Tantangan Hukum

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Sengketa Konstruksi Inggris – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Pendahuluan: Di Balik Peningkatan Sengketa yang Mengejutkan

Di sektor konstruksi Inggris, di mana proyek-proyek bernilai jutaan hingga miliaran pound sterling menjadi tulang punggung ekonomi, penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien bukanlah sekadar kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Adjudikasi konstruksi, sebuah mekanisme yang diamanatkan undang-undang untuk menjaga arus kas tetap mengalir, telah lama menjadi pilar vital dalam industri ini. Namun, laporan terbaru dari King's College London, "2024 Construction Adjudication in the United Kingdom: Tracing trends and guiding reform," menyajikan sebuah paradoks yang mengejutkan. Data empiris paling komprehensif yang pernah dikumpulkan menunjukkan bahwa jumlah sengketa yang diajukan ke adjudikasi telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah.

Secara intuitif, lonjakan sengketa mungkin tampak sebagai pertanda buruk bagi kesehatan industri. Namun, laporan ini justru menyajikan narasi yang berlawanan. Ini adalah sebuah jendela unik ke dalam dinamika industri konstruksi Inggris, di mana lonjakan kasus justru dapat diinterpretasikan sebagai bukti kuat dari efektivitas, vitalitas, dan kepercayaan yang terus tumbuh pada sistem adjudikasi. Laporan ini mengungkap cerita di balik data, membahas tren-tren penting, fenomena biaya dan keragaman, serta mengarahkan kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa sistem ini menjadi solusi yang begitu dominan.

 

Lonjakan Kasus Adjudikasi: Sebuah Tanda Keberhasilan, Bukan Kegagalan

  • Peningkatan ke Rekor Tertinggi

Laporan ini menyajikan fakta yang mencolok: jumlah rujukan adjudikasi yang diterima oleh Adjudicator Nominating Bodies (ANB) yang berpartisipasi mencapai angka tertinggi dalam sejarah, yaitu 2.264 kasus, pada periode Mei 2023 hingga April 2024. Angka ini mewakili lonjakan sebesar 9% dari tahun sebelumnya.1 Ini adalah puncak dari tren yang terus naik selama lebih dari satu dekade, menunjukkan bahwa adjudikasi telah mengukuhkan posisinya sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pilihan utama di Inggris.

Untuk memberikan konteks, angka 2.264 rujukan adjudikasi jauh melampaui jumlah klaim yang diajukan di pengadilan khusus konstruksi (Technology and Construction Court/TCC) yang hanya menerima 467 klaim antara Oktober 2022 hingga September 2023. Angka ini bahkan lebih tinggi dari total 1.352 klaim yang diterima oleh semua subdivisi Pengadilan Komersial Inggris dalam periode yang sama.1 Perbandingan ini secara jelas menunjukkan dominasi adjudikasi sebagai jalur penyelesaian sengketa.

Sejak diberlakukannya undang-undang adjudikasi pada tahun 1998, tren rujukan kasus menunjukkan pola perkembangan yang dinamis selama lebih dari dua dekade. Pada tahun pertama (Mei 1998–April 1999), tercatat sebanyak 187 rujukan. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun kedua menjadi 1.309 rujukan, yang merepresentasikan peningkatan sebesar 600%. Tren pertumbuhan masih berlanjut pada tahun ketiga dengan 1.999 rujukan atau naik 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Memasuki tahun keempat, pertumbuhan melambat menjadi hanya 1% dengan total 2.027 rujukan, kemudian mengalami penurunan berturut-turut pada tahun kelima hingga kedelapan, dengan angka penurunan terbesar mencapai –15% pada tahun 2005–2006.

Meskipun sempat meningkat kembali sebesar 5% pada tahun kesembilan (2006–2007), tren rujukan kembali mengalami fluktuasi pada periode berikutnya. Tahun ke-11 (2008–2009) mencatat peningkatan 21%, namun segera diikuti penurunan signifikan pada tahun ke-13 (2010–2011) sebesar –31%. Setelah itu, jumlah rujukan berangsur pulih dengan pertumbuhan positif, seperti pada tahun ke-15 (2012–2013) yang mencatat kenaikan 24% dan tahun ke-17 (2014–2015) dengan kenaikan 12%.

Dalam periode lebih baru, yakni tahun ke-20 hingga ke-26 (2017–2024), jumlah rujukan konsisten berada di atas 1.500 kasus per tahun, dengan tren pertumbuhan yang relatif stabil. Pertumbuhan tertinggi dalam periode ini tercatat pada tahun ke-23 (2020–2021) sebesar 12% dengan total 2.171 rujukan. Pada akhir periode pengamatan, yakni tahun ke-26 (2023–2024), jumlah rujukan mencapai 2.264 dengan tingkat pertumbuhan 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan bahwa meskipun tren rujukan adjudikasi mengalami fluktuasi, secara keseluruhan terjadi peningkatan signifikan dibandingkan dengan awal penerapan undang-undang, menandakan keberlanjutan peran adjudikasi dalam penyelesaian sengketa konstruksi di Inggris.

  • Inovasi Menanggapi Pasar: Munculnya Jalur "Low-Value"

Laporan ini juga menyoroti bagaimana adjudikasi telah beradaptasi secara dinamis terhadap tuntutan pasar. Salah satu temuan penting adalah lonjakan signifikan dalam "adjudikasi bernilai rendah" (klaim di bawah £125.000), yang turut menyumbang rekor rujukan.1 Proses ini kini menyumbang 51% dari total rujukan yang diterima oleh The Chartered Institute of Arbitrators (CIArb) dan 35% dari rujukan The Institution of Civil Engineers (ICE).1

Pertumbuhan ini adalah respons langsung terhadap kritik yang sebelumnya muncul dalam laporan tahun 2022, di mana biaya dan kompleksitas prosedur adjudikasi dianggap tidak cocok untuk sengketa yang lebih kecil.1 Namun, alih-alih menunggu regulasi pemerintah, ANB telah berinovasi. Mereka menciptakan prosedur khusus yang lebih cepat dan lebih murah, membuktikan fleksibilitas sistem yang digerakkan oleh pasar. Adopsi masif oleh ANB besar ini berarti adjudikasi kini lebih mudah diakses oleh kontraktor dan subkontraktor kecil, memastikan arus kas yang lebih lancar di seluruh rantai pasokan. Hal ini secara langsung sejalan dengan kebijakan utama di balik Undang-Undang Konstruksi, yaitu menjaga aliran dana dalam industri. Fleksibilitas ini telah mengubah adjudikasi menjadi solusi yang lebih inklusif dan demokratis bagi semua pihak, besar maupun kecil.

