Pendahuluan
Korupsi dan upaya perdamaian sering menjadi dua hal yang bertolak belakang, tetapi dalam praktiknya, keduanya kerap bersinggungan. Dalam konteks negara pasca-konflik seperti Sierra Leone, praktik korupsi justru menyusupi proyek-proyek yang bertujuan membangun perdamaian berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Hajaratu Sama (2021) ini memfokuskan pada United Nations Peacebuilding Fund (UNPBF), yang sejak 2007 telah menggelontorkan lebih dari $57 juta untuk berbagai proyek rekonstruksi dan penguatan kapasitas institusional di negara tersebut.
Dengan menganalisis dua proyek utama UNPBF, penelitian ini membongkar bagaimana korupsi terjadi di tingkat formal dan informal, melibatkan aparat hukum, pejabat lokal, dan bahkan tokoh masyarakat seperti chiefs dan mammy queens. Penelitian ini tidak hanya menjadi cermin realitas Sierra Leone, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang rapuhnya pendekatan liberal peacebuilding jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat.
Latar Belakang dan Konteks Penelitian
Sierra Leone mengalami konflik sipil selama lebih dari satu dekade (1991–2002) yang mengakibatkan lebih dari 200.000 kematian dan kehancuran masif. Salah satu penyebab utamanya adalah korupsi sistemik, kolusi politik, dan ketimpangan distribusi sumber daya (Lucey & Kumalo, 2018). Pasca-konflik, negara ini menjadi salah satu penerima dana UNPBF terbesar di Afrika.
Proyek yang dianalisis dalam studi ini:
- Moyamba dan Pujehun Districts
Fokus: Mitigasi konflik berbasis sumber daya lokal dan peningkatan ketahanan masyarakat. - Tonkolili dan Kenema Districts
Fokus: Pemberdayaan pemuda berisiko dalam konteks kekerasan dan gang.
Kerangka Teoritis: Korupsi dalam Perspektif Pasca-Konflik
Korupsi dalam situasi pasca-konflik didefinisikan sebagai kombinasi antara:
- Korupsi konvensional: suap, nepotisme, penggelapan
- Korupsi institusional: penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik
- Korupsi sistemik: normalisasi korupsi sebagai bagian dari praktik sosial
Dalam konteks liberal peacebuilding, proyek seperti UNPBF yang menitikberatkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan pasar bebas sering kali gagal menangkal praktik korupsi karena:
- Ketergantungan pada aktor lokal yang tidak akuntabel
- Minimnya pengawasan dan evaluasi independen
- Lemahnya institusi penegakan hukum di tingkat nasional
Temuan Utama: Pola dan Mekanisme Korupsi dalam Proyek UNPBF
1. Korupsi dalam Rekrutmen dan Registrasi Penerima Manfaat
- Pemalsuan data dan penggantian nama penerima bantuan dengan keluarga atau kerabat pejabat lokal.
- Di Tonkolili, ditemukan bahwa mayoritas dari 30 nama yang diajukan tidak memenuhi kriteria, bahkan ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap.
- Seorang responden menyebutkan, "Yang daftar bukan pemuda pengangguran, tapi anak-anak aparat yang sudah kerja tetap" (R3, 2021).
2. Bribery dan Perlindungan dari Hukum
- Praktik suap ke polisi agar pelaku korupsi tidak ditindak. Petugas hukum justru menjadi pelindung, bukan penegak keadilan.
- "Kami tahu siapa yang makan uang proyek. Tapi mereka kasih 'uang damai' ke polisi jadi aman-aman saja," (R4, 2021).
3. Korupsi dalam Lembaga Yudisial
- Proses hukum lambat dan tidak transparan. Kasus-kasus korupsi UNPBF yang dilaporkan ke pengadilan tidak diproses atau mandek bertahun-tahun.
- Seorang pejabat proyek mengatakan, "Kami sudah lapor ke pengadilan sejak tahun lalu, sampai sekarang tidak ada kabar" (R9, 2021).
4. Nepotisme dan Favouritism
- Para chiefs dan mammy queens secara aktif mencantumkan keluarga mereka sebagai penerima manfaat tanpa seleksi yang sah.
- "Mereka isi daftar dengan anak-anak sendiri, lalu bilang itu 'korban perang'," ungkap salah satu informan lokal (R2, 2021).
5. Duplikasi Penerima Bantuan
- Terjadi pendaftaran ganda di dua lokasi berbeda. Hal ini membuat anggaran tidak cukup untuk semua calon penerima.
- “Ada yang daftar di dua tempat dan terima dua kali, sedangkan kami yang benar-benar butuh tidak dapat apa-apa,” (R3, 2021).
Normalisasi dan Denial: Hambatan Utama Penanganan Korupsi
Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi dalam proyek UNPBF bukan sekadar deviasi personal, melainkan telah terinstitusionalisasi dan dinormalisasi dalam masyarakat. Ironisnya, banyak pejabat lokal dan pelaksana proyek justru menyangkal keberadaan korupsi atau menganggapnya tidak signifikan.
Salah satu mammy queen bahkan mengatakan, "Saya tidak melihat adanya penyimpangan. Semua sesuai prosedur" (R13, 2021). Sikap denial ini memperlihatkan pentingnya intervensi yang tidak hanya struktural, tetapi juga kultural.
Studi Banding dan Konteks Global
Temuan dari Sierra Leone sejalan dengan kondisi di negara pasca-konflik lainnya:
- Guatemala: sistem yudisial pasca-perang sangat korup, menghambat implementasi program perdamaian (Rose-Ackerman, 2008).
- Sudan Selatan: aparat hukum menjadi bagian dari korupsi struktural, memungut suap untuk setiap layanan (The Sentry, 2015).
- Nepal: patronase digunakan untuk menyatukan faksi politik, walau berdampak buruk jangka panjang (Jarvis, 2020).
Rekomendasi Strategis: Reformasi di Semua Tingkat
1. Penguatan Penegakan Hukum
- Pelatihan etika dan profesionalisme untuk polisi dan hakim.
- Sanksi tegas terhadap aparat yang menerima suap.
2. Reformasi Tata Kelola Proyek
- Digitalisasi sistem registrasi dan verifikasi penerima manfaat.
- Audit independen dan publikasi hasil audit secara transparan.
3. Perubahan Budaya Sosial
- Edukasi anti-korupsi berbasis masyarakat.
- Keterlibatan pemuda dan LSM dalam pengawasan sosial.
4. Reformasi Struktural dalam UNPBF
- Pembentukan unit antikorupsi internal dengan wewenang penuh.
- Peninjauan ulang pendekatan top-down dalam peacebuilding, menggantinya dengan partisipasi lokal inklusif.
Kesimpulan
Korupsi dalam proyek perdamaian bukan hanya merusak proses pembangunan, tetapi juga memperpanjang potensi konflik dan ketidakstabilan sosial. Studi kasus UNPBF di Sierra Leone memperlihatkan bahwa alokasi dana yang besar tanpa sistem pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan bentuk baru dari penindasan dan ketidakadilan.
Jika tidak ada transformasi mendasar dalam pendekatan liberal peacebuilding, proyek-proyek serupa akan terus melestarikan korupsi atas nama pembangunan. Oleh karena itu, solusi bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga politis dan kultural: mendorong akuntabilitas, menumbuhkan partisipasi lokal yang kritis, dan memutus mata rantai patronase.
Sumber asli:
Sama, H. (2021). Post-Conflict Corruption and Peacebuilding: The Case of the UN Peacebuilding Fund in Sierra Leone. International Institute of Social Studies, The Hague.