Startup
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 November 2025
Startup memainkan peran vital dalam mendorong inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan transformasi digital di era modern. Di banyak negara, termasuk Indonesia, startup telah menjadi pendorong perubahan dalam sektor-sektor kunci seperti layanan keuangan, pendidikan, kesehatan, logistik, dan pertanian. Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat tantangan mendasar yang dihadapi startup: keterbatasan infrastruktur teknologi, kebutuhan pengembangan yang cepat, dan tekanan untuk memberikan nilai tambah dalam waktu singkat dengan sumber daya terbatas.
Di tengah kondisi teknologi yang terus berubah, adopsi komputasi awan (cloud computing) menjadi salah satu kunci penting untuk mencapai skala pertumbuhan yang lebih tinggi. Startup perlu berinovasi cepat tanpa dibebani oleh kendala biaya infrastruktur, kapasitas komputasi, dan talenta digital yang belum mencukupi. Di sinilah Google Cloud hadir sebagai solusi yang tidak hanya menyediakan teknologi canggih, tetapi juga pendekatan kolaboratif yang holistik melalui program pendampingan khusus bagi startup di seluruh dunia.
Google Cloud bukan sekadar penyedia layanan cloud—melalui program Google for Startups Cloud, mereka memberikan akses kredit teknologi hingga USD 100.000, mentoring teknis, dukungan arsitektur, dan keterkaitan dengan ekosistem startup lintas sektor. Keunggulan utama Google Cloud terletak pada empat pilar strategis: kecepatan, kecerdasan, penghematan biaya, dan kemitraan (speed, intelligence, savings, and partnerships). Kombinasi ini menjadikannya platform yang tidak hanya memampukan startup untuk bertahan, tetapi juga bertransformasi menjadi pemain global yang kompetitif.
Bagi startup di Indonesia, dukungan seperti ini semakin penting mengingat perkembangan ekosistem digital nasional yang makin pesat namun masih menghadapi kesenjangan keterampilan dan infrastruktur. Dengan memanfaatkan kekuatan Google Cloud, startup dapat meningkatkan kualitas layanan, mempercepat siklus pengembangan produk, dan mengelola data dalam skala besar dengan cara yang lebih efisien dan aman—baik untuk kebutuhan lokal maupun ekspansi global.
1. Kecepatan sebagai Mesin Pertumbuhan
Dalam lanskap startup yang sangat kompetitif, kemampuan beradaptasi—baik dalam membangun produk, merespons tren pasar, maupun merilis fitur—menjadi kunci bertahan hidup. Google Cloud memberikan keunggulan dalam hal kecepatan melalui infrastruktur yang mendukung pengembangan produk berbasis microservices, serverless computing, dan workflow DevOps yang terintegrasi. Keunggulan ini membuat startup dapat bergerak lincah tanpa mengorbankan stabilitas sistem.
a. Infrastruktur Berbasis Microservices dan Container
Banyak startup modern membangun aplikasi mereka dengan memanfaatkan pendekatan microservices—model arsitektur di mana sistem dipecah menjadi komponen-komponen kecil yang independen. Ini memungkinkan setiap komponen dikembangkan, diuji, dan di-deploy tanpa bergantung pada keseluruhan sistem. Dalam konteks ini, Google Cloud menghadirkan Google Kubernetes Engine (GKE) sebagai solusi pengelolaan container kelas dunia.
Dengan GKE, startup dapat:
Mengelola ribuan container secara otomatis dengan auto-scaling dan auto-healing.
Mengintegrasikan DNS, load balancer, dan layanan routing dalam satu platform.
Mengoptimalkan performa aplikasi di berbagai wilayah tanpa persiapan opsional seperti provisioning server.
Solusi ini sangat cocok bagi startup yang membutuhkan kapasitas komputasi elastis, atau beroperasi di skala global sejak tahap awal.
b. Cloud Run dan Arsitektur Serverless
Melalui layanan seperti Cloud Run dan Cloud Functions, Google Cloud menyediakan kemampuan menjalankan kode tanpa perlu mengatur server. Startup dapat fokus pada pengembangan logika bisnis dan interaksi pengguna tanpa harus khawatir dengan masalah kapasitas, patching, atau pengelolaan server.
Keunggulan pendekatan serverless bagi startup:
Mengurangi waktu peluncuran produk (time-to-market).
Tidak ada biaya idle—startup hanya membayar ketika aplikasi dipakai.
Dapat digabungkan dengan teknologi AI dan database untuk menciptakan aplikasi cerdas secara cepat.
c. Integrasi DevOps untuk Penyempurnaan Berkelanjutan
Dalam kerja cepat, penting bagi startup untuk menjaga stabilitas sambil merilis pembaruan secara konsisten. Google Cloud mendukung praktek continuous integration dan continuous deployment (CI/CD) melalui integrasi dengan Cloud Build, Spinnaker, dan Artifact Registry.
Ini memungkinkan tim:
Melakukan otomatisasi build, test, dan release untuk setiap commit kode.
Menjaga reliabilitas produk meski dalam siklus pengembangan cepat.
Mengurangi risiko bug dalam versi rilis tanpa memperlambat waktu pengiriman produk.
2. Inteligensi Berbasis Data dan AI
Di era digital ini, keberhasilan startup tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mereka merancang solusi yang kreatif atau menarik, tetapi juga oleh kemampuan mereka memanfaatkan data sebagai fondasi pengambilan keputusan. Startup yang berhasil adalah startup yang mampu mengubah data menjadi wawasan, memprediksi kebutuhan pelanggan, dan menciptakan pengalaman yang sangat personal. Google Cloud memberikan landasan kuat bagi transformasi ini melalui layanan data dan kecerdasan buatan yang canggih, namun mudah digunakan.
a. Data Warehouse dan Analitik Real-Time dengan BigQuery
Mengelola data dalam jumlah besar tradisionalnya merupakan pekerjaan mahal, kompleks, dan memakan waktu. Dengan BigQuery, startup dapat mengelola petabyte data secara instan tanpa perlu membangun infrastruktur data warehouse sendiri. Keunggulannya meliputi:
Arsitektur serverless yang menghilangkan kebutuhan provisioning server,
Kemampuan menjalankan query dalam hitungan detik,
Skema fleksibel untuk integrasi berbagai sumber data (misalnya aplikasi mobile, log server, sistem CRM).
