Sumber Air

Metode Filterisasi Sederhana pada Pemanfaatan Air Hujan di SD Negeri 066656 Kecamatan Medan Selayang Padang Bulan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Ketersediaan air bersih yang memadai merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting, terutama di lingkungan sekolah yang menjadi pusat aktivitas belajar dan berinteraksi anak-anak. Namun, di beberapa daerah, seperti Kecamatan Medan Selayang, distribusi air bersih dari PDAM masih terbatas dan hanya tersedia pada waktu tertentu, sehingga kebutuhan air di sekolah sulit terpenuhi secara optimal. Untuk mengatasi masalah ini, pemanfaatan air hujan sebagai sumber alternatif air bersih menjadi solusi yang menjanjikan.

Paper karya Franchitika dan Rahman ini membahas penerapan metode filterisasi sederhana menggunakan sistem gravity-fed filtering system untuk mengolah air hujan di SD Negeri 066656 Padang Bulan. Tujuan utama penelitian adalah menghasilkan air bersih yang layak konsumsi dan aman digunakan oleh siswa dan staf sekolah.

Metode Penelitian: Sistem Gravity-Fed Filtering System

Metode yang digunakan adalah gravity-fed filtering system, yakni sistem penyaringan air yang memanfaatkan gravitasi untuk mengalirkan air melalui beberapa lapisan media penyaring tanpa menggunakan pompa atau energi listrik. Media penyaring yang digunakan terdiri dari pasir, kerikil, karbon aktif, ijuk, dan spons/kain saringan yang disusun secara berlapis.

Sistem ini dirancang untuk menyaring air hujan yang dialirkan dari atap sekolah melalui talang dan pipa ke tangki penampungan berkapasitas 550 liter. Air hujan pertama yang turun selama lima menit dibuang terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan debu dari atap.

Studi Kasus di SD Negeri 066656 Padang Bulan

Lokasi penelitian adalah SD Negeri 066656 yang terletak di Kecamatan Medan Selayang, Padang Bulan. Air hujan yang tertangkap dari atap sekolah dialirkan ke sistem filterisasi yang telah dirancang untuk menghasilkan air bersih. Sampel air setelah difilter diuji di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit.

Hasil Pengujian Kualitas Air

Hasil pengujian menunjukkan bahwa air hujan yang telah melalui filter memenuhi standar kualitas air bersih menurut PERMENKES No. 416 Tahun 1990. Parameter yang diuji meliputi suhu, bau, rasa, total padatan terlarut (TDS), warna, kekeruhan, pH, kadar klorida, kesadahan, kromium valensi 6, sianida, dan total coliform.

Sebagian besar parameter menunjukkan hasil yang sangat baik, misalnya TDS sebesar 38 mg/L jauh di bawah batas maksimal 1500 mg/L, pH 7,6 yang berada dalam rentang aman 6,5-9,0, dan kekeruhan hanya 2,21 NTU. Total coliform sebesar 26 MPN/100 ml masih dalam batas aman untuk air non perpipaan.

Analisis dan Diskusi

Sistem filterisasi sederhana ini terbukti efektif menghilangkan kotoran dan zat kimia berbahaya dari air hujan. Penggunaan media seperti pasir dan karbon aktif sangat membantu dalam meningkatkan kejernihan dan kualitas air. Sistem gravity-fed yang tidak menggunakan pompa menjadikan metode ini hemat energi dan biaya operasional.

Namun, nilai total coliform yang masih ada menunjukkan perlunya pemeliharaan rutin dan pembersihan media filter agar kualitas air tetap terjaga. Selain itu, sistem ini lebih cocok untuk kebutuhan air non konsumsi langsung, seperti mencuci atau toilet, dan perlu pengolahan tambahan jika digunakan untuk air minum.

Nilai Tambah dan Relevansi

Penerapan metode ini sangat relevan untuk daerah dengan keterbatasan pasokan air bersih dan infrastruktur yang belum memadai. Di lingkungan sekolah, sistem ini tidak hanya menyediakan sumber air alternatif yang aman dan bersih, tetapi juga dapat menjadi media edukasi bagi siswa tentang pentingnya konservasi air dan pengelolaan sumber daya alam.

Teknologi sederhana ini juga dapat diterapkan di rumah tangga dan fasilitas umum lainnya, terutama di daerah tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Dengan biaya rendah dan kemudahan pengoperasian, metode ini berpotensi meningkatkan akses air bersih secara luas.

Kritik dan Saran

Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam hal pengujian mikrobiologi yang lebih mendalam dan pengujian kualitas air secara berkala. Disarankan agar dilakukan monitoring rutin untuk memastikan keamanan air, terutama jika digunakan untuk konsumsi langsung.

