Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan serta Pengentasan Kemiskinan: Pendekatan Sistem dan Tantangan Kebijakan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

17 Desember 2025, 18.52

1. Pendahuluan: SCP dan Kemiskinan sebagai Masalah Sistemik Pembangunan

Diskursus Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan sering ditempatkan dalam kerangka lingkungan semata, seolah-olah tujuan utamanya adalah menekan dampak ekologis dari aktivitas ekonomi. Pendekatan ini penting, tetapi tidak lengkap. Dalam konteks negara berkembang, tantangan terbesar pembangunan justru terletak pada bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa memperparah degradasi lingkungan dan ketimpangan sosial. Di sinilah hubungan antara SCP dan pengentasan kemiskinan menjadi krusial.

Kemiskinan dan kerusakan lingkungan kerap saling memperkuat. Masyarakat miskin cenderung bergantung langsung pada sumber daya alam dengan pilihan terbatas, sementara degradasi lingkungan mempersempit peluang ekonomi mereka. Jika SCP dipahami hanya sebagai pengurangan konsumsi atau pembatasan produksi, ia berisiko dipersepsikan sebagai hambatan pembangunan. Padahal, esensi SCP justru terletak pada perubahan kualitas pertumbuhan, bukan penurunan kesejahteraan.

Artikel ini membahas gagasan utama dari paper “Sustainable Consumption and Production and Poverty Alleviation”, yang menempatkan SCP dalam kerangka sistem pembangunan yang lebih luas. Pendekatan ini menolak dikotomi palsu antara keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan, serta menekankan pentingnya life-cycle thinking dan pendekatan sistem dalam perumusan kebijakan.

Dengan sudut pandang tersebut, pembahasan diarahkan untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana SCP dapat dirancang agar tidak hanya mengurangi tekanan lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi, meningkatkan produktivitas, dan memperkuat ketahanan kelompok rentan. Fokusnya bukan pada solusi instan, melainkan pada desain kebijakan jangka panjang yang mampu mengelola trade-off pembangunan secara lebih adil.

 

2. Mengurai Hubungan SCP dan Pengentasan Kemiskinan: Dari Trade-off ke Sinergi

Hubungan antara SCP dan pengentasan kemiskinan sering dibingkai sebagai trade-off. Pengurangan konsumsi dianggap menghambat pertumbuhan, sementara peningkatan produksi dipersepsikan memperburuk dampak lingkungan. Kerangka berpikir ini terlalu sempit dan mengabaikan dinamika sistem ekonomi yang lebih kompleks.

Pendekatan SCP justru membuka peluang untuk menciptakan sinergi. Dengan meningkatkan efisiensi sumber daya, menekan pemborosan, dan memperpanjang siklus hidup produk, ekonomi dapat menghasilkan nilai tambah lebih besar tanpa eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Dalam konteks masyarakat berpendapatan rendah, efisiensi ini berpotensi menurunkan biaya hidup, memperluas akses terhadap barang dan jasa, serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor berbasis perbaikan, daur ulang, dan layanan lokal.

Namun sinergi ini tidak muncul secara otomatis. Tanpa intervensi kebijakan, keuntungan dari SCP cenderung terkonsentrasi pada pelaku ekonomi yang sudah kuat. Kelompok miskin dapat tertinggal atau bahkan terdorong keluar dari sistem jika transisi tidak dirancang secara inklusif. Oleh karena itu, SCP perlu dipahami sebagai proses transformasi sosial-ekonomi, bukan sekadar agenda teknis lingkungan.

Kunci dari transformasi ini adalah pendekatan sistem. Kebijakan SCP yang efektif harus mempertimbangkan rantai nilai secara menyeluruh, dari produksi hingga konsumsi, serta dampaknya terhadap pendapatan, akses pasar, dan distribusi manfaat. Dengan cara ini, pengentasan kemiskinan tidak diposisikan sebagai tujuan terpisah, tetapi sebagai bagian integral dari desain SCP.

Pendekatan ini menuntut perubahan cara pandang kebijakan publik. Alih-alih memilih antara pertumbuhan atau keberlanjutan, pembuat kebijakan dihadapkan pada tantangan untuk merancang pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. SCP, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai alat untuk mengelola kompleksitas pembangunan, bukan sebagai batasan normatif yang kaku.