Startup dapat menggunakan BigQuery untuk:
Menganalisis perilaku pengguna aplikasi secara real-time,
Membuat segmentasi pelanggan otomatis,
Mengukur kinerja kampanye pemasaran dengan lebih presisi,
Mengembangkan model prediksi churn atau pertumbuhan pengguna.
b. Pengembangan AI/Machine Learning Tanpa Hambatan
Google Cloud memberikan akses ke alat-alat machine learning canggih yang dapat digunakan tanpa memerlukan tim data scientist berpengalaman. Melalui layanan seperti Vertex AI, startup bisa:
Melatih model AI kustom,
Mengoptimalkan parameter model,
Memantau performa model dari satu dashboard antarmuka.
Untuk startup tahap awal, AutoML dan BigQuery ML bahkan memungkinkan pembuatan model prediktif hanya dengan SQL. Ini membuka peluang besar, khususnya bagi tim engineering kecil atau tim non-teknis yang ingin menerapkan AI dalam produk mereka.
Google juga menyediakan API siap pakai, seperti:
Recommendations AI untuk menyarankan produk kepada pengguna e-commerce,
Vision AI untuk mengenali objek dalam kamera,
Speech-to-Text dan Text-to-Speech untuk aplikasi dengan fitur suara,
Natural Language API untuk analisis sentimen dan pemrosesan teks.
c. Data Governance dan Keamanan
Startup yang mengelola data pelanggan perlu memastikan keamanan tinggi dan kepatuhan terhadap regulasi seperti GDPR dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) Indonesia. Google Cloud menawarkan kontrol akses data yang ketat, enkripsi data otomatis, serta auditing tools yang memungkinkan startup untuk mengelola dan melindungi data pelanggan dengan standar global.
3. Penghematan Biaya dan Manajemen Anggaran
Bagi startup, terutama pada tahap awal, efisiensi biaya adalah salah satu faktor penentu keberlangsungan usaha. Keterbatasan modal awal membuat pengeluaran teknologi sering kali menjadi dilema: investasi infrastruktur yang besar di awal dapat menghambat pengembangan produk, sedangkan sistem yang tidak stabil dapat merusak kepercayaan pengguna. Google Cloud memberikan solusi dengan model layanan yang dirancang untuk mengoptimalkan biaya operasional sekaligus mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan.
a. Auto-scaling dan Cost Optimization
Google Cloud menawarkan kemampuan autoscaling pada sebagian besar layanan komputasi, seperti Compute Engine dan Kubernetes Engine. Teknologi ini memastikan sumber daya komputasi hanya akan bertambah ketika aplikasi membutuhkan peningkatan kapasitas, dan menurun secara otomatis ketika beban turun.
Hal ini memberikan dua keuntungan besar:
Efisiensi biaya — hanya membayar sumber daya ketika dibutuhkan, tanpa ada server idle yang membebani anggaran.
Kinerja optimal — kemampuan sistem untuk tetap responsif tanpa mengorbankan pengalaman pengguna meskipun terjadi lonjakan trafik mendadak.
Selain itu, fitur idle resource recommender dan usage-based billing memungkinkan startup melihat langsung layanan mana yang tidak aktif atau kurang digunakan, sehingga pengeluaran bisa dikurangi tanpa mengorbankan performa.
b. Fleksibilitas Pembayaran dan Diskon Berjenjang
Untuk layanan tertentu seperti BigQuery, Google Cloud menggunakan mekanisme pembayaran fleksibel, termasuk:
On-demand billing, di mana biaya dihitung per query atau per detik.
Flat-rate pricing, untuk startup yang membutuhkan kepastian biaya bulanan dalam penggunaan layanan analitik.
Commitment discounts, yang memberikan diskon pada penggunaan jangka panjang.
Fleksibilitas ini memungkinkan startup mengelola anggaran dengan lebih strategis, mengalokasikan dana untuk fitur baru alih-alih infrastruktur dan server.
c. Transparansi dan Kontrol Melalui Billing Dashboard
Google Cloud menyediakan Billing Dashboard dan alat pelacak biaya yang komprehensif. Startup dapat:
Menetapkan batas anggaran untuk setiap lingkungan (dev, staging, production),
Menandai biaya berdasarkan tim atau fitur aplikasi tertentu,
Menyiapkan notifikasi jika pengeluaran melampaui batas yang ditetapkan.
Integrasi dengan BigQuery juga memungkinkan analisis mendalam terhadap pengeluaran cloud untuk mendukung keputusan strategi bisnis—sebuah praktik penting bagi startup yang ingin skalabilitas finansial jangka panjang.
4. Kemitraan dan Pendampingan Berkelanjutan
Selain menyediakan infrastruktur teknologi yang canggih, Google Cloud juga memahami bahwa banyak startup memerlukan lebih dari sekadar akses ke layanan cloud. Mereka membutuhkan dukungan strategis dan teknis untuk mengoptimalkan layanan dan membangun fondasi bisnis yang solid. Oleh karena itu, Google Cloud menawarkan berbagai program pendampingan jangka panjang melalui kemitraan, pelatihan, dan dukungan komunitas.
a. Program Google for Startups
Melalui Google for Startups Cloud Program, startup yang terpilih berkesempatan menerima kredit cloud hingga ratusan ribu dolar, tergantung pada tahap dan skalanya. Program ini juga mencakup:
Akses ke konsultasi arsitektur teknis dengan engineer Google,
Dukungan go-to-market bersama Google,
Workshop dan pelatihan bagi tim engineering dan manajemen produk.
Bagi ekosistem startup Indonesia yang tengah berkembang, dukungan seperti ini bisa menjadi akselerator yang signifikan—baik dalam membangun aplikasi berskala global, memperkenalkan sistem analitik mutakhir, maupun melahirkan model bisnis baru berbasis data.
b. Komunitas dan Ekosistem Developer
Google Cloud turut membangun ekosistem global melalui kegiatan komunitas seperti Google Developer Groups (GDG) dan Cloud Community Days, di mana para pendiri dan tim teknis dapat saling berbagi pengalaman, tantangan, dan solusi. Dengan kehadiran GDG di berbagai kota besar di Indonesia, misalnya Jakarta, Bandung, dan Surabaya, startup lokal berkesempatan untuk:
Terlibat dalam kegiatan berbagi ilmu,
Mendapat mentor dari perusahaan global,
Mengenal solusi nyata dari studi kasus startup lain.