 

Kisah di Balik Data: Mengapa Sengketa Terjadi?

Laporan ini tidak hanya fokus pada statistik, tetapi juga mencoba memahami akar penyebab sengketa yang terjadi. Mengutip Hon Mr Justice David Waksman, laporan ini sangat berharga karena "memungkinkan kita untuk mendapatkan wawasan nyata tentang bagaimana adjudikasi bekerja dalam praktik" dengan mengidentifikasi penyebab-penyebab mendasar di balik sengketa, bukan sekadar terminologi hukum.1 Data survei menunjukkan bahwa penyebab utama sengketa yang diajukan ke adjudikasi adalah:

  • Administrasi kontrak yang tidak memadai: Diidentifikasi oleh 50% responden.1
  • Kurangnya kompetensi dari para partisipan proyek: Dinyatakan oleh 42% responden.1
  • Klaim yang berlebihan dan perubahan yang dibuat oleh klien: Masing-masing diidentifikasi oleh 30% responden.1

Fenomena yang paling mencolok adalah dominasi klaim "smash-and-grab" atau klaim pembayaran teknis, yang merupakan kategori sengketa paling umum. Kategori ini dipilih oleh 63% responden, jauh melampaui klaim "true value" (nilai sebenarnya) yang berada di angka 38%.1 Seorang konsultan yang berpartisipasi dalam survei memberikan pandangan kualitatif yang menjelaskan fenomena ini: "Alasan kurangnya administrasi kontrak adalah bahwa rantai pasokan takut untuk menyajikan pemberitahuan kontrak yang tepat atau mengelola efek perubahan dengan cepat karena mereka takut merusak hubungan dan kehilangan pekerjaan.".1

Tingginya angka klaim "smash-and-grab" mencerminkan lebih dari sekadar ketidakpatuhan prosedural; ini sering kali merupakan konsekuensi dari sebuah strategi bisnis yang rapuh. Banyak pihak, terutama di tingkat subkontraktor, menahan diri untuk mengeluarkan pemberitahuan yang tepat waktu karena takut merusak hubungan dengan klien atau kontraktor utama. Ketika pembayaran yang dinanti-nanti tidak kunjung tiba, mereka terpaksa menggunakan adjudikasi sebagai alat "smash-and-grab" untuk menuntut pembayaran yang seharusnya mereka terima sesuai prosedur kontrak. Hal ini menciptakan sebuah siklus yang destruktif, di mana keengganan untuk bersikap formal di awal justru menciptakan sengketa hukum yang mahal di akhir. Data ini memperkuat kebutuhan mendesak untuk perubahan budaya dalam industri—dari prioritas hubungan jangka pendek yang ambigu menjadi kepatuhan prosedural yang ketat dan terbuka.

 

Kecepatan Kilat dan Kekuatan Hukum: Bukti Efektivitas Adjudikasi

  • Durasi yang Efisien dan Prediktif

Salah satu alasan utama di balik popularitas adjudikasi adalah kecepatannya. Laporan ini menunjukkan bahwa 48% dari responden menyatakan bahwa adjudikasi biasanya selesai dalam 29 hingga 42 hari sejak diterimanya rujukan.1 Ini adalah periode yang luar biasa singkat dibandingkan dengan litigasi di pengadilan. Kecepatan ini sangat penting untuk menjaga arus kas tetap lancar. Dalam banyak kasus, adjudikasi yang cepat dan prediktif adalah kunci untuk menjaga kelangsungan hidup bisnis.

Meski demikian, laporan ini juga menyoroti adanya beberapa tantangan. Perilaku pihak yang bersengketa menjadi faktor yang memperlama proses dalam 24% kasus. Namun, dengan kompleksitas kasus yang diidentifikasi sebagai faktor utama yang memengaruhi durasi, fakta bahwa adjudikator berhasil menyelesaikan sebagian besar sengketa dalam waktu yang terbatas adalah "penghargaan untuk para adjudikator," seperti yang dinyatakan oleh Mr Justice Waksman.1

  • Penegakan Keputusan yang Kuat

Kredibilitas adjudikasi sangat bergantung pada kemampuannya untuk menegakkan keputusan. Laporan ini memberikan gambaran yang sangat meyakinkan dalam hal ini. Tingkat kepatuhan para pihak terhadap keputusan adjudikator sangat tinggi. Sebanyak 52% responden menyatakan bahwa tidak satu pun sengketa yang mereka tangani dirujuk ke litigasi atau arbitrase setelah adjudikasi.1 Hal ini menunjukkan bahwa begitu sebuah keputusan dibuat, para pihak cenderung mematuhinya.

Bahkan ketika keputusan tersebut ditantang di pengadilan, tingkat penegakannya tetap sangat kuat. Analisis terhadap 219 kasus yang dilaporkan di TCC sejak 2011 menunjukkan bahwa pengadilan secara penuh menegakkan 77% dari keputusan adjudikasi.1 Di sisi lain, TCC menolak penegakan sepenuhnya dalam 20% kasus dan menolak sebagian dalam 3% kasus. Hal ini bukan tanda kegagalan sistem, melainkan bukti bahwa kerangka hukumnya terus berkembang dan menyesuaikan diri. Alasan penolakan penegakan yang paling umum adalah "kurangnya yurisdiksi" (15%) dan "pelanggaran keadilan alami" (10%).1 Kasus-kasus penting seperti

Henry Construction dan Lidl menunjukkan bahwa pengadilan secara aktif memperjelas batasan-batasan ini, memastikan bahwa adjudikasi tetap berada dalam batasan hukum yang kuat dan tidak menjadi "kotak hitam" yang tidak dapat dipertanyakan. Interaksi antara adjudikasi dan pengadilan bukanlah konfrontasi, melainkan simbiosis yang saling menguatkan.

