Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Dipantau Secara Rutin?
Air adalah kebutuhan dasar yang tak tergantikan. Namun ironisnya, sumber-sumber air seperti sungai kini berada di bawah tekanan besar akibat pertumbuhan industri, limbah domestik, serta minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. Salah satu sungai yang mulai menunjukkan gejala degradasi kualitas adalah Sungai Metro, yang mengalir melewati kawasan industri dan permukiman padat di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.
Penelitian yang dilakukan oleh Ika Meviana dan tim dari Universitas PGRI Kanjuruhan Malang memfokuskan perhatian pada analisis kualitas air sungai ini, dengan pendekatan yang sederhana namun berdampak besar: parameter fisik dan pH. Studi ini menggambarkan kondisi riil sungai dari tiga titik aliran—hulu, tengah, dan hilir—dan memberikan cerminan penting bagi kebijakan lingkungan serta masyarakat sekitar.
Studi Kasus: Sungai Metro dan Pengaruh Pabrik Gula Kebon Agung
Pabrik Gula Kebon Agung adalah salah satu landmark industri tertua di Kabupaten Malang. Didirikan pada 1905, pabrik ini memainkan peran besar dalam ekonomi lokal, tetapi juga berkontribusi pada pencemaran lingkungan jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara benar. Letaknya yang hanya berjarak sekitar 5 km dari Jalan Raya Malang–Blitar menjadikannya salah satu titik strategis di sepanjang Sungai Metro.
Studi ini mengambil sampel dari tiga lokasi:
Parameter yang Dianalisis: Bau, Suhu, Kekeruhan, Warna, dan pH
1. Bau Air: Tanda Awal Pencemaran
Di ketiga titik pengambilan sampel, air sungai menunjukkan bau tidak sedap. Titik kedua (di belakang pabrik) mencatat bau menyengat khas limbah rumah tangga dan industri, sementara titik ketiga (hulu) menunjukkan bau detergen dan sabun cuci. Bau yang muncul setelah enam hari penyimpanan dalam wadah tertutup menunjukkan adanya proses pembusukan limbah organik dan anorganik di dalam air.
2. Suhu: Relatif Stabil namun Perlu Diwaspadai
Suhu air berkisar antara 22,4°C hingga 22,8°C, yang masih berada dalam kisaran normal untuk daerah tropis (22–26°C). Meskipun terlihat aman, suhu ini perlu diperhatikan karena fluktuasi suhu memengaruhi kelarutan oksigen dan reaksi kimia dalam air.
3. Kekeruhan dan Warna: Sampah dan Sedimen Masih Jadi Masalah
Secara visual, air di ketiga titik tampak keruh dan berwarna. Di titik kedua, pengamatan menunjukkan partikel berwarna hijau kecoklatan mengendap di dasar wadah setelah didiamkan selama enam hari. Ini merupakan bukti adanya polutan tersuspensi seperti lumpur, sisa makanan, atau limbah organik dari rumah tangga dan industri.
4. pH (Derajat Keasaman): Masih dalam Baku Mutu, Tapi Menuju Ambang Atas
Nilai pH yang diukur menggunakan pH meter berada dalam rentang:
Nilai-nilai tersebut masih dalam batas aman menurut PP No. 22 Tahun 2021 (6,5–8,5), namun menunjukkan kecenderungan meningkat ke arah basa, terutama di hilir. Hal ini sejalan dengan hipotesis bahwa penambahan limbah organik dan bahan kimia dari aktivitas manusia menyebabkan kenaikan pH.
Korelasi antara Aktivitas Manusia dan Kualitas Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi air memburuk dari hulu ke hilir. Di hulu, pH masih tergolong netral dan kekeruhan relatif rendah meski sudah ada bau khas sabun rumah tangga. Di bagian tengah, yang dekat dengan pabrik gula, kualitas air memburuk secara signifikan—bau menyengat, partikel endapan berlimpah, dan warna lebih pekat.
Fenomena ini memperkuat temuan dari Kristanto (2002) dan Yuliastuti (2011) bahwa limbah rumah tangga dan industri memiliki dampak besar terhadap nilai pH dan tingkat kesadahan air. Saat bahan organik larut dan membusuk, mereka membentuk metabolit beracun dan menurunkan kandungan oksigen terlarut.
Bandingkan dengan Studi Sebelumnya: Tren yang Konsisten?
Penelitian ini sejalan dengan studi Lantapon et al. (2019) tentang sumur di wilayah pedesaan yang menunjukkan bahwa nilai pH dan kekeruhan meningkat seiring dengan kedekatan terhadap pusat aktivitas manusia. Studi dari Asrini dkk. (2017) di Bali juga menunjukkan bahwa pembuangan limbah organik meningkatkan pH dan memperburuk kualitas air.
Namun, berbeda dari studi yang mengkaji parameter kimia seperti BOD, COD, atau logam berat, penelitian ini lebih menyoroti aspek fisik yang dapat diobservasi langsung oleh masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang lebih aplikatif dan sesuai untuk pendidikan lingkungan dasar.
Kritik Konstruktif dan Peluang Perbaikan
Kelebihan Penelitian:
Keterbatasan:
Rekomendasi:
Kesimpulan: Membangun Kesadaran Lingkungan dari Hulu Sungai
Penelitian ini menyajikan bukti penting bahwa pencemaran air Sungai Metro di Malang sudah nyata dan berkembang dari hulu ke hilir. Nilai pH yang cenderung meningkat dan adanya kekeruhan serta bau menyengat menunjukkan dampak nyata dari pembuangan limbah rumah tangga dan aktivitas industri.
