Teknik Struktur

Jembatan Brawijaya

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Jembatan Brawijaya adalah sebuah jembatan yang membentang di atas Sungai Brantas dan merupakan salah jembatan untuk menghubungkan daerah timur sungai dan barat sungai sebagai sarana untuk mengurangi kemacetan dan menggantikan fugsi dari Jembatan Lama Kediri. Jembatan ini menghubungkan dua kecamatan di Kota Kediri, yakni Kecamatan Kota dan Kecamatan Mojoroto.

Kondisi
Jembatan Brawijaya dibangun di sebelah Jembatan Brug Over Den Brantas Te Kediri atau sering disebut dengan Jembatan Lama Kediri yang telah berusia 150 tahun sejak 18 Maret 1869.[1] Kini Jembatan Brawijaya dijadikan salah satu ikon Kota Kediri. Di bawah Jembatan Brawijaya dibangun taman kota yang diberi nama Taman Brantas.[2]

Sejak 24 Desember 2018, Jembatan Brawijaya mulai mengambil alih fungsi dari Jembatan Lama Kediri yang letaknya hanya beberapa meter di sisi utara Jembatan Lama. Jembatan Brawijaya memang sejak awal dibangun untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas di Jembatan Lama yang tergolong sempit. Proses pengerjaan Jembatan Brawijaya juga sempat mangkrak beberapa tahun akibat kendala biaya dan kasus korupsi hingga akhirnya diresmikan oleh Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar pada 18 Maret 2019 atau bertepatan dengan 150 tahun sejak dibukanya Jembatan Lama Kediri.

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Jembatan Brawijaya

Teknik Struktur

Helena Sky Bridge

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Helena Sky Bridge atau dalam bahasa Indonesia Jembatan Langit Helena adalah sebuah jembatan yang tergantung di lereng pegunungan karst Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jembatan ini dibangun dan dijadikan objek wisata pada tahun 2016. Jembatan ini memiliki panjang 50 meter (160 ft) dan berada di ketinggian 100 meter (330 ft) di atas permukaan laut dan melintas tepat di atas penangkaran kupu-kupu yang berukuran kurang lebih 7.000 meter persegi. Objek wisata ini memberikan nuansa tantangan untuk berjalan menapaki jembatan yang panjang dan tinggi seraya menikmati indahnya pemandangan alam sekitar berupa tebing karst, penangkaran kupu-kupu, desa. Objek wisata ini sangat cocok bagi wisatawan petualangan dan pemburu spot-spot menarik. Lokasi wisata ini memiliki 247 jenis kupu-kupu, salah satunya adalah kupu-kupu yang dilindungi, yaitu spesies Kupu-Kupu Raja (Troides Helena) yang namanya diambil menjadi nama jembatan ini.

Helena Sky Bridge masuk pada kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung. Objek wisata ini ramai dikunjungi oleh wisatawan, utamanya kaum milenial dan instagramer sejak selesai dibangunnya pada tahun 2017. Daya tarik objek wisata ini adalah menghadirkan spot-spot menarik untuk latar swafoto pada sebuah jembatan. Jembatan ini tepat berada di atas Taman Penangkaran Kupu-Kupu Bantimurung, di sisi belakangnya merupakan tebing karst Pegunungan Bantimurung, dan di sisi depannya merupakan pemandangan terbuka untuk melihat pemandangan luas dari kejauhan.

Untuk menaiki Helena Sky Bridge, wisatawan diharuskan tracking sejauh 200 meter dari loket pembelian karcis menuju puncak menara Helena Sky Bridge. Wisatawan juga diharuskan antre karena jembatan ini dibatasi 5 orang secara bersamaan sekali naik. Hal tersebut sesuai standar prosedur dan pengamanan bobot maksimal. Wisatawan akan dilengkapi dengan perlengkapan keamanan yang standar, mulai helm, dan webbing yang cukup lengkap. Dari atas jembatan ini wisatawan bisa melihat indahnya kerajaan kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Tak jauh dari sana pun terlihat kubah raksasa penangkaran kupu-kupu yang menjadi ikon Bantimurung. Keberadaan gunung karst menambah indah latar foto di atasnya. Alat-alat pengaman pun seolah menjadi properti apik untuk berfoto.

Sejarah

Sejarah keberadaan Helena Sky Bridge pada awalnya hanyalah sebuah jembatan biasa dan namanya pun belum seperti saat ini. Jembatan biasa ini digunakan untuk akses pembersihan dome kupu-kupu yang berisi penangkaran kupu-kupu dan pakannya yang ditanam di dalam dome tersebut. Pada tahun 2016, jembatan biasa ini pun dibuat lebih menarik guna menjadi objek wisata. Akhirnya pada tahun 2017, jembatan ini rampung dan mulai beroperasi sebagai objek wisata di bawah pengelolaan kerjasama antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros dan Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Keberadaan Helena Sky Bridge ini membuat jumlah wisatawan semakin meningkat. Wisatawan yang berkunjung, berfoto, dan teredukasi tentang kupu-kupu. Tak hanya wisatawan domestik, wisatawan mancanegara pun meminati fan telah berkunjung ke objek wisata ini. Ide pembangunan Helena Sky Bridge sendiri adalah membuat sebuah pengelolaan kawasan konservasi yang multi fungsi dan memperkuat dome sanctuary kupu-kupu.