 

Sebuah Industri di Persimpangan Jalan: Tantangan Keragaman dan Biaya

  • Tantangan Keragaman yang Persisten

Meskipun sistem adjudikasi berkembang pesat, laporan ini juga menyajikan data yang memprihatinkan terkait keragaman. Statistik menunjukkan bahwa wanita hanya menyumbang 8,9% dari total adjudikator di panel ANB yang menyimpan catatan.1 Angka ini adalah refleksi dari masalah yang lebih besar di industri konstruksi secara keseluruhan.

Menanggapi hal ini, upaya telah dilakukan. Tujuh dari 10 ANB yang berpartisipasi telah menandatangani "The Equal Representation in Adjudication Pledge" yang dipublikasikan oleh The Adjudication Society.1 Selain itu, 80% dari responden individu menyatakan bahwa mereka menyadari adanya janji ini.1 Namun, laporan juga mencatat "sedikit skeptisisme" di antara peserta survei terkait upaya-upaya ini, dan Ketua The Adjudication Society, Susan Francombe, mengklarifikasi bahwa janji tersebut tidak dimaksudkan untuk memberlakukan kuota, melainkan untuk mendorong representasi yang lebih seimbang.1

Kesenjangan antara niat baik dan hasil yang ada menunjukkan adanya hambatan sistemik. Laporan ini menyoroti dua hambatan utama. Pertama, kurangnya transparansi data: enam dari sepuluh ANB tidak menerbitkan komposisi panel mereka secara daring, mempersulit pemantauan keragaman.1 Kedua, masalah ketersediaan: RICS mengamati bahwa banyak wanita yang diundang menolak penunjukan karena alasan beban kerja, menunjukkan bahwa masalahnya lebih dari sekadar "membuat panel yang beragam," melainkan juga "menciptakan jalur karier yang menarik dan berkelanjutan" bagi para profesional wanita di bidang ini.1 Upaya keragaman harus bergeser dari sekadar "mengajak bergabung" menjadi "mengatasi hambatan sistemik" seperti kurangnya transparansi dan tuntutan beban kerja yang tidak seimbang.

  • Biaya dan Efisiensi: Sebuah Keseimbangan yang Sulit

Selain keragaman, biaya adjudikasi juga menjadi faktor penting. Laporan ini mengungkapkan bahwa sebagian besar tarif per jam adjudikator berada di kisaran £301 hingga £350, dengan total biaya khas antara £20.001 hingga £30.000.1 Tentu saja, biaya ini sangat bervariasi tergantung pada sifat sengketa, durasi, dan tarif per jam adjudikator. Struktur biaya adjudikasi menunjukkan variasi yang signifikan, baik dari sisi tarif per jam adjudikator maupun total biaya keseluruhan. Berdasarkan 158 responden, mayoritas adjudikator mengenakan tarif pada kisaran £301–£350 per jam (39%), diikuti oleh kisaran £251–£300 (25%) dan £351–£400 (16%). Sebaliknya, tarif yang sangat rendah (<£100) sama sekali tidak dilaporkan, sementara tarif ekstrem di atas £600 per jam hanya muncul pada 1% responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa kisaran tarif paling umum berada antara £251 hingga £400 per jam.

Sementara itu, total biaya adjudikator yang dilaporkan oleh 155 responden juga memperlihatkan distribusi yang bervariasi. Proporsi terbesar tercatat pada kisaran £20.001–£30.000 (26%), diikuti oleh £30.001–£50.000 (22%) dan £16.001–£20.000 (16%). Biaya yang lebih rendah, seperti <£2.000, tidak dilaporkan sama sekali, sedangkan biaya sangat tinggi lebih dari £50.000 hanya dialami oleh 5% responden. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat variasi dalam struktur biaya, sebagian besar kasus adjudikasi berada dalam rentang menengah hingga tinggi, baik dalam tarif per jam adjudikator maupun total biaya yang dikeluarkan.

 

Masa Depan Adjudikasi: Antara AI dan Transformasi Industri

Laporan ini juga melihat ke depan, mempertimbangkan tren yang akan membentuk adjudikasi di masa depan. RICS, misalnya, menyarankan eksplorasi penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk "menyederhanakan manajemen kasus, pengajuan bukti, dan komunikasi".1 Gagasan ini menunjukkan bahwa digitalisasi yang lebih besar adalah tren yang tidak terhindarkan, yang berpotensi meningkatkan efisiensi lebih lanjut.

Selain itu, laporan ini mengangkat pertanyaan-pertanyaan strategis tentang masa depan adjudikasi di luar sektor konstruksi. Seperti yang diajukan oleh Profesor Renato Nazzini, mungkin adjudikasi akan menyebar ke industri lain.1 Pertanyaan-pertanyaan penting juga diajukan oleh Susan Francombe, Ketua The Adjudication Society, tentang peran yang akan dimainkan oleh mediasi yang meningkat atau apakah adjudikasi akan berkembang menjadi bentuk resolusi sengketa alternatif yang diamanatkan oleh pengadilan.1

 

Kesimpulan: Adjudikasi sebagai Solusi Jangka Panjang

Secara keseluruhan, laporan "2024 Construction Adjudication in the United Kingdom" melukiskan gambaran sebuah sistem yang berkembang pesat, terbukti efektif, dan tangguh, meskipun memiliki tantangan dalam hal budaya industri dan keragaman. Lonjakan kasus adjudikasi ke rekor tertinggi bukanlah pertanda industri yang sakit, melainkan cerminan dari meningkatnya kepercayaan dan adopsi terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, efisien, dan didukung oleh kerangka hukum yang kuat.

Jika tren adopsi jalur "low-value" terus berlanjut dan upaya keragaman membuahkan hasil, adjudikasi akan semakin mengukuhkan posisinya sebagai pilar utama penyelesaian sengketa, secara signifikan mengurangi biaya litigasi dan mempercepat penyelesaian sengketa untuk semua pihak, besar maupun kecil.

Sumber Artikel:

Nazzini, R., & Godhe, A. (2024). 2024 construction adjudication in the United Kingdom: Tracing trends and guiding reform. Centre of Construction Law & Dispute Resolution, King’s College London.

