Proyek infrastruktur berskala besar seperti jembatan penghubung, terowongan bawah laut, dan koneksi antarnegara sering dianggap sebagai lambang kemajuan suatu bangsa. Namun, di balik kemegahannya, proyek-proyek ini mengandung risiko besar yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat menggagalkan proyek, membebani keuangan negara, hingga merusak lingkungan. Itulah mengapa strategi alokasi risiko menjadi sangat penting.
Laporan “Risk Allocation in Mega-Projects in Denmark” menyajikan pembelajaran nyata dari tiga proyek raksasa Denmark: Storebælt Fixed Link, Øresund Fixed Link, dan Fehmarnbelt Fixed Link. Ketiganya tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur penghubung, tapi juga sebagai studi laboratorium dalam tata kelola risiko dan inovasi konstruksi.
Studi Kasus 1: Storebælt Fixed Link – Pembelajaran dari Risiko Teknis
Storebælt Fixed Link adalah proyek besar yang menghubungkan dua pulau utama Denmark, Zealand dan Funen. Dibangun sejak akhir 1980-an dan selesai sekitar satu dekade kemudian, proyek ini menggunakan terowongan bawah laut untuk jalur kereta dan jembatan besar untuk jalur mobil.
Namun, proyek ini menghadapi berbagai tantangan teknis serius. Salah satu risiko terbesar muncul saat proses pengeboran terowongan menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM). Mesin ini mengalami kerusakan fatal karena kualitas manufaktur yang buruk. Tak lama setelah itu, kebakaran besar terjadi di dalam TBM, menyebabkan keterlambatan pembangunan selama sembilan bulan. Air laut sempat membanjiri terowongan, dan biaya tambahan akibat kesalahan operasional meningkat drastis.
Kesalahan utama terletak pada keputusan desain sejak awal. Meskipun studi teknis awal menunjukkan bahwa immersed tube tunnel lebih murah dan berisiko rendah, keputusan politik dan tekanan lingkungan membuat proyek memilih metode bored tunnel yang ternyata lebih rentan. Pelajaran penting dari proyek ini adalah bahwa risiko harus dikelola dengan dasar teknis dan bukan hanya alasan politis atau emosional.
Studi Kasus 2: Øresund Fixed Link – Bukti Keberhasilan Alokasi Risiko Cerdas
Beberapa tahun setelah Storebælt, Denmark kembali membangun infrastruktur besar: Øresund Fixed Link yang menghubungkan Copenhagen di Denmark dan Malmö di Swedia. Proyek ini terdiri dari kombinasi jembatan, pulau buatan, dan terowongan terendam. Berbeda dengan Storebælt, proyek ini berhasil diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran.
Keberhasilan Øresund tidak datang begitu saja. Salah satu kunci utama adalah perubahan strategi dalam mengalokasikan risiko. Pemilik proyek tidak ikut campur dalam desain teknis mendetail. Mereka lebih fokus pada tujuan akhir dan menyerahkan desain dan konstruksi sepenuhnya kepada kontraktor. Sistem kontrak yang digunakan adalah "design and build" dengan skema pembayaran berdasarkan hasil, bukan volume pekerjaan.
Pendekatan ini memberi ruang inovasi kepada kontraktor dan menurunkan potensi konflik. Risiko-risiko seperti geoteknik, kesalahan desain, dan keterlambatan lebih bisa dikelola karena tanggung jawabnya jelas. Bahkan risiko lingkungan—seperti tumpahan sedimen saat pengerukan laut—diatasi melalui sistem kontrol yang ketat sejak awal.
Hasilnya, proyek ini hampir tidak mengalami sengketa besar, dan kualitas konstruksi tercapai di atas standar. Model Øresund menjadi tolok ukur internasional dalam tata kelola risiko untuk proyek infrastruktur.
Studi Kasus 3: Fehmarnbelt Fixed Link – Evolusi Strategi Risiko Menuju Masa Depan
Fehmarnbelt Fixed Link adalah proyek yang sedang dibangun untuk menghubungkan Denmark dan Jerman. Jika selesai sesuai rencana, terowongan bawah laut ini akan menjadi yang terpanjang di dunia. Biaya yang dianggarkan sangat besar, dan proyek ini melibatkan teknologi konstruksi mutakhir.
Berbeda dari dua proyek sebelumnya, pendekatan dalam Fehmarnbelt lebih matang. Proses pengadaan proyek menggunakan metode competitive dialogue, yaitu serangkaian diskusi strategis antara pemilik proyek dan calon kontraktor sebelum kontrak ditandatangani. Tujuannya adalah agar risiko-risiko besar seperti geoteknik, metode kerja bawah laut, dan logistik bisa dibahas dan disepakati bersama sejak awal.