Selain itu, pengembangan sistem filtrasi dengan teknologi yang lebih canggih dan otomatisasi pembersihan filter dapat meningkatkan efektivitas dan kenyamanan penggunaan. Edukasi masyarakat dan pelatihan pengelolaan sistem juga sangat penting untuk menjaga keberlanjutan program.

Kesimpulan

Metode filterisasi sederhana dengan sistem gravity-fed filtering system merupakan solusi efektif dan ekonomis untuk mengolah air hujan menjadi air bersih yang layak digunakan di lingkungan sekolah. Studi kasus di SD Negeri 066656 Padang Bulan menunjukkan bahwa air hujan yang difilter memenuhi standar kesehatan dan dapat menjadi alternatif sumber air bersih yang berkelanjutan.

Dengan pengelolaan yang tepat dan edukasi yang memadai, teknologi ini dapat direplikasi secara luas untuk membantu mengatasi masalah air bersih di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di wilayah yang mengalami keterbatasan pasokan air dari PDAM.

Sumber Artikel

Franchitika, Rizky dan Rahman, Raden Aulia. “Metode Filterisasi Sederhana Pada Pemanfaatan Air Hujan Di SD Negeri 066656 Kecamatan Medan Selayang Padang Bulan.” Journal of Civil Engineering, Building and Transportation, Vol. 4 No. 1, Maret 2020, hlm. 11–17. Institut Teknologi Medan.

Selengkapnya
Metode Filterisasi Sederhana pada Pemanfaatan Air Hujan di SD Negeri 066656 Kecamatan Medan Selayang Padang Bulan

Sumber Air

Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air di Perkotaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Ketersediaan air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan kesehatan. Namun, di banyak kota besar di Indonesia, pertumbuhan penduduk yang pesat dan konversi lahan menjadi kawasan permukiman dan komersial menyebabkan penurunan debit air tanah dan berkurangnya lahan resapan air hujan. Hal ini memicu kelangkaan air bersih dan meningkatkan risiko banjir akibat limpasan air hujan yang tidak terkelola dengan baik.

Dalam konteks ini, pemanenan air hujan (PAH) muncul sebagai solusi alternatif yang murah, mudah, dan ramah lingkungan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Paper karya Anie Yulistyorini ini mengulas secara komprehensif konsep, manfaat, tantangan, serta komponen sistem pemanenan air hujan yang dapat diterapkan di perkotaan Indonesia.

Konsep dan Manfaat Pemanenan Air Hujan

Pemanenan air hujan adalah metode mengumpulkan air hujan dari permukaan tangkapan, seperti atap bangunan atau permukaan tanah, untuk disimpan dan digunakan sebagai sumber air bersih. Air hujan yang dikumpulkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari kebutuhan domestik non-konsumsi (menyiram tanaman, mencuci, flushing toilet) hingga setelah pengolahan lebih lanjut, dapat digunakan sebagai air minum.

Manfaat utama PAH antara lain:

  • Mengurangi ketergantungan pada air PDAM dan air tanah, sehingga membantu konservasi sumber daya air.
  • Mengurangi volume limpasan air hujan, yang dapat menekan risiko banjir di perkotaan.
  • Mengisi kembali air tanah melalui resapan air hujan yang tidak tertampung.
  • Menyediakan cadangan air bersih saat terjadi gangguan pasokan air atau bencana alam.
  • Mudah dan murah dalam pembangunan, operasi, dan perawatan.

Komponen Sistem Pemanenan Air Hujan

Sistem PAH terdiri dari beberapa komponen utama:

  1. Area tangkapan air hujan (catchment area): Biasanya berupa atap bangunan yang terbuat dari bahan tidak beracun dan tahan lama seperti alumunium, besi galvanis, beton, atau fiberglass.
  2. Sistem pengaliran (conveyance system): Talang dan pipa yang mengalirkan air hujan dari atap ke tangki penyimpanan. Saluran ini harus dirancang dengan ukuran dan kemiringan yang tepat agar air dapat mengalir maksimal.
  3. Filter: Untuk menyaring kotoran seperti daun, ranting, dan debu agar tidak masuk ke tangki penyimpanan. Filter harus mudah dibersihkan dan dirawat.
  4. Tangki penyimpanan (storage tank): Bisa berupa tangki di atas tanah atau bawah tanah yang berfungsi menampung air hujan. Kapasitas tangki harus disesuaikan dengan kebutuhan dan curah hujan setempat.
  5. Sistem pembuangan limpasan (overflow): Untuk mengalirkan kelebihan air hujan agar tidak menyebabkan genangan.
  6. Pompa: Jika tangki berada di bawah tanah, pompa diperlukan untuk mengalirkan air ke titik penggunaan.

Studi Kasus dan Data Teknis

Paper ini menyajikan ilustrasi sistem PAH sederhana yang diterapkan di Banda Aceh pasca tsunami 2004, yang menggunakan sistem penampungan air hujan dari atap dan permukaan tanah. Sistem ini terbukti efektif menyediakan air bersih bagi masyarakat yang mengalami kesulitan air bersih akibat bencana.