 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Sengketa Konstruksi Inggris – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Tantangan Hukum

Skandal 'Pinjam Bendera' Menggerogoti Proyek Pemerintah: Penelitian Ini Ungkap Akibat Fatal dan Cara Menghadapinya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025


Pernahkah Anda membayangkan sebuah jembatan yang tak pernah selesai dibangun atau sebuah sekolah yang kualitasnya jauh di bawah standar? Di balik kegagalan proyek-proyek pemerintah, seringkali ada praktik kotor yang tersembunyi dari mata publik: "pinjam bendera." Praktik ini, yang secara harfiah berarti meminjam nama perusahaan lain untuk mengikuti dan memenangkan tender pengadaan barang dan jasa, kini bukan lagi sekadar rahasia umum. Sebuah penelitian mendalam dari PAMALI: Pattimura Magister Law Review telah membongkar praktik ini secara rinci, mengungkap lapisan-lapisan pelanggaran hukum dan konsekuensi fatal yang menantinya. Laporan ini tak hanya menyajikan data, tetapi juga "cerita di balik data" yang menunjukkan bagaimana celah hukum dimanfaatkan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa hal ini menjadi ancaman serius bagi integritas negara.

 

Mengapa Praktik 'Pinjam Bendera' Begitu Merajalela di Indonesia?

Praktik "pinjam bendera" bukanlah fenomena yang terjadi secara acak. Menurut penelitian ini, ada beberapa alasan fundamental yang mendorong oknum-oknum untuk terlibat di dalamnya. Salah satu penyebab utamanya adalah persyaratan rumit yang ditetapkan dalam proses lelang pemerintah. Panitia lelang seringkali menetapkan syarat yang sangat ketat, seperti kualifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU), klasifikasi, kemampuan dasar, hingga sisa kemampuan keuangan dan paket yang tidak dapat dipenuhi oleh semua penyedia barang atau jasa.

Kekakuan inilah yang menciptakan sebuah ironi: aturan yang dirancang untuk memastikan kualitas justru membuka jalan bagi praktik curang. Individu atau perusahaan yang tidak memiliki badan usaha resmi, atau yang telah masuk daftar hitam (blacklist), melihat "pinjam bendera" sebagai jalan pintas untuk mendapatkan proyek. Alasan lain yang tak kalah penting adalah upaya untuk mengelabui pelaksana lelang, terutama ketika sebuah perusahaan sudah terlalu sering memenangkan tender, sehingga meminjam nama perusahaan lain menjadi strategi untuk menghindari kecurigaan.

Proses transaksional di balik praktik ini juga sangat terstruktur. Kontraktor yang meminjam nama perusahaan akan memberikan fee sebesar 2-3% dari nilai proyek kepada perusahaan pemilik nama. Meskipun persentase ini terkesan kecil, nilainya bisa sangat besar. Bayangkan jika praktik ini terjadi pada puluhan atau bahkan ratusan proyek di seluruh Indonesia setiap tahun. Total uang yang "bocor" dari anggaran negara untuk biaya ilegal ini bisa mencapai jumlah yang fantastis. Praktik ini bukan sekadar tindakan kriminal individu, tetapi sebuah cerminan dari kegagalan sistem pengadaan yang terlalu kaku, menciptakan pasar gelap di mana kredibilitas bisa "disewa" dengan harga tertentu.

 

Jebakan Hukum Berlapis: Mengapa Praktik Ini Sebenarnya Ilegal?

Meskipun belum ada satu pasal pun yang secara eksplisit melarang peminjaman nama perusahaan, penelitian ini menunjukkan bahwa praktik tersebut melanggar beberapa lapisan hukum di Indonesia. Ini adalah poin krusial yang sering luput dari perhatian publik. "Pinjam bendera" secara fundamental adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum, terlepas dari apakah ada aturan yang secara spesifik menyinggungnya.

 

Pelanggaran Terhadap Hukum Perjanjian (Perdata)

Dalam hukum perdata, praktik "pinjam bendera" tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Syarat tersebut adalah "suatu sebab yang halal" (causa atau kausa). Penelitian ini secara tegas menyatakan bahwa karena tujuan perjanjian peminjaman nama adalah untuk memenangkan tender dengan melanggar peraturan perundang-undangan, perjanjian itu sendiri tidak memiliki kausa yang halal. Konsekuensinya sangat fatal: perjanjian tersebut "batal demi hukum".

Batal demi hukum berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal. Ini bukan sekadar pembatalan biasa, tetapi sebuah deklarasi bahwa seluruh landasan hukum dari transaksi tersebut—mulai dari kesepakatan hingga penyerahan pekerjaan—secara legal tidak eksis. Ini menempatkan semua pihak yang terlibat dalam posisi yang sangat rentan, karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum sama sekali jika terjadi sengketa.

 

Pelanggaran Terhadap Hukum Persaingan Usaha

Penelitian ini juga secara jelas mengkategorikan "pinjam bendera" sebagai bentuk "persekongkolan" tender yang dilarang oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan, menurut undang-undang ini, adalah kerja sama antara pelaku usaha untuk memenangkan peserta tender tertentu, yang pada akhirnya menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Meminjam nama perusahaan lain adalah salah satu cara yang paling sering digunakan untuk mengatur pemenang tender.

 

Pelanggaran Terhadap Peraturan Pengadaan Pemerintah

Selain melanggar hukum perdata dan persaingan, praktik ini juga menabrak aturan pengadaan pemerintah. Pasal 87 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 202 secara tegas melarang penyedia barang/jasa untuk mengalihkan seluruh pelaksanaan pekerjaan utama kepada pihak lain melalui subkontrak, kecuali sebagian pekerjaan spesialis. Praktik "pinjam bendera" justru melakukan pengalihan seluruh pekerjaan kepada pihak peminjam nama.

Terdapat beberapa bentuk pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Dalam ranah hukum perjanjian (perdata), berdasarkan Pasal 320 KUH Perdata, suatu perjanjian yang bertentangan dengan kausa yang halal akan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pada aspek hukum persaingan usaha, sesuai Pasal 22 UU No. 5/1999, praktik persekongkolan tender (bid rigging) dikenai sanksi dari KPPU, berupa denda maupun sanksi pidana. Sementara itu, dalam peraturan pengadaan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 6/2008 dan Peraturan LKPP No. 9/2009, pengalihan seluruh pekerjaan utama melalui subkontrak termasuk pelanggaran yang berakibat pada sanksi administratif, termasuk kemungkinan masuk dalam daftar hitam (blacklist).