Meskipun hasilnya masih dalam kategori “cemar ringan”, tren ini harus menjadi perhatian serius. Jika tidak dikendalikan, pencemaran ini akan berkembang menjadi cemar berat yang sulit dipulihkan. Pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat harus mulai bertindak melalui pendekatan kolaboratif dan teknologi sederhana.
Pemantauan kualitas air seperti ini penting bukan hanya untuk melindungi lingkungan, tetapi juga untuk memastikan bahwa air tetap menjadi sumber kehidupan—bukan sumber penyakit atau konflik.
Sumber Asli Artikel:
Ika Meviana, Dwi Kurniawati, dan Agustina Tri Murni Darmon. Analisis Kualitas Air Sungai Metro Berdasarkan Parameter Fisik dan Derajat Keasaman (pH). Jurnal Swarnabhumi, Vol. 9, No. 1, Agustus 2024. Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Danau Toba: Destinasi Wisata atau Perairan yang Terancam?
Sebagai danau vulkanik terbesar di dunia yang terletak di ketinggian 995 meter di atas permukaan laut, Danau Toba merupakan pusat ekonomi, budaya, dan pariwisata di Sumatera Utara. Selain menjadi objek wisata unggulan, danau ini juga menjadi sumber air bersih, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), perikanan budidaya, dan transportasi lokal. Namun, di balik keindahan panoramanya, Danau Toba menyimpan potensi masalah serius: penurunan kualitas air akibat pencemaran limbah domestik dan aktivitas keramba jaring apung (KJA) yang tak terkendali.
Penelitian terbaru oleh Gokma Arinda Lumban Raja dan tim dari Universitas HKBP Nommensen meneliti kondisi air Danau Toba di wilayah pelabuhan ferry Ajibata—sebuah kawasan strategis yang padat aktivitas wisata dan budidaya perairan. Studi ini menyajikan gambaran komprehensif tentang status kualitas air dan mencocokkannya dengan ambang batas baku mutu air menurut PP RI No. 22 Tahun 2021, serta metode Indeks Kualitas Air (NSF-WQI).
Parameter yang Diuji: Fisik, Kimia, Biologis
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan pengambilan sampel air dari tiga stasiun: aliran sungai ke danau (Stasiun I), pelabuhan ferry (Stasiun II), dan kawasan budidaya KJA (Stasiun III). Parameter yang dianalisis meliputi suhu, kekeruhan, pH, DO (oksigen terlarut), BOD, nitrat, fosfat, dan fecal coli.
Berikut ini adalah beberapa temuan kunci yang diangkat dalam penelitian:
1. Suhu
Suhu di ketiga stasiun masih berada dalam batas wajar (sekitar 24–27°C), artinya tidak berisiko secara langsung terhadap biota air atau degradasi kualitas. Namun, suhu yang terlalu tinggi dalam jangka panjang tetap dapat mengganggu kandungan DO.
2. Kekeruhan
Stasiun II yang berada di pelabuhan ferry mencatat tingkat kekeruhan tertinggi, yaitu sekitar 12 NTU. Sementara, stasiun I dan III mencatat angka 7,8 dan 3 NTU. Tingginya kekeruhan di pelabuhan ferry bisa dikaitkan dengan lalu lintas kapal dan sedimentasi akibat aktivitas manusia.
3. pH
Seluruh stasiun mencatat pH antara 6,7 hingga 7,7, yang masih dalam batas aman untuk air kelas dua menurut PP No. 22 Tahun 2021. Ini menunjukkan air relatif netral dan tidak mengandung zat asam atau basa berlebihan.
Parameter Kimia: Batasan yang Dilanggar
4. Oksigen Terlarut (DO)
Nilai DO pada ketiga lokasi berkisar antara 5,1–5,5 mg/L. Meski tampak memadai secara absolut, nilai ini tidak mencapai batas optimal untuk perairan yang digunakan sebagai habitat biota air dan wisata, yaitu ≥6 mg/L. Kekurangan oksigen ini bisa berimplikasi buruk pada kehidupan ikan dan mikroorganisme aerobik.
5. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Semua stasiun menunjukkan nilai BOD di atas ambang batas 3 mg/L untuk air kelas dua. Angka tertinggi dicatat di Stasiun III dengan nilai sekitar 6,5 mg/L, menandakan bahwa perairan di dekat KJA memiliki beban organik tinggi yang memicu konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk dekomposisi.
6. Nitrat dan Fosfat
Di Stasiun III, kandungan nitrat melonjak drastis hingga 12,5 mg/L—jauh melebihi ambang batas 10 mg/L. Fosfat pun mencatat angka tertinggi di lokasi ini, yaitu 0,3 mg/L, sepuluh kali lipat dari ambang yang diperbolehkan (0,03 mg/L). Ini adalah sinyal kuat terjadinya eutrofikasi, yaitu kondisi kaya nutrisi yang mendorong pertumbuhan alga berlebih dan menurunkan kadar oksigen.
