Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Studi “Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia” (2023) menyoroti bahwa tingkat penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada kontraktor bangunan di Johor masih belum optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kontraktor hanya menerapkan kebijakan K3 secara parsial, terbatas pada proyek besar atau kontrak pemerintah, sementara proyek kecil masih abai terhadap standar keselamatan.
Temuan ini menjadi sangat penting karena konstruksi merupakan sektor berisiko tinggi terhadap kecelakaan dan kematian kerja. Di Malaysia, sebagaimana di Indonesia, konstruksi menyumbang proporsi signifikan dari total kecelakaan kerja nasional. Penelitian ini mengungkap bahwa kurangnya komitmen manajemen, rendahnya pelatihan tenaga kerja, lemahnya pengawasan, serta budaya kerja yang mengabaikan keselamatan menjadi penyebab utama kegagalan penerapan sistem manajemen K3.
Dalam konteks kebijakan publik, hasil studi ini relevan dengan kebutuhan Indonesia untuk memperkuat implementasi K3 di sektor konstruksi yang terus berkembang. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2023, lebih dari 40% kecelakaan kerja di Indonesia terjadi di sektor konstruksi. Meski telah ada regulasi seperti Permenaker No. 9 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3) dan PP No. 50 Tahun 2012, pelaksanaannya di lapangan masih sering bersifat administratif dan belum berorientasi pada perubahan budaya kerja.
Konteks ini sejalan dengan artikel Membedah Mitos Zero Harm: Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi? yang menegaskan bahwa pencapaian target nol kecelakaan (zero harm) hanya bisa diwujudkan jika perusahaan berinvestasi pada pelatihan, supervisi aktif, dan sistem pelaporan yang transparan, bukan sekadar slogan dalam dokumen proyek.
Temuan dari Johor memperlihatkan bahwa tanpa kebijakan publik yang kuat dan pengawasan yang konsisten, keselamatan akan selalu menjadi prioritas kedua di bawah efisiensi biaya dan kecepatan pembangunan. Indonesia dapat mengambil pelajaran langsung dari studi ini untuk memperkuat kebijakan K3 yang berkelanjutan dan berbasis budaya keselamatan (safety culture).
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Implementasi manajemen K3 yang efektif membawa dampak besar terhadap produktivitas, efisiensi proyek, dan reputasi perusahaan. Di Malaysia, kontraktor yang menerapkan sistem K3 dengan baik menunjukkan penurunan tingkat kecelakaan hingga 35% dalam lima tahun terakhir. Dampak sosialnya pun signifikan: meningkatnya kesejahteraan pekerja, kepercayaan masyarakat terhadap industri konstruksi, dan kepastian hukum bagi kontraktor.
Di Indonesia, penerapan K3 yang baik akan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 8 tentang “Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi” serta poin 9 tentang “Industri, Inovasi, dan Infrastruktur.” Keselamatan kerja bukan hanya isu teknis, tetapi bagian dari pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Hambatan
Namun, penelitian Johor mengungkap berbagai hambatan yang serupa dengan yang terjadi di Indonesia. Pertama, kurangnya komitmen manajemen proyek terhadap K3. Banyak kontraktor kecil lebih fokus pada efisiensi biaya ketimbang keselamatan pekerja. Kedua, minimnya pelatihan dan kesadaran pekerja lapangan, di mana sebagian besar tenaga kerja tidak memahami bahaya kerja spesifik. Ketiga, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proyek-proyek non-pemerintah. Keempat, ketidakterpaduan regulasi, karena banyak aturan tumpang tindih antara kementerian tenaga kerja dan kementerian pekerjaan umum.
Kondisi ini tercermin pula dalam artikel Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan, yang menjelaskan bahwa banyak pekerja konstruksi di Indonesia masih menganggap pelatihan keselamatan sebagai formalitas. Kesadaran baru tumbuh setelah terjadi kecelakaan atau sanksi hukum.