 

 

Cerita di Balik Putusan KPPU: Saat Skandal Terbongkar

Penelitian ini tidak hanya berhenti pada analisis hukum, tetapi juga membuktikan praktik "pinjam bendera" melalui studi kasus nyata yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dua kasus ini menjadi bukti konkret bahwa persekongkolan tender dengan modus "pinjam bendera" adalah realitas yang bisa dibongkar dan dihukum.

 

Kasus : Tender Pengadaan TV di Sumatera Utara (Putusan KPPU No. 41/KPPU-L/2008)

Dalam kasus ini, PT. Pelita Jaya Mandiri ditetapkan sebagai pemenang tender pengadaan TV. Namun, Direktur perusahaan tersebut kemudian bertemu dengan Abdul Wahid Soenge, seorang kontraktor yang sedang mencari perusahaan untuk dipinjam namanya. Sebuah kesepakatan dibuat: Abdul Wahid akan menjalankan proyek tender, dan PT. Pelita Jaya Mandiri akan menerima

fee sebesar Rp 20 juta. Kesepakatan ini bahkan diperkuat dengan akta notaris. KPPU menemukan bukti adanya persekongkolan vertikal (antara panitia tender dan pemenang) dan horizontal (antara PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid).

 

Kasus 2: Tender TIK di Probolinggo (Putusan KPPU No. 16/KPPU-L/2014)

Skandal ini melibatkan CV. Burung Nuri, CV. Satriya, CV. Ferro, dan seorang individu bernama Riza Febriant. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur CV. Burung Nuri sama sekali tidak mengetahui bahwa perusahaannya telah memenangkan tender. Seluruh proses pendaftaran dan urusan tender dilakukan oleh Riza Febriant yang meminjam nama CV. Burung Nuri. Tentu saja, untuk memperkuat perjanjian, dibuatlah perjanjian kerja sama di hadapan notaris. KPPU menemukan adanya persekongkolan vertikal, di mana panitia pengadaan memfasilitasi kemenangan CV. Burung Nuri, serta persekongkolan horizontal yang terlihat dari kesamaan dokumen penawaran antara CV. Burung Nuri dan CV. Satriya.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa modus "pinjam bendera" tidak hanya didasarkan pada kesepakatan lisan. Sering kali, perjanjian kerja sama yang telah dinotariskan menjadi bukti tak terbantahkan yang membantu KPPU membongkar konspirasi. Hal ini membuktikan bahwa meskipun praktik ini tidak dilarang secara eksplisit, kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat untuk menjerat para pelakunya.

Berdasarkan putusan KPPU, terdapat dua studi kasus yang menunjukkan praktik pinjam nama dalam tender. Pada kasus putusan nomor 4/KPPU-L/2008, terkait tender TV di Sumatera Utara, pihak yang terlibat adalah PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid. Modus operandi yang digunakan adalah meminjam nama setelah memenangkan tender dengan perjanjian yang dibuat secara notarized. Sementara itu, pada putusan nomor 6/KPPU-L/204, terkait tender TIK di Probolinggo, pihak yang terlibat adalah CV. Burung Nuri dan Riza Febriant. Dalam kasus ini, pinjam nama dilakukan sejak awal proses lelang dengan dasar perjanjian kerja sama. Kedua kasus tersebut menjadi bukti konkret adanya praktik manipulasi tender melalui penggunaan nama pihak lain.

 

Siapa Bertanggung Jawab? Memahami Konsekuensi Fatal dan Sanksi Berat

Penelitian ini menggarisbawahi dengan jelas bahwa pertanggungjawaban hukum dalam praktik "pinjam bendera" tidak hanya jatuh pada pihak yang meminjam nama, tetapi juga pada perusahaan yang dengan sengaja meminjamkan namanya. Seringkali, perusahaan pemilik nama justru menanggung beban yang jauh lebih berat.

Jika terjadi wanprestasi atau ingkar janji, di mana pihak peminjam nama gagal menyelesaikan proyek, gugatan hukum akan diajukan kepada perusahaan yang memenangkan kontrak—yaitu perusahaan pemilik nama. Perusahaan inilah yang secara hukum bertanggung jawab penuh untuk menanggung segala kerugian yang timbul. Tanggung jawab ini mencakup pembayaran ganti rugi, pemutusan kontrak, hingga sanksi administratif dan pidana.

Konsekuensi yang paling mengerikan bagi sebuah perusahaan adalah pencantuman namanya dalam daftar hitam (blacklist) yang diterbitkan oleh pemerintah. Sanksi ini dapat berlangsung hingga dua tahun, dan selama itu, perusahaan tidak akan dapat mengikuti tender pemerintah apa pun. Kerugiannya tidak hanya finansial, tetapi juga reputasi yang telah dibangun dengan susah payah bisa hangus dalam satu malam.

Penelitian ini mengulas konsep pertanggungjawaban yang kompleks, termasuk berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori ini menyiratkan bahwa perusahaan yang meminjamkan namanya dapat dianggap bertanggung jawab atas konsekuensi yang timbul, meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek. Konsep ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan pemilik nama berdalih tidak mengetahui detail pekerjaan di lapangan, tindakan mereka meminjamkan "bendera" sudah cukup untuk membuat mereka menanggung risiko hukum. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dalam dunia hukum, niat baik saja tidak cukup. Tanggung jawab melekat pada nama yang tercantum dalam kontrak.

 

Mengubah Lanskap Pengadaan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata

Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan kritik dan rekomendasi yang realistis. Para peneliti menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi dokumen administrasi secara lebih cermat dan teliti. Selain itu, diperlukan klarifikasi mendalam secara langsung kepada perusahaan yang mengajukan penawaran, tidak hanya mengandalkan dokumen di atas kertas. Hal ini akan mempersulit para oknum untuk memalsukan dokumen atau meminjam nama perusahaan.

Laporan ini juga menekankan bahwa penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang sehat dan kompetitif. Jika temuan ini mendorong penegakan hukum yang lebih tegas, praktik curang ini bisa berkurang secara signifikan, menghemat biaya proyek dan memastikan kualitas pekerjaan publik. Bayangkan dampak nyata yang bisa dihasilkan: efisiensi anggaran negara bisa meningkat drastis, mengurangi "kebocoran" dana hingga puluhan persen. Menghentikan praktik "pinjam bendera" bisa memberikan lompatan efisiensi yang setara dengan menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian daya. Proyek-proyek publik akan selesai tepat waktu, dengan kualitas yang lebih baik, dan dapat dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat.

