Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim
Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.
Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.
Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola
Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan
Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.
Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan
Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:
- Menyerap gangguan tanpa kehilangan fungsi inti (kapasitas absorptif)
- Beradaptasi terhadap perubahan (kapasitas adaptif)
- Bertransformasi menuju sistem yang lebih baik (kapasitas transformatif)
Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).
Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan
Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.
Kerangka Resilience-Governance
Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:
- Tiga kapasitas ketahanan (absorptif, adaptif, transformatif)
- Tiga cara memandang ketahanan (properti, proses, hasil)
- Integrasi aspek kekuasaan dan keadilan
- Analisis lintas-skala (lokal hingga nasional)
Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.
Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja
Latar Belakang
Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.
Tantangan Tata Kelola
Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.
Analisis Ketahanan
- Kapasitas absorptif: Komunitas lokal selama bertahun-tahun mampu bertahan dari fluktuasi musiman. Namun, perubahan jangka panjang seperti penurunan debit air mulai menggerus ketahanan ini.
- Kapasitas adaptif: Masyarakat mulai mencoba diversifikasi mata pencaharian, namun akses terhadap modal, teknologi, dan informasi masih terbatas.
- Kapasitas transformatif: Upaya reformasi tata kelola, misalnya lewat pembentukan Komite Pengelolaan Tonle Sap, masih menghadapi tantangan politik dan minimnya partisipasi masyarakat.
Data dan Fakta
- Luas danau: 2.500 km² di musim kering, hingga 15.000 km² di musim hujan.
- Populasi terdampak: lebih dari 1,2 juta jiwa.
- Penurunan hasil tangkapan ikan: sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir.
Pelajaran dari Tonle Sap
Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.
Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan
Latar Belakang
Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.
Tantangan Tata Kelola
Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.
Analisis Ketahanan
- Kapasitas absorptif: Komunitas masih mampu bertahan dari kekeringan jangka pendek, namun kapasitas ini terus menurun seiring penurunan cadangan air tanah.
- Kapasitas adaptif: Sebagian petani mulai mengadopsi teknologi irigasi hemat air, namun adopsinya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan pengetahuan.
- Kapasitas transformatif: Ada potensi transformasi melalui kolaborasi lintas aktor, namun terhambat oleh ketidaksetaraan akses dan kurangnya kepercayaan antar kelompok.
Data dan Fakta
- Penurunan air tanah: rata-rata 0,2 meter per tahun selama 10 tahun terakhir.
- Jumlah petani yang bergantung pada air tanah: sekitar 150 keluarga.
- Proporsi air yang digunakan untuk irigasi: lebih dari 80% dari total pengambilan air.
Pelajaran dari Limpopo
Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.
Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.
Relevansi dengan Tren Global dan Industri
- Perubahan iklim: Kedua studi kasus menunjukkan bahwa ketahanan air tidak bisa dipisahkan dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
- SDGs dan keadilan air: Isu distribusi manfaat dan keadilan sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan).
- Teknologi dan inovasi sosial: Transformasi tata kelola air membutuhkan kombinasi inovasi teknologi (misal: irigasi hemat air) dan inovasi sosial (misal: mekanisme kolaboratif dan partisipatif).
Opini dan Rekomendasi
Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.
Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif
Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.
Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Sumber artikel asli:
Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.