​​​​​​​Kualitas Air Danau Toba di Ajibata: Fakta Mengejutkan dari Survei Tahun 2022

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

12 Juni 2025, 06.34

pixabay.com

Danau Toba: Destinasi Wisata atau Perairan yang Terancam?

Sebagai danau vulkanik terbesar di dunia yang terletak di ketinggian 995 meter di atas permukaan laut, Danau Toba merupakan pusat ekonomi, budaya, dan pariwisata di Sumatera Utara. Selain menjadi objek wisata unggulan, danau ini juga menjadi sumber air bersih, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), perikanan budidaya, dan transportasi lokal. Namun, di balik keindahan panoramanya, Danau Toba menyimpan potensi masalah serius: penurunan kualitas air akibat pencemaran limbah domestik dan aktivitas keramba jaring apung (KJA) yang tak terkendali.

Penelitian terbaru oleh Gokma Arinda Lumban Raja dan tim dari Universitas HKBP Nommensen meneliti kondisi air Danau Toba di wilayah pelabuhan ferry Ajibata—sebuah kawasan strategis yang padat aktivitas wisata dan budidaya perairan. Studi ini menyajikan gambaran komprehensif tentang status kualitas air dan mencocokkannya dengan ambang batas baku mutu air menurut PP RI No. 22 Tahun 2021, serta metode Indeks Kualitas Air (NSF-WQI).

Parameter yang Diuji: Fisik, Kimia, Biologis

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan pengambilan sampel air dari tiga stasiun: aliran sungai ke danau (Stasiun I), pelabuhan ferry (Stasiun II), dan kawasan budidaya KJA (Stasiun III). Parameter yang dianalisis meliputi suhu, kekeruhan, pH, DO (oksigen terlarut), BOD, nitrat, fosfat, dan fecal coli.

Berikut ini adalah beberapa temuan kunci yang diangkat dalam penelitian:

1. Suhu

Suhu di ketiga stasiun masih berada dalam batas wajar (sekitar 24–27°C), artinya tidak berisiko secara langsung terhadap biota air atau degradasi kualitas. Namun, suhu yang terlalu tinggi dalam jangka panjang tetap dapat mengganggu kandungan DO.

2. Kekeruhan

Stasiun II yang berada di pelabuhan ferry mencatat tingkat kekeruhan tertinggi, yaitu sekitar 12 NTU. Sementara, stasiun I dan III mencatat angka 7,8 dan 3 NTU. Tingginya kekeruhan di pelabuhan ferry bisa dikaitkan dengan lalu lintas kapal dan sedimentasi akibat aktivitas manusia.

3. pH

Seluruh stasiun mencatat pH antara 6,7 hingga 7,7, yang masih dalam batas aman untuk air kelas dua menurut PP No. 22 Tahun 2021. Ini menunjukkan air relatif netral dan tidak mengandung zat asam atau basa berlebihan.

Parameter Kimia: Batasan yang Dilanggar

4. Oksigen Terlarut (DO)

Nilai DO pada ketiga lokasi berkisar antara 5,1–5,5 mg/L. Meski tampak memadai secara absolut, nilai ini tidak mencapai batas optimal untuk perairan yang digunakan sebagai habitat biota air dan wisata, yaitu ≥6 mg/L. Kekurangan oksigen ini bisa berimplikasi buruk pada kehidupan ikan dan mikroorganisme aerobik.

5. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Semua stasiun menunjukkan nilai BOD di atas ambang batas 3 mg/L untuk air kelas dua. Angka tertinggi dicatat di Stasiun III dengan nilai sekitar 6,5 mg/L, menandakan bahwa perairan di dekat KJA memiliki beban organik tinggi yang memicu konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk dekomposisi.

6. Nitrat dan Fosfat

Di Stasiun III, kandungan nitrat melonjak drastis hingga 12,5 mg/L—jauh melebihi ambang batas 10 mg/L. Fosfat pun mencatat angka tertinggi di lokasi ini, yaitu 0,3 mg/L, sepuluh kali lipat dari ambang yang diperbolehkan (0,03 mg/L). Ini adalah sinyal kuat terjadinya eutrofikasi, yaitu kondisi kaya nutrisi yang mendorong pertumbuhan alga berlebih dan menurunkan kadar oksigen.