Kolaborasi ini memperkuat kapabilitas teknis tim dan sekaligus menjadi katalisator inovasi lintas industri.
c. Pelatihan dan Sertifikasi Gratis
Google Cloud juga menyediakan akses ke pelatihan dan sertifikasi melalui platform seperti Google Cloud Skills Boost, yang bisa diakses secara gratis atau dengan diskon khusus bagi peserta program startup. Sertifikasi seperti Professional Cloud Architect atau Data Engineer dapat menjadi aset penting bagi startup untuk membangun kredibilitas dalam menghadirkan solusi berbasis cloud bagi klien dan investor.
Kesimpulan
Google Cloud telah membuktikan dirinya bukan sekadar penyedia layanan infrastruktur, melainkan mitra strategis yang memahami ritme dan dinamika pertumbuhan startup. Dari pengelolaan data dan penghematan biaya, hingga kemitraan mendalam dan pengembangan talenta teknis melalui komunitas serta pelatihan, Google Cloud hadir sebagai katalis penting dalam ekosistem kewirausahaan berbasis teknologi.
Bagi startup di Indonesia, khususnya yang sedang menghadapi tantangan dalam skalabilitas teknologi dan efisiensi sumber daya, memilih Google Cloud sebagai mitra dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat fondasi bisnis dan bersiap memasuki kompetisi global. Dengan persaingan yang semakin ketat di pasar digital, keputusan tepat sejak awal dalam memilih teknologi dan platform dapat menentukan perjalanan startup dalam mencapai keberhasilan jangka panjang.
Daftar Pustaka
Dari konten video YouTube berikut, berdasarkan transkrip "Why Startups Choose Google Cloud":
Google Cloud. (2023). Why startups choose Google Cloud [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=cJHlWncgYDU
Google Cloud. (n.d.). Google for Startups Cloud Program. Retrieved June 2024, from https://cloud.google.com/startups
Google Cloud. (n.d.). Documents and Resources. Retrieved June 2024, from https://cloud.google.com/docs
Sato, K., & Singh, N. (2022). Scaling with cloud: Strategies for startups. Harvard Business Review. https://hbr.org/
Startup
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 17 November 2025
Dalam dekade terakhir, lanskap startup global mengalami transformasi signifikan seiring dengan percepatan digitalisasi dan meningkatnya kompetisi berbasis teknologi. Di tengah dinamika ini, tantangan utama yang dihadapi startup bukan hanya memperkenalkan produk inovatif, tetapi juga memastikan keberlanjutan model bisnis yang efisien, skalabel, dan responsif terhadap kebutuhan pasar. Di Indonesia, lingkungan bisnis yang sedang berkembang pesat membuka peluang besar bagi startup teknologi, terutama yang mampu mengintegrasikan pendekatan berbasis data dan automasi dalam operasionalnya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas startup di Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam hal akses modal, infrastruktur digital, dan sumber daya manusia terampil. Keterbatasan ini membuat banyak startup terjebak dalam "valley of death" — fase krusial di mana pengembangan produk memerlukan investasi besar sementara risiko kegagalan masih tinggi. Oleh karena itu, dukungan percepatan teknologi melalui platform cloud menjadi salah satu kunci untuk mengurangi biaya tetap, meningkatkan efisiensi produksi, serta memberikan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan skala besar.
Program Google for Startups Cloud, yang memberikan akses kredit cloud hingga USD 250.000 dan pendampingan teknis, hadir sebagai solusi strategis yang mampu menjembatani kesenjangan ini. Dengan memanfaatkan ekosistem layanan Google Cloud, startup dapat mempercepat pengembangan produk, mengoptimalkan pengelolaan data, meningkatkan keamanan sistem, dan memperluas jangkauan pasar melalui jaringan global yang terintegrasi.
Bagi startup Indonesia, manfaat ini bukan sekadar kesempatan untuk mengadopsi teknologi canggih, tetapi juga untuk membangun budaya inovasi berbasis data dan kolaborasi. Program ini menjadi katalis bagi transformasi operasional dan model bisnis, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekosistem startup digital yang kompetitif di Asia Tenggara.
Bagaimana Program Bekerja
Google for Startups Cloud Program dirancang sebagai sistem dukungan menyeluruh bagi startup tahap awal hingga yang sedang bertumbuh. Program ini menawarkan kombinasi unik antara akses teknologi canggih berbasis cloud, pendampingan langsung dari para ahli Google, serta koneksi ke komunitas global startup dan mitra teknologi. Tujuannya bukan hanya memberikan sumber daya, tetapi juga membangun fondasi jangka panjang agar startup dapat berkembang secara efisien di pasar digital yang kompetitif.
1. Kredit Cloud hingga USD 250.000
Salah satu pilar utama program ini adalah pemberian Google Cloud credits, yang dapat digunakan untuk mengakses layanan Google Cloud Platform (GCP) secara gratis dalam periode tertentu. Dukungan finansial ini dirancang untuk mengurangi beban biaya awal yang biasanya menjadi hambatan signifikan bagi startup berbasis teknologi. Kredit ini dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan sebagai berikut:
Komputasi skala besar melalui layanan seperti Compute Engine dan Kubernetes, pilhan ideal untuk startup yang memproses data dalam jumlah besar atau memiliki arsitektur microservices.
Analitik dan manajemen data dengan BigQuery, yang memungkinkan integrasi dan analisis data berskala besar secara real-time, menjadi dasar keputusan berbasis data yang lebih presisi.
Machine Learning dan kecerdasan buatan melalui layanan seperti Vertex AI atau AutoML, yang memungkinkan startup membangun sistem prediktif atau produk berbasis AI dengan lebih mudah.
Keamanan data dan privasi dengan fitur autentikasi berbasis cloud dan alat manajemen risiko.
Dengan adanya kredit cloud ini, startup dapat bereksperimen secara fleksibel dalam tahap awal pengembangan produk tanpa khawatir soal biaya infrastruktur yang besar.
2. Pendampingan Teknis dan Bisnis dari Google
Selain fasilitas teknologi, program ini juga menyediakan akses ke para insinyur, arsitek cloud, dan mentor bisnis dari Google. Pendampingan ini membantu startup mengatasi tantangan teknis seperti arsitektur sistem, keamanan, integrasi data, hingga optimasi kinerja aplikasi. Di sisi bisnis, pendampingan mencakup strategi pemasaran, manajemen risiko, hingga pemodelan pertumbuhan.
Keunggulan utama pendampingan Google adalah pendekatan berbasis pengalaman dan praktik terbaik dari perusahaan teknologi kelas dunia. Pendampingan ini membantu startup menghindari kesalahan umum, sehingga mampu mengembangkan produk dan sistem secara lebih efisien dan aman.
