Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin
Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.
Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya
Indus Basin: Lifeline yang Terancam
- Pakistan adalah salah satu negara paling rawan air di dunia, mendekati ambang kelangkaan air dengan populasi lebih dari 220 juta jiwa dan pertumbuhan pesat1.
- Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi Pakistan, sangat bergantung pada aliran Sungai Indus dan anak-anak sungainya, yang sebagian besar hulunya berada di India1.
- Konflik air antara India (upper riparian) dan Pakistan (lower riparian) telah berlangsung sejak kemerdekaan, diperparah oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan persaingan antarprovinsi di Pakistan sendiri1.
Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik
- IWT ditandatangani pada 1960 dengan mediasi Bank Dunia, membagi sungai menjadi “Western Rivers” (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan dan “Eastern Rivers” (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India, namun tetap menyisakan hak terbatas bagi India di sungai barat untuk pembangkit listrik dan irigasi1.
- IWT bertahan melewati tiga perang besar, namun kini dianggap kaku dan tidak responsif terhadap tantangan modern seperti perubahan iklim, pembangunan dam baru, dan kebutuhan ekosistem1.
- Kritik utama: IWT hanya membagi volume air, bukan prinsip “equitable sharing”; mekanisme penyelesaian sengketa yang lamban dan sering buntu; serta tidak adanya mekanisme adaptif terhadap perubahan kondisi hidrologi1.
Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan
1. Proyek Dam dan Sengketa Data
- Baglihar Dam (India) dan Kishenganga Project menjadi contoh nyata di mana Pakistan menggugat India atas dugaan pelanggaran IWT. Namun, hasil arbitrase kerap tidak sepenuhnya memuaskan Pakistan, menandakan keterbatasan IWT dalam melindungi kepentingan negara hilir1.
- India, sebagai negara hulu, mengendalikan headworks dan dapat mempengaruhi aliran air ke Pakistan, menimbulkan kekhawatiran akan “water blackmail” sebagai alat tekanan politik1.
- Perselisihan data debit, pembangunan dam tanpa konsultasi, dan dugaan pengurangan aliran air ke Pakistan menjadi isu berulang, diperparah oleh minimnya transparansi dan pertukaran data1.
2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian
- Krisis air di Sindh: Provinsi Sindh di Pakistan kerap mengalami kekeringan dan kelangkaan air akibat fluktuasi aliran Indus, diperparah oleh perubahan iklim dan pembangunan dam di India1.
- Banjir dan kekeringan ekstrim: Variasi curah hujan dan debit sungai yang semakin ekstrem mengancam ketahanan pangan dan ekonomi Pakistan, menuntut mekanisme tata kelola air yang lebih adaptif dan kolaboratif1.
Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan
1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara
- CIL menegaskan bahwa negara-negara riparian (baik hulu maupun hilir) berhak berbagi penggunaan sungai internasional secara setara, terlepas ada atau tidaknya perjanjian formal1.
- Lake Lanoux Arbitration dan putusan ICJ dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros menegaskan prinsip “community of interest”—tidak ada satu negara pun yang dapat memveto hak negara lain atas sungai bersama1.
- India sendiri, dalam perjanjian dengan Nepal (Mahakali Treaty) dan Bangladesh (Ganges Treaty), mengakui prinsip hak setara dan “optimum utilization” air lintas negara, yang secara doktrinal juga berlaku bagi Pakistan1.
2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization
- CIL, melalui Helsinki Rules, Berlin Rules, dan UN Watercourses Convention, mengatur bahwa setiap negara riparian berhak menggunakan air secara “adil dan wajar” (equitable and reasonable), mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi kedua belah pihak1.
- Putusan ICJ dalam kasus Hungary v Slovakia (Gabcikovo-Nagymaros) dan Pulp Mills menegaskan bahwa prinsip ini adalah “basic right” dalam hukum internasional1.
- Dalam praktiknya, “adil” tidak selalu berarti “sama rata” secara kuantitas. Pakistan harus membuktikan bahwa porsi sekitar 80% air Indus yang diterimanya memang adil dan wajar menurut faktor-faktor yang diakui CIL1.
3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)
- Negara hulu (India) wajib mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kerugian signifikan (significant harm) pada negara hilir (Pakistan), baik secara sengaja maupun karena kelalaian1.
- Prinsip ini ditegaskan dalam Trail Smelter Arbitration, ICJ (Pulp Mills, Costa Rica v Nicaragua), Stockholm Declaration, dan Rio Declaration1.
- Dalam konteks Indus, pembangunan dam atau proyek yang mengurangi debit atau mencemari air ke Pakistan dapat menjadi dasar klaim hukum berdasarkan prinsip ini1.
4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data
- CIL mewajibkan negara-negara riparian untuk saling bekerja sama, berkonsultasi, dan berbagi data secara reguler terkait kondisi sungai, kualitas air, dan rencana pembangunan yang berpotensi berdampak lintas batas1.
- Watercourses Convention (Pasal 8–9), Helsinki Rules, Berlin Rules, dan berbagai resolusi PBB menegaskan pentingnya mekanisme konsultasi, notifikasi, dan pertukaran data secara transparan1.
- Dalam praktiknya, India telah menerapkan mekanisme serupa dengan Bhutan dan China untuk berbagi data hidrologi, namun seringkali enggan melakukannya dengan Pakistan, menimbulkan ketimpangan dan kecurigaan1.