Sumber Artikel:

Sunoto, S., Tjoanda, M., & Berlianty, T. (2024). Pertanggungjawaban Hukum Peminjaman Nama Perusahaan Untuk Mengikuti Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah. Pamali: Pattimura Magister Law Review, 4(2), 187-207.

Selengkapnya
Skandal 'Pinjam Bendera' Menggerogoti Proyek Pemerintah: Penelitian Ini Ungkap Akibat Fatal dan Cara Menghadapinya

Tantangan Hukum

Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin

Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.

Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya

Indus Basin: Lifeline yang Terancam

  • Pakistan adalah salah satu negara paling rawan air di dunia, mendekati ambang kelangkaan air dengan populasi lebih dari 220 juta jiwa dan pertumbuhan pesat1.
  • Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi Pakistan, sangat bergantung pada aliran Sungai Indus dan anak-anak sungainya, yang sebagian besar hulunya berada di India1.
  • Konflik air antara India (upper riparian) dan Pakistan (lower riparian) telah berlangsung sejak kemerdekaan, diperparah oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan persaingan antarprovinsi di Pakistan sendiri1.

Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik

  • IWT ditandatangani pada 1960 dengan mediasi Bank Dunia, membagi sungai menjadi “Western Rivers” (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan dan “Eastern Rivers” (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India, namun tetap menyisakan hak terbatas bagi India di sungai barat untuk pembangkit listrik dan irigasi1.
  • IWT bertahan melewati tiga perang besar, namun kini dianggap kaku dan tidak responsif terhadap tantangan modern seperti perubahan iklim, pembangunan dam baru, dan kebutuhan ekosistem1.
  • Kritik utama: IWT hanya membagi volume air, bukan prinsip “equitable sharing”; mekanisme penyelesaian sengketa yang lamban dan sering buntu; serta tidak adanya mekanisme adaptif terhadap perubahan kondisi hidrologi1.

Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan

1. Proyek Dam dan Sengketa Data

  • Baglihar Dam (India) dan Kishenganga Project menjadi contoh nyata di mana Pakistan menggugat India atas dugaan pelanggaran IWT. Namun, hasil arbitrase kerap tidak sepenuhnya memuaskan Pakistan, menandakan keterbatasan IWT dalam melindungi kepentingan negara hilir1.
  • India, sebagai negara hulu, mengendalikan headworks dan dapat mempengaruhi aliran air ke Pakistan, menimbulkan kekhawatiran akan “water blackmail” sebagai alat tekanan politik1.
  • Perselisihan data debit, pembangunan dam tanpa konsultasi, dan dugaan pengurangan aliran air ke Pakistan menjadi isu berulang, diperparah oleh minimnya transparansi dan pertukaran data1.

2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian

  • Krisis air di Sindh: Provinsi Sindh di Pakistan kerap mengalami kekeringan dan kelangkaan air akibat fluktuasi aliran Indus, diperparah oleh perubahan iklim dan pembangunan dam di India1.
  • Banjir dan kekeringan ekstrim: Variasi curah hujan dan debit sungai yang semakin ekstrem mengancam ketahanan pangan dan ekonomi Pakistan, menuntut mekanisme tata kelola air yang lebih adaptif dan kolaboratif1.

Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan

1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara

  • CIL menegaskan bahwa negara-negara riparian (baik hulu maupun hilir) berhak berbagi penggunaan sungai internasional secara setara, terlepas ada atau tidaknya perjanjian formal1.
  • Lake Lanoux Arbitration dan putusan ICJ dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros menegaskan prinsip “community of interest”—tidak ada satu negara pun yang dapat memveto hak negara lain atas sungai bersama1.
  • India sendiri, dalam perjanjian dengan Nepal (Mahakali Treaty) dan Bangladesh (Ganges Treaty), mengakui prinsip hak setara dan “optimum utilization” air lintas negara, yang secara doktrinal juga berlaku bagi Pakistan1.

2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization

  • CIL, melalui Helsinki Rules, Berlin Rules, dan UN Watercourses Convention, mengatur bahwa setiap negara riparian berhak menggunakan air secara “adil dan wajar” (equitable and reasonable), mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi kedua belah pihak1.
  • Putusan ICJ dalam kasus Hungary v Slovakia (Gabcikovo-Nagymaros) dan Pulp Mills menegaskan bahwa prinsip ini adalah “basic right” dalam hukum internasional1.
  • Dalam praktiknya, “adil” tidak selalu berarti “sama rata” secara kuantitas. Pakistan harus membuktikan bahwa porsi sekitar 80% air Indus yang diterimanya memang adil dan wajar menurut faktor-faktor yang diakui CIL1.

3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)

  • Negara hulu (India) wajib mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kerugian signifikan (significant harm) pada negara hilir (Pakistan), baik secara sengaja maupun karena kelalaian1.
  • Prinsip ini ditegaskan dalam Trail Smelter Arbitration, ICJ (Pulp Mills, Costa Rica v Nicaragua), Stockholm Declaration, dan Rio Declaration1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam atau proyek yang mengurangi debit atau mencemari air ke Pakistan dapat menjadi dasar klaim hukum berdasarkan prinsip ini1.

4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data

  • CIL mewajibkan negara-negara riparian untuk saling bekerja sama, berkonsultasi, dan berbagi data secara reguler terkait kondisi sungai, kualitas air, dan rencana pembangunan yang berpotensi berdampak lintas batas1.
  • Watercourses Convention (Pasal 8–9), Helsinki Rules, Berlin Rules, dan berbagai resolusi PBB menegaskan pentingnya mekanisme konsultasi, notifikasi, dan pertukaran data secara transparan1.
  • Dalam praktiknya, India telah menerapkan mekanisme serupa dengan Bhutan dan China untuk berbagi data hidrologi, namun seringkali enggan melakukannya dengan Pakistan, menimbulkan ketimpangan dan kecurigaan1.