Data teknis penting yang dibahas antara lain:

  • Perhitungan volume air hujan yang dapat dikumpulkan:
    Rumus sederhana:

Volume air hujan=Curah hujan tahunan (mm)×Luas tangkapan (m2)×Koefisien efisiensi\text{Volume air hujan} = \text{Curah hujan tahunan (mm)} \times \text{Luas tangkapan (m}^2) \times \text{Koefisien efisiensi}Volume air hujan=Curah hujan tahunan (mm)×Luas tangkapan (m2)×Koefisien efisiensi

Koefisien efisiensi biasanya 75–90% untuk kebutuhan indoor dan 50% untuk kebutuhan outdoor.

  • Ukuran tangki penyimpanan:
    Harus cukup menampung air selama periode musim kemarau dengan mempertimbangkan kebutuhan air dan durasi bulan kering.
  • Filter dan sistem first flush:
    Air hujan pertama yang turun biasanya mengandung polutan dari atap dan harus dibuang agar kualitas air tetap baik.

Kualitas Air Hujan dan Pengolahan

Air hujan secara alami relatif bersih, namun saat mengalir di atap dan saluran, air dapat terkontaminasi oleh debu, kotoran, mikroorganisme, dan polutan kimia dari lingkungan perkotaan. Oleh karena itu, pengolahan air hujan penting dilakukan agar air aman digunakan.

Beberapa metode pengolahan sederhana yang direkomendasikan:

  • Pembersihan rutin area tangkapan dan filter.
  • Sistem first flush untuk membuang air hujan pertama.
  • Desinfeksi dengan klorinasi (dosis 0,4–0,5 mg/L).
  • Filtrasi pasir lambat.
  • Pasteurisasi menggunakan sinar ultraviolet atau panas matahari.

Kelebihan dan Tantangan Implementasi di Perkotaan Indonesia

Kelebihan:

  • Memanfaatkan sumber air yang melimpah dan gratis.
  • Mengurangi beban air tanah dan PDAM.
  • Mengurangi risiko banjir dan penurunan muka tanah.
  • Teknologi sederhana dan dapat diterapkan di rumah tangga maupun gedung.

Tantangan:

  • Kapasitas tangki terbatas dan perlu disesuaikan dengan pola curah hujan.
  • Perawatan sistem yang kurang optimal dapat menurunkan kualitas air.
  • Kurangnya regulasi dan sosialisasi dari pemerintah.
  • Potensi kehilangan pendapatan PDAM jika adopsi luas tidak diimbangi kebijakan.

Rekomendasi Kebijakan dan Pengembangan

  • Memasukkan syarat pemanenan air hujan dalam peraturan bangunan dan perizinan.
  • Memberikan insentif bagi masyarakat dan pengembang yang menerapkan PAH.
  • Mengembangkan sistem PAH komunal di kawasan padat.
  • Meningkatkan edukasi masyarakat dan pelatihan teknis pengelolaan PAH.
  • Integrasi PAH dengan sistem pengelolaan air kota dan ruang terbuka hijau.

Hubungan dengan Tren Global dan Studi Lain

  • Studi di Singapura dan Australia menunjukkan penghematan air bersih hingga 30% dengan PAH.
  • Di Jordan, pemanfaatan air hujan mengurangi konsumsi air minum hingga 19,7%.
  • Studi di Brasil pada SPBU menunjukkan penghematan air bersih 32,7–70%.
  • Paper ini sejalan dengan tren global konservasi air dan adaptasi perubahan iklim.

Kesimpulan

Pemanenan air hujan adalah solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis air bersih di perkotaan Indonesia. Dengan teknologi sederhana dan biaya rendah, PAH dapat mengurangi ketergantungan pada air tanah dan PDAM, mengurangi risiko banjir, serta membantu konservasi sumber daya air. Dukungan regulasi, edukasi, dan inovasi teknologi sangat diperlukan untuk memperluas penerapan PAH demi ketahanan air dan lingkungan yang lebih baik.

Sumber Artikel

Anie Yulistyorini. “Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air di Perkotaan.” Teknologi dan Kejuruan, Vol. 34, No. 1, Februari 2011, hlm. 90–114. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang.

Selengkapnya
Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air di Perkotaan

Sumber Air

Analisis Pemanfaatan Potensi Air Hujan dengan Menggunakan Cistern sebagai Sumber Air Bersih Skala Rumah Tangga di Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, DIY

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Kebutuhan air bersih yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi manusia menjadi tantangan besar, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber air seperti Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih lagi, wilayah perbukitan Menoreh ini tidak terlayani jaringan PDAM sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih terutama saat musim kemarau. Kondisi ini mendorong perlunya solusi alternatif yang efektif dan berkelanjutan, salah satunya adalah pemanenan air hujan menggunakan sistem cistern sebagai penampung air bersih skala rumah tangga.

Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi air hujan yang dapat dimanfaatkan, kebutuhan air bersih rumah tangga, serta merancang instalasi penampungan air hujan berupa cistern beton bertulang yang dapat memenuhi kebutuhan air selama musim kemarau.

Metode Penelitian: Deskriptif Kuantitatif dengan Data Curah Hujan dan Neraca Air

Penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer meliputi pengukuran luas atap rumah (228 m²) dan jumlah penghuni rumah (4 orang). Data sekunder berupa curah hujan rata-rata tahunan selama 5 tahun terakhir (2015–2019) dari dua stasiun curah hujan terdekat, yaitu Hargorejo dan Borrow Area.

Analisis dilakukan dengan menghitung kebutuhan air bersih berdasarkan konsumsi 150 liter/orang/hari, menghitung ketersediaan air hujan yang dapat ditampung, dan menyusun neraca air untuk mengetahui keseimbangan antara suplai dan kebutuhan air. Perhitungan volume penampungan cistern menggunakan rumus yang mempertimbangkan jumlah penghuni, lama musim kemarau, dan konsumsi air.

Studi Kasus dan Data Curah Hujan

Curah Hujan dan Ketersediaan Air

  • Curah hujan rata-rata tahunan di lokasi penelitian adalah 1610,04 mm/tahun.
  • Hujan andalan dengan peluang 80% adalah 123,73 mm/bulan.
  • Ketersediaan air hujan rata-rata per bulan mencapai 17,229 m³.

Kebutuhan Air Rumah Tangga

  • Dengan asumsi 4 penghuni rumah dan konsumsi 150 liter/orang/hari, kebutuhan air bersih tahunan adalah 219 m³.
  • Kebutuhan air bulanan berkisar antara 17–19 m³.

Neraca Air dan Ketersediaan Bulanan

  • Pada bulan Desember hingga Maret, ketersediaan air hujan melebihi kebutuhan air.
  • Pada bulan Mei hingga November, terjadi defisit ketersediaan air sehingga diperlukan cadangan air dari penampungan cistern.

Perancangan Sistem Penampungan Air Hujan (Cistern)

Dimensi dan Material

  • Cistern dirancang dengan volume 110,4 m³ untuk memenuhi kebutuhan air selama musim kemarau.
  • Dimensi cistern adalah 10 m x 5 m x 2,3 m dengan tinggi jagaan air 1 m.
  • Material yang digunakan adalah beton bertulang, ditempatkan di bawah permukaan tanah untuk menghemat lahan dan menjaga kualitas air.

Sistem Talang dan Penyaringan

  • Air hujan dari atap dialirkan melalui talang dan pipa ke cistern.
  • Dilengkapi dengan bak penyaringan untuk menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan air.
  • Sistem juga dilengkapi sumur resapan untuk mengelola limpasan air saat kapasitas cistern penuh.

Analisis Neraca Air

Neraca air menunjukkan bahwa volume penampungan yang dirancang cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Tabel neraca air memperlihatkan suplai air hujan yang masuk, kebutuhan air yang keluar, dan cadangan air yang tersisa setiap bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan volume cistern 110,4 m³, kebutuhan air rumah tangga dapat terpenuhi dengan baik, terutama saat musim kemarau.

Nilai Tambah dan Implikasi

  • Konservasi Sumber Daya Air: Pemanfaatan air hujan mengurangi ketergantungan pada sumber air tanah dan PDAM, serta membantu menjaga keseimbangan siklus hidrologi.
  • Pengurangan Risiko Kekeringan: Cistern sebagai penampung air hujan menyediakan cadangan air yang cukup saat musim kemarau panjang.
  • Penerapan Skala Rumah Tangga: Sistem ini dapat diterapkan secara luas di daerah perbukitan atau daerah tanpa akses air bersih.
  • Efisiensi Biaya dan Lahan: Penempatan cistern bawah tanah memaksimalkan penggunaan lahan dan menjaga kualitas air.

Kritik dan Saran Pengembangan

  • Pengukuran Luas Atap: Akurasi pengukuran luas atap sangat penting karena berpengaruh langsung pada perhitungan volume air hujan yang dapat ditampung.
  • Perawatan Sistem: Perlu perhatian khusus pada pemeliharaan cistern dan sistem penyaringan agar air tetap bersih dan aman digunakan.
  • Skala Komunitas: Pengembangan sistem pemanenan air hujan secara komunitas dapat meningkatkan efisiensi dan distribusi air bersih.
  • Penggunaan Teknologi Filtrasi: Integrasi teknologi filtrasi lanjutan dapat meningkatkan kualitas air untuk keperluan minum langsung.
  • Kajian Iklim: Perlu pemantauan lebih lanjut terkait perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim untuk perencanaan jangka panjang.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan studi Khoru Ni’mah (2018) di Lampung Selatan yang menunjukkan potensi penghematan air bersih hingga 35% dengan pemanenan air hujan. Selain itu, hasil penelitian Felicia Isfandyari (2018) dan Tri Yayuk Susana (2012) juga menegaskan pentingnya pemanfaatan air hujan sebagai alternatif sumber air di perkotaan dan gedung perkantoran, dengan penghematan signifikan terhadap penggunaan air PDAM.

