 4 dilema akibat perubahan teknologi:

  1. Regulatory gap – teknologi baru belum diatur
  2. Uncertainty – sulit menerapkan aturan lama untuk praktik baru
  3. Over/under-inclusiveness – aturan terlalu sempit atau terlalu luas
  4. Obsolescence – aturan lama menjadi tidak relevan

Dalam konteks SWM:

  • Tidak ada dasar hukum yang jelas untuk pengumpulan data non-tagihan (misalnya, pemantauan tekanan air)
  • Perlindungan privasi belum disesuaikan dengan frekuensi pengumpulan data yang tinggi
  • GDPR mensyaratkan dasar hukum kuat untuk pengolahan data pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan kontrak (misalnya, untuk deteksi kebocoran)

Perbandingan Internasional dan Potensi Solusi

Negara seperti Inggris sudah mewajibkan SWM di daerah rawan kekeringan. Beberapa negara, seperti Denmark, menggunakan GDPR Pasal 6(1)(e) dan 6(1)(f) sebagai dasar hukum pemrosesan data untuk kepentingan publik dan legitimasi pemilik data.

Di Belanda, pendekatan ini belum ada. Tanpa kebijakan nasional, setiap perusahaan air harus menafsirkan sendiri ruang geraknya, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko hukum.

Rekomendasi dan Refleksi

  1. Reformasi aturan mikro – definisikan kembali "meter air" sebagai alat multifungsi berbasis data
  2. Tambahkan perlindungan privasi – frekuensi data tinggi = risiko tinggi, harus diimbangi dengan regulasi
  3. Revisi aturan makro – beri insentif dan ruang investasi untuk teknologi digital dalam sektor publik
  4. Tautkan SWM ke nilai publik – seperti efisiensi, konservasi air, dan pelayanan berkelanjutan
  5. Eksperimen hukum – pemerintah bisa memulai dari sandbox regulasi untuk uji coba SWM dengan mitigasi risiko

Kesimpulan: Saatnya Aturan Mengejar Teknologi

Belanda memiliki potensi besar dalam transformasi digital sektor air. Namun tanpa penyesuaian regulasi, inovasi seperti SWM akan tetap berada di tahap uji coba. Tulisan ini menunjukkan bahwa tantangan bukan pada teknologi itu sendiri, tetapi pada kerangka hukum yang belum cukup adaptif untuk mengakomodasi perubahan digital yang cepat.

Langkah ke depan adalah mengkaji ulang aturan yang ada, bukan untuk menghambat teknologi, tapi untuk memastikan manfaatnya bisa dinikmati dengan tetap menjaga hak-hak dasar konsumen.

Sumber : Espinosa, B., & Lavrijssen, S. (2019). Exploring the regulatory challenges of a possible rollout of smart water meters in the Netherlands. Competition and Regulation in Network Industries, 19(3–4), 159–179.

Selengkapnya
Meter Air Pintar Hadapi Tantangan Regulasi Digital di Belanda

Manajemen Pemasok

Strategi Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Model SCPM untuk Efisiensi dan Daya Saing Bisnis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Juni 2025


Pendahuluan

Di era persaingan global, Supply Chain Performance Measurement System (SCPMS) menjadi elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi rantai pasok perusahaan. SCPMS tidak hanya digunakan untuk mengukur kinerja internal tetapi juga mengoptimalkan hubungan dengan pemasok dan mitra bisnis lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Hamid Kazemkhanlou dan Hamid Reza Ahadi di Iran University of Science & Technology mengeksplorasi berbagai model pengukuran kinerja rantai pasok, menyoroti karakteristik, kelebihan, dan penerapannya dalam konteks bisnis modern.

Metodologi Penelitian

  • Analisis literatur terhadap berbagai model SCPM, termasuk pendekatan strategis, taktis, dan operasional.
  • Evaluasi sistem pengukuran kinerja berbasis keuangan dan non-keuangan, seperti Balanced Scorecard, SCOR Model, dan Economic Value Added (EVA).
  • Studi kasus dan pemetaan framework SCPM dalam tujuh tingkatan evaluasi kinerja.