5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai

  • Negara-negara riparian wajib melindungi ekosistem sungai, mencegah polusi, dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di sepanjang aliran sungai1.
  • India, melalui Water Act 1974 dan putusan Mahkamah Agungnya, bahkan telah memberikan status “legal person” pada Sungai Ganges dan Yamuna, menegaskan pentingnya perlindungan lingkungan1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam dan polusi di hulu yang berdampak ke hilir dapat menjadi dasar klaim lingkungan oleh Pakistan1.

6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai

  • CIL dan berbagai konvensi internasional menegaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan sengketa air secara damai melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau forum hukum internasional seperti ICJ1.
  • IWT sendiri menyediakan mekanisme multi-level (negosiasi, arbitrase, panel ahli), namun seringkali prosesnya lambat dan tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa kontemporer1.

Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis

Kekuatan Argumen dan Studi Kasus

  • Paper ini secara meyakinkan menegaskan bahwa Pakistan memiliki hak-hak kuat di bawah CIL yang tetap berlaku meski IWT dianggap usang atau tidak memadai1.
  • Studi kasus Baglihar dan Kishenganga menunjukkan bahwa meski arbitrase internasional cenderung menafsirkan IWT secara sempit, prinsip-prinsip CIL tetap menjadi rujukan utama dalam interpretasi dan pengambilan keputusan1.
  • Praktik India dalam perjanjian air dengan negara lain (Nepal, Bangladesh, Bhutan) memperkuat argumen bahwa prinsip CIL bersifat universal dan berlaku timbal balik (prinsip estoppel)1.

Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL

  • Kelemahan utama: CIL tidak memiliki mekanisme penegakan yang kuat. Tanpa persetujuan kedua negara untuk membawa sengketa ke ICJ atau arbitrase, implementasi hak-hak CIL sangat bergantung pada goodwill dan diplomasi1.
  • Konteks politik: Sengketa Kashmir, rivalitas militer, dan sentimen nasionalisme sering membayangi negosiasi air, membuat kerja sama dan kompromi sulit tercapai1.
  • Keterbatasan IWT: Meski IWT dianggap outdated, kekuatan utamanya justru pada mekanisme penyelesaian sengketa yang tetap terbuka, meski lambat. Tanpa IWT, implementasi CIL akan jauh lebih sulit dan rawan deadlock1.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Global

  • Tren global: Negara-negara lain seperti di Mekong, Danube, dan Nil mulai beralih ke model “benefit sharing” dan pengelolaan adaptif berbasis ekosistem, bukan sekadar pembagian volume air1.
  • Studi lain: Penelitian Eckstein & Sindico (2014) dan Zeitoun et al. (2016) menekankan pentingnya insentif ekonomi, tekanan publik, dan kolaborasi multipihak untuk memperkuat implementasi CIL dalam tata kelola air lintas negara1.

Opini dan Rekomendasi Penulis

  • Pakistan sebaiknya mendorong amandemen atau renegosiasi IWT agar lebih responsif terhadap prinsip CIL dan tantangan modern (perubahan iklim, ekosistem, kebutuhan sosial-ekonomi)1.
  • Ratifikasi konvensi global seperti UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention dapat memperkuat posisi hukum Pakistan di forum internasional1.
  • Diplomasi air yang proaktif, transparansi data, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) menjadi kunci menuju tata kelola air yang adil dan berkelanjutan di Indus Basin1.

Relevansi Industri dan Tren Kebijakan

1. Industri Pertanian dan Energi

  • Ketergantungan Pakistan pada sektor pertanian dan PLTA berbasis Indus menuntut kepastian pasokan air jangka panjang. Sengketa air dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan dan energi nasional1.
  • Industri agribisnis dan manufaktur di Pakistan juga sangat rentan terhadap fluktuasi debit sungai akibat pembangunan dam di hulu1.

2. Digitalisasi dan Transparansi Data

  • Tren global menuju digitalisasi data hidrologi, pemantauan real-time, dan platform kolaboratif lintas negara dapat memperkuat transparansi dan mitigasi risiko sengketa air1.
  • Pakistan dan India perlu mengadopsi teknologi ini untuk membangun kepercayaan dan meminimalkan kecurigaan1.

3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air

  • Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan LSM sangat penting untuk mendorong solusi inovatif dalam pengelolaan air lintas negara1.
  • Diplomasi air yang mengedepankan “benefit sharing” dan perlindungan ekosistem dapat menjadi jalan keluar dari deadlock politik yang berkepanjangan1.

Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin

  1. Amandemen atau Renegosiasi IWT
    Dorong pembaruan IWT agar mengadopsi prinsip CIL, memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, dan memperhatikan kebutuhan ekosistem serta perubahan iklim1.
  2. Ratifikasi Konvensi Global
    Pakistan dan India sebaiknya meratifikasi UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention untuk memperkuat kerangka hukum dan mekanisme implementasi1.
  3. Transparansi dan Pertukaran Data
    Bangun sistem pertukaran data hidrologi yang real-time, transparan, dan dapat diakses kedua negara serta publik untuk membangun kepercayaan dan mitigasi risiko1.
  4. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Proaktif
    Libatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) dalam perumusan kebijakan dan implementasi tata kelola air lintas negara1.
  5. Fokus pada Perlindungan Ekosistem
    Integrasikan perlindungan ekosistem dan adaptasi perubahan iklim dalam setiap kebijakan dan proyek pembangunan di Indus Basin1.

Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin

Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.

Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.

Selengkapnya
Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Tantangan Hukum

Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.

Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato

Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting

  • Deforestasi Masif: Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara 2021–2023, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melakukan deforestasi 1.105 hektare hutan alam, sementara PT Inti Global Laksana (IGL) membabat 36 hektare hutan alam di Gorontalo. Kedua perusahaan ini memasok bahan baku utama untuk PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), produsen wood pellet terbesar di Gorontalo1.
  • Volume dan Nilai Ekspor: Data PT Equality Indonesia mencatat, sepanjang Februari–Desember 2023, PT BJA mengekspor 95.253.282 kg wood pellet senilai USD 12.990.019. Pada Februari–Agustus 2024, ekspor melonjak ke 124.980.503 kg dengan nilai USD 17.052.6751.
  • Ekspor ke Luar Negeri: Ekspor wood pellet Gorontalo mayoritas menuju Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang tengah agresif mengadopsi biomassa untuk transisi energi mereka. Jepang menargetkan 3,7–4,6% bauran energi 2030 berasal dari biomassa, sedangkan Korea Selatan menargetkan 20% energi terbarukan pada 20301.
  • Transhipment Ilegal: Pelet kayu diekspor melalui pelabuhan khusus BJA di Desa Trikora, Pohuwato, lalu dipindahkan (transhipment) ke kapal asing di tengah laut, di zona inti kawasan konservasi perairan—wilayah penting bagi perlindungan gurita dan mata pencaharian Suku Bajo Torosiaje1.