Daya Tarik

Dari atas Helena Sky Bridge, wisatawan dapat melihat bentangan geomorfologi kawasan gunung batu Maros-Pangkep dengan ciri khas tower karstnya yang unik yang dikenal sebagai tower karst terbesar dan terindah kedua setelah kawasan karst di Cina serta beragamnya kupu-kupu yang ada di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Pemandangan apik dari atas jembatan ini berhasil menarik perhatian wisatawan dan menjadi salah satu spot yang instagramable. Wisatawan yang berkunjung dapat melakukan swafoto di atas Helena Sky Bridge. Pemandangan eksotis dari batu karst, pepohonan hijau yang berada di kiri-kanan jembatan, serta peralatan keselamatan yang dikenakan pada wisatawan membuat foto yang dihasilkan terlihat apik. Selain foto yang dihasilkan, pengunjung juga merasakan pengalaman yang memacu adrenalin ketika berjalan melewati jembatan gantung di ketinggian 100 m sambil menikmati pemandangan kupu-kupu di bawah jembatan.

Lokasi

Helena Sky Bridge secara letak astronomis berada pada titik koordinat 5.0169816 LS dan 119.6741601 BT. Objek wisata ini secara geografis berada pada sekitar tebing pegunungan karst Bantimurung pada kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung atau cakupan yang lebih luas pada kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Secara administratif, objek wisata ini terletak di Dusun Bantimurung, Desa Jenetaesa, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

Aksesibilitas

Helena Sky Bridge berjarak ± 44 km atau waktu tempuh kurang lebih 1 jam dari pusat Kota Makassar, ± 29 km dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, atau ± 14 km dari pusat ibu kota Kabupaten Maros (Turikale). Dari pusat Kota Turikale, dapat ditempuh sekitar 20 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Aksesnya pun sangat mudah dijangkau, karena berada di jalan provinsi, yakni jalan poros Maros–Bone dengan kondisi jalan yang sangat baik dan dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan.

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Helena Sky Bridge

Teknik Struktur

Jembatan Barelang

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Jembatan Barelang (singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang) adalah sekumpulan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru di daerah Batam, provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Masyarakat setempat menyebutnya "Jembatan Barelang". Ada juga yang menyebutnya "Jembatan Habibie" sebagai bentuk penghargaan atas jasa beliau dalam mengembangkan pulau Batam sebagai pulau industri serta mempelopori pembangunan jembatan ini.

Jembatan Barelang merupakan ikon Kota Batam yang populer, khususnya bagi masyarakat Kepulauan Riau. Jembatan ini menjadi salah satu tujuan utama dalam berwisata di Pulau Batam.

Jembatan Barelang merupakan pilot project berteknologi tinggi yang melibatkan ratusan insinyur Indonesia tanpa campur tangan dari tenaga ahli luar negeri. Dibangun guna memperluas wilayah kerja Otorita Batam, jembatan ini telah menyedot anggaran sebesar Rp400 Miliar selama enam tahun (1992 – 1998) pembangunannya. Enam buah jembatan ini telah menghubungkan jalur Trans Barelang yang membentang sepanjang 54 kilometer.

Jembatan Barelang terdiri dari enam buah jembatan, yaitu:

  1. Jembatan Tengku Fisabilillah (Jembatan I/Jembatan Barelang)
  2. Jembatan Nara Singa (Jembatan II)
  3. Jembatan Raja Ali Haji (Jembatan III)
  4. Jembatan Sultan Zainal Abidin (Jembatan IV)
  5. Jembatan Tuanku Tambusai (Jembatan V)
  6. Jembatan Raja Kecik (Jembatan VI)

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Jembatan Barelang

Teknik Struktur

Jembatan Ampera

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Jembatan Ampera (Huruf Jawi : جمبتن أمڤيرا) (Amanat penderitaan rakyat) adalah sebuah jembatan di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah Kota Palembang, menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Jembatan Ampera merupakan ikon kota Palembang yang paling terkenal.

Sejarah

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Wali kota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatra Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Wali kota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).

Pembangunan Jembatan Ampera dipusatkan di wilayah hilir yang merupakan kawasan pusat kota, terutama kawasan 16 Ilir. Sewaktu pembangunan Jembatan Ampera, banyak sekali bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang dibongkar, salah satunya pusat perbelanjaan terbesar Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO. Bangunan peninggalan Belanda yang tidak dibongkar hanya menara air atau waterleding yang sekarang digunakan sebagai Kantor Wali Kota. Di bagian hulu, banyak perumahan penduduk yang juga ikut dibongkar.

Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara.[7] Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).[8]

Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

Keistimewaan


Pada awalnya, bagian tengah dan bagian belakang dan bagian depan badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Jembatan Ampera

Teknik Struktur

Jembatan Kapuas

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Jembatan Kapuas I
Jembatan Kapuas I terletak di Kota Pontianak dengan panjang 420 meter dan lebar 6 meter. Jembatan kapuas I ini merupakan penghubung pusat Kota Pontianak dengan beberapa kabupaten lainnya di Kalimantan Barat.

Jembatan ini dibangun pada 1980 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1982. Jembatan yang dibangun dengan dana Rp 6,06 miliar ini pada awalnya difungsikan sebagai jalan tol yang berarti setiap pengguna jembatan ini dipungut tarif tol. Namun karena jembatan ini dianggap sudah menjadi jalur utama dan tidak ada jalur alternatifnya, pungutan tarif tol dihapus pada pertengahan 1990-an dan jembatan ini bebas dilalui pengendara.

Akibat terus meingkatnya volume kendaraan yang melintasi jembatan Kapuas I, maka pemerintah mewujudkan pembangunan jembatan Kapuas II yang berada di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.

Sempat terjadi peristiwa yang menggemparkan warga Kota Pontianak pada 30 Agustus 2013, yakni fender tiang utama jembatan Kapuas I ditabrak tongkang pengangkut pasir sehingga mengakibatkan bergesarnya sambungan jembatan dibagian tengah sejauh 10 cm. Akibat kejadian itu arus kendaraan terpaksa diblokir dan dialihkan ke jembatan Kapuas II di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya guna menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan hingga proses pemeriksaan dan perbaikan jembatan selesai.

Jembatan Kapuas II
Jembatan Kapuas II terletak di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, menghubungkan dua wilayah Kecamatan Sungai Raya yang dipisahkan oleh Sungai Kapuas. Pembangunan jembatan ini diresmikan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz pada 2003 dan diresmikan penggunaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007. Jembatan yang menghabiskan dana Rp 110 miliar ini dibangun untuk menampung mobilitas kendaraan yang sudah tidak mampu ditampung Jembatan Kapuas I.

Jembatan Kapuas III
Jembatan Kapuas III saat ini masih dalam tahan perencanaan. Jembatan yang digagas oleh mantan Wali kota Pontianak Buchari Abdurrachman ini rencananya akan menghubungkan Kecamatan Pontianak Barat dengan Kecamatan Pontianak Utara. Karena letaknya pula, jembatan ini direncanakan akan melintasi garis lintang 0 derajat alias Garis Khatulistiwa. Namun karena terkendala pembebasan lahan, Wali kota penerus Buchari, Sutarmidji mengusulkan untuk dibangun di samping Jembatan Kapuas I.

Lokasi terpopuler di sungai rengas, tapi berita ini masih simpang siur.

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Jembatan Kapuas

Teknik Struktur

Jembatan Barito

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 20 Juli 2022


Jembatan Barito adalah jembatan yang melintang di atas Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Secara administratif, jembatan ini berada di wilayah Kabupaten Barito Kuala dan berjarak 15 km dari Kota Banjarmasin.

Jembatan ini memiliki panjang 1.082 meter yang melintasi Sungai Barito selebar 800 meter dan Pulau Bakut selebar 200 meter. Jembatan ini terdiri dari jembatan utama sepanjang 902 meter, dan jembatan pendekat 180 meter, dengan lebar 10,37 meter. Merupakan akses jalan Trans Kalimantan dari Banjarmasin menuju ke Palangkaraya dan sebaliknya. Ketinggian ruang bebas jembatan utama 15-18 meter, sehingga bisa digunakan untuk lalu lintas perairan seperti Kapal Tongkang.

Jembatan Barito sering disebut pula jembatan Pulau Bakut, sesuai nama delta (pulau kecil) yang ada di bawahnya.

Jembatan ini pertama kali diresmikan pada tanggal 24 April 1997 oleh Presiden Soeharto. Jembatan ini tercatat dalam rekor Muri sebagai jembatan gantung terpanjang di Indonesia. Jembatan yang menghubungkan jalan trans Kalimantan ini merupakan jalan poros yang menghubungkan dua provinsi bertetangga yaitu provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sebelum ada jembatan ini masyarakat sangat mengandalkan jalur transportasi seperti sungai menggunakan alat transpor seperti boat atau kapal bermotor untuk menuju ke Banjarmasin atau sebaliknya.

Sumber Artikel: id.wikipedia.com

Selengkapnya
Jembatan Barito
« First Previous page 2 of 4 Next Last »