3. Akses ke Ekosistem dan Jaringan Global
Program ini juga membuka akses ke jaringan global startup dan mitra teknologi Google. Lewat jalur ini, startup dapat:
Terhubung dengan sesama startup di berbagai wilayah untuk berbagi praktik, kolaborasi, atau membuka pasar baru.
Berinteraksi dengan venture capitalist dan investor dampak global.
Mengakses pasar lintas batas dengan dukungan digital, strategis, dan teknis yang sudah teruji.
Ekosistem ini memperluas peluang bagi startup Indonesia untuk muncul sebagai bagian dari rantai nilai global — menyerap ilmu, memanfaatkan koneksi, sekaligus memperluas potensi pasar produk mereka.
Relevansi Program untuk Peningkatan Produktivitas Startup di Indonesia
Produktivitas operasional adalah salah satu faktor penentu utama kesuksesan startup, terutama dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif seperti Indonesia. Program Google for Startups Cloud menawarkan kombinasi teknologi dan dukungan strategis yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan produktivitas — baik pada tahap pengembangan produk maupun pada fase ekspansi ke pasar yang lebih luas.
1. Pengurangan Waktu Peluncuran Produk (Time-to-Market)
Dengan akses gratis ke platform Google Cloud, startup dapat mengurangi waktu dan biaya yang biasanya diperlukan untuk membangun infrastruktur teknologi dari awal. Penggunaan layanan seperti:
App Engine & Cloud Run untuk deploy aplikasi dengan cepat,
Firebase untuk integrasi backend real-time, autentikasi, dan analitik pengguna,
Cloud Build untuk otomatisasi pipeline CI/CD,
memungkinkan tim kecil sekalipun bisa meluncurkan produk MVP (Minimum Viable Product) dalam waktu lebih singkat. Hal ini meningkatkan ketangkasan startup dalam merespons kebutuhan pasar serta beradaptasi dengan umpan balik pengguna secara iteratif.
2. Skalabilitas Operasional dengan Risiko Rendah
Melalui pendekatan pay-as-you-grow dengan kredit cloud, startup dapat merancang sistem mereka untuk berskala tanpa perlu investasi awal yang besar. Fitur seperti:
Auto-scaling pada Kubernetes,
Penyimpanan cloud yang elastis,
Integrasi global pada API,
memastikan startup dapat meningkatkan kapasitas layanan sesuai pertumbuhan pengguna tanpa gangguan. Hal ini sangat relevan bagi bisnis digital seperti e-commerce, edtech, dan fintech yang mengalami lonjakan trafik mendadak.
3. Data-Driven Decision Making
Dengan kapabilitas Big Data dan machine learning berbasis cloud, startup dapat berpindah dari keputusan berbasis intuisi ke pendekatan berbasis data. Analytics yang tersentralisasi dan sistematis memungkinkan tim untuk:
Memahami perilaku pelanggan secara mendalam,
Mengukur efektivitas promosi dan pemasaran,
Memproyeksikan permintaan pasar dengan lebih akurat,
Merancang intervensi produk yang lebih tepat sasaran.
Google Cloud menyediakan alat seperti BigQuery dan Vertex AI untuk menerjemahkan data mentah menjadi pengetahuan strategis.
4. Optimalisasi Biaya dan Penggunaan Sumber Daya
Dengan memanfaatkan cloud dan otomasi, startup dapat mengalihkan anggaran yang biasanya dialokasikan untuk pembelian server, perangkat keras, dan staf IT ke pengembangan inti bisnis. Penghematan biaya ini memaksa startup menjadi lebih efisien, mengurangi risiko keuangan, dan meningkatkan kelayakan usaha secara jangka panjang.
5. Akses ke Ekosistem Global
Koneksi ke ekosistem global memampukan startup Indonesia untuk belajar dari perusahaan di negara lain yang telah memanfaatkan Google Cloud lebih awal. Melalui ini, mereka bisa melihat tren global, mempelajari praktik terbaik, atau bahkan melakukan ekspansi pasar lewat kolaborasi dengan startup, mitra bisnis, atau komunitas developer di luar negeri.
Strategi Implementasi untuk Startup di Indonesia
Agar manfaat program Google for Startups Cloud dapat dimaksimalkan, startup di Indonesia perlu menerapkan strategi implementasi berbasis kesiapan teknologi dan pendekatan bisnis yang sistematis. Di bawah ini adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan secara bertahap:
1. Analisis Kebutuhan Teknologi dan Kapasitas Tim
Langkah pertama adalah melakukan audit internal terhadap infrastruktur IT dan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Hal ini mencakup:
Pengukuran kapasitas tim dalam mengelola teknologi cloud,
Identifikasi arsitektur sistem saat ini (misalnya berbasis on-premise atau hybrid),
Evaluasi kemampuan dalam pengembangan dan pengelolaan aplikasi berbasis cloud-native.
Startup yang memiliki tim dengan pengalaman DevOps atau sistem skala besar akan lebih mudah beradaptasi, tetapi program ini juga menyediakan pendampingan untuk meningkatkan kompetensi teknis tim.
2. Integrasi Bertahap Melalui Proyek Contoh (Pilot Project)
Alih-alih mengubah semua sistem sekaligus, startup disarankan untuk melakukan migrasi bertahap melalui pilot project.
Misalnya, memindahkan satu layanan mikro atau sistem analitik tertentu ke cloud.
Menggunakan Firebase atau App Engine sebagai backend produk MVP untuk menguji pengalaman pengguna secara real-time.
Mengukur dampak migrasi dari sisi performa, keamanan, dan biaya sebelum mengadopsi secara penuh.
Pendekatan ini mengurangi risiko kegagalan dan memberikan ruang untuk penyesuaian teknis.
3. Pembentukan Budaya Kerja Berbasis Cloud dan Data
Produktivitas tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada cara tim bekerja. Beberapa upaya yang perlu dilakukan:
Mendorong adopsi Agile dan DevOps dalam alur kerja tim,
Menjadikan data sebagai dasar keputusan bisnis dengan membiasakan analisis rutin,
Melatih tim non-teknis agar memahami dampak cloud pada operasi dan strategi.
Google Cloud menyediakan dokumentasi, tools, dan ruang pelatihan seperti Qwiklabs dan Google Cloud Skills Boost untuk memperkuat kapasitas tim.
4. Manfaatkan Fasilitas Ekosistem, Mentoring, dan Partnership
Program ini tidak hanya berupa kredit, tetapi ekosistem yang terdiri dari pelatihan, komunitas, dan peluang investasi. Startup perlu:
Mengikuti sesi mentoring dan lokakarya yang disediakan Google,
Berpartisipasi dalam komunitas cloud lokal untuk belajar dari startup lain,
Mengambil peluang memperkenalkan produk dan mengakses jalur pendanaan dari mitra venture capital Google.
Menggabungkan teknologi dan jejaring adalah kunci akselerasi pertumbuhan.
5. Evaluasi Kinerja dan Skalabilitas Secara Berkala
Bagian penting dari implementasi adalah pemantauan produktivitas dan ROI (return on investment). Startup bisa:
Mengukur metrik performa seperti waktu respons sistem, biaya server, dan jumlah pengguna aktif,
Menyusun laporan dampak cloud terhadap pengurangan biaya operasional dibandingkan sistem lama,
Mempersiapkan strategi skala yang lebih luas apabila program menunjukkan dampak positif.
Kesimpulan
Program Google for Startups Cloud memberikan peluang strategis bagi startup Indonesia untuk transisi dari model teknologi tradisional menuju arsitektur cloud yang efisien, skalabel, dan berbasis data. Dengan strategi implementasi yang matang dan pemanfaatan penuh terhadap fitur-fitur dan ekosistem yang ditawarkan, startup Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas internal, tetapi juga memperkuat daya saing global.
Daftar Pustaka
Google Cloud. (2024). Google for Startups Cloud Program Overview. Google Cloud. https://cloud.google.com/startup
McKinsey & Company. (2022). Scaling Tech Startup Growth through Cloud and Data. McKinsey Digital.
World Bank. (2023). Digital Transformation and Startup Ecosystem in Emerging Markets. World Bank Group.
Bappenas. (2023). Transformasi Digital untuk Pertumbuhan Produktivitas Startup di Indonesia. Kementerian PPN/Bappenas.
Startup Genome. (2023). Global Startup Ecosystem Report 2023: Asia-Pacific Insights. Startup Genome.
YouTube. (2024). Learn about the Google for Startups Cloud Program [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=P36YFXaUJM0
Startup
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Februari 2025
Dalam bisnis, unicorn adalah perusahaan startup bernilai lebih dari US$1 miliar yang merupakan milik swasta dan tidak terdaftar di pasar saham. Istilah ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2013, diciptakan oleh pemodal ventura Aileen Lee, memilih hewan mitos untuk mewakili kelangkaan statistik dari usaha yang sukses. CB Insights mengidentifikasi 1.170 unicorn di seluruh dunia pada Juni 2022. Unicorn dengan valuasi lebih dari $10 miliar telah ditetapkan sebagai perusahaan "decacorn". Untuk perusahaan swasta yang bernilai lebih dari $100 miliar, istilah "centicorn" dan "hectocorn" telah digunakan.
![]()
Perusahaan robot pengiriman Starship Technologies adalah unicorn Estonia.
Sejarah Unicorn
Aileen Lee mencetuskan istilah "unicorn" dalam sebuah artikel TechCrunch tahun 2013, "Welcome To The Unicorn Club: Belajar dari Startup Miliaran Dolar."Pada saat itu, 39 perusahaan diidentifikasi sebagai unicorn. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Harvard Business Review, ditentukan bahwa perusahaan rintisan yang didirikan antara tahun 2012 dan 2015 mengalami pertumbuhan valuasi dua kali lebih cepat daripada perusahaan rintisan yang didirikan antara tahun 2000 dan 2003. Pada tahun 2018, 16 perusahaan AS menjadi unicorn, menghasilkan 119 perusahaan swasta di seluruh dunia yang bernilai $ 1 miliar atau lebih.
Secara global, menurut CB Insights, ada lebih dari 803 unicorn pada Agustus 2021, dengan ByteDance, SpaceX, dan Stripe di antara yang terbesar, dan 30 decacorn, termasuk SpaceX, Getir, Goto, J&T Express, Stripe, dan Klarna. Lonjakan unicorn dilaporkan sebagai "meteorik" untuk tahun 2021, dengan $71 miliar diinvestasikan di 340 perusahaan baru, tahun yang luar biasa bagi perusahaan rintisan dan industri modal ventura AS; jumlah perusahaan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang bernilai lebih dari $1 miliar selama 2021 melebihi jumlah total lima tahun sebelumnya. Enam bulan kemudian, pada bulan Juni 2022, 1.170 total unicorn dilaporkan, IPL dengan $10,9 miliar menjadi decacorn pada tahun 2022.
Alasan Pertumbuhan Unicorn Yang Cepat
Pada pertengahan tahun 2000-an, investor dan perusahaan modal ventura mengadopsi strategi first-mover advantage and get big fast (GBF) untuk perusahaan rintisan, yang juga dikenal dengan istilah "blitzscaling." GBF adalah strategi di mana perusahaan rintisan mencoba untuk berkembang dengan cepat melalui putaran pendanaan yang besar dan pemotongan harga untuk memperoleh keuntungan dari pangsa pasar dan menyingkirkan pesaing secepat mungkin. Pengembalian yang cepat melalui strategi ini tampaknya menarik bagi semua pihak yang terlibat, meskipun ada catatan peringatan tentang gelembung dot-com pada tahun 2000, serta kurangnya keberlanjutan jangka panjang dalam penciptaan nilai perusahaan-perusahaan baru di era Internet.
Banyak unicorn diciptakan melalui pembelian oleh perusahaan publik besar. Dalam lingkungan dengan suku bunga rendah dan pertumbuhan yang lambat, banyak perusahaan seperti Apple, Meta, dan Google berfokus pada akuisisi daripada berfokus pada belanja modal dan pengembangan proyek investasi internal. Beberapa perusahaan besar lebih memilih untuk meningkatkan bisnis mereka dengan membeli teknologi dan model bisnis yang sudah mapan daripada menciptakannya sendiri.
Usia rata-rata perusahaan teknologi sebelum go public adalah 11 tahun, dibandingkan dengan usia rata-rata 4 tahun pada tahun 1999. Dinamika baru ini berasal dari peningkatan jumlah modal swasta yang tersedia untuk unicorn dan pengesahan Undang-Undang Jumpstart Our Business Startups (JOBS) di Amerika Serikat pada tahun 2012, yang meningkatkan empat kali lipat jumlah pemegang saham yang dapat dimiliki perusahaan sebelum mereka harus mengungkapkan laporan keuangan mereka kepada publik. Jumlah modal swasta yang diinvestasikan di perusahaan perangkat lunak telah meningkat tiga kali lipat dari tahun 2013 hingga 2015.
