​​​​​​​Sungai Metro di Bawah Ancaman: Studi Kualitas Air dari Hulu ke Hilir di Malang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

12 Juni 2025, 06.39

pixabay.com

Mengapa Kualitas Air Sungai Perlu Dipantau Secara Rutin?

Air adalah kebutuhan dasar yang tak tergantikan. Namun ironisnya, sumber-sumber air seperti sungai kini berada di bawah tekanan besar akibat pertumbuhan industri, limbah domestik, serta minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan. Salah satu sungai yang mulai menunjukkan gejala degradasi kualitas adalah Sungai Metro, yang mengalir melewati kawasan industri dan permukiman padat di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.

Penelitian yang dilakukan oleh Ika Meviana dan tim dari Universitas PGRI Kanjuruhan Malang memfokuskan perhatian pada analisis kualitas air sungai ini, dengan pendekatan yang sederhana namun berdampak besar: parameter fisik dan pH. Studi ini menggambarkan kondisi riil sungai dari tiga titik aliran—hulu, tengah, dan hilir—dan memberikan cerminan penting bagi kebijakan lingkungan serta masyarakat sekitar.

Studi Kasus: Sungai Metro dan Pengaruh Pabrik Gula Kebon Agung

Pabrik Gula Kebon Agung adalah salah satu landmark industri tertua di Kabupaten Malang. Didirikan pada 1905, pabrik ini memainkan peran besar dalam ekonomi lokal, tetapi juga berkontribusi pada pencemaran lingkungan jika pengelolaan limbah tidak dilakukan secara benar. Letaknya yang hanya berjarak sekitar 5 km dari Jalan Raya Malang–Blitar menjadikannya salah satu titik strategis di sepanjang Sungai Metro.

Studi ini mengambil sampel dari tiga lokasi:

  • Titik 1 (Downstream): di bagian hilir sungai, setelah aliran melewati kawasan permukiman dan area pertanian.
  • Titik 2 (Midstream): tepat di belakang pabrik gula, tempat dugaan utama pembuangan limbah cair industri.
  • Titik 3 (Upstream): di bagian hulu sungai, masih jauh dari aktivitas industri namun tetap terpengaruh oleh limbah rumah tangga.

Parameter yang Dianalisis: Bau, Suhu, Kekeruhan, Warna, dan pH

1. Bau Air: Tanda Awal Pencemaran

Di ketiga titik pengambilan sampel, air sungai menunjukkan bau tidak sedap. Titik kedua (di belakang pabrik) mencatat bau menyengat khas limbah rumah tangga dan industri, sementara titik ketiga (hulu) menunjukkan bau detergen dan sabun cuci. Bau yang muncul setelah enam hari penyimpanan dalam wadah tertutup menunjukkan adanya proses pembusukan limbah organik dan anorganik di dalam air.

2. Suhu: Relatif Stabil namun Perlu Diwaspadai

Suhu air berkisar antara 22,4°C hingga 22,8°C, yang masih berada dalam kisaran normal untuk daerah tropis (22–26°C). Meskipun terlihat aman, suhu ini perlu diperhatikan karena fluktuasi suhu memengaruhi kelarutan oksigen dan reaksi kimia dalam air.

3. Kekeruhan dan Warna: Sampah dan Sedimen Masih Jadi Masalah

Secara visual, air di ketiga titik tampak keruh dan berwarna. Di titik kedua, pengamatan menunjukkan partikel berwarna hijau kecoklatan mengendap di dasar wadah setelah didiamkan selama enam hari. Ini merupakan bukti adanya polutan tersuspensi seperti lumpur, sisa makanan, atau limbah organik dari rumah tangga dan industri.

4. pH (Derajat Keasaman): Masih dalam Baku Mutu, Tapi Menuju Ambang Atas

Nilai pH yang diukur menggunakan pH meter berada dalam rentang:

  • Titik 1 (hilir): 8,05
  • Titik 2 (tengah): 7,74
  • Titik 3 (hulu): 7,48

Nilai-nilai tersebut masih dalam batas aman menurut PP No. 22 Tahun 2021 (6,5–8,5), namun menunjukkan kecenderungan meningkat ke arah basa, terutama di hilir. Hal ini sejalan dengan hipotesis bahwa penambahan limbah organik dan bahan kimia dari aktivitas manusia menyebabkan kenaikan pH.