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi potensi pemanenan air hujan di Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, dengan curah hujan rata-rata 1610,04 mm/tahun dan kebutuhan air rumah tangga sekitar 219 m³/tahun untuk 4 penghuni. Instalasi cistern beton bertulang berkapasitas 110,4 m³ yang dirancang dapat memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Sistem ini merupakan solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi keterbatasan air bersih di daerah perbukitan dan dapat direplikasi di wilayah serupa.

Sumber Artikel 

Ikhwan Mustofa. “Analisis Pemanfaatan Potensi Air Hujan dengan Menggunakan Cistern sebagai Sumber Air Bersih Skala Rumah Tangga (Studi Kasus Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta).” Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, 2020.

Selengkapnya
Analisis Pemanfaatan Potensi Air Hujan dengan Menggunakan Cistern sebagai Sumber Air Bersih Skala Rumah Tangga di Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, DIY

Sumber Air

Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan – Solusi Konservasi Air Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Air hujan merupakan sumber air yang melimpah, khususnya saat musim penghujan. Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, air hujan justru dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, pengelolaan air hujan secara optimal menjadi sangat penting, terutama dengan cara menampung air hujan dan meresapkannya kembali ke dalam tanah. Paper karya Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT ini memberikan kajian awal mengenai sistem pemanfaatan air hujan, dengan fokus pada praktik terbaik di beberapa negara Asia dan kondisi di Indonesia.

Studi Kasus dan Perbandingan Internasional

Penulis melakukan studi literatur dan banding terhadap penerapan sistem pemanfaatan air hujan di beberapa negara Asia, yaitu Republik Dominika, Singapura, Jepang, China, dan Thailand. Negara-negara ini telah berhasil mengimplementasikan sistem pemanenan air hujan yang efektif, baik untuk memenuhi kebutuhan air bersih maupun untuk konservasi air tanah.

Contoh Implementasi di Negara-negara Asia

  • Singapura: Bandara Changi memanfaatkan air hujan dari atap dan area sekitar sebagai sumber air yang signifikan, menyumbang 28–33% dari total kebutuhan air dengan penghematan sekitar SGD 390.000 per tahun. Sistem ini terintegrasi dengan perencanaan tata kota dan pengelolaan air yang cermat.
  • Jepang: Di Tokyo, arena Sumo dengan atap seluas 8.400 m² menggunakan sistem penampungan air hujan berkapasitas 1.000 m³ yang digunakan untuk menyiram toilet dan pendingin udara. Di tingkat masyarakat, sistem sederhana “Rojison” memanen air hujan dari atap rumah untuk kebutuhan penyiraman kebun dan air darurat.
  • China (Provinsi Gansu): Masyarakat menggunakan tangki bawah tanah berkapasitas 20 m³ yang diperbaiki dengan semen dan dilengkapi sistem pengaliran air hujan. Proyek “1-2-1” yang dimulai sejak 1988 telah membantu lebih dari 200.000 keluarga memperoleh air bersih dan hasil pertanian yang lebih baik.
  • Thailand: Penggunaan guci penyimpan air hujan berkapasitas 100–3.000 liter sangat populer di pedesaan, dengan guci 2.000 liter mampu memenuhi kebutuhan air selama musim kemarau hingga enam bulan.

Kondisi dan Regulasi di Indonesia

Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi, namun pengelolaan air hujan masih belum optimal. Luapan air hujan sering menyebabkan banjir dan tanah longsor akibat saluran drainase yang tidak memadai dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti SK Gubernur DKI Jakarta No. 115 Tahun 2001 dan Perda No. 20 Tahun 2013 yang mewajibkan pembangunan sumur resapan.

Teknologi dan Metode Pengelolaan

  • Sumur Resapan: Sistem resapan buatan yang menampung air hujan dari atap atau talang dan meresapkannya ke dalam tanah. Bentuknya bisa berupa sumur, kolam resapan, atau saluran porous.
  • Pengisian Air Tanah Buatan (Artificial Recharge): Teknik ini melibatkan penyuntikan air ke dalam aquifer melalui sumur injeksi atau penyebaran permukaan untuk meningkatkan cadangan air tanah dan mencegah intrusi air laut.
  • Penampungan Air Hujan: Sistem yang terdiri dari area tangkapan (atap), sistem pengaliran (talang dan pipa), dan tangki penyimpanan (beton, fiberglass, stainless steel). Sistem ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik dan mengurangi limpasan.