Melalui banyak putaran pendanaan, perusahaan tidak perlu melakukan penawaran umum perdana (IPO) untuk mendapatkan modal atau valuasi yang lebih tinggi; mereka dapat kembali ke investor mereka untuk mendapatkan lebih banyak modal. IPO juga memiliki risiko devaluasi perusahaan jika pasar publik menganggap perusahaan bernilai lebih rendah daripada investornya.
Beberapa contoh terbaru dari situasi ini adalah Square, yang terkenal dengan pembayaran mobile dan bisnis layanan keuangannya, dan Trivago, sebuah mesin pencari hotel populer di Jerman, yang keduanya dihargai di bawah harga penawaran awal oleh pasar. Hal ini disebabkan oleh penilaian yang terlalu tinggi terhadap kedua perusahaan tersebut di pasar privat oleh para investor dan perusahaan modal ventura. Pasar tidak setuju dengan valuasi kedua perusahaan tersebut, dan oleh karena itu, menurunkan harga masing-masing saham dari kisaran IPO awal mereka. Investor dan perusahaan rintisan dapat memilih untuk menghindari IPO karena meningkatnya peraturan. Peraturan seperti Sarbanes-Oxley Act telah menerapkan peraturan yang lebih ketat setelah beberapa kasus kebangkrutan di pasar AS yang ingin dihindari oleh banyak perusahaan ini.
Perusahaan rintisan telah memanfaatkan pertumbuhan pesat teknologi baru untuk mendapatkan status unicorn. Dengan munculnya media sosial dan akses ke jutaan orang yang memanfaatkan teknologi ini untuk mendapatkan skala ekonomi yang besar, perusahaan rintisan memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis mereka lebih cepat dari sebelumnya. Inovasi baru dalam teknologi termasuk ponsel pintar, platform P2P, dan komputasi awan dengan kombinasi aplikasi media sosial telah membantu pertumbuhan unicorn.
Valuasi
Valuasi yang menetapkan perusahaan rintisan sebagai unicorn dan decacorn berbeda dengan perusahaan mapan. Valuasi untuk perusahaan mapan berasal dari kinerja tahun-tahun sebelumnya, sementara valuasi perusahaan start-up berasal dari peluang pertumbuhan dan perkembangan yang diharapkan dalam jangka panjang untuk pasar potensialnya. Valuasi untuk unicorn biasanya dihasilkan dari putaran pendanaan perusahaan modal ventura besar yang berinvestasi di perusahaan start-up. Valuasi akhir yang signifikan lainnya dari perusahaan rintisan adalah ketika perusahaan yang jauh lebih besar membeli sebuah perusahaan, memberikan valuasi tersebut; beberapa contohnya adalah Unilever membeli Dollar Shave Club dan Facebook membeli Instagram dengan nilai masing-masing sebesar $ 1 miliar, yang secara efektif mengubah Dollar Shave Club dan Instagram menjadi unicorn.
Bill Gurley, seorang mitra di perusahaan modal ventura Benchmark, meramalkan pada bulan Maret 2015 dan sebelumnya bahwa peningkatan pesat dalam jumlah unicorn mungkin "telah pindah ke dunia yang spekulatif dan tidak berkelanjutan", yang akan meninggalkan apa yang ia sebut sebagai "unicorn mati". Ia juga mengatakan bahwa alasan utama valuasi unicorn adalah "jumlah uang yang berlebihan" yang tersedia untuk mereka. Demikian pula, pada tahun 2015 William Danoff, yang mengelola Fidelity Contrafund, mengatakan bahwa unicorn mungkin "akan kehilangan sedikit kilau" karena kemunculannya yang lebih sering dan beberapa kasus di mana harga sahamnya didevaluasi. Penelitian oleh para profesor Stanford yang diterbitkan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa unicorn dinilai terlalu tinggi dengan rata-rata 48%.
Penilaian Perusahaan Dengan Pertumbuhan Tinggi
Untuk perusahaan dengan pertumbuhan tinggi yang mencari valuasi setinggi mungkin, ini tergantung pada potensi dan peluang. Ketika investor dari perusahaan dengan pertumbuhan tinggi memutuskan apakah mereka harus berinvestasi di sebuah perusahaan atau tidak, mereka mencari tanda-tanda home run untuk menghasilkan keuntungan eksponensial atas investasi mereka bersama dengan kepribadian yang tepat yang sesuai dengan perusahaan tersebut. Untuk memberikan valuasi yang begitu tinggi dalam putaran pendanaan, perusahaan modal ventura harus percaya pada visi pengusaha dan perusahaan secara keseluruhan. Mereka harus percaya bahwa perusahaan tersebut dapat berevolusi dari kondisi saat ini yang tidak stabil dan tidak pasti menjadi sebuah perusahaan yang dapat menghasilkan dan mempertahankan pertumbuhan yang moderat di masa depan.
Ukuran Pasar
Untuk menilai potensi pertumbuhan perusahaan di masa depan, perlu ada analisis mendalam mengenai target pasar. Ketika perusahaan atau investor menentukan ukuran pasarnya, ada beberapa langkah yang perlu mereka pertimbangkan untuk mengetahui seberapa besar pasar yang sebenarnya:
Setelah pasar diperkirakan secara wajar, perkiraan keuangan dapat dibuat berdasarkan ukuran pasar dan seberapa besar perusahaan dapat tumbuh dalam periode waktu tertentu.
Untuk menilai valuasi perusahaan dengan benar setelah perkiraan pendapatan selesai, perkiraan margin operasi, analisis investasi modal yang dibutuhkan, dan laba atas modal yang diinvestasikan perlu diselesaikan untuk menilai pertumbuhan dan potensi pengembalian kepada investor dari suatu perusahaan. Asumsi di mana perusahaan dapat tumbuh harus realistis, terutama saat mencoba membuat perusahaan modal ventura memberikan penilaian yang diinginkan perusahaan. Pemodal ventura tahu bahwa pembayaran atas investasi mereka tidak akan terealisasi selama lima hingga sepuluh tahun ke depan, dan mereka ingin memastikan sejak awal bahwa perkiraan keuangannya realistis.
Dengan perkiraan keuangan yang telah ditetapkan, investor perlu mengetahui berapa nilai perusahaan saat ini. Di sinilah metode penilaian yang lebih mapan menjadi lebih relevan.