5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai
- Negara-negara riparian wajib melindungi ekosistem sungai, mencegah polusi, dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di sepanjang aliran sungai1.
- India, melalui Water Act 1974 dan putusan Mahkamah Agungnya, bahkan telah memberikan status “legal person” pada Sungai Ganges dan Yamuna, menegaskan pentingnya perlindungan lingkungan1.
- Dalam konteks Indus, pembangunan dam dan polusi di hulu yang berdampak ke hilir dapat menjadi dasar klaim lingkungan oleh Pakistan1.
6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai
- CIL dan berbagai konvensi internasional menegaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan sengketa air secara damai melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau forum hukum internasional seperti ICJ1.
- IWT sendiri menyediakan mekanisme multi-level (negosiasi, arbitrase, panel ahli), namun seringkali prosesnya lambat dan tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa kontemporer1.
Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis
Kekuatan Argumen dan Studi Kasus
- Paper ini secara meyakinkan menegaskan bahwa Pakistan memiliki hak-hak kuat di bawah CIL yang tetap berlaku meski IWT dianggap usang atau tidak memadai1.
- Studi kasus Baglihar dan Kishenganga menunjukkan bahwa meski arbitrase internasional cenderung menafsirkan IWT secara sempit, prinsip-prinsip CIL tetap menjadi rujukan utama dalam interpretasi dan pengambilan keputusan1.
- Praktik India dalam perjanjian air dengan negara lain (Nepal, Bangladesh, Bhutan) memperkuat argumen bahwa prinsip CIL bersifat universal dan berlaku timbal balik (prinsip estoppel)1.
Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL
- Kelemahan utama: CIL tidak memiliki mekanisme penegakan yang kuat. Tanpa persetujuan kedua negara untuk membawa sengketa ke ICJ atau arbitrase, implementasi hak-hak CIL sangat bergantung pada goodwill dan diplomasi1.
- Konteks politik: Sengketa Kashmir, rivalitas militer, dan sentimen nasionalisme sering membayangi negosiasi air, membuat kerja sama dan kompromi sulit tercapai1.
- Keterbatasan IWT: Meski IWT dianggap outdated, kekuatan utamanya justru pada mekanisme penyelesaian sengketa yang tetap terbuka, meski lambat. Tanpa IWT, implementasi CIL akan jauh lebih sulit dan rawan deadlock1.
Perbandingan dengan Studi dan Tren Global
- Tren global: Negara-negara lain seperti di Mekong, Danube, dan Nil mulai beralih ke model “benefit sharing” dan pengelolaan adaptif berbasis ekosistem, bukan sekadar pembagian volume air1.
- Studi lain: Penelitian Eckstein & Sindico (2014) dan Zeitoun et al. (2016) menekankan pentingnya insentif ekonomi, tekanan publik, dan kolaborasi multipihak untuk memperkuat implementasi CIL dalam tata kelola air lintas negara1.
Opini dan Rekomendasi Penulis
- Pakistan sebaiknya mendorong amandemen atau renegosiasi IWT agar lebih responsif terhadap prinsip CIL dan tantangan modern (perubahan iklim, ekosistem, kebutuhan sosial-ekonomi)1.
- Ratifikasi konvensi global seperti UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention dapat memperkuat posisi hukum Pakistan di forum internasional1.
- Diplomasi air yang proaktif, transparansi data, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) menjadi kunci menuju tata kelola air yang adil dan berkelanjutan di Indus Basin1.
Relevansi Industri dan Tren Kebijakan
1. Industri Pertanian dan Energi
- Ketergantungan Pakistan pada sektor pertanian dan PLTA berbasis Indus menuntut kepastian pasokan air jangka panjang. Sengketa air dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan dan energi nasional1.
- Industri agribisnis dan manufaktur di Pakistan juga sangat rentan terhadap fluktuasi debit sungai akibat pembangunan dam di hulu1.
2. Digitalisasi dan Transparansi Data
- Tren global menuju digitalisasi data hidrologi, pemantauan real-time, dan platform kolaboratif lintas negara dapat memperkuat transparansi dan mitigasi risiko sengketa air1.
- Pakistan dan India perlu mengadopsi teknologi ini untuk membangun kepercayaan dan meminimalkan kecurigaan1.
3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air
- Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan LSM sangat penting untuk mendorong solusi inovatif dalam pengelolaan air lintas negara1.
- Diplomasi air yang mengedepankan “benefit sharing” dan perlindungan ekosistem dapat menjadi jalan keluar dari deadlock politik yang berkepanjangan1.
Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin
- Amandemen atau Renegosiasi IWT
Dorong pembaruan IWT agar mengadopsi prinsip CIL, memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, dan memperhatikan kebutuhan ekosistem serta perubahan iklim1.
- Ratifikasi Konvensi Global
Pakistan dan India sebaiknya meratifikasi UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention untuk memperkuat kerangka hukum dan mekanisme implementasi1.
- Transparansi dan Pertukaran Data
Bangun sistem pertukaran data hidrologi yang real-time, transparan, dan dapat diakses kedua negara serta publik untuk membangun kepercayaan dan mitigasi risiko1.
- Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Proaktif
Libatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) dalam perumusan kebijakan dan implementasi tata kelola air lintas negara1.
- Fokus pada Perlindungan Ekosistem
Integrasikan perlindungan ekosistem dan adaptasi perubahan iklim dalam setiap kebijakan dan proyek pembangunan di Indus Basin1.
Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin
Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.
Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.