Angka dan Data Teknis

  • Curah hujan tahunan di Indonesia bervariasi dari kurang dari 500 mm hingga lebih dari 4.000 mm, dengan distribusi musiman yang tidak merata.
  • Contoh perhitungan debit air hujan menggunakan rumus rasional Q=C×I×AQ = C \times I \times AQ=C×I×A, di mana CCC adalah koefisien aliran, III intensitas hujan, dan AAA luas atap.
  • Tabel geometri sumur resapan menunjukkan volume resapan efektif yang bervariasi sesuai luas kavling dan kondisi drainase, misalnya untuk kavling 100 m² volume resapan antara 2,6–7,9 m³.

Nilai Tambah dan Implikasi Edukasi

  • Pemanfaatan air hujan tidak hanya mengurangi risiko banjir dan penurunan muka tanah, tetapi juga berkontribusi pada konservasi air tanah yang berkelanjutan.
  • Sistem ini telah terbukti efektif di berbagai negara dan mulai diadopsi di Indonesia, seperti di Pesantren Daar El Fallah, Pandeglang, yang mengaplikasikan sistem penampungan air hujan untuk kebutuhan air minum siswa.
  • Penulis menekankan pentingnya memasukkan edukasi pengelolaan air hujan dalam kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah atas agar budaya konservasi air tumbuh sejak dini.

Kritik dan Saran Pengembangan

  • Walaupun regulasi sudah ada, implementasi dan monitoring di lapangan masih lemah dan perlu diperkuat.
  • Pengembangan teknologi dan metode yang sesuai dengan kondisi lokal sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan sistem.
  • Perlu kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat untuk memperluas penerapan sistem pemanfaatan air hujan.

Kesimpulan

Air hujan adalah anugerah alam yang melimpah dan harus dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus melestarikan sumber daya air tanah. Berbagai negara telah membuktikan keberhasilan sistem pemanenan air hujan, yang juga mulai diadopsi di Indonesia dengan dukungan regulasi dan edukasi. Pengelolaan air hujan yang terintegrasi dan berkelanjutan merupakan kunci untuk mengatasi masalah kekurangan air, banjir, dan penurunan muka tanah di perkotaan dan daerah rawan.

Sumber Artikel

Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo. “Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan.” Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, 2009.

Selengkapnya
Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan – Solusi Konservasi Air Berkelanjutan

Sumber Air

Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Kecil Desa Concong Tengah, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan 13.000 pulau kecil, yang secara biofisik, geografis, dan sosial budaya memiliki karakteristik unik. Salah satu masalah utama yang dihadapi pulau-pulau kecil adalah keterbatasan sumber daya air bersih. Air tanah di pulau kecil biasanya merupakan lensa air tawar yang mengapung di atas air payau atau asin, sehingga sangat rentan terhadap intrusi air laut dan perubahan muka air tanah.

Desa Concong Tengah, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir, menjadi contoh nyata permasalahan ini. Penduduknya mengandalkan air hujan sebagai sumber utama air bersih, terutama saat musim kemarau ketika air tanah dangkal kering dan air permukaan mengandung bahan organik dan zat besi yang tinggi sehingga tidak layak digunakan. Kondisi ekonomi yang rendah membuat warga kesulitan membeli air bersih dari sumber lain.

Metodologi: Simulasi Hidrologi Kuantitatif dengan Rain Cycle 2

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan simulasi menggunakan program bantuan Rain Cycle 2. Data input meliputi:

  • Luas atap rumah tangga (m²)
  • Jumlah anggota keluarga (m³/hari)
  • Data curah hujan harian selama satu tahun (mm/tahun) dari stasiun hidrologi Tembilahan (2010–2014)

Simulasi dilakukan untuk mengukur potensi pemanenan air hujan skala individu dan seberapa besar kebutuhan air bersih masyarakat yang dapat dipenuhi dengan sistem ini.

Hasil Studi Kasus: Potensi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih

Data Curah Hujan dan Luas Atap

  • Curah hujan tahunan rata-rata di Desa Concong Tengah sekitar 4.560,17 mm.
  • Luas atap rata-rata rumah tangga yang digunakan sebagai catchment area adalah 231 m².
  • Jumlah anggota keluarga rata-rata adalah 7 orang.

Simulasi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih

  • Dengan menggunakan 2 tangki fiber berkapasitas 1 m³, pemenuhan kebutuhan air bersih mencapai rata-rata 55,3% pada tahun 2010.
  • Dengan 3 tangki, pemenuhan meningkat menjadi sekitar 66,9%.
  • Dengan 4 tangki, pemenuhan kebutuhan air bersih bisa mencapai 74,7%.

Data serupa untuk tahun-tahun berikutnya menunjukkan fluktuasi, misalnya tahun 2014 dengan 3 tangki hanya mampu memenuhi 53,5% kebutuhan air bersih, yang menunjukkan pengaruh variabilitas curah hujan terhadap ketersediaan air.

