1. Pendahuluan
Diskusi mengenai waste-to-energy (WtE) dalam kerangka circular economy selalu berada pada ruang tarik-menarik antara kebutuhan pengelolaan sampah, tuntutan efisiensi energi, dan komitmen keberlanjutan lingkungan. Paper ini memposisikan teknologi WtE—khususnya berbasis proses termal—bukan semata sebagai solusi teknis, tetapi sebagai bagian dari arsitektur transisi sistem pengelolaan sumber daya di negara berkembang. Dengan kata lain, WtE dipahami sebagai simpul pertemuan antara kebijakan energi, pengelolaan sampah, dan rekayasa teknologi industri.
Berbeda dengan pendekatan circular economy yang menekankan reduksi, reuse, dan recycling pada hulu siklus material, WtE bekerja di wilayah hilir, pada fase di mana residu sudah tidak lagi memiliki nilai material signifikan. Paper menegaskan bahwa posisi WtE tidak bisa disederhanakan sebagai substitusi daur ulang. Sebaliknya, ia harus dibaca sebagai bagian dari strategi hierarki pengelolaan sampah, di mana energi dihasilkan dari fraksi residu yang tidak mungkin diolah ulang secara ekonomis.
Dalam konteks negara berkembang, WtE menghadapi kompleksitas yang lebih tinggi. Struktur sampah dengan kadar organik tinggi, infrastruktur pengumpulan yang tidak homogen, serta dinamika sosial dan kelembagaan mempengaruhi efektivitas teknologi. Oleh karena itu, pembahasan WtE tidak cukup berhenti pada desain reaktor atau efisiensi energi; ia harus diperluas ke dimensi tata kelola, kesiapan kelembagaan, dan kompatibilitas sosial.
2. Teknologi Waste-to-Energy dalam Kerangka Circular Economy: Peran, Batasan, dan Orientasi Sistem
Bagian ini menguraikan bagaimana WtE diposisikan dalam sistem circular economy menurut paper: sebagai teknologi yang berada di titik persimpangan antara pemulihan energi dan pengurangan beban TPA, sekaligus teknologi yang menghadapi pertanyaan kritis tentang dampaknya terhadap siklus material.
a. Waste-to-energy sebagai mekanisme pemulihan nilai dari residu pasca-daur ulang
Paper menekankan bahwa nilai utama WtE terletak pada kemampuannya mengubah residu non-recyclable menjadi energi panas dan listrik. Dalam kerangka circular economy, fungsi ini dianggap sebagai bentuk “recovery level terakhir” setelah opsi reuse dan recycling tidak lagi memungkinkan. Artinya, WtE bukan pengganti circularity di hulu, melainkan penopang sistem agar timbulan residu tidak berakhir pada landfill.
Dengan demikian, peran WtE bersifat komplementer: ia mengurangi tekanan TPA, menghasilkan energi, dan sekaligus menyediakan opsi pengelolaan bagi fraksi sampah yang sulit dipulihkan nilai materialnya.
b. Ketegangan antara pemulihan energi dan potensi lock-in terhadap model linear
Paper menggarisbawahi dilema penting: di satu sisi, WtE membantu mengurangi timbulan sampah; di sisi lain, jika tidak dirancang hati-hati, ia berpotensi menciptakan ketergantungan pada pasokan sampah sebagai bahan bakar. Hal ini dapat menimbulkan efek insentif terbalik terhadap upaya pengurangan dan daur ulang di hulu.
Di titik ini, WtE harus ditempatkan dalam desain sistem yang tegas: kapasitasnya tidak boleh mendorong akumulasi sampah baru, tetapi harus diselaraskan dengan target pengurangan timbulan dan peningkatan daur ulang.
c. Waste-to-energy sebagai teknologi yang menuntut keselarasan antara dimensi teknis dan kelembagaan
Paper menegaskan bahwa keberhasilan WtE tidak ditentukan oleh teknologi semata. Kualitas input sampah, sistem pemilahan, stabilitas suplai, kerangka tarif energi, serta penerimaan sosial memainkan peran yang sama pentingnya. Dalam konteks negara berkembang, variabel-variabel ini justru menjadi penentu apakah WtE akan bekerja efektif atau hanya bertahan sebagai proyek instalasi berbiaya tinggi.
Dengan demikian, WtE hanya dapat berfungsi sebagai bagian dari circular economy jika ditempatkan dalam sistem tata kelola yang matang — bukan sebagai solusi teknokratik yang berdiri sendiri.
