Pendahuluan: Tantangan Kota di Era Krisis Iklim
Perubahan iklim global telah memaksa kota-kota di seluruh dunia untuk beradaptasi dengan risiko cuaca ekstrem, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kota-kota kini menghadapi tantangan besar untuk membangun resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan pulih dari gangguan lingkungan dan sosial. Salah satu pendekatan inovatif yang kini banyak diadopsi adalah pengembangan infrastruktur biru-hijau (Blue-Green Infrastructure/BGI), yaitu integrasi solusi berbasis alam dalam tata kelola air, drainase, dan ruang terbuka kota.
Namun, bagaimana konsep-konsep ini menyebar dari satu kota ke kota lain? Siapa saja aktor kunci di balik transfer pengetahuan ini? Studi yang dilakukan oleh Sutthi Suteerasan (2020) melalui tesis di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, mengupas tuntas mekanisme, aktor, dan tantangan dalam mobilisasi kebijakan resiliensi kota, dengan menyoroti studi kasus Cloudburst Management Plan (CMP) di Kopenhagen, Denmark1.
Latar Belakang: Urbanisasi, Kerentanan, dan Pergeseran Paradigma
Kota-kota modern adalah simpul utama infrastruktur dan populasi. Ketika terjadi kegagalan infrastruktur akibat cuaca ekstrem, dampaknya bisa sangat luas—mulai dari kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga penurunan kualitas hidup warga. Paradigma lama yang mengandalkan pendekatan fail-safe (menghindari kegagalan sama sekali) kini bergeser ke safe-to-fail, yaitu menerima kemungkinan kegagalan namun memastikan sistem kota tetap dapat pulih dengan cepat1.
Konsep resiliensi menjadi kunci. Kota tidak lagi hanya membangun tembok atau saluran air besar, tapi juga mengintegrasikan ruang hijau, area resapan, dan sistem drainase berkelanjutan (Sustainable Urban Drainage Systems/SuDS). Pendekatan ini terbukti efektif menekan risiko banjir dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan.
Studi Kasus: Cloudburst Management Plan (CMP) Kopenhagen
CMP Kopenhagen adalah respons inovatif terhadap banjir besar yang melanda kota pada 2 Juli 2011, yang menyebabkan kerugian sekitar 1 miliar euro dan menenggelamkan sebagian besar kota dalam waktu singkat. Pemerintah kota, bekerja sama dengan konsultan global seperti Rambøll, mengembangkan strategi cloudburst yang mengintegrasikan solusi infrastruktur biru-hijau, seperti taman banjir, kanal terbuka, dan sistem penyerapan air di ruang publik1.
CMP tidak hanya berhasil menurunkan risiko banjir, tetapi juga meningkatkan kualitas ruang publik dan nilai ekonomi kawasan. Misalnya, kawasan-kawasan yang sebelumnya rawan banjir kini menjadi ruang terbuka hijau yang diminati warga. Selain itu, CMP menjadi model yang diadopsi kota-kota lain, seperti New York, yang bekerja sama dengan Rambøll untuk mengembangkan Cloudburst Resiliency Plan di Brooklyn1.
Bagaimana Konsep Resiliensi dan BGI Menyebar Antar Kota?
Penelitian Suteerasan membedah proses transfer pengetahuan kebijakan menjadi empat tahap utama:
1. Eksplorasi, Produksi, dan Pemasaran Pengetahuan
Aktor utama di tahap ini adalah para policy mobilizers—baik dari pemerintah lokal, konsultan global, maupun lembaga internasional. Mereka mengeksplorasi dan memproduksi pengetahuan, lalu mengamplifikasi dan memasarkan konsep tersebut ke jaringan kota lain. Contohnya, Rambøll berperan aktif mempromosikan solusi CMP ke kota-kota besar dunia1.
2. Kontak Antar Kota
Terjadi pertukaran pengetahuan melalui konferensi, studi banding, dan kerja sama proyek. Di sinilah jaringan profesional dan institusi memainkan peran penting. Kota-kota seperti Kopenhagen dan New York membangun kemitraan strategis, bertukar data, dan menyesuaikan solusi sesuai konteks lokal masing-masing1.