Parameter Biologi: Pencemaran Fecal Coli
Kadar fecal coli di stasiun I dan III masing-masing mencapai 1.050 dan 1.100 MPN/100 mL, sementara Stasiun II lebih rendah yaitu 800 MPN/100 mL. Ini menunjukkan adanya kontaminasi limbah feses, yang diduga berasal dari pemukiman, toilet terapung, atau limbah ternak. Angka-angka ini melebihi standar kualitas air untuk wisata air (1.000 MPN/100 mL), dan sangat mengkhawatirkan dari sisi kesehatan.
Hasil Indeks NSF-WQI: Status “Sedang” hingga “Buruk”
Peneliti menggunakan metode National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI) yang menggabungkan delapan parameter kunci menjadi satu nilai numerik yang menunjukkan kualitas air secara keseluruhan:
Skor di bawah 50 menandakan bahwa air berada pada level kritis, sangat mungkin tidak layak untuk keperluan rekreasi atau penggunaan langsung, dan memerlukan tindakan restorasi segera.
Studi Kasus: Keramba Jaring Apung (KJA), Antara Ekonomi dan Ekologi
Salah satu temuan paling mencolok dalam studi ini adalah dampak signifikan dari KJA terhadap pencemaran perairan. Di lokasi budidaya (Stasiun III), hampir semua parameter pencemar mencatat angka tertinggi—nitrat, fosfat, BOD, dan fecal coli.
Keramba memang memberikan kontribusi ekonomi lokal, namun sistem budidaya ini menghasilkan limbah pakan dan kotoran ikan yang sulit terurai. Dalam jumlah besar, limbah ini mengendap dan meningkatkan bahan organik di dasar danau, mempercepat proses eutrofikasi dan membahayakan kualitas air jangka panjang.
Kritik dan Saran untuk Pengelolaan Danau Toba
Kelebihan Penelitian:
Keterbatasan:
Rekomendasi:
Kesimpulan: Masa Depan Danau Toba Ada di Tangan Kita
Penelitian ini membuka mata bahwa meskipun Danau Toba masih tampak jernih di permukaan, kandungan kimia dan biologinya telah melewati batas-batas aman yang ditetapkan untuk wisata dan konsumsi manusia. Ketidakseimbangan antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian lingkungan mulai menunjukkan dampaknya secara nyata.
Jika Danau Toba ingin terus menjadi ikon wisata dan sumber air bersih yang aman, maka perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan harus dimulai sekarang. Penelitian semacam ini perlu dijadikan dasar pengambilan kebijakan, bukan hanya laporan ilmiah di rak perpustakaan.
Sumber Asli Artikel:
Gokma Arinda Lumban Raja, Ria Retno, Sahat Sitompul. Studi Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba. ARMADA: Jurnal Penelitian Multidisiplin, Vol. 1, No. 7, Juli 2023. DOI: 10.55681/armada.v1i7.657.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Tantangan Abadi di Negeri Tropis
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan tropis dengan kekayaan sumber daya air yang luar biasa. Namun, keberlimpahan air tidak otomatis menjamin kualitasnya. Pencemaran air kini menjadi isu krusial, terutama di musim penghujan saat air hujan membawa serta polutan dari hulu ke hilir. Fenomena ini menyebabkan peningkatan tingkat Total Dissolved Solids (TDS) dan kekeruhan (turbidity)—dua parameter penting dalam menentukan kualitas air.
Dalam situasi ini, artikel dari Grimsa Journal of Science Engineering and Technology (2023) mengusulkan pendekatan baru yang inovatif: menggunakan digital image processing dan algoritma machine learning untuk menilai kualitas air. Penelitian ini bukan sekadar eksperimen teknis, melainkan solusi potensial untuk masyarakat luas dalam memantau air secara cepat dan murah.
Sungai Krueng Aceh sebagai Laboratorium Alam
Para peneliti memilih Sungai Krueng Aceh sebagai lokasi simulasi untuk mengambil sampel air. Lumpur sungai dicampurkan ke dalam air jernih dengan variasi kekeruhan sebesar 0%, 10%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Setiap sampel dikemas dalam wadah kaca dan difoto dalam kondisi standar untuk membentuk dataset visual beresolusi 512x512 piksel.
Dari 80 gambar yang dihasilkan, 60 digunakan untuk pelatihan model dan 20 untuk pengujian. Gambar-gambar ini kemudian diproses menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM), dengan tujuan untuk mengklasifikasikan tingkat kekeruhan serta memperkirakan nilai TDS dan pH masing-masing sampel.
Korelasi Kekeruhan, TDS, dan pH
Salah satu hasil utama dari penelitian ini adalah ditemukannya korelasi linier antara tingkat kekeruhan dengan TDS dan pH.
Misalnya, pada air yang sangat jernih (0% kekeruhan), TDS hanya sebesar 9,1 mg/L dan pH berada di angka 6,9. Namun, ketika kekeruhan meningkat hingga 100%, TDS melonjak menjadi 1.490,3 mg/L dan pH menjadi 8,85. Ini menunjukkan bahwa semakin keruh air, semakin besar kemungkinan air tersebut terkontaminasi oleh senyawa terlarut dan bersifat lebih basa—dua indikator penting dari pencemaran air.
Pengelompokan Kualitas Air Berdasarkan Model AI
Penelitian ini menyusun klasifikasi kualitas air sebagai berikut:
Dari hasil pengujian gambar, air mineral diklasifikasikan dalam kelompok “sangat baik”, dengan nilai TDS 9,1 mg/L dan pH 6,9. Sebaliknya, air sungai yang diambil dari Banda Aceh tergolong sebagai “baik”, dengan TDS 371,6 mg/L dan pH 7,37. Artinya, sistem berbasis gambar ini mampu memprediksi kualitas air dengan akurasi mendekati uji laboratorium.