3. Proses Termal dalam Waste-to-Energy: Dari Prinsip Rekayasa hingga Implikasi Operasional
Paper menjelaskan bahwa teknologi WtE berbasis proses termal merupakan tulang punggung sebagian besar fasilitas pembakaran sampah modern. Namun, pendekatan ini tidak bersifat monolitik. Setiap jenis proses memiliki karakter teknis, kebutuhan operasional, serta implikasi lingkungan yang berbeda — dan pilihan teknologi sangat dipengaruhi oleh karakteristik sampah, kapasitas institusi, dan konteks ekonomi setempat.
a. Insinerasi konvensional: stabilitas teknologi dan kebutuhan kontrol emisi
Insinerasi masih menjadi teknologi paling banyak digunakan dalam sistem WtE. Keunggulannya terletak pada kematangan teknologi, kemampuan menangani variasi komposisi sampah, serta stabilitas operasi dalam skala besar. Paper menekankan bahwa nilai kritis insinerasi bukan pada proses pembakaran itu sendiri, tetapi pada sistem kontrol emisi, pengelolaan abu dasar dan abu terbang, serta efisiensi pemulihan energi.
Dalam konteks negara berkembang, tantangan utama muncul pada aspek operasi jangka panjang: kebutuhan pemeliharaan tinggi, kualitas input yang tidak stabil, dan biaya teknologi pengendalian polutan yang sering kali melebihi kapasitas fiskal pemerintah daerah.
b. Gasifikasi dan pirolisis: potensi efisiensi tinggi, namun menuntut kualitas bahan bakar seragam
Paper menjelaskan bahwa gasifikasi dan pirolisis menawarkan pendekatan yang lebih maju dibanding insinerasi, karena mengonversi sampah menjadi syngas atau minyak pirolitik sebelum dimanfaatkan sebagai sumber energi. Teknologi ini berpotensi menghasilkan efisiensi energi lebih tinggi dan emisi lebih rendah.
Namun, keberhasilan proses ini sangat bergantung pada homogenitas input dan kadar air yang rendah — sesuatu yang jarang ditemukan pada komposisi sampah kota di negara berkembang yang masih didominasi fraksi organik basah. Akibatnya, banyak proyek gasifikasi berakhir sebagai pilot project yang tidak berkelanjutan secara operasional.
c. Co-processing dan integrasi proses termal dengan industri eksisting
Paper menyoroti alternatif lain yang semakin relevan: co-processing pada industri semen atau fasilitas termal industri. Pendekatan ini memanfaatkan panas tinggi proses industri untuk mengolah residu sampah, sehingga mengurangi kebutuhan pembangunan fasilitas WtE baru.
Strategi ini dinilai menarik karena memanfaatkan infrastruktur yang telah ada, tetapi tetap membutuhkan standar kontrol kualitas bahan bakar alternatif serta regulasi yang jelas mengenai batas emisi dan tanggung jawab pengelolaan residu.
4. Desain PLTSa dan Pembelajaran Implementasi: Antara Model Teknologi dan Realitas Sistem
Bagian ini mengulas pembelajaran penting dari perancangan dan implementasi fasilitas WtE (PLTSa) yang dibahas dalam paper. Fokusnya tidak hanya pada desain teknis, tetapi pada bagaimana fasilitas beroperasi sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah yang lebih luas.
a. Desain PLTSa sebagai bagian dari sistem, bukan instalasi terpisah
Paper menegaskan bahwa PLTSa harus diposisikan sebagai komponen dalam sistem persampahan kota, bukan proyek teknologi yang berdiri sendiri. Artinya, desain fasilitas harus mempertimbangkan integrasi dengan pemilahan di hulu, logistik pengangkutan, kapasitas landfill eksisting, serta target pengurangan dan daur ulang.
Kegagalan banyak proyek WtE di negara berkembang sering kali bukan karena teknologinya, tetapi karena fasilitas ditempatkan di luar logika sistem, sehingga suplai bahan bakar sampah tidak stabil atau bertabrakan dengan program daur ulang.
b. Kesesuaian kapasitas fasilitas dengan dinamika timbulan sampah
Paper menunjukkan bahwa overdesign kapasitas PLTSa berpotensi menciptakan lock-in system: fasilitas membutuhkan pasokan sampah besar agar tetap ekonomis, sehingga mendorong kota mempertahankan timbulan sampah tinggi. Sebaliknya, kapasitas yang terlalu kecil menyebabkan rendahnya manfaat ekonomi dan energi.
Karena itu, perencanaan kapasitas harus diselaraskan dengan proyeksi jangka panjang kebijakan pengurangan sampah dan pertumbuhan kota, bukan hanya pada kebutuhan energi sesaat.
c. Dimensi sosial, transparansi risiko, dan penerimaan publik
Paper menekankan bahwa keberhasilan PLTSa juga bergantung pada aspek sosial. Persepsi risiko emisi, kekhawatiran kesehatan, dan isu keadilan lingkungan sering memicu resistensi masyarakat. Ketika proses perencanaan tidak transparan atau partisipatif, teknologi mudah dipersepsikan sebagai ancaman.
