Mengungkap Potensi Ekonomi Daerah Tertinggal di Banten: Strategi dan Solusi 2015–2020

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah

20 Mei 2025, 08.25

pixabay

Pendahuluan

Pembangunan daerah yang merata menjadi tantangan klasik dalam perencanaan ekonomi Indonesia. Provinsi Banten sebagai salah satu wilayah yang berkembang pesat ternyata menyimpan ironi: beberapa daerahnya masih tergolong tertinggal. Skripsi karya Mega Suci Rahmawati ini mencoba menjawab pertanyaan kunci—apa saja potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dari wilayah tertinggal di Provinsi Banten selama 2015 hingga 2020?

Dengan pendekatan kuantitatif deskriptif, penulis mengombinasikan metode analisis Location Quotient (LQ), Shift Share, dan Tipologi Klassen. Ketiga metode ini digunakan untuk mengukur sektor-sektor unggulan, daya saing sektoral, serta klasifikasi perkembangan ekonomi di tiap daerah.

Metodologi

1. Location Quotient (LQ)

Metode ini digunakan untuk mengetahui sektor ekonomi mana yang menjadi basis (unggulan) dan mana yang bukan. Sektor basis ditunjukkan oleh nilai LQ > 1.

2. Shift Share

Analisis ini membandingkan pertumbuhan sektor di suatu daerah dengan rata-rata pertumbuhan sektor di wilayah yang lebih luas (dalam hal ini Provinsi Banten), untuk mengukur daya saing sektoral.

3. Tipologi Klassen

Klasifikasi pertumbuhan dan kontribusi sektoral dilakukan dalam empat kuadran: sektor maju dan berkembang pesat, sektor maju tetapi tertekan, sektor potensial, dan sektor tertinggal.

Temuan Utama

Ketimpangan PDRB yang Mencolok

Nilai Indeks Williamson rata-rata sebesar 0,93 menunjukkan ketimpangan tinggi antar wilayah di Provinsi Banten. Kota Cilegon menjadi kontributor tertinggi terhadap PDRB per kapita dengan 28%, sementara Kabupaten Pandeglang dan Lebak hanya menyumbang 4%—indikasi kuat akan disparitas ekonomi regional.

Analisis Per Sektor

A. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan – Sektor Unggulan yang Terlupakan

Kabupaten Pandeglang dan Lebak menunjukkan nilai LQ > 5 secara konsisten sepanjang 2015–2020. Dengan kontribusi sektor ini terhadap PDRB sebesar 31,7% untuk Pandeglang dan 25,97% untuk Lebak, potensi ini seharusnya menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan.

B. Transportasi dan Pergudangan – Momentum Baru

Pandeglang dan Lebak mengalami peningkatan dalam sektor transportasi, terbukti dari nilai LQ yang meningkat hingga 1,368 di Lebak dan 1,312 di Pandeglang pada 2020. Hal ini membuka peluang penguatan infrastruktur dan distribusi barang yang sebelumnya terhambat.

C. Sektor Industri – Potensi Tersembunyi yang Belum Tersentuh

Sektor industri pengolahan masih menunjukkan nilai LQ < 1 di Lebak dan Pandeglang, yang artinya belum menjadi sektor basis. Namun, dengan strategi hilirisasi dan industrialisasi berbasis hasil pertanian, sektor ini bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah.

Interpretasi Lanjut

Data menunjukkan adanya korelasi kuat antara rendahnya kontribusi PDRB dan tidak optimalnya pemanfaatan sektor basis. Misalnya, tingginya nilai LQ di sektor pertanian tidak dibarengi dengan kebijakan afirmatif pemerintah dalam membangun industri pengolahan hasil tani di daerah tertinggal.

Sebaliknya, sektor jasa seperti real estate dan informasi komunikasi yang berkembang di kota-kota besar tidak memberikan dampak signifikan ke daerah pedalaman. Ini menunjukkan bahwa polarisasi pembangunan antara pusat dan pinggiran di Banten masih sangat tajam.

Kritik terhadap Kebijakan Pembangunan Daerah

Meskipun otonomi daerah memberikan ruang untuk inovasi dan pengelolaan sumber daya lokal, kebijakan sektoral yang diterapkan seringkali tidak selaras dengan potensi riil di lapangan. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur besar-besaran di kota justru memperdalam ketimpangan dibanding menjembatani jurang pembangunan.

Saran Mega untuk revitalisasi sektor basis dan pemberdayaan sektor non-basis secara proporsional merupakan langkah rasional. Namun, tanpa koordinasi lintas sektor dan dukungan kebijakan fiskal yang progresif, usulan tersebut berisiko menjadi dokumen perencanaan tanpa realisasi.

Dampak Praktis

  1. Bagi Pemerintah Daerah
    Penelitian ini memberikan peta jalan sektor prioritas berdasarkan pendekatan ilmiah. Dengan menargetkan sektor dengan LQ tinggi, efisiensi belanja pembangunan bisa ditingkatkan.

  2. Bagi Investor
    Sektor seperti pertanian, transportasi, dan jasa lainnya menjadi pilihan investasi yang menarik di daerah tertinggal, terutama dengan insentif kebijakan dari pemerintah.

  3. Bagi Akademisi
    Penelitian ini memperkuat pentingnya kombinasi metode LQ, Shift Share, dan Tipologi Klassen dalam kajian ekonomi regional.

Studi Perbandingan

Penelitian sejenis oleh Sahiruddin (2020) di Kabupaten Bone juga menemukan bahwa sektor pertanian menjadi tulang punggung daerah tertinggal di Indonesia timur. Sementara itu, studi oleh Wati & Arifin (2019) di Pekalongan mengonfirmasi bahwa transformasi ekonomi baru dapat terjadi jika sektor basis didorong menjadi sektor industri bernilai tambah.

Dengan demikian, temuan Mega memiliki relevansi nasional dalam pengembangan daerah tertinggal berbasis potensi sektoral.

Tantangan dan Rekomendasi

Tantangan:

  • Infrastruktur minim di wilayah basis pertanian.

  • Kurangnya intervensi industrialisasi berbasis lokal.

  • Keterbatasan modal dan SDM di daerah tertinggal.

Rekomendasi:

  • Revitalisasi sektor pertanian dengan agroindustri.

  • Konektivitas transportasi sebagai pendorong pertumbuhan sektoral.

  • Program pelatihan SDM lokal untuk pengelolaan usaha kecil menengah di sektor unggulan.

Kesimpulan

Penelitian ini memberikan wawasan strategis bahwa pengembangan daerah tertinggal bukan semata soal bantuan, melainkan soal pengenalan potensi, pemetaan sektoral, dan penguatan kapasitas lokal. Mega Suci Rahmawati berhasil menunjukkan bahwa meskipun ketimpangan di Provinsi Banten cukup tajam, solusi berbasis data dan kebijakan berbasis wilayah (place-based development) dapat menjadi jalan keluar.

Sumber

Mega Suci Rahmawati. (2022). Analisis Potensi Ekonomi Daerah Tertinggal di Provinsi Banten Tahun 2015–2020. Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.