Pengaruh Luas Atap dan Jumlah Anggota Keluarga

  • Semakin besar luas atap, semakin tinggi persentase kebutuhan air yang terpenuhi.
  • Semakin banyak anggota keluarga, persentase pemenuhan kebutuhan air menurun karena kebutuhan total meningkat.
  • Contoh: Rumah dengan luas atap 231 m² dan 7 anggota keluarga memiliki pemenuhan kebutuhan air sekitar 70,5% dengan 3 tangki, sedangkan dengan 6 anggota keluarga bisa mencapai 75,5%.

Analisis dan Diskusi

Sensitivitas Curah Hujan

Parameter curah hujan sangat sensitif terhadap kuantitas air hujan yang dapat dipanen. Tahun dengan curah hujan tinggi memberikan kontribusi lebih besar dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Sebaliknya, tahun dengan curah hujan rendah menyebabkan penurunan signifikan dalam pemenuhan kebutuhan air.

Kapasitas Tangki dan Kebutuhan Air

Kapasitas tangki penampungan sangat menentukan performa sistem pemanenan air hujan. Penggunaan 3-4 tangki fiber berkapasitas 1 m³ dianggap optimal untuk memenuhi kebutuhan air bersih sebagian besar keluarga di Desa Concong Tengah.

Keterbatasan dan Tantangan

  • Variasi curah hujan tahunan yang tinggi menyebabkan ketidakpastian ketersediaan air sepanjang tahun.
  • Keterbatasan lahan dan kemampuan ekonomi masyarakat untuk memiliki tangki penampungan yang memadai.
  • Perlunya pengelolaan dan pemeliharaan tangki agar kualitas air tetap terjaga.

Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global

Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih merupakan solusi berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip konservasi sumber daya air dan adaptasi perubahan iklim. Studi ini sejalan dengan tren global yang mendorong pengelolaan air hujan di tingkat rumah tangga dan komunitas sebagai bagian dari strategi ketahanan air.

Saran dan Rekomendasi

  • Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemanenan air hujan dan pemeliharaan sistem.
  • Pengembangan sistem tangki penampungan yang efisien dan terjangkau.
  • Integrasi sistem pemanenan air hujan individu dengan sistem komunal seperti embung atau kolam retensi untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan.
  • Kajian lebih lanjut terkait pengaruh perubahan iklim terhadap ketersediaan air hujan di pulau kecil.

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan skala individu di Desa Concong Tengah mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan air bersih masyarakat, dengan persentase pemenuhan yang dipengaruhi oleh luas atap, jumlah anggota keluarga, dan curah hujan tahunan. Sistem ini menjadi alternatif penting untuk mengatasi keterbatasan sumber air bersih di pulau kecil yang rentan terhadap kekeringan dan intrusi air payau.

Sumber Artikel 

Indah Ameliana Beza D., Yohanna Lilis H., Imam Suprayogi. “Kajian Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Kecil: Studi Kasus Desa Concong Tengah Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir.” Jom FTEKNIK, Vol. 3 No. 1, Februari 2016. Fakultas Teknik, Universitas Riau.

Selengkapnya
Kajian Pemanfaatan Air Hujan sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Kecil Desa Concong Tengah, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir

Sumber Air

Penerapan Sistem Pemanen Air Hujan Skala Rumah Tangga di Perumahan Villa Mutiara, Kelurahan Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025


Fenomena kekeringan pada musim kemarau akibat menurunnya sumber air tanah, seperti sumur, menjadi masalah serius di kawasan perumahan perkotaan. Sebaliknya, intensitas hujan yang tinggi saat musim penghujan sering menyebabkan banjir dan bencana lainnya. Dalam konteks ini, pemanenan air hujan (rainwater harvesting) menjadi solusi sederhana dan murah yang belum banyak diterapkan masyarakat, padahal sangat penting sebagai alternatif sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Paper karya Mohamad Haifan dkk. (2023) ini mengangkat penerapan sistem pemanen air hujan di salah satu rumah warga di Perumahan Villa Mutiara, Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, dengan tujuan mengolah air hujan menjadi air bersih yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.

Metode dan Komponen Sistem Pemanen Air Hujan

Sistem pemanenan air hujan yang diterapkan terdiri dari tiga komponen utama:

  1. Catchment (Penangkap Air Hujan): Permukaan atap rumah yang berfungsi menangkap air hujan.
  2. Delivery System (Sistem Penyaluran): Talang dan pralon yang mengalirkan air hujan dari atap ke tempat penampungan.
  3. Storage Reservoir (Tempat Penyimpanan): Toran air berkapasitas 700 liter sebanyak empat buah, yang menampung air hujan sebelum diproses lebih lanjut.