Ini termasuk tiga metode penilaian yang paling umum:
Investor bisa mendapatkan penilaian akhir dari metode-metode ini dan jumlah modal yang mereka tawarkan sebagai persentase ekuitas dalam perusahaan menjadi penilaian akhir untuk sebuah startup. Keuangan kompetitor dan transaksi masa lalu juga memainkan peran penting saat memberikan dasar untuk menilai startup dan menemukan penilaian yang tepat untuk perusahaan-perusahaan ini.
Tren Pasar
Ekonomi berbagi, yang juga dikenal sebagai "konsumsi kolaboratif" atau "ekonomi sesuai permintaan", didasarkan pada konsep berbagi sumber daya pribadi. Tren berbagi sumber daya ini telah membuat tiga dari lima unicorn terbesar (Uber, DiDi, dan Airbnb) menjadi perusahaan rintisan yang paling bernilai di dunia. Tren ekonomi pada tahun 2010-an mendorong konsumen untuk belajar lebih konservatif dalam hal pengeluaran dan ekonomi berbagi merefleksikan hal ini.
E-commerce dan inovasi pasar online secara perlahan telah mengambil alih kebutuhan akan lokasi fisik merek toko. Contoh utama dari hal ini adalah penurunan jumlah mal di Amerika Serikat, yang penjualannya menurun dari $87,46 miliar pada tahun 2005 menjadi $60,65 miliar pada tahun 2015. Kemunculan perusahaan-perusahaan e-commerce seperti Amazon dan Alibaba (keduanya merupakan unicorn sebelum mereka go public) telah mengurangi kebutuhan akan lokasi fisik untuk membeli barang-barang konsumen. Banyak perusahaan besar telah melihat tren ini sejak lama dan mencoba beradaptasi dengan tren e-commerce. Walmart pada tahun 2016 membeli Jet.com, sebuah perusahaan e-commerce Amerika, dengan harga $3,3 miliar untuk mencoba beradaptasi dengan preferensi konsumen.
Untuk mendukung ekonomi berbagi, unicorn dan perusahaan rintisan yang sukses telah membangun model operasi yang disebut sebagai "pengatur jaringan." Dalam model bisnis ini, ada jaringan rekan yang menciptakan nilai melalui interaksi dan berbagi. Pengorkestrasi jaringan dapat menjual produk/layanan, berkolaborasi, berbagi ulasan, dan membangun relasi melalui bisnis mereka. Contoh orkestrator jaringan termasuk semua perusahaan ekonomi berbagi (misalnya Uber, Airbnb, OYO), perusahaan yang memungkinkan konsumen berbagi informasi (misalnya TripAdvisor, Yelp), dan platform penjualan peer-to-peer atau bisnis-ke-bisnis (misalnya Amazon, Alibaba).
Disadur dari: en.wikipedia.org
Startup
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 20 Februari 2025
Business Startup
Startup merupakan serapan dari bahasa Inggris yang memiliki arti yaitu bisnis yang baru yang saja dirintis. Startup sendiri merupakan sebuah perusahaan rintisan yang jangka waktu beroperasinya belum terlalu lama.
Oleh karena itu, startup juga bisa diartikan sebagai perusahaan yang baru saja dibentuk dan masih pada tahap pengembangan maupun penelitian agar menemukan pasar yang tepat untuk mengembangkan produk ataupun jasa yang ingin ditawarkan.
Pada umumnya, bisnis startup ini sendiri lebih mengutamakan berbagai ide baru yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat maupun konsumen yang ada di pasaran. Dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat ini, perusahaan startup biasanya mengacu kepada perusahaan yang memberikan atau memiliki layanan maupun produk yang bergerak pada bidang teknologi maupun digital.
Karakteristik Bisnis Startup
1. Modal bisnis terhadap pergerakan bisnis yang ada
2. Bisnis startup memiliki umur kurang dari tiga tahun
3. Bisnis startup memiliki pendapatan dalam satu tahun kurang dari 100.000 ribu US Dollar
4. Bisnis startup memiliki tujuan dalam mengembangkan bisnis secara cepat
5. Bisnis startup memiliki kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan pasar
6. Bisnis startup memanfaatkan teknologi informasi elektronik dalam perkembangan zaman saat ini.
Sumber: Gramedia.com
Startup
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 12 Februari 2025
Startup yang menyediakan produk kebutuhan pokok seperti sayur dan buah-buahan, Sayurbox, dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan rintisan ini sebelumnya menutup toko offline bernama Toko Panen pada bulan lalu (20/6) di Kelapa Gading, Jakarta Utara, seperti yang diumumkan melalui akun Instagram @panen.official pada bulan sebelumnya (16/6).
Saat ini, Sayurbox dilaporkan melakukan PHK. Meskipun Sayurbox berhasil meraih pendanaan seri C lebih dari US$120 juta atau lebih dari Rp1,7 triliun pada bulan Maret, investasi ini dipimpin oleh Northstar dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari International Finance Corporation (IFC).
Investor sebelumnya, termasuk Global Brain, Astra, Syngenta Group Ventures, dan beberapa investor lainnya, juga turut serta dalam pendanaan tersebut. Northstar adalah salah satu investor Gojek, sementara Alpha JWC Ventures berinvestasi di startup yang didirikan oleh putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Goola dan Mangkokku.
Pendanaan seri C ini didapat dalam kurun waktu kurang dari satu tahun setelah mendapatkan pendanaan seri B sebesar US$15 juta atau Rp216 miliar yang dipimpin oleh Astra. Sayurbox menawarkan lebih dari 5.000 produk hasil pertanian, daging, ikan, dan makanan jadi, dengan wilayah pengiriman mencakup Jabodetabek, Surabaya, dan Bali.
Startup ini melayani sekitar 1 juta pelanggan di Jawa dan Bali dan memiliki kemitraan dengan lebih dari 10.000 petani di seluruh Indonesia. Sebelumnya, dua startup serupa juga menghentikan layanan, yaitu Tanihub dan Brambang, yang juga melakukan PHK. Brambang menutup layanan pada Mei (27/5) dan beralih menjadi marketplace untuk smartphone dan elektronik dengan membuat akun Instagram baru @brambangelektronik pada Mei (26/5).
Pada Februari, TaniHub juga menghentikan operasional dua gudang di Bandung dan Bali serta melakukan PHK. Senior Corporate Communication Manager TaniHub Group, Bhisma Adinaya, mengungkapkan bahwa perusahaan ingin mempertajam fokus bisnisnya dengan meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan B2B seperti hotel, restoran, kafe, modern trade, general trade, UMKM, dan mitra strategis. Oleh karena itu, perusahaan melakukan PHK karyawan untuk menyesuaikan fokus bisnisnya.
