Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan – Solusi Konservasi Air Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

05 Juni 2025, 06.42

pixabay.com

Air hujan merupakan sumber air yang melimpah, khususnya saat musim penghujan. Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, air hujan justru dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, pengelolaan air hujan secara optimal menjadi sangat penting, terutama dengan cara menampung air hujan dan meresapkannya kembali ke dalam tanah. Paper karya Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT ini memberikan kajian awal mengenai sistem pemanfaatan air hujan, dengan fokus pada praktik terbaik di beberapa negara Asia dan kondisi di Indonesia.

Studi Kasus dan Perbandingan Internasional

Penulis melakukan studi literatur dan banding terhadap penerapan sistem pemanfaatan air hujan di beberapa negara Asia, yaitu Republik Dominika, Singapura, Jepang, China, dan Thailand. Negara-negara ini telah berhasil mengimplementasikan sistem pemanenan air hujan yang efektif, baik untuk memenuhi kebutuhan air bersih maupun untuk konservasi air tanah.

Contoh Implementasi di Negara-negara Asia

  • Singapura: Bandara Changi memanfaatkan air hujan dari atap dan area sekitar sebagai sumber air yang signifikan, menyumbang 28–33% dari total kebutuhan air dengan penghematan sekitar SGD 390.000 per tahun. Sistem ini terintegrasi dengan perencanaan tata kota dan pengelolaan air yang cermat.
  • Jepang: Di Tokyo, arena Sumo dengan atap seluas 8.400 m² menggunakan sistem penampungan air hujan berkapasitas 1.000 m³ yang digunakan untuk menyiram toilet dan pendingin udara. Di tingkat masyarakat, sistem sederhana “Rojison” memanen air hujan dari atap rumah untuk kebutuhan penyiraman kebun dan air darurat.
  • China (Provinsi Gansu): Masyarakat menggunakan tangki bawah tanah berkapasitas 20 m³ yang diperbaiki dengan semen dan dilengkapi sistem pengaliran air hujan. Proyek “1-2-1” yang dimulai sejak 1988 telah membantu lebih dari 200.000 keluarga memperoleh air bersih dan hasil pertanian yang lebih baik.
  • Thailand: Penggunaan guci penyimpan air hujan berkapasitas 100–3.000 liter sangat populer di pedesaan, dengan guci 2.000 liter mampu memenuhi kebutuhan air selama musim kemarau hingga enam bulan.

Kondisi dan Regulasi di Indonesia

Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi, namun pengelolaan air hujan masih belum optimal. Luapan air hujan sering menyebabkan banjir dan tanah longsor akibat saluran drainase yang tidak memadai dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti SK Gubernur DKI Jakarta No. 115 Tahun 2001 dan Perda No. 20 Tahun 2013 yang mewajibkan pembangunan sumur resapan.

Teknologi dan Metode Pengelolaan

  • Sumur Resapan: Sistem resapan buatan yang menampung air hujan dari atap atau talang dan meresapkannya ke dalam tanah. Bentuknya bisa berupa sumur, kolam resapan, atau saluran porous.
  • Pengisian Air Tanah Buatan (Artificial Recharge): Teknik ini melibatkan penyuntikan air ke dalam aquifer melalui sumur injeksi atau penyebaran permukaan untuk meningkatkan cadangan air tanah dan mencegah intrusi air laut.
  • Penampungan Air Hujan: Sistem yang terdiri dari area tangkapan (atap), sistem pengaliran (talang dan pipa), dan tangki penyimpanan (beton, fiberglass, stainless steel). Sistem ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik dan mengurangi limpasan.

Angka dan Data Teknis

  • Curah hujan tahunan di Indonesia bervariasi dari kurang dari 500 mm hingga lebih dari 4.000 mm, dengan distribusi musiman yang tidak merata.
  • Contoh perhitungan debit air hujan menggunakan rumus rasional Q=C×I×AQ = C \times I \times AQ=C×I×A, di mana CCC adalah koefisien aliran, III intensitas hujan, dan AAA luas atap.
  • Tabel geometri sumur resapan menunjukkan volume resapan efektif yang bervariasi sesuai luas kavling dan kondisi drainase, misalnya untuk kavling 100 m² volume resapan antara 2,6–7,9 m³.

Nilai Tambah dan Implikasi Edukasi

  • Pemanfaatan air hujan tidak hanya mengurangi risiko banjir dan penurunan muka tanah, tetapi juga berkontribusi pada konservasi air tanah yang berkelanjutan.
  • Sistem ini telah terbukti efektif di berbagai negara dan mulai diadopsi di Indonesia, seperti di Pesantren Daar El Fallah, Pandeglang, yang mengaplikasikan sistem penampungan air hujan untuk kebutuhan air minum siswa.
  • Penulis menekankan pentingnya memasukkan edukasi pengelolaan air hujan dalam kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah atas agar budaya konservasi air tumbuh sejak dini.

Kritik dan Saran Pengembangan

  • Walaupun regulasi sudah ada, implementasi dan monitoring di lapangan masih lemah dan perlu diperkuat.
  • Pengembangan teknologi dan metode yang sesuai dengan kondisi lokal sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan sistem.
  • Perlu kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat untuk memperluas penerapan sistem pemanfaatan air hujan.

Kesimpulan

Air hujan adalah anugerah alam yang melimpah dan harus dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus melestarikan sumber daya air tanah. Berbagai negara telah membuktikan keberhasilan sistem pemanenan air hujan, yang juga mulai diadopsi di Indonesia dengan dukungan regulasi dan edukasi. Pengelolaan air hujan yang terintegrasi dan berkelanjutan merupakan kunci untuk mengatasi masalah kekurangan air, banjir, dan penurunan muka tanah di perkotaan dan daerah rawan.

Sumber Artikel

Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo. “Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan.” Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, 2009.