Air hujan yang masuk ke toran pertama disaring melalui filter pertama untuk menghilangkan kotoran kasar, kemudian air diendapkan selama sekitar 2 jam. Selanjutnya air dialirkan ke filter kedua yang berada di lantai bawah untuk penyaringan lebih halus sebelum masuk ke proses elektrolisis.

Teknologi Elektrolisis untuk Pengolahan Air Hujan

Teknologi elektrolisis yang digunakan dikembangkan oleh Vincentius Kirjito dari Yayasan Bina Swadaya. Proses ini menggunakan arus listrik DC yang dialirkan ke air hujan untuk menghasilkan dua jenis air berdasarkan pH:

  • Air dengan pH tinggi (basa) 11-13: Aman dan sehat untuk dikonsumsi.
  • Air dengan pH rendah (asam) 4-7: Digunakan untuk perawatan luar, seperti perawatan kulit.

Air basa dan asam ditampung dalam bak terpisah, masing-masing dua bak untuk air basa dan satu bak untuk air asam.

Studi Kasus: Implementasi di Perumahan Villa Mutiara, Ciputat

Instalasi pemanen air hujan dipasang di rumah warga di Jl. Intan II BB 10-12, dengan empat toran air berkapasitas total 2800 liter. Air hujan yang jatuh di atap dialirkan melalui talang dan pralon ke toran, kemudian disaring dan diendapkan sebelum diproses elektrolisis.

Hasil Pemanfaatan

  • Air hasil elektrolisis dengan pH tinggi digunakan oleh warga dan jamaah majelis taklim Al Amin untuk keperluan konsumsi sehari-hari.
  • Air dengan pH rendah digunakan untuk perawatan kulit dan dipercaya memberikan manfaat kesehatan.
  • Beberapa warga dari luar daerah seperti Ciputat, Ciledug, dan Serang datang untuk mengambil air hasil elektrolisis ini.

Analisis dan Manfaat Sistem

  • Sederhana dan Murah: Teknologi yang digunakan tidak memerlukan keahlian khusus dan biaya relatif rendah sehingga mudah diterapkan di rumah tangga.
  • Mengatasi Kekurangan Air: Sistem ini menjadi alternatif sumber air saat musim kemarau ketika sumur mulai kering.
  • Kualitas Air Terjamin: Proses elektrolisis efektif membunuh mikroba dan meningkatkan pH air sehingga aman diminum.
  • Manfaat Kesehatan: Air basa yang dihasilkan dipercaya menyehatkan dan air asam bermanfaat untuk perawatan luar.
  • Pengurangan Risiko Banjir: Dengan memanen air hujan, limpasan air berkurang sehingga risiko banjir di kawasan perumahan dapat ditekan.

Kritik dan Saran Pengembangan

  • Skala Terbatas: Sistem ini baru diterapkan di satu rumah, perlu pengembangan skala komunitas agar manfaat lebih luas.
  • Pemeliharaan: Keberhasilan jangka panjang tergantung pada pemeliharaan filter dan sistem elektrolisis oleh pengguna.
  • Edukasi Masyarakat: Perlu sosialisasi berkelanjutan agar masyarakat memahami pentingnya menjaga kebersihan atap dan penampungan.
  • Pengembangan Teknologi: Integrasi sistem filtrasi tambahan dan monitoring kualitas air secara berkala akan meningkatkan keamanan air.
  • Replikasi: Model ini dapat direplikasi di daerah lain dengan potensi curah hujan tinggi dan masalah kekurangan air tanah.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian sebelumnya oleh Yulistyorini (2011) dan Aryanto (2017) juga menegaskan pentingnya pemanenan air hujan sebagai alternatif pengelolaan sumber daya air di perkotaan. Studi di wilayah lain menunjukkan bahwa teknologi sederhana dan biaya rendah sangat efektif meningkatkan akses air bersih di rumah tangga.

Kesimpulan

Penerapan sistem pemanen air hujan dengan proses elektrolisis di Perumahan Villa Mutiara, Ciputat, memberikan solusi nyata atas masalah kekurangan air bersih di perkotaan. Sistem ini mudah diterapkan, murah, dan menghasilkan air yang aman dikonsumsi serta bermanfaat untuk kesehatan. Dengan pengelolaan yang baik dan edukasi masyarakat, teknologi ini berpotensi menjadi model konservasi air yang dapat dikembangkan di berbagai wilayah urban di Indonesia.

Sumber Artikel

Mohamad Haifan, Sri Handayani, Ismojo. “Penerapan Sistem Pemanen Air Hujan (Rain Water Harvesting) Skala Rumah Tangga: Studi Kasus di RT 004/01, Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.” Lentera Karya Edukasi: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, Vol. 3 No. 2, 2023, hlm. 63-72.

Selengkapnya
Penerapan Sistem Pemanen Air Hujan Skala Rumah Tangga di Perumahan Villa Mutiara, Kelurahan Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan
page 1 of 1.045 Next Last »