Teknologi yang Digunakan: Proses 4 Tahap
Langkah-langkah ini menyederhanakan proses deteksi kualitas air hanya melalui kamera dan algoritma komputer, tanpa perlu alat ukur fisik yang mahal.
Manfaat Langsung bagi Masyarakat
Pendekatan ini sangat cocok untuk diterapkan di wilayah terpencil, sekolah, atau komunitas yang tidak memiliki akses laboratorium. Cukup dengan kamera dan perangkat lunak berbasis AI, masyarakat bisa mengukur apakah air sungai, sumur, atau waduk layak digunakan untuk konsumsi atau irigasi.
Beberapa manfaat praktisnya meliputi:
Kelemahan dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Meski hasilnya menjanjikan, ada beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan:
Penulis merekomendasikan perluasan studi ke wilayah lain dan integrasi dengan parameter fisika-kimia lain agar sistem lebih komprehensif.
Hubungan dengan Tren Global dan Teknologi
Pendekatan ini sangat selaras dengan tren global menuju smart environment monitoring. Banyak negara kini mengintegrasikan Internet of Things (IoT) dan AI untuk pemantauan kualitas air secara real-time. Studi ini menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu masuk ke arena tersebut dengan solusi yang murah dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Dari sisi teknologi, penggunaan SVM tergolong cerdas. Meski sederhana, SVM terbukti unggul dalam klasifikasi data terbatas. Namun, untuk tahap selanjutnya, penggunaan deep learning seperti CNN (Convolutional Neural Network) dapat dipertimbangkan untuk akurasi lebih tinggi—terutama jika dataset ditingkatkan.
Inovasi Ini Harus Dijadikan Kebijakan Nasional
Banyak kebijakan lingkungan di Indonesia fokus pada pembangunan infrastruktur besar, seperti bendungan dan normalisasi sungai. Padahal, investasi dalam teknologi cerdas berbasis masyarakat seperti ini justru bisa memberi dampak luas dengan anggaran rendah. Pemerintah daerah bisa mengembangkan aplikasi berbasis hasil studi ini untuk sekolah, RT/RW, atau kelompok tani.
Dengan pendekatan citizen science, masyarakat bisa memantau air di lingkungan mereka sendiri. Data dari berbagai daerah bisa dikumpulkan dalam satu sistem nasional yang memberi peringatan dini terhadap pencemaran—mirip sistem BMKG untuk cuaca, tapi khusus untuk kualitas air.
Air Bersih di Ujung Kamera dan AI
Studi ini bukan sekadar eksperimen akademik. Ini adalah cetak biru untuk masa depan pemantauan kualitas air di Indonesia—masa depan yang lebih inklusif, murah, cepat, dan adaptif. Dengan hanya kamera dan kecerdasan buatan, masyarakat bisa memiliki alat deteksi air yang sebelumnya hanya tersedia di laboratorium mahal.
Langkah selanjutnya adalah menjadikan teknologi ini sebagai bagian dari kebijakan lingkungan nasional. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga melindungi generasi masa depan dari ancaman air tercemar.
Sumber Asli Artikel:
Athiya Iffaty, Adinda Salsabila, Adis Aufa Rafiqhi, Rivansyah Suhendra, Muhammad Yusuf, dan Novi Reandy Sasmita. Enhancing Water Quality Assessment in Indonesia Through Digital Image Processing and Machine Learning. Grimsa Journal of Science Engineering and Technology, Vol. 1, No. 1, 2023. DOI: 10.61975/gjset.v1i1.3.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Sungai Surabaya Penting?
Sungai Surabaya adalah salah satu urat nadi kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia. Sungai ini bukan hanya berfungsi sebagai saluran air biasa, tetapi menjadi sumber air baku utama bagi sekitar 2,7 juta warga Surabaya. Berdasarkan catatan Indriani et al. (2016), setiap tahunnya sekitar 256 juta meter kubik air diambil dari Sungai Surabaya untuk keperluan air minum, ditambah lagi 38 juta meter kubik untuk kebutuhan industri. Namun, tekanan akibat pertumbuhan penduduk dan industrialisasi kini menempatkan sungai ini dalam posisi yang sangat rentan terhadap pencemaran.
Pencemaran Air Sungai: Ancaman Nyata di Tengah Kota
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 1 Tahun 2010, pencemaran air terjadi saat ada masuknya zat asing yang menyebabkan penurunan mutu air. Sungai Surabaya menerima tekanan besar dari dua jenis limbah utama: domestik dan industri. Aktivitas pertanian, pemukiman padat, dan buangan industri secara langsung menjadi kontributor utama pencemaran di sungai ini.
Bahkan Kominfo Jawa Timur pada 2017 sempat mengungkap bahwa terdapat indikasi kuat pembuangan limbah industri secara sengaja ke badan sungai. Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar warga belum memiliki sistem pengolahan air limbah domestik yang memadai.
Studi Kasus: Bagaimana Kualitas Air Sungai Surabaya Diukur?