Proyek ini juga memperkenalkan sistem insentif keuangan berbasis kinerja. Misalnya, kontraktor yang mampu mengurangi volume pengerukan laut tanpa mengorbankan hasil konstruksi akan menerima bonus. Dengan cara ini, risiko lingkungan tidak hanya ditangani sebagai beban, tetapi sebagai peluang untuk efisiensi.
Meskipun proyek ini masih dalam tahap pelaksanaan, pendekatan yang digunakan menunjukkan bahwa strategi manajemen risiko terus berevolusi ke arah yang lebih kolaboratif dan terukur.
Prinsip-Prinsip Utama Alokasi Risiko Berdasarkan Laporan
Dari ketiga proyek di atas, terdapat beberapa prinsip utama yang membedakan proyek sukses dengan proyek yang penuh masalah:
- Berikan risiko kepada pihak yang paling mampu mengelolanya.
Risiko geoteknik, misalnya, sebaiknya dipegang oleh pihak yang memiliki data dan teknologi untuk menanganinya—biasanya kontraktor, bukan pemilik proyek. - Jangan campurkan tanggung jawab desain dan pengawasan.
Desain yang dikendalikan pemilik sering menimbulkan konflik saat terjadi kesalahan. Dengan pendekatan “design and build”, kontraktor menjadi pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab atas hasil. - Gunakan metode pengadaan berbasis dialog.
Competitive dialogue memberikan ruang terbuka bagi pemilik dan kontraktor untuk memahami risiko masing-masing sebelum tanda tangan kontrak. - Spesifikasi berbasis hasil, bukan input.
Artinya, kontrak seharusnya menyatakan apa yang diinginkan (misalnya, terowongan dengan daya tahan 120 tahun), bukan bagaimana cara membangunnya. - Insentif lebih efektif daripada penalti.
Kontraktor akan lebih bersemangat jika diberikan bonus untuk inovasi atau efisiensi, ketimbang hanya diancam penalti atas keterlambatan.
Kritik dan Evaluasi Laporan
Laporan ini sangat kuat dalam memberikan wawasan praktis dari proyek nyata. Namun, terdapat beberapa area yang kurang dibahas secara mendalam. Misalnya, dampak ekonomi jangka panjang dari proyek-proyek tersebut terhadap masyarakat sekitar atau terhadap pendapatan negara tidak dianalisis secara komprehensif.
Selain itu, tidak banyak ruang yang diberikan untuk membahas perspektif pengguna akhir. Padahal, dalam proyek infrastruktur publik, pengguna jalan, pelaku logistik, dan komunitas lokal sering kali terkena dampak langsung dari keberhasilan atau kegagalan proyek.
Namun demikian, laporan ini tetap sangat layak dijadikan acuan oleh pembuat kebijakan, kontraktor besar, maupun lembaga pengelola proyek publik di negara-negara berkembang.
Relevansi Bagi Indonesia dan Negara Berkembang
Indonesia sedang giat-giatnya membangun infrastruktur besar, mulai dari ibu kota baru, jalan tol Trans-Sumatra, hingga proyek kereta cepat. Strategi yang digunakan Denmark dalam mengelola risiko dapat dijadikan cermin.
Beberapa poin yang bisa diadopsi:
- Jangan memecah proyek menjadi paket kecil yang meningkatkan risiko koordinasi.
- Gunakan pendekatan “design and build” untuk mendorong efisiensi.
- Terapkan dialog terbuka antara pemerintah dan calon kontraktor dalam tahap tender.
- Jadikan spesifikasi berbasis performa untuk mendorong inovasi.
- Kembangkan skema insentif berbasis keberhasilan proyek.
Kesimpulan: Alokasi Risiko adalah Seni Menyeimbangkan Kepentingan
Dari laporan ini, kita belajar bahwa risiko dalam proyek besar tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikelola. Kunci keberhasilannya adalah menempatkan risiko pada tangan yang tepat. Denmark, melalui pengalaman panjang dalam proyek-proyek seperti Storebælt, Øresund, dan Fehmarnbelt, menunjukkan bahwa pendekatan cerdas terhadap alokasi risiko mampu menurunkan konflik, meningkatkan efisiensi, dan menjamin keberlanjutan proyek jangka panjang.
Saran SEO dan Publikasi Digital
Untuk menjangkau lebih banyak pembaca di mesin pencari:
- Gunakan kata kunci seperti “manajemen risiko proyek infrastruktur”, “strategi risiko konstruksi Denmark”, “design and build”, dan “pengadaan proyek publik”.
- Kaitkan artikel ini dengan konten tentang mega proyek nasional, regulasi tender, dan manajemen proyek konstruksi.
- Tambahkan infografik seperti skema alur risiko atau timeline proyek Øresund dan Fehmarnbelt untuk memperkaya pengalaman visual pembaca.
Sumber Artikel Asli
Vincentsen, Leif & Andersen, Kim Smedegaard. 2018. Risk Allocation in Mega-Projects in Denmark. Working Group Paper, OECD/International Transport Forum, Paris.