Temuan Utama

1. Evolusi SCPMS dan Peranannya dalam Bisnis Modern

  • Sebelum 1980-an, pengukuran kinerja rantai pasok hanya berfokus pada data keuangan seperti ROI dan ROA.
  • Pada 1990-an, model Balanced Scorecard diperkenalkan untuk menyeimbangkan pengukuran keuangan dan operasional.
  • Saat ini, perusahaan semakin mengadopsi SCPMS berbasis teknologi digital dan data real-time untuk meningkatkan ketahanan rantai pasok.

2. Karakteristik SCPM yang Efektif

  • Pengukuran harus mencakup aspek strategis, taktis, dan operasional.
  • Sistem harus dinamis dan fleksibel agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar.
  • Integrasi dengan sistem informasi logistik meningkatkan transparansi dan efisiensi operasional.

3. Model SCPM dan Keunggulannya

Berbagai model Supply Chain Performance Measurement (SCPM) memiliki keunggulan masing-masing dalam mengukur dan meningkatkan kinerja rantai pasok. Balanced Scorecard (BSC) merupakan model yang digunakan untuk menilai kinerja berdasarkan empat perspektif utama, yaitu keuangan, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Pendekatan ini membantu perusahaan dalam mencapai keseimbangan antara aspek keuangan dan operasional. Sementara itu, SCOR Model lebih menitikberatkan pada keandalan, fleksibilitas, serta biaya dalam rantai pasok, sehingga perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dan respons terhadap permintaan pasar. Model Economic Value Added (EVA) berfokus pada pengukuran nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok, membantu perusahaan dalam menilai sejauh mana operasi bisnis menciptakan keuntungan bagi pemegang saham. Selain itu, Activity-Based Costing (ABC) digunakan untuk mengidentifikasi biaya produksi berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah, sehingga perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien dan meningkatkan profitabilitas. Dengan memahami keunggulan masing-masing model, perusahaan dapat memilih pendekatan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan tujuan bisnisnya.

4. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Transportasi dan Manufaktur

  • Perusahaan transportasi di Iran menerapkan SCPMS berbasis SCOR Model, meningkatkan efisiensi pengiriman hingga 25%.
  • Industri manufaktur yang menggunakan Balanced Scorecard melaporkan peningkatan produktivitas sebesar 18% dalam dua tahun.
  • Penggunaan teknologi ERP dalam pengukuran kinerja meningkatkan akurasi data operasional hingga 40%.

Strategi Optimal untuk Implementasi SCPMS yang Efektif

1. Mengintegrasikan Pengukuran Kinerja dengan Teknologi Digital

  • Menggunakan Artificial Intelligence (AI) untuk analisis prediktif rantai pasok.
  • Menerapkan Internet of Things (IoT) untuk pemantauan real-time terhadap pergerakan stok dan bahan baku.

2. Menerapkan Model Pengukuran yang Sesuai dengan Tujuan Bisnis

  • Perusahaan dengan rantai pasok kompleks sebaiknya menggunakan SCOR Model.
  • Bisnis yang berorientasi pada nilai tambah finansial dapat menerapkan Economic Value Added (EVA).

3. Meningkatkan Kolaborasi dan Transparansi dengan Mitra Bisnis

  • Menggunakan platform berbasis cloud untuk berbagi informasi rantai pasok secara real-time.
  • Menerapkan sistem insentif berbasis kinerja untuk pemasok dan distributor.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa SCPMS yang efektif mampu meningkatkan daya saing perusahaan dengan memberikan wawasan berbasis data untuk pengambilan keputusan strategis. Perusahaan yang mengadopsi SCPMS modern dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok, menekan biaya, dan mempercepat respons terhadap dinamika pasar.

Dengan memilih model pengukuran kinerja yang tepat dan memanfaatkan teknologi digital, organisasi dapat meningkatkan efisiensi operasional serta memperkuat hubungan dengan pemasok dan pelanggan.

Sumber : Hamid Kazemkhanlou, Hamid Reza Ahadi (2014). Study of Performance Measurement Practices in Supply Chain Management. Iran University of Science & Technology.

Selengkapnya
Strategi Pengukuran Kinerja Rantai Pasok: Model SCPM untuk Efisiensi dan Daya Saing Bisnis
page 1 of 1.087 Next Last »