Penelitian ini mengkaji sejumlah parameter penting yang menjadi indikator kualitas air, antara lain:
1. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai bahan organik. Nilai BOD yang tinggi berarti air sangat tercemar. Penelitian Yudo dan Said (2019) mencatat bahwa kadar BOD Sungai Surabaya berada di rentang 2,56 hingga 11,94 mg/L, dengan rata-rata 4,186 mg/L. Angka ini sudah melampaui batas aman untuk air kelas I (maksimum 2 mg/L) dan bahkan sebagian besar melampaui batas untuk kelas II (3 mg/L).
Artinya, air Sungai Surabaya sudah tidak layak lagi dijadikan bahan baku air minum tanpa pengolahan intensif.
2. COD (Chemical Oxygen Demand)
Mengukur kebutuhan oksigen secara kimia untuk mengoksidasi bahan organik. Berdasarkan data 2010–2013, kadar COD di sungai ini berkisar antara 8,19 hingga 46,499 mg/L dengan rata-rata 17,05 mg/L. Padahal, ambang batas COD untuk air kelas I adalah 10 mg/L. Nilai COD yang tinggi menunjukkan pencemaran berat oleh zat-zat organik yang sulit terurai secara alami.
3. TSS (Total Suspended Solid)
Ini adalah jumlah partikel padat tersuspensi dalam air yang bisa menghambat penetrasi cahaya dan fotosintesis organisme air. Nilai TSS di Sungai Surabaya mencapai puncaknya pada tahun 2008 dengan 2.116 mg/L. Sementara rata-rata dari tahun 2010–2013 berkisar antara 14,7–1.000 mg/L. Padahal, ambang batas TSS dalam air kelas I adalah 50 mg/L. Ini menunjukkan kondisi kekeruhan yang sangat tinggi, yang membahayakan ekosistem dan proses biologis perairan.
4. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut penting bagi kehidupan akuatik. Idealnya, DO untuk air kelas I harus ≥6 mg/L. Penelitian terbaru menunjukkan kadar DO Sungai Surabaya hanya sekitar 2,1–5,9 mg/L dengan rata-rata 3,5 mg/L, yang artinya banyak wilayah sungai ini berada di bawah ambang batas aman untuk kehidupan biota air.
5. pH (Tingkat Keasaman)
pH normal air sungai seharusnya berada antara 6–9. Berdasarkan penelitian Pavita et al. (2014), nilai pH di Sungai Surabaya cukup netral, yakni rata-rata 7,8. Ini masih dalam rentang aman untuk air kelas I dan II.
6. Nitrat dan Fosfat
Nitrat dan fosfat berasal dari pupuk pertanian dan limbah rumah tangga. Kandungan nitrat di Sungai Surabaya berkisar antara 1,05 hingga 2,37 mg/L—masih di bawah batas maksimal 10 mg/L. Namun, kadar fosfat yang seharusnya tidak lebih dari 0,2 mg/L justru mencapai 0,95 mg/L di beberapa titik. Kandungan fosfat yang tinggi menyebabkan eutrofikasi, yaitu meledaknya populasi alga yang menurunkan oksigen air dan membunuh ekosistem.
7. Suhu
Suhu perairan juga masuk dalam pantauan. Data penelitian menunjukkan suhu berkisar antara 26,6°C–28,8°C, masih dalam rentang baku mutu kelas I dan II (25–28°C). Namun, suhu tinggi mempercepat metabolisme mikroorganisme dan menurunkan DO, sehingga tetap perlu diwaspadai.
Apa Artinya Data Ini Bagi Warga Surabaya?
Kondisi kualitas air Sungai Surabaya menunjukkan bahwa sebagian besar parameter pencemaran telah melampaui ambang batas untuk air kelas I (air baku minum) dan bahkan untuk kelas II (rekreasi dan budidaya ikan). Dampaknya langsung pada masyarakat adalah meningkatnya kebutuhan bahan kimia dalam proses pengolahan air oleh PDAM, meningkatnya biaya kesehatan akibat paparan air yang tercemar, serta rusaknya ekosistem lokal yang bergantung pada sungai.
Kritik dan Rekomendasi: Saatnya Bertindak Nyata
Kelebihan Penelitian:
Kekurangan:
Rekomendasi Aksi:
Penutup: Sungai yang Terawat adalah Aset Masa Depan
Surabaya tidak bisa menunggu lebih lama untuk menyelamatkan sungainya. Sungai Surabaya telah memberi kehidupan, air, dan produksi bagi kota ini selama puluhan tahun. Kini, tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa warisan ekologis ini tidak berubah menjadi bencana kesehatan publik.
Dengan data, kesadaran, dan aksi nyata, sungai kita bisa diselamatkan. Pemulihan sungai adalah investasi jangka panjang bagi kesehatan, ekonomi, dan masa depan kota.
Sumber Asli Artikel:
M. Khadik Asrori. Pemetaan Kualitas Air Sungai di Surabaya. Jurnal Envirotek, Volume 13, Nomor 2, 2021. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Jakarta dan Sungai: Hubungan Vital yang Terancam
Sebagai ibu kota dengan 13 sungai utama yang melintas, DKI Jakarta punya tanggung jawab besar terhadap kesehatan lingkungan perairannya. Sungai bukan hanya saluran banjir, melainkan sumber air baku, jalur transportasi, dan bagian dari ekosistem urban yang kompleks. Namun, realita yang terungkap dalam laporan "Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2021" menunjukkan bahwa sungai-sungai kita sedang dalam kondisi genting.
Dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta bersama PPLH-IPB, pemantauan ini mencakup 120 titik di 23 ruas sungai. Hasilnya: mayoritas lokasi pemantauan menunjukkan kondisi air yang tercemar berat, baik secara fisik, kimiawi, maupun biologis. Masalah ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam kesehatan jutaan warga Jakarta.
Cakupan dan Metodologi: Mengukur Lebih dari Sekadar Warna Air
Pemantauan dilakukan di lima DAS utama: Ciliwung, Angke-Pesanggrahan, Sunter, Cakung, dan Sentiong. Metodologi yang digunakan sangat komprehensif—mencakup 33 parameter kualitas air yang diklasifikasikan menjadi parameter fisika (seperti suhu, TDS, TSS), kimia (BOD, COD, logam berat), dan mikrobiologi (bakteri coli dan koli tinja).
Pengambilan sampel dilakukan empat kali dalam setahun pada setiap titik. Analisis dilakukan menggunakan dua pendekatan utama: metode STORET (penilaian status mutu air berdasarkan ambang batas) dan Indeks Pencemaran (IP). Kedua metode ini saling melengkapi untuk menentukan tingkat pencemaran di setiap lokasi dan mengidentifikasi sumber masalah yang paling mendesak.
Temuan Utama: Sungai Jakarta Didominasi Pencemar Organik dan Mikrobiologi
Salah satu hasil paling mengkhawatirkan adalah banyaknya titik dengan konsentrasi Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang sangat tinggi. BOD mencerminkan kebutuhan oksigen mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam air, sedangkan COD mengukur total senyawa kimia yang dapat teroksidasi. Kadar BOD di sejumlah titik pemantauan tercatat melebihi 10 mg/L, jauh di atas ambang batas air kelas II sebesar 3 mg/L.
Selain itu, nilai Total Coliform dan Fecal Coliform di sebagian besar lokasi melampaui 2.400 MPN/100 mL, angka yang menunjukkan adanya pencemaran feses dalam jumlah besar—indikasi langsung dari limbah domestik yang tidak diolah. Pada DAS Sentiong, bahkan ditemukan nilai yang konsisten berada di atas 1.000.000 MPN/100 mL.
Temuan ini menguatkan asumsi bahwa limbah rumah tangga adalah sumber utama pencemar air sungai di Jakarta, selain limbah industri dan sedimentasi akibat erosi dan pengendapan.
Studi Kasus: DAS Ciliwung, Simbol Krisis Sungai Perkotaan
DAS Ciliwung merupakan lokasi dengan jumlah titik pemantauan terbanyak, yakni 44 titik yang tersebar dari Jakarta Selatan hingga Jakarta Utara. Sungai ini juga menerima beban aliran dari hulu di Jawa Barat, menjadikannya sangat kompleks dalam hal pengelolaan.
Salah satu titik pemantauan di sub-jaringan Istiqlal–Gajah Mada menunjukkan kadar TSS mencapai 200 mg/L dan COD mendekati 120 mg/L. Ini adalah nilai yang sangat tinggi dan masuk kategori pencemaran berat. Nilai DO (oksigen terlarut) juga sangat rendah, berkisar antara 1–2 mg/L, padahal ambang batas kualitas air yang layak membutuhkan DO minimal 4 mg/L.
Masalah juga terlihat dari pencemaran logam berat. Kandungan timbal (Pb) ditemukan hingga 0,15 mg/L, padahal ambang batas untuk air permukaan hanya 0,03 mg/L. Hal ini sangat berisiko bagi kesehatan, khususnya bila air digunakan untuk irigasi atau keperluan rumah tangga.
Pola yang Konsisten: Angke, Sunter, Cakung, hingga Sentiong Tak Luput
Bukan hanya Ciliwung yang menunjukkan gejala parah. Di DAS Angke-Pesanggrahan, ditemukan kadar amonia sebesar 3,8 mg/L dan total nitrogen yang menembus 5 mg/L. Nilai-nilai ini menunjukkan eutrofikasi, yaitu kondisi air yang kelebihan nutrien sehingga merangsang pertumbuhan alga secara berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan oksigen dan matinya organisme akuatik lain.
Di DAS Sunter, ditemukan kadar logam berat seperti kadmium dan merkuri yang berfluktuasi namun tetap di atas baku mutu. Bahkan beberapa titik di Kanal Timur (Cakung) mencatatkan kadar nikel hingga 0,1 mg/L—empat kali lipat dari ambang aman.
Sementara itu, DAS Sentiong, meski hanya memiliki empat titik pemantauan, menunjukkan tingkat pencemaran mikrobiologi yang sangat tinggi. Kandungan fecal coliform-nya menunjukkan bahwa DAS ini sangat rentan terhadap penyebaran penyakit berbasis air.
Evaluasi Spasial dan Temporal: Kondisi Makin Memburuk?
Laporan tahun 2021 membandingkan data dengan tahun 2018 dan 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa pencemaran tidak membaik secara signifikan. Bahkan, di beberapa lokasi, indeks pencemaran justru meningkat, terutama dari aspek mikrobiologis.
Sebagai contoh, indeks pencemaran (IP) di DAS Angke naik dari 5,5 pada 2019 menjadi lebih dari 8 pada 2021, mengindikasikan lonjakan pencemaran dari kategori sedang menjadi berat. Di lokasi prioritas seperti Sungai Cideng dan Sungai Sunter, tren juga mengarah pada penurunan kualitas meski telah dilakukan intervensi teknis.
