Upaya Meningkatkan Implementasi Langkah-langkah TBT dan Proses Notifikasi ke WTO di Indonesia: Mengatasi Kendala dan Memperkuat Kapasitas BPOM

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani

16 Mei 2024, 15.02

pixabay.com

Terdapat beberapa kendala yang ada di Indonesia dalam mengimplementasikan langkah-langkah TBT (hambatan teknis dalam perdagangan) yang efektif dan prosedur notifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pemahaman mengenai konsep dan proses dasar mengenai TBT. 

TBT bertindak sebagai tindakan regulasi untuk melindungi konsumen dan kesehatan masyarakat. Hal ini dapat berupa peraturan, standar, prosedur pengujian dan sertifikasi yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan dan kualitas, dan dapat secara signifikan mempengaruhi perdagangan internasional produk farmasi. TBT dapat mengganggu perdagangan dengan menambah persyaratan dan biaya, tetapi diperlukan untuk melindungi kepentingan konsumen dan memastikan kualitas dan keamanan produk. Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah untuk membedakan TBT yang diperlukan untuk melindungi kepentingan kesehatan masyarakat dengan hambatan non-tarif yang tidak perlu, seperti persyaratan perizinan impor, larangan impor, dan lainnya yang mungkin terutama berfungsi untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan internasional.

Perjanjian TBT, sebuah perjanjian internasional yang dikelola oleh WTO, merupakan alat global utama yang bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan, standar, pengujian, dan prosedur sertifikasi tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan dan akses terhadap produk dan teknologi. Sebagai anggota WTO, Indonesia diwajibkan untuk melaporkan semua peraturan teknis yang baru atau yang telah diubah kepada WTO. Staf pengawas di BPOM memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai TBT, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk memfasilitasi, misalnya, proses registrasi produk impor. Mengingat kompleksitas proses dan jumlah produk yang terus meningkat di pasar global, penting untuk membangun pengetahuan dan memperdalam keakraban di dalam BPOM.

Prof Nurul Barizah selaku narasumber yang hadir dalam sesinya. Kredit: BPOM

WHO mendukung Direktorat Standardisasi Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM dalam lokakarya selama dua hari pada bulan Februari 2023, yang bertujuan untuk memperkuat pengetahuan di antara personil Badan POM di Indonesia tentang TBT. Kegiatan ini didukung oleh para ahli dari Kementerian Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional, Kementerian Luar Negeri, Pusat Studi Hukum Perdagangan Internasional Universitas Airlangga. Peserta lokakarya mendapatkan pengetahuan mengenai langkah-langkah non-tarif, implementasi kewajiban internasional yang ditetapkan dalam peraturan Badan Standardisasi Nasional, dan harmonisasi peraturan nasional dengan perjanjian TBT. Selain itu, para ahli dan peserta juga berbagi studi kasus mengenai TBT, sementara Biro Kerjasama Internasional BPOM berbagi pengalaman mengenai notifikasi WTO.

Peserta mengikuti workshop interaktif. Kredit: BPOM

Selain meningkatkan pengetahuan dan berbagi pengalaman selama lokakarya, unit teknis BPOM juga menyepakati langkah-langkah selanjutnya, termasuk membangun proses notifikasi WTO yang kuat untuk mengurangi potensi masalah perdagangan khusus (STC) yang berasal dari negara lain. Unit ini juga ditugaskan untuk menyediakan peraturan teknis yang relevan kepada para pemangku kepentingan di luar negeri karena berkomitmen untuk memperkuat standar yang terkait dengan TBT. Saat ini, sebuah pedoman sedang dalam proses revisi yang diharapkan akan diterbitkan pada bulan Agustus 2023.

Hasil dari lokakarya ini memiliki potensi besar dalam memajukan keamanan farmasi, perdagangan yang adil, dan aksesibilitas global. Dengan peningkatan pengetahuan dan keahlian di bidang TBT, BPOM memperkuat kapasitasnya sebagai regulator yang akan memungkinkan Indonesia untuk menavigasi kompleksitas perdagangan internasional dengan lebih baik sambil menjaga kesehatan masyarakat.

Disadur dari: www.who.int