Pembelajaran penting di sini adalah bahwa desain WtE tidak hanya membutuhkan justifikasi teknis dan ekonomi, tetapi juga legitimasi sosial melalui komunikasi risiko yang terbuka, pelibatan komunitas, dan mekanisme akuntabilitas yang jelas.
5. Tantangan Penerapan Waste-to-Energy di Negara Berkembang: Antara Realitas Teknis, Ekonomi, dan Tata Kelola
Implementasi WtE di negara berkembang tidak bisa dipahami sebagai proses transfer teknologi yang sederhana. Paper menunjukkan bahwa sebagian besar hambatan justru muncul di luar ruang teknis — berada pada wilayah kelembagaan, ekonomi politik, dan konfigurasi sosial yang membentuk ekosistem pengelolaan sampah.
a. Ketidakselarasan antara desain teknologi dan karakteristik sampah lokal
Komposisi sampah di negara berkembang umumnya didominasi fraksi organik basah, kadar air tinggi, dan keberagaman kandungan material yang sulit diprediksi. Paper menjelaskan bahwa kondisi ini sering kali tidak kompatibel dengan spesifikasi teknologi termal yang dirancang berdasarkan asumsi sampah kota di negara maju.
Ketika desain fasilitas tidak disesuaikan dengan profil sampah lokal, WtE berisiko mengalami penurunan kinerja, peningkatan biaya operasi, atau bahkan gagal beroperasi secara berkelanjutan. Ini menggarisbawahi pentingnya adaptasi teknologi, bukan sekadar adopsi.
b. Ketergantungan pada skema pembiayaan besar dan risiko ekonomi jangka panjang
Paper menyoroti bahwa proyek WtE biasanya membutuhkan investasi modal tinggi, periode pengembalian panjang, serta kontrak pasokan sampah dan pembelian listrik jangka menengah-panjang. Dalam konteks fiskal yang terbatas, model pembiayaan seperti ini sering kali menimbulkan risiko finansial bagi pemerintah daerah.
Selain itu, ketidakpastian tarif energi, fluktuasi biaya operasi, serta risiko perubahan kebijakan daur ulang dapat mempengaruhi kelayakan ekonomi proyek. Dengan kata lain, WtE bukan hanya proyek teknologi — ia adalah komitmen ekonomi jangka panjang.
c. Ketegangan antara WtE dan ekosistem daur ulang informal
Di banyak kota negara berkembang, sistem pengumpulan dan pemulihan material bergantung pada jaringan pekerja daur ulang informal. Paper menunjukkan bahwa ketika WtE menyerap fraksi yang sebelumnya menjadi sumber pendapatan pemulung, muncul potensi konflik sosial dan kehilangan mata pencaharian.
Ini menciptakan dilema: WtE dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan residu, tetapi tanpa integrasi sosial, ia berisiko merusak ekosistem ekonomi daur ulang yang telah lama bekerja secara organik.
6. Implikasi WtE terhadap Circular Economy: Antara Pelengkap Sistem dan Potensi Distorsi Transisi
Bagian ini mengembangkan bacaan kritis atas posisi WtE dalam kerangka circular economy. Paper menegaskan bahwa WtE dapat menjadi elemen penting dalam sistem sirkular — namun hanya jika ditempatkan pada posisi yang tepat dalam hierarki pengelolaan material.
a. WtE efektif sebagai instrumen pengelolaan residu, bukan pengganti daur ulang
WtE memiliki fungsi strategis dalam mengelola fraksi residu yang tidak lagi bernilai material. Dalam konteks ini, ia membantu menutup loop akhir siklus material dan mengurangi ketergantungan pada landfill. Namun, paper menekankan bahwa WtE tidak boleh didorong sebagai strategi utama pengurangan sampah.
Ketika WtE diposisikan di atas prioritas recycling dan reuse, circular economy mengalami distorsi: sistem menjadi kembali linear dengan jalur baru bernama “energi dari sampah”.
b. Potensi lock-in struktural terhadap pasokan sampah
Paper mengingatkan bahwa kapasitas WtE yang terlalu besar dapat menciptakan kebutuhan pasokan sampah tetap sebagai bahan bakar, sehingga pemerintah terdorong mempertahankan volume sampah tinggi demi keberlanjutan ekonomi proyek. Ini bertentangan dengan semangat circular economy yang mendorong pengurangan timbulan di hulu.
Karena itu, desain kapasitas harus memperhitungkan target jangka panjang reduksi sampah — bukan sekadar proyeksi timbulan saat ini.
c. WtE sebagai bagian dari strategi transisi hibrid
Paper menyimpulkan bahwa WtE paling relevan ketika dipahami sebagai bagian dari strategi transisi hibrid: ia berperan pada fase di mana sistem pengelolaan sampah masih berkembang menuju tingkat circularity yang lebih matang. Dalam fase ini, WtE membantu mengurangi beban landfill sambil memberi ruang waktu bagi perbaikan pemilahan, pengurangan, dan daur ulang.