Penyebab Utama: Limbah Domestik, Industri, dan Penurunan Sedimentasi
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor dominan pencemaran adalah limbah cair domestik yang langsung dibuang ke sungai. Selain itu, limbah industri dari usaha kecil hingga besar ikut memperburuk situasi. Penurunan laju sedimentasi di beberapa lokasi juga mencerminkan terhambatnya aliran akibat tumpukan endapan, mempercepat dekomposisi bahan organik dan memperburuk kondisi air.
Konsentrasi H₂S, senyawa berbau busuk yang terbentuk dari proses anaerobik, ditemukan cukup tinggi di beberapa lokasi. Ini menunjukkan air berada dalam kondisi minim oksigen, akibat penumpukan limbah yang tidak terurai dengan baik.
Rekomendasi Penting: Dari Teknologi ke Edukasi Masyarakat
Laporan ini tidak hanya menyajikan data, tetapi juga rekomendasi konkrit. Beberapa di antaranya:
Kritik dan Peluang: Mampukah Jakarta Keluar dari Krisis Air?
Laporan ini adalah langkah penting menuju transparansi lingkungan. Namun, ada beberapa catatan penting. Pertama, perlu adanya konsistensi dalam metode pemantauan dan keterlibatan lembaga independen untuk validasi data. Kedua, solusi berbasis teknologi perlu disertai regulasi ketat terhadap industri dan pengembang properti yang berpotensi mencemari sungai.
Ketiga, perlu adanya integrasi program pengelolaan sungai dengan pengendalian tata ruang, karena urbanisasi liar di bantaran sungai menyumbang kontribusi besar pada pencemaran.
Jakarta juga bisa belajar dari kota-kota besar dunia seperti Seoul yang sukses merevitalisasi Cheonggyecheon Stream melalui kolaborasi antarsektor dan investasi besar dalam infrastruktur hijau. Konsep serupa bisa diadaptasi untuk Ciliwung dan kanal-kanal utama lainnya di ibu kota.
Penutup: Sungai Jakarta Butuh Lebih dari Sekadar Normalisasi
Laporan pemantauan air sungai DKI Jakarta tahun 2021 adalah peringatan keras bagi semua pemangku kepentingan. Sungai-sungai yang dulunya menjadi nadi kehidupan kini berada di ambang kerusakan permanen. Perlu aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor untuk menyelamatkan sistem perairan Jakarta dari krisis berkelanjutan.
Masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah harus bergerak bersama. Karena menjaga sungai bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal masa depan kota dan kesehatan generasi mendatang.
Sumber Asli
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laporan Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Sungai Provinsi DKI Jakarta Tahun 2021. Bekerja sama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB University. Desember 2021.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025
Mengapa Kualitas Air Indonesia Perlu Mendapat Perhatian Serius?
Sebagai negara kepulauan dengan curah hujan tinggi dan iklim tropis, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas air. Musim hujan yang ekstrem kerap membawa limpasan air dari hulu sungai yang tercemar ke wilayah hilir. Sebaliknya, musim kemarau memperparah kekeringan dan membuat pasokan air bersih makin langka. Kombinasi ini tidak hanya menimbulkan gangguan pada sektor pertanian dan perikanan, tetapi juga meningkatkan potensi penyebaran penyakit akibat air yang terkontaminasi.
Sayangnya, masyarakat umum masih kurang menyadari pentingnya memeriksa kualitas air. Banyak yang percaya bahwa air yang tampak jernih pasti aman, padahal kandungan mikroorganisme, zat terlarut, dan bahan kimia berbahaya seringkali tidak terlihat oleh mata telanjang. Alat penguji kualitas air memang tersedia, namun penggunaannya sering dianggap mahal, rumit, dan tidak praktis, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil.
Solusi Inovatif: Machine Learning dan Digital Image Processing
Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, penelitian terbaru dari tim akademisi lintas kampus di Indonesia menghadirkan pendekatan yang cerdas dan terjangkau: menggunakan pengolahan citra digital dan algoritma machine learning untuk menilai kualitas air hanya dari sebuah gambar. Metode ini menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM) untuk mengklasifikasikan tingkat kekeruhan air berdasarkan foto.
Gambar yang diambil dari air dengan berbagai tingkat kekeruhan diproses dan dikonversi ke format grayscale, sehingga warna tidak menjadi faktor dominan. Melalui proses ekstraksi fitur warna, sistem kemudian mempelajari pola visual yang mewakili turbiditas air—atau sederhananya, seberapa keruh air tersebut.
Studi Kasus: Air Sungai Krueng Aceh
Untuk menguji model ini, para peneliti menggunakan tanah liat dari Sungai Krueng Aceh untuk membuat simulasi air dengan tujuh tingkat kekeruhan: mulai dari 0 persen (sangat jernih) hingga 100 persen (sangat keruh). Tiap sampel air memiliki volume 500 ml dan diukur tingkat TDS (Total Dissolved Solids) serta nilai pH-nya.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa air jernih pada tingkat 0 persen memiliki TDS sekitar 9,1 mg/L dan pH mendekati 6,9—cukup aman untuk dikonsumsi. Namun, seiring meningkatnya kekeruhan, kadar TDS melonjak drastis. Pada kekeruhan 100 persen, TDS mencapai hampir 1.500 mg/L dan pH-nya naik menjadi sekitar 8,85. Ini membuktikan bahwa air keruh cenderung mengandung lebih banyak zat terlarut dan bersifat lebih basa, yang keduanya bisa berbahaya bagi kesehatan.