Modus Pelanggaran dan Unreported Logging

  • Pemalsuan Dokumen: Investigasi menemukan pemalsuan dokumen angkutan kayu, manipulasi jenis kayu, serta penggunaan perusahaan “pinjam bendera” tanpa sertifikat legalitas (V-Legal) untuk mengekspor kayu olahan1.
  • Unreported Export: Ekspor wood pellet tidak tercatat dalam Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga diduga kuat terjadi praktik unreported logging dan penghindaran pajak1.
  • Transhipment di Wilayah Konservasi: Proses pemindahan muatan di tengah laut, tanpa pemeriksaan bea cukai resmi (port to port), menambah indikasi pelanggaran hukum nasional dan internasional (UNCLOS)1.

Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan

Kerangka Hukum Nasional

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menjadi dasar hukum utama pencegahan illegal logging. Pasal 12 UU P3H melarang penebangan, pengangkutan, dan perdagangan hasil hutan tanpa izin serta tanpa dokumen sah (SKSHH)1.
  • Sanksi Berat: Pelaku illegal logging, termasuk korporasi, terancam pidana penjara 10–15 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Untuk pelanggaran pengangkutan tanpa SKSHH, ancaman penjara 1–5 tahun dan denda Rp 500 juta–2,5 miliar; untuk korporasi, 5–15 tahun dan denda Rp 5–15 miliar1.
  • Penyelundupan dan Pemalsuan: Modus pemalsuan dokumen diatur dalam KUHP Pasal 263–276, sedangkan pengangkutan kayu tanpa dokumen sah masuk dalam delik pidana kehutanan khusus1.

Masalah Penegakan Hukum

  • Jaringan Terorganisir: Perdagangan kayu ilegal termasuk kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan banyak pihak, mulai dari perusahaan, oknum pejabat, hingga jaringan internasional. Penegakan hukum kerap terhambat oleh lemahnya pengawasan, kolusi, dan celah regulasi1.
  • Kasus Unreported Logging: Praktik unreported logging sulit diberantas karena pengawasan lemah, dokumen mudah dimanipulasi, dan sistem pelaporan ekspor tidak transparan. Modus seperti “dokumen terbang” dan transhipment di laut lepas memperburuk situasi1.
  • Kerugian Negara: Kerugian akibat illegal logging di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 30,42 triliun per tahun, belum termasuk kerugian ekologis dan sosial1.

Aspek Hukum Internasional

  • UNCLOS dan Transhipment: Menurut UNCLOS, negara pantai berhak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di wilayah yurisdiksinya, termasuk menaiki, memeriksa, dan menangkap kapal pelaku transhipment ilegal. Namun, yurisdiksi di laut lepas tetap menjadi tantangan, sehingga penegakan hukum harus melibatkan negara bendera kapal dan kerja sama internasional1.

Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas

Kerusakan Ekologis

  • Deforestasi dan Hilangnya Biodiversitas: Sepanjang 2017–2023, Gorontalo kehilangan 35.770,36 hektare hutan alam. Dari 693.795 hektare hutan alam yang tersisa (57% dari luas daratan), 10 izin konsesi hutan (282.100 hektare) disiapkan untuk proyek bioenergi. Deforestasi ini mengancam keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, dan ketahanan ekosistem1.
  • Emisi Karbon: Alih-alih menurunkan emisi, produksi wood pellet dari hutan alam justru menghasilkan emisi karbon baru akibat deforestasi, bertentangan dengan prinsip transisi energi berkelanjutan1.

Dampak Sosial dan Konflik Agraria

  • Konflik Lahan: Data Walhi 2018 mencatat 85 konflik SDA di bidang kehutanan di enam provinsi, dengan 91,14% melibatkan masyarakat versus perusahaan/pemerintah. Sengketa agraria di Gorontalo berpotensi meningkat seiring ekspansi konsesi untuk wood pellet1.
  • Kehilangan Mata Pencaharian: Zona konservasi perairan yang menjadi lokasi transhipment adalah wilayah tangkap gurita Suku Bajo Torosiaje. Aktivitas ekspor ilegal mengancam ekonomi lokal dan keberlanjutan komunitas pesisir1.

Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan

Greenwashing dalam Transisi Energi

Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.

Perbandingan dengan Studi Lain

Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.

Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan

Langkah Preventif

  • Audit dan Moratorium: Pemerintah harus segera mengaudit seluruh aktivitas produksi wood pellet, terutama yang berbasis hutan alam, dan memberlakukan moratorium ekspansi hingga ada jaminan legalitas dan keberlanjutan1.
  • Reformasi Sistem Legalitas: Perbaiki sistem SILK dan sertifikasi V-Legal agar tidak mudah dimanipulasi; pastikan seluruh rantai pasok kayu tercatat dan transparan.
  • Peningkatan Peran Masyarakat: Libatkan masyarakat lokal dalam pengawasan, pelaporan, dan pengelolaan hutan lestari.

Langkah Represif

  • Penegakan Hukum Tegas: Proses hukum harus menyasar korporasi, bukan hanya pelaku lapangan. Sanksi pidana dan denda maksimal harus diterapkan, termasuk pencabutan izin dan sertifikat legalitas bagi perusahaan pelanggar1.
  • Patroli dan Pengawasan Terpadu: Tingkatkan patroli hutan dan pengawasan pelabuhan, serta perkuat kerja sama dengan lembaga internasional untuk memberantas transhipment ilegal.

Transformasi Kebijakan Energi

  • Transisi Energi yang Adil: Hentikan program biomassa yang berbasis deforestasi. Fokus pada pengembangan energi terbarukan lain seperti surya, angin, dan hutan tanaman energi yang benar-benar berkelanjutan1.
  • Kolaborasi Multi Pihak: Bangun kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, LSM, dan sektor swasta untuk memastikan tata kelola hutan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.

Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268

Selengkapnya
Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia
page 1 of 1