Korelasi antara Aktivitas Manusia dan Kualitas Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi air memburuk dari hulu ke hilir. Di hulu, pH masih tergolong netral dan kekeruhan relatif rendah meski sudah ada bau khas sabun rumah tangga. Di bagian tengah, yang dekat dengan pabrik gula, kualitas air memburuk secara signifikan—bau menyengat, partikel endapan berlimpah, dan warna lebih pekat.

Fenomena ini memperkuat temuan dari Kristanto (2002) dan Yuliastuti (2011) bahwa limbah rumah tangga dan industri memiliki dampak besar terhadap nilai pH dan tingkat kesadahan air. Saat bahan organik larut dan membusuk, mereka membentuk metabolit beracun dan menurunkan kandungan oksigen terlarut.

Bandingkan dengan Studi Sebelumnya: Tren yang Konsisten?

Penelitian ini sejalan dengan studi Lantapon et al. (2019) tentang sumur di wilayah pedesaan yang menunjukkan bahwa nilai pH dan kekeruhan meningkat seiring dengan kedekatan terhadap pusat aktivitas manusia. Studi dari Asrini dkk. (2017) di Bali juga menunjukkan bahwa pembuangan limbah organik meningkatkan pH dan memperburuk kualitas air.

Namun, berbeda dari studi yang mengkaji parameter kimia seperti BOD, COD, atau logam berat, penelitian ini lebih menyoroti aspek fisik yang dapat diobservasi langsung oleh masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang lebih aplikatif dan sesuai untuk pendidikan lingkungan dasar.

Kritik Konstruktif dan Peluang Perbaikan

Kelebihan Penelitian:

  • Menggunakan tiga titik aliran sungai (hulu–tengah–hilir), memberi gambaran utuh mengenai dampak aktivitas manusia.
  • Menggunakan metode organoleptik dan visual yang sederhana namun efektif untuk studi awal.
  • Relevan secara lokal, terutama dalam konteks perencanaan industri di wilayah Pakisaji.

Keterbatasan:

  • Tidak mengukur parameter penting lain seperti BOD, COD, logam berat, atau total coliform.
  • Observasi bersifat snapshot (satu waktu), belum menunjukkan fluktuasi musiman.
  • Tidak menyertakan uji biologis terhadap dampak air tercemar bagi biota atau manusia.

Rekomendasi:

  1. Perluasan parameter uji: Termasuk bahan kimia organik dan bakteri.
  2. Pemantauan periodik: Agar dapat melihat tren tahunan atau musiman.
  3. Integrasi dengan sensor IoT sederhana: Untuk pengawasan masyarakat berbasis teknologi.
  4. Edukasi masyarakat dan industri: Melalui pelatihan tentang dampak limbah cair dan pentingnya instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
  5. Kebijakan tata ruang ketat: Menjaga agar industri tidak tumbuh terlalu dekat dengan aliran sungai.

Kesimpulan: Membangun Kesadaran Lingkungan dari Hulu Sungai

Penelitian ini menyajikan bukti penting bahwa pencemaran air Sungai Metro di Malang sudah nyata dan berkembang dari hulu ke hilir. Nilai pH yang cenderung meningkat dan adanya kekeruhan serta bau menyengat menunjukkan dampak nyata dari pembuangan limbah rumah tangga dan aktivitas industri.

Meskipun hasilnya masih dalam kategori “cemar ringan”, tren ini harus menjadi perhatian serius. Jika tidak dikendalikan, pencemaran ini akan berkembang menjadi cemar berat yang sulit dipulihkan. Pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat harus mulai bertindak melalui pendekatan kolaboratif dan teknologi sederhana.

Pemantauan kualitas air seperti ini penting bukan hanya untuk melindungi lingkungan, tetapi juga untuk memastikan bahwa air tetap menjadi sumber kehidupan—bukan sumber penyakit atau konflik.

Sumber Asli Artikel:
Ika Meviana, Dwi Kurniawati, dan Agustina Tri Murni Darmon. Analisis Kualitas Air Sungai Metro Berdasarkan Parameter Fisik dan Derajat Keasaman (pH). Jurnal Swarnabhumi, Vol. 9, No. 1, Agustus 2024. Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.