Akurasi Sistem dalam Dunia Nyata
Model ini diuji pada beberapa gambar air sungai dan air mineral kemasan. Air mineral, seperti yang diharapkan, diklasifikasikan sebagai kelas 1 (0 persen kekeruhan) dengan prediksi TDS sekitar 9 mg/L dan pH di bawah 7, artinya tergolong sangat baik dan layak minum. Di sisi lain, air sungai dari kawasan Banda Aceh dikategorikan sebagai kelas 3, dengan tingkat kekeruhan sekitar 20 persen. TDS-nya diprediksi berada di kisaran 370 mg/L dan pH sekitar 7,3—masih tergolong baik namun memerlukan perhatian lebih jika hendak dikonsumsi secara langsung.
Hasil klasifikasi ini membuktikan bahwa model yang dibangun cukup akurat dan sejalan dengan pengukuran manual menggunakan alat portabel. Artinya, pendekatan ini dapat digunakan sebagai metode skrining awal yang murah dan cepat, sebelum dilakukan pengujian laboratorium yang lebih komprehensif.
Apa Saja Keunggulan Pendekatan Ini?
Pertama, pendekatan ini sangat hemat biaya. Tidak diperlukan alat pengukur TDS atau pH secara fisik—cukup ambil foto dengan kamera ponsel dan masukkan ke sistem berbasis machine learning. Kedua, sistem ini sangat mudah diakses dan tidak membutuhkan latar belakang teknis yang tinggi. Bahkan masyarakat desa bisa memanfaatkannya jika tersedia dalam bentuk aplikasi mobile.
Ketiga, proses klasifikasinya sangat cepat. Dalam hitungan detik, pengguna bisa mengetahui apakah air tersebut sangat baik, cukup layak, atau bahkan berbahaya untuk digunakan. Keempat, metode ini sangat relevan dengan tantangan perubahan iklim dan meningkatnya kebutuhan monitoring kualitas air secara real-time.
Tantangan dan Keterbatasan
Namun demikian, penelitian ini belum sempurna. Dataset yang digunakan hanya terdiri dari 80 gambar, yang tentu belum cukup untuk mewakili keragaman kondisi air di seluruh Indonesia. Selain itu, fokus utama penelitian ini adalah pada turbiditas dan TDS, padahal kualitas air juga sangat dipengaruhi oleh parameter lain seperti kandungan logam berat, senyawa kimia berbahaya, hingga mikroorganisme patogen.
Wilayah pengambilan sampel juga masih terbatas di satu area, yaitu Banda Aceh. Untuk meningkatkan generalisasi dan validitas model, diperlukan ekspansi ke berbagai wilayah seperti Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua yang memiliki karakteristik lingkungan berbeda.
Rekomendasi: Menuju Sistem Cerdas Nasional
Ke depan, penelitian ini bisa dikembangkan menjadi aplikasi nasional berbasis komunitas. Misalnya, pemerintah daerah dapat menyediakan platform digital berbasis AI yang memungkinkan warga mengunggah foto air dan langsung mendapatkan hasil klasifikasinya. Dengan sistem ini, peta kualitas air real-time bisa dibuat, memberikan gambaran nasional tentang sumber daya air yang aman, perlu diawasi, atau sudah tercemar.
Selain itu, model bisa diperluas untuk mengenali senyawa kimia tertentu berdasarkan perubahan warna air yang khas. Integrasi dengan sensor IoT dan satelit juga memungkinkan deteksi pencemaran secara luas, terutama di kawasan hutan atau daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Relevansi Global: Solusi untuk Dunia Berkembang
Bukan hanya Indonesia yang bisa mengambil manfaat dari pendekatan ini. Negara-negara berkembang lain seperti Bangladesh, Nigeria, atau bahkan daerah pedalaman India menghadapi tantangan serupa: kualitas air yang memburuk dan keterbatasan teknologi pemantauan. Sistem berbasis gambar ini bisa menjadi solusi universal yang murah, adaptif, dan cepat untuk menilai kualitas air secara massal dan mendukung agenda kesehatan global.
Kesimpulan: Teknologi yang Menghidupkan Harapan
Teknologi digital image processing dan machine learning telah membuktikan bahwa solusi pintar dan murah untuk masalah kompleks seperti kualitas air adalah mungkin. Dengan pendekatan ini, masyarakat tak lagi harus bergantung pada alat mahal atau laboratorium khusus untuk memastikan air yang mereka konsumsi aman.
Meski masih dalam tahap awal, pendekatan ini menjanjikan masa depan di mana masyarakat dapat lebih mandiri, sadar lingkungan, dan terlindungi dari ancaman kesehatan akibat air yang tercemar. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk memperluas penelitian ini, menjadikannya produk nyata, dan membawa teknologi ke tangan masyarakat luas.
Sumber Asli Artikel:
Athiya Iffaty, Adinda Salsabila, Adis Aufa Rafiqhi, Rivansyah Suhendra, Muhammad Yusuf, dan Novi Reandy Sasmita. Enhancing Water Quality Assessment in Indonesia Through Digital Image Processing and Machine Learning. Grimsa Journal of Science Engineering and Technology, Vol. 1, No. 1, 2023. DOI: 10.61975/gjset.v1i1.3.