Parameter Biologi: Pencemaran Fecal Coli

Kadar fecal coli di stasiun I dan III masing-masing mencapai 1.050 dan 1.100 MPN/100 mL, sementara Stasiun II lebih rendah yaitu 800 MPN/100 mL. Ini menunjukkan adanya kontaminasi limbah feses, yang diduga berasal dari pemukiman, toilet terapung, atau limbah ternak. Angka-angka ini melebihi standar kualitas air untuk wisata air (1.000 MPN/100 mL), dan sangat mengkhawatirkan dari sisi kesehatan.

Hasil Indeks NSF-WQI: Status “Sedang” hingga “Buruk”

Peneliti menggunakan metode National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI) yang menggabungkan delapan parameter kunci menjadi satu nilai numerik yang menunjukkan kualitas air secara keseluruhan:

  • Stasiun I memperoleh skor 50 (kategori sedang)
  • Stasiun II memperoleh skor 52 (kategori sedang)
  • Stasiun III memperoleh skor 49 (kategori buruk)

Skor di bawah 50 menandakan bahwa air berada pada level kritis, sangat mungkin tidak layak untuk keperluan rekreasi atau penggunaan langsung, dan memerlukan tindakan restorasi segera.

Studi Kasus: Keramba Jaring Apung (KJA), Antara Ekonomi dan Ekologi

Salah satu temuan paling mencolok dalam studi ini adalah dampak signifikan dari KJA terhadap pencemaran perairan. Di lokasi budidaya (Stasiun III), hampir semua parameter pencemar mencatat angka tertinggi—nitrat, fosfat, BOD, dan fecal coli.

Keramba memang memberikan kontribusi ekonomi lokal, namun sistem budidaya ini menghasilkan limbah pakan dan kotoran ikan yang sulit terurai. Dalam jumlah besar, limbah ini mengendap dan meningkatkan bahan organik di dasar danau, mempercepat proses eutrofikasi dan membahayakan kualitas air jangka panjang.

Kritik dan Saran untuk Pengelolaan Danau Toba

Kelebihan Penelitian:

  • Menggunakan pendekatan indeks kualitas air yang terstandar secara internasional (NSF-WQI).
  • Lokasi pengambilan sampel representatif: mencakup aliran sungai, kawasan wisata, dan area budidaya.
  • Data parameter dikaitkan langsung dengan regulasi nasional.

Keterbatasan:

  • Penelitian bersifat snapshot (sekali waktu), tidak menunjukkan tren musiman atau tahunan.
  • Tidak menyertakan parameter logam berat, yang juga penting bagi keamanan air.
  • Belum mencakup aspek sosial-ekonomi dari penduduk lokal terhadap penggunaan air.

Rekomendasi:

  1. Peningkatan pengawasan terhadap KJA, termasuk pembatasan kapasitas berdasarkan daya dukung ekosistem.
  2. Pembangunan sistem sanitasi di kawasan padat wisata untuk mencegah limbah domestik langsung masuk ke danau.
  3. Pemantauan berkala oleh lembaga independen yang melibatkan perguruan tinggi dan komunitas lokal.
  4. Edukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kualitas air melalui kampanye berbasis budaya lokal.

Kesimpulan: Masa Depan Danau Toba Ada di Tangan Kita

Penelitian ini membuka mata bahwa meskipun Danau Toba masih tampak jernih di permukaan, kandungan kimia dan biologinya telah melewati batas-batas aman yang ditetapkan untuk wisata dan konsumsi manusia. Ketidakseimbangan antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian lingkungan mulai menunjukkan dampaknya secara nyata.

Jika Danau Toba ingin terus menjadi ikon wisata dan sumber air bersih yang aman, maka perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan harus dimulai sekarang. Penelitian semacam ini perlu dijadikan dasar pengambilan kebijakan, bukan hanya laporan ilmiah di rak perpustakaan.

Sumber Asli Artikel:
Gokma Arinda Lumban Raja, Ria Retno, Sahat Sitompul. Studi Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba. ARMADA: Jurnal Penelitian Multidisiplin, Vol. 1, No. 7, Juli 2023. DOI: 10.55681/armada.v1i7.657.