3. Transfer dan Translasi
Konsep yang sudah matang kemudian diadopsi dan diterjemahkan ke dalam kebijakan lokal kota tujuan. Proses ini tidak sekadar menyalin, tetapi juga menyesuaikan dengan kebutuhan, regulasi, dan budaya setempat. Misalnya, solusi taman banjir di Kopenhagen diadaptasi menjadi rain gardens di New York yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan pola tata kota Amerika1.
4. Refleksi dan Internalasi
Setelah implementasi, kota melakukan evaluasi, refleksi, dan perbaikan berkelanjutan. Di tahap ini, muncul tantangan baru seperti risiko gentrifikasi (kenaikan harga tanah dan penggusuran warga asli) dan ketimpangan akses terhadap manfaat infrastruktur baru1.
Peran Aktor dan Studi Kasus Angka
Penelitian ini menyoroti peran penting policy mobilizers:
- Konsultan Global (misal: Rambøll): Berperan sebagai jembatan pengetahuan dan inovasi antar kota. Rambøll, misalnya, telah mengembangkan lebih dari 300 proyek BGI di 20 negara, termasuk di Eropa, Amerika Utara, dan Asia.
- Pemerintah Kota: Menjadi motor penggerak kebijakan dan memastikan adopsi sesuai kebutuhan lokal. Di Kopenhagen, pemerintah kota mengalokasikan lebih dari 1,5 miliar euro untuk program CMP hingga 2035.
- Jaringan Internasional: Organisasi seperti C40 Cities dan ICLEI mempercepat pertukaran pengetahuan melalui platform global, mempertemukan lebih dari 90 kota besar dunia untuk berbagi pengalaman dan solusi.
Kritik, Tantangan, dan Nilai Tambah
Walaupun transfer pengetahuan kebijakan mempercepat inovasi, ada risiko yang perlu diwaspadai:
- Adaptasi Konteks Lokal: Tidak semua solusi bisa langsung diadopsi. Kota dengan karakteristik sosial, ekonomi, dan geografis berbeda harus melakukan penyesuaian signifikan agar solusi benar-benar efektif.
- Risiko Gentrifikasi: Infrastruktur baru yang meningkatkan kualitas kawasan sering kali menyebabkan kenaikan harga tanah dan penggusuran warga berpenghasilan rendah. Di Kopenhagen, beberapa kawasan yang sukses melakukan revitalisasi justru mengalami pergeseran demografi yang memicu ketimpangan baru.
- Ketergantungan pada Konsultan Global: Dominasi perusahaan konsultan besar kadang mengurangi otonomi kota dalam merancang solusi lokal, serta berpotensi menstandarkan solusi tanpa mempertimbangkan keunikan lokal.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian Suteerasan memperkuat temuan sebelumnya bahwa policy mobility di era globalisasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan interaktif dan adaptif. Studi Wachsmuth & Angelo (2018) dan Monstadt & Schmidt (2019) juga menyoroti pentingnya jaringan pengetahuan dan peran aktor non-pemerintah dalam mempercepat adopsi solusi inovatif.
Namun, Suteerasan menambahkan dimensi penting: proses transfer pengetahuan tidak hanya membawa manfaat, tapi juga risiko sosial-ekonomi yang harus diantisipasi sejak awal. Dibutuhkan mekanisme refleksi dan evaluasi berkelanjutan agar transfer kebijakan benar-benar menciptakan kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan: Pelajaran Penting untuk Kota Masa Depan
Infrastruktur biru-hijau dan konsep resiliensi kota terbukti efektif meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Namun, keberhasilan transfer pengetahuan kebijakan sangat bergantung pada:
- Peran aktif aktor lokal dan global dalam membangun jaringan pengetahuan.
- Kemampuan kota untuk menyesuaikan solusi dengan konteks lokal.
- Mekanisme evaluasi dan refleksi untuk mengantisipasi dampak sosial-ekonomi.
CMP Kopenhagen menjadi contoh nyata bagaimana inovasi lokal bisa menjadi inspirasi global, asalkan proses transfer pengetahuan dilakukan secara adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber : Suteerasan, S. (2020). Blue-Green Infrastructure on the Move: How Resilience Concepts Travel Between Cities. KTH Royal Institute of Technology, Stockholm.