Dengan pondasi tata kelola yang tepat, WtE dapat menjadi jembatan — bukan penghalang — menuju sistem circular economy yang lebih kuat.
7. Nilai Tambah Analitis: Membaca Waste-to-Energy sebagai Teknologi Transisi, Bukan Solusi Akhir
Analisis atas posisi WtE dalam circular economy menunjukkan bahwa teknologi ini sebaiknya dipahami sebagai instrumen transisi — sebuah jembatan antara sistem pengelolaan sampah yang masih linear menuju sistem sirkular yang lebih matang. Paper menyediakan dasar teknis dan empiris, sementara pembacaan analitis membantu menempatkan WtE dalam kerangka evolusi sistem, bukan sebagai tujuan akhir kebijakan.
a. WtE sebagai mekanisme stabilisasi sistem pengelolaan sampah
Dalam konteks negara berkembang, WtE berfungsi sebagai penstabil sistem ketika kapasitas pemilahan dan daur ulang belum memadai. Dengan mengalihkan residu yang tidak tertangani ke konversi energi, tekanan terhadap landfill dapat dikurangi, sementara kapasitas tata kelola persampahan diperkuat secara bertahap.
Dengan cara pandang ini, WtE bukan pesaing kebijakan pengurangan dan daur ulang, melainkan penyangga sementara agar sistem tidak runtuh oleh akumulasi residu.
b. WtE sebagai cermin ketegangan antara rasionalitas teknokratis dan realitas sosial
Analisis memperlihatkan bahwa WtE sering berkembang dalam logika teknokratis — efisiensi energi, stabilitas operasi, dan rasionalitas biaya. Namun, realitas sosial di lapangan menghadirkan variabel lain: keberadaan pekerja daur ulang informal, ketimpangan distribusi manfaat ekonomi, serta persepsi risiko lingkungan.
Karena itu, WtE harus dibaca sebagai teknologi yang bekerja di ruang sosial–politik, bukan di ruang teknis yang netral. Keberhasilannya bergantung pada kemampuan memediasi ketegangan tersebut.
c. WtE sebagai bagian dari rekayasa ulang tata kelola material jangka panjang
Nilai strategis WtE terletak pada kemampuannya mendorong pembelajaran kelembagaan: standarisasi komposisi sampah, peningkatan pemilahan, penguatan sistem data, serta integrasi kebijakan energi dan persampahan. Dengan kata lain, WtE dapat memicu pembangunan fondasi tata kelola material yang kelak menjadi prasyarat circular economy yang lebih kuat.
Di sini, WtE dipahami bukan sebagai titik akhir, tetapi sebagai fase rekonfigurasi sistem.
8. Kesimpulan
Waste-to-energy dalam kerangka circular economy menempati posisi yang ambivalen sekaligus strategis. Di satu sisi, teknologi ini memberikan solusi penting bagi pengelolaan residu yang tidak dapat didaur ulang, mengurangi tekanan landfill, dan menyediakan manfaat energi. Di sisi lain, WtE menyimpan risiko struktural: potensi lock-in terhadap pasokan sampah, ketegangan dengan ekosistem daur ulang, serta ketergantungan pada skema pembiayaan jangka panjang.
Paper menunjukkan bahwa efektivitas WtE sangat ditentukan oleh keselarasan antara desain teknologi, karakteristik sampah lokal, kapasitas kelembagaan, dan penerimaan sosial. Dalam konteks negara berkembang, variabel-variabel non-teknis ini sering menjadi faktor pembeda antara proyek yang berfungsi sebagai instrumen transisi dan proyek yang berhenti sebagai instalasi mahal tanpa keberlanjutan operasional.
Dengan demikian, WtE sebaiknya diposisikan sebagai teknologi transisi dalam perjalanan menuju circular economy, bukan sebagai substitusi bagi pengurangan dan daur ulang di hulu. Masa depan WtE akan bergantung pada kemampuan sistem kebijakan untuk menyeimbangkan fungsi pemulihan energi dengan komitmen jangka panjang terhadap pengurangan timbulan sampah, peningkatan daur ulang, dan keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya.
Daftar Pustaka
Rahman, M., & Ghosh, S. K. (2023). Waste-to-Energy Technologies and Thermal Processes in the Circular Economy Framework. Dalam S. K. Ghosh (Ed.), Circular Economy Adoption. Springer Singapore.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change.
IEA. (2022). Waste-to-Energy: Policies, Technologies and Outlook.
UNEP. (2018). Waste-to-Energy: Considerations for Informed Decision-Making.