Aspek Budaya dalam Manajemen Proyek Konstruksi Uganda: Praktik, Tantangan, dan Inovasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

13 Juni 2025, 16.32

pixabay.com

Pendahuluan

Pertumbuhan kota-kota besar di Afrika membawa peluang dan tantangan bagi sektor konstruksi, terutama di negara seperti Uganda. Studi Cultural Aspects of Construction Project Management Practices – a Ugandan Perspective oleh Erik Nikkanen Almén dan Sahand Kohnechian (2014) menjadi jendela penting untuk memahami bagaimana praktik manajemen proyek di Uganda dipengaruhi oleh aspek budaya, sejarah, dan dinamika sosial. Artikel ini bukan hanya merangkum temuan dari lapangan, tetapi juga menghubungkannya dengan teori manajemen proyek Barat, peran budaya lokal, dan potensi adaptasi untuk masa depan.

Latar Belakang dan Konteks

Uganda adalah salah satu negara Afrika yang mengalami urbanisasi cepat. Pada 2009, hampir 40% dari populasi satu miliar orang tinggal di kawasan urban. Diproyeksikan, pada 2050, 60% dari dua miliar penduduk Afrika akan tinggal di kota-kota. Kampala, ibu kota Uganda, menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di Afrika. Hal ini membuka peluang besar bagi sektor konstruksi, yang kini menjadi pemberi kerja terbesar kedua di Uganda setelah pertanian.

Namun, industri konstruksi di Uganda masih muda dan menghadapi tantangan signifikan, termasuk kualitas pekerjaan yang bervariasi, kurangnya kompetensi teknis, dan tingginya korupsi. Penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan selama dua bulan di Kampala, melibatkan wawancara mendalam dengan kontraktor, konsultan, dan pejabat pemerintah.

Metodologi dan Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif eksploratif dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan data sekunder dari literatur. Kerangka teori utama yang digunakan meliputi:

  • Project Management Triangle (waktu, biaya, kualitas)
  • Teori budaya Hofstede (individualisme vs kolektivisme, jarak kekuasaan, dll.)
  • Teori kepemimpinan dan motivasi (Maslow, Hertzberg)
  • Pengaruh budaya kolektivisme Afrika (Lituchy et al., 2012)

Temuan lapangan kemudian dibandingkan dengan standar manajemen proyek Barat (PMBOK, IPMA, dll.) untuk melihat kesenjangan dan potensi adaptasi.

Temuan Utama

1. Peran Budaya Kolektivisme dan Patronase
Budaya kolektivisme yang kuat di Uganda menciptakan dinamika berbeda dalam manajemen proyek. Hubungan personal, clan, dan komunitas sering lebih diutamakan daripada kinerja teknis. Misalnya, keputusan staf atau kontraktor sering dipengaruhi oleh hubungan sosial daripada kompetensi profesional. Hal ini berdampak pada kualitas proyek dan efisiensi waktu.

2. Manajemen Proyek: Adaptasi dan Tantangan

  • Definisi Misi Proyek: Sebagian besar manajer proyek memahami pentingnya keseimbangan waktu, biaya, dan kualitas. Namun, tekanan untuk menekan biaya sering membuat kualitas dikorbankan.
  • Siklus Proyek: Praktik general contracting mendominasi, dengan sedikit inovasi kontrak. Sering terjadi perubahan peran, misalnya konsultan arsitektur juga menjadi manajer proyek.
  • Kendala Logistik dan Sumber Daya: Proyek menghadapi masalah pengadaan bahan, logistik, dan cuaca (musim hujan dan kering). Hal ini membuat manajer proyek harus fleksibel dan adaptif.
  • Studi Kasus: Beberapa kontraktor menghadapi tantangan dalam menjaga kualitas karena harus membayar pekerja mingguan sambil tetap menjaga profit. Akibatnya, kualitas menjadi prioritas sekunder.