Peluang
Peluang besar muncul dari digitalisasi dan kerja sama internasional. Platform daring seperti DiklatKerja kini menyediakan kursus dan pelatihan K3 berbasis e-learning yang dapat diakses secara fleksibel oleh kontraktor di seluruh Indonesia. Digitalisasi pelatihan memungkinkan pelacakan kompetensi, audit daring, dan sistem pelaporan yang lebih cepat.
Selain itu, meningkatnya investasi asing di sektor infrastruktur membuka peluang harmonisasi standar keselamatan dengan praktik internasional seperti ISO 45001:2018. Kolaborasi dengan asosiasi kontraktor dan universitas juga dapat memperluas pengembangan modul pelatihan yang sesuai dengan kondisi lokal Indonesia.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
- Wajibkan integrasi SMK3 dalam seluruh tahapan proyek konstruksi, baik proyek pemerintah maupun swasta. Regulasi harus menuntut adanya rencana K3 yang disertai indikator kinerja keselamatan (safety performance metrics).
- Tingkatkan sistem pelatihan dan sertifikasi nasional untuk pekerja dan manajer konstruksi. Program seperti Pelatihan K3 Umum untuk Pekerja Konstruksi dari DiklatKerja dapat dijadikan model pembelajaran berbasis praktik, bukan hanya teori.
- Perkuat mekanisme audit keselamatan independen. Pemerintah perlu menggandeng lembaga sertifikasi dan auditor eksternal untuk menilai efektivitas implementasi K3 di proyek-proyek besar.
- Berikan insentif fiskal bagi kontraktor yang konsisten menerapkan K3. Misalnya, potongan pajak atau prioritas dalam tender publik bagi perusahaan dengan catatan keselamatan baik.
- Bangun budaya keselamatan dari bawah (bottom-up safety culture). Hal ini bisa dilakukan melalui kampanye publik, pelatihan berjenjang, dan penerapan penghargaan bagi pekerja atau proyek dengan catatan K3 terbaik.
Artikel Menggali Budaya Keselamatan di Proyek Konstruksi Besar menegaskan bahwa budaya keselamatan hanya akan tumbuh jika seluruh aktor—dari manajemen puncak hingga pekerja lapangan—terlibat aktif dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan keselamatan kerja sering gagal bukan karena kurangnya regulasi, melainkan lemahnya penerapan. Jika kebijakan K3 hanya diwujudkan sebagai persyaratan administratif, maka tujuannya tidak akan tercapai. Tanpa pengawasan lapangan dan evaluasi berbasis data, banyak proyek hanya menyiapkan dokumen K3 formalitas untuk memenuhi persyaratan tender.
Selain itu, terdapat risiko bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada proyek besar akan mengabaikan ribuan proyek kecil menengah, padahal di sektor inilah mayoritas kecelakaan terjadi. Jika kebijakan tidak inklusif terhadap semua skala proyek, maka kesenjangan keselamatan akan semakin melebar.
Dari perspektif ekonomi, tanpa insentif yang menarik, kontraktor kecil cenderung menganggap investasi K3 sebagai biaya tambahan. Di sinilah kebijakan publik harus berperan untuk menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan keberlanjutan bisnis.
Penutup
Penelitian tentang praktik manajemen K3 di Johor, Malaysia, memberikan cerminan yang kuat bagi Indonesia. Bahwa keselamatan kerja bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan strategi pembangunan berkelanjutan yang melibatkan manusia sebagai pusatnya. Pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk belajar dari model regional seperti Malaysia, yang telah mulai mengintegrasikan keselamatan ke dalam kontrak proyek, pendidikan teknik, dan sistem audit nasional.
Kebijakan publik yang mendorong penerapan K3 berbasis budaya, pelatihan berkelanjutan, dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi fondasi bagi pembangunan yang aman, produktif, dan berdaya saing global. Dengan dukungan regulasi kuat dan inovasi digital, Indonesia dapat menekan angka kecelakaan kerja dan memperkuat reputasi konstruksi nasional di mata dunia.
Sumber
Abukhashabah, E., Summan, A., & Balkhyour, M. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia. Journal of Social Science and Management, Vol. 18(2).