Startup Pertanian Diminati oleh Konglomerat
Sektor e-groceries sedang diminati oleh konglomerat di Indonesia. Anak perusahaan CT. Corps, PT. Trans Retail Indonesia (Transmart), dan PT. Bukalapak.com Tbk telah membentuk usaha patungan bernama AlloFresh, yang merupakan e-commerce untuk makanan segar dan kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, Blibli, yang didukung oleh Grup Djarum, telah menginvestasikan sejumlah besar uang ke dalam perusahaan ritel modern Ranch Market dengan mengakuisisi 51% saham, dengan nilai transaksi mencapai Rp. 2,03 triliun.
Grup Djarum juga terlibat dalam ekosistem penyedia produk segar melalui investasi di Gojek sejak 2018. Salah satu investasi terbaru Gojek adalah dalam startup social commerce bernama Segari, dengan nilai investasi mencapai US$ 16 juta atau sekitar Rp 226,8 miliar. Segari menyediakan layanan penyederhanaan rantai distribusi kebutuhan pokok melalui skema bisnis social commerce, dengan mitra petani dari Jawa dan Sumatera.
Startup lain yang menarik investasi adalah Sayurbox, yang mendapatkan investasi US$ 5 juta dari Astra International dan US$ 500 ribu dari Metrodata Electronics. Perusahaan ini menawarkan solusi inklusi teknologi bagi tukang sayur dengan desain model bisnis yang memadukan ekosistem petani sayur. Kedai Sayur, startup lain dalam sektor yang sama, telah menerima investasi US$ 4 juta dari Triputra Group dan Multi Persada Nusantara sejak tahun 2019. Mereka menawarkan model bisnis yang mengakomodasi tukang sayur dan ekosistem petani.
Di sisi lain, Grab telah berkolaborasi dengan Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), gerai ritel milik Grup Lippo, untuk memperluas bisnis omni-channel Matahari. Kolaborasi ini memungkinkan konsumen Grab untuk berbelanja bahan pokok, produk segar, dan kebutuhan rumah tangga dari toko virtual Hypermart, Foodmart, Primo, dan Hyfresh di fitur GrabMart. Terakhir, MDI Ventures, milik BUMN Telkom, memimpin pendanaan ke TaniHub Group, startup pertanian, dengan nilai US$ 65,5 juta atau sekitar Rp 942 miliar pada bulan Mei.
Sumber: katadata.co.id
Startup
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 11 Februari 2025
Ketika Netflix mengumumkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan larangan berbagi kata sandi beberapa tahun yang lalu, para pelanggan langsung menolak. Banyak yang mengancam akan menghentikan langganan mereka, meneriakkan #BatalkanNetflix, sementara yang lain menindaklanjuti dan dengan tegas menutup akun mereka. Tidak ada yang menyukai ide tersebut. Saya tentu saja tidak. Tapi mari kita jujur: Kami tahu ini harus terjadi.
Selama bertahun-tahun, Netflix menutup mata terhadap berbagi kata sandi, bahkan dengan santai mendorongnya di media sosial. Tetapi saat itu Netflix sedang berada dalam fase pertumbuhan eksponensial yang membawa perusahaan ini mencapai harga saham tertinggi di tahun 2021 yaitu lebih dari $690. Pada tahun 2022, Netflix melaporkan kehilangan pelanggan untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade - sekitar 200.000 akun di kuartal pertama tahun itu dan hampir 1 juta di kuartal kedua.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa lanskap streaming telah menjadi jauh lebih ramai dibandingkan tahun 2007 ketika Netflix pertama kali mulai menawarkan perpustakaannya secara online. Pikirkan Hulu, Disney+, Prime Video, Paramount+, dan lainnya. Jadi, katakanlah Anda adalah salah satu co-CEO Netflix: Anda melihat perusahaan Anda kehilangan banyak pelanggan, pesaing Anda mengitari Anda seperti burung nasar, dan, pada akhirnya, Anda terikat dengan pemegang saham Anda. Dan wow, lihatlah, sebuah laporan analisis internal jatuh di meja Anda. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa ada sekitar 100 juta rumah tangga di seluruh dunia yang mengakses Netflix tanpa akun berbayar, termasuk reporter Business Insider yang murah hati yang menipu mantannya.
Maaf, Pembobolan Kata Sandi Berhasil
Yang mengecewakan para #CancelNetflix-ers, perhitungan kata sandi telah membuahkan hasil - dengan sangat baik. Pada kuartal ketiga 2023, Netflix melaporkan bahwa mereka menambahkan 8,8 juta pelanggan, jauh melebihi ekspektasi. Angka-angka pada kuartal keempat memberikan hasil yang lebih baik: 13,1 juta pelanggan global dengan total lebih dari 260 juta, Lucia Moses dari Business Insider melaporkan. Angka tersebut meningkat hampir 30 juta selama tahun 2022. Dua langkah yang mungkin membantu Netflix meningkatkan angka-angka tersebut, menurut Jadrian Wooten, seorang profesor ekonomi di Virginia Tech yang menulis buletin Monday Morning Economist.
Ketika Netflix sedang mempersiapkan tindakan keras terhadap pembobolan kata sandi, Netflix memperkenalkan langganan berbasis iklan dengan harga sekitar $7 per bulan, yang mana lebih murah $3 daripada penawaran bebas iklan termurahnya pada saat itu dan sedikit lebih murah daripada akun Hulu. Perusahaan ini juga menyediakan opsi bagi rumah tangga untuk menambahkan pengguna ke akun mereka yang sudah ada dengan biaya sekitar $8 per bulan. "Jadi itu semacam langkah yang dilakukan untuk memperluas secara geografis ke negara-negara lain dan menawarkan versi yang lebih murah, tetapi juga memperkenalkan semacam tingkat kedua untuk orang-orang yang berbagi akun, dan mereka kemudian dapat naik ke bagian berikutnya," kata Wooten kepada BI. "Jadi idenya adalah mereka tidak akan membayar untuk akun penuh sendiri, tetapi mungkin jika mereka kehilangan akses, mereka akan turun ke bagian tingkat iklan." Bau, tetapi cukup adil.
Wooten sebelumnya mengatakan kepada Virginia Tech News bahwa, terlepas dari kemarahan online, dampak keseluruhan pada jumlah langganan Netflix kemungkinan besar tidak akan besar. Sebagian dari fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan apa yang disebut