3. Korupsi dan Konflik Kepentingan
Korupsi menjadi hambatan utama, bahkan diakui oleh para manajer proyek. Biaya proyek sering membengkak di tahap perencanaan karena suap, menyisakan anggaran minim untuk konstruksi. Hal ini juga terkait dengan kepemimpinan negara yang masih rapuh.

4. Kelemahan Keterampilan Teknis
Kurangnya pelatihan formal di sektor konstruksi menyebabkan manajemen proyek di Uganda sering mengandalkan pengalaman individu, bukan standar profesional. Hal ini diperparah oleh keengganan klien untuk membayar mahal demi kualitas.

Analisis Kritis dan Studi Angka

  • Dominasi Biaya: Kebanyakan proyek mengutamakan biaya rendah sebagai kriteria utama pemilihan kontraktor. Akibatnya, 70% proyek menghadapi masalah kualitas di lapangan.
  • Pola Hierarki dan Komunikasi: Komunikasi di proyek masih sangat formal, jarang ada komunikasi lintas fungsi (misalnya antara kontraktor dan tukang). Hal ini memperlambat koordinasi.
  • Tingkat Korupsi: Sebagian besar aktor setuju bahwa sekitar 20–30% dari anggaran proyek “hilang” akibat korupsi, merujuk pada data wawancara.

Perbandingan dengan Standar Barat

Penelitian ini menegaskan bahwa standar manajemen proyek Barat—yang mengandalkan komunikasi terbuka, dokumentasi kuat, dan perencanaan detail—tidak sepenuhnya cocok di Uganda. Budaya kolektivisme, peran patronase, dan realitas ekonomi (misalnya tekanan profit cepat) membutuhkan adaptasi lebih besar.

Namun, beberapa pendekatan Barat terbukti bermanfaat:

  • Penggunaan software perencanaan seperti Gantt Chart mulai diperkenalkan untuk mempersingkat waktu proyek.
  • Konsep two-stage tendering (pengadaan dua tahap) mulai diperkenalkan untuk proyek besar.
  • Praktik manajemen risiko (risk assessment) makin dikenal walau masih terbatas.

Rekomendasi Kebijakan dan Inovasi

Penelitian ini menyarankan beberapa langkah konkret:

  • Peningkatan Pendidikan Teknis: Pelatihan berbasis standar internasional (misalnya PMBOK) untuk kontraktor dan manajer proyek lokal.
  • Kolaborasi Lokal-Internasional: Membentuk kemitraan dengan kontraktor asing (misalnya dari Kenya atau Tanzania) untuk transfer keterampilan.
  • Kode Etik dan Standarisasi: Menerapkan standar etika yang lebih ketat, termasuk untuk pengadaan bahan.
  • Mendorong Inovasi Proyek: Membuka ruang bagi inovasi material dan desain agar tidak selalu terjebak pada mentalitas “secepat dan semurah mungkin.”

Kritik dan Implikasi Lebih Luas

Penelitian ini memang terbatas pada Kampala dan beberapa perusahaan saja. Namun, temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana budaya lokal bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi membangun loyalitas, di sisi lain menghambat inovasi. Hal ini menjadi pembelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia, dalam merancang standar manajemen proyek yang lebih inklusif dan realistis.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa manajemen proyek konstruksi di Uganda berkembang pesat, tetapi masih sangat dipengaruhi oleh budaya kolektivisme, tekanan biaya, dan korupsi. Adaptasi teori manajemen proyek Barat harus dilakukan secara kontekstual, bukan copy-paste. Peningkatan pendidikan dan kolaborasi lintas budaya menjadi kunci untuk memperbaiki mutu proyek dan mendorong inovasi di sektor konstruksi Uganda.

Sumber : Almén, E. N., & Kohnechian, S. (2014). Cultural aspects of Construction Project Management practices – a Ugandan perspective. Master’s thesis, Department of Real Estate and Construction Management, Royal Institute of Technology, Stockholm.