 

3. Life-Cycle Thinking: Memperluas Horizon Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Salah satu kontribusi penting dalam pendekatan SCP adalah penggunaan life-cycle thinking, yaitu cara pandang yang menilai dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan sepanjang siklus hidup produk dan jasa. Pendekatan ini penting karena banyak kebijakan pengentasan kemiskinan cenderung berfokus pada satu tahap saja—misalnya penciptaan lapangan kerja di produksi—tanpa mempertimbangkan dampak lanjutan pada distribusi, konsumsi, dan pembuangan.

Dalam konteks pengentasan kemiskinan, life-cycle thinking membantu mengidentifikasi di mana peluang nilai tambah sebenarnya tercipta dan siapa yang menikmatinya. Banyak kelompok miskin terlibat pada tahap-tahap bernilai rendah dalam rantai nilai, seperti ekstraksi bahan mentah atau pekerjaan informal berupah rendah. Tanpa intervensi kebijakan, SCP berisiko hanya meningkatkan efisiensi di hulu dan hilir tanpa memperbaiki posisi kelompok rentan dalam sistem ekonomi.

Pendekatan siklus hidup juga mengungkap biaya tersembunyi yang sering ditanggung kelompok miskin. Produk murah yang dihasilkan melalui proses tidak berkelanjutan mungkin menurunkan harga konsumsi jangka pendek, tetapi menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan yang justru memperburuk kemiskinan dalam jangka panjang. Dengan membaca keseluruhan siklus, kebijakan dapat dirancang untuk meminimalkan beban ini sekaligus membuka peluang ekonomi yang lebih stabil.

Implikasinya bagi kebijakan cukup signifikan. Program pengentasan kemiskinan yang terintegrasi dengan SCP perlu mendorong diversifikasi aktivitas ekonomi di sepanjang rantai nilai—misalnya melalui penguatan usaha kecil di bidang perbaikan, daur ulang, dan layanan berbasis lokal. Aktivitas-aktivitas ini relatif padat karya, berbiaya masuk rendah, dan memiliki potensi dampak sosial yang luas jika didukung secara tepat.

 

4. Peran Negara dan Pasar dalam Mewujudkan SCP yang Inklusif

Mewujudkan SCP yang berkontribusi pada pengentasan kemiskinan tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Pasar cenderung merespons insentif jangka pendek dan tidak selalu memperhitungkan distribusi manfaat. Oleh karena itu, peran negara menjadi krusial dalam membentuk arah dan keadilan transisi menuju SCP.

Peran pertama negara adalah sebagai perancang kerangka kebijakan. Regulasi, standar, dan insentif perlu dirancang agar mendorong praktik berkelanjutan sekaligus membuka akses bagi kelompok berpendapatan rendah. Tanpa kerangka ini, SCP berisiko menjadi agenda eksklusif yang hanya dapat diadopsi oleh pelaku ekonomi bermodal besar.

Peran kedua adalah fasilitasi pasar yang inklusif. Negara dapat berperan dalam mengurangi hambatan masuk, menyediakan dukungan kapasitas, dan memastikan akses pembiayaan bagi usaha kecil dan informal yang terlibat dalam praktik SCP. Dengan cara ini, transisi menuju SCP tidak hanya mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga memperluas basis ekonomi masyarakat miskin.

Di sisi lain, pasar tetap memiliki peran penting sebagai penggerak inovasi dan efisiensi. Tantangannya adalah menyelaraskan logika pasar dengan tujuan sosial dan lingkungan. Instrumen kebijakan yang cerdas—seperti pengadaan publik berkelanjutan atau skema insentif berbasis kinerja—dapat menjembatani kepentingan ini tanpa mematikan dinamika ekonomi.

Keseimbangan antara peran negara dan pasar inilah yang menentukan apakah SCP menjadi alat pengentasan kemiskinan atau justru memperkuat ketimpangan. Tanpa intervensi yang tepat, manfaat SCP cenderung terakumulasi pada kelompok yang sudah memiliki akses dan kapasitas. Dengan desain kebijakan yang inklusif, SCP justru dapat menjadi sarana untuk memperluas kesempatan ekonomi dan meningkatkan ketahanan sosial.

 

5. Tantangan Implementasi SCP dalam Konteks Negara Berkembang

Meskipun menawarkan potensi sinergi antara keberlanjutan dan pengentasan kemiskinan, implementasi SCP di negara berkembang menghadapi tantangan yang khas. Tantangan pertama adalah keterbatasan kapasitas institusional. Banyak kebijakan SCP membutuhkan koordinasi lintas sektor dan lintas level pemerintahan, sementara struktur birokrasi sering terfragmentasi dan bekerja dalam logika sektoral yang kaku.

Tantangan kedua berkaitan dengan prioritas pembangunan jangka pendek. Tekanan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan menjaga stabilitas ekonomi sering membuat kebijakan berorientasi jangka panjang—seperti SCP—dipandang kurang mendesak. Dalam situasi ini, keberlanjutan mudah dikorbankan demi pertumbuhan cepat, meskipun dampak lingkungannya justru memperbesar biaya sosial di masa depan.

Masalah lain adalah ketimpangan akses terhadap teknologi dan pembiayaan. Praktik SCP yang lebih efisien sering memerlukan investasi awal, sementara kelompok miskin dan usaha kecil memiliki akses terbatas terhadap modal. Tanpa mekanisme pembiayaan yang inklusif, SCP berisiko memperlebar kesenjangan, karena hanya dapat diadopsi oleh aktor yang sudah relatif kuat.

Selain itu, terdapat tantangan persepsi publik. SCP kerap dipahami sebagai pembatas konsumsi atau kenaikan biaya hidup. Jika kebijakan tidak dirancang dengan komunikasi yang tepat dan manfaat yang nyata, resistensi sosial dapat muncul. Dalam konteks ini, keberhasilan SCP sangat bergantung pada kemampuan kebijakan untuk menunjukkan manfaat langsung bagi kesejahteraan, bukan hanya tujuan lingkungan yang abstrak.

Menghadapi berbagai tantangan tersebut, pendekatan bertahap dan kontekstual menjadi kunci. SCP tidak dapat diterapkan sebagai paket kebijakan seragam, melainkan sebagai proses adaptif yang belajar dari praktik lokal dan kapasitas yang tersedia.

 

6. Kesimpulan Analitis: SCP sebagai Strategi Pembangunan Inklusif Jangka Panjang

Pembahasan ini menegaskan bahwa Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan tidak bertentangan dengan agenda pengentasan kemiskinan. Sebaliknya, jika dirancang dengan pendekatan sistem dan keadilan sosial, SCP dapat menjadi strategi pembangunan inklusif yang mengelola trade-off antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Kunci keberhasilan terletak pada pergeseran cara pandang kebijakan. SCP tidak boleh dipahami sebagai pengurangan semata, tetapi sebagai upaya meningkatkan kualitas pertumbuhan—lebih efisien, lebih adil, dan lebih tahan terhadap guncangan lingkungan. Life-cycle thinking membantu memastikan bahwa manfaat dan biaya pembangunan didistribusikan secara lebih merata sepanjang rantai nilai.

Artikel ini juga menekankan pentingnya peran negara dalam mengarahkan transisi. Pasar memiliki kapasitas untuk berinovasi, tetapi tanpa kerangka kebijakan yang jelas, inovasi tersebut tidak selalu berpihak pada kelompok rentan. SCP yang inklusif menuntut negara bertindak sebagai arsitek kebijakan jangka panjang, bukan sekadar regulator reaktif.

Pada akhirnya, SCP menantang paradigma pembangunan konvensional yang memisahkan isu lingkungan dan kemiskinan. Dalam dunia dengan keterbatasan sumber daya dan ketimpangan yang persisten, pendekatan sistem seperti SCP menawarkan jalan untuk mengelola kompleksitas tersebut secara lebih rasional. Keberhasilan tidak diukur dari seberapa cepat perubahan terjadi, tetapi dari sejauh mana perubahan tersebut memperkuat kesejahteraan manusia tanpa melampaui batas ekologis.

 

Daftar Pustaka

United Nations Environment Programme. (2011). Sustainable Consumption and Production and Poverty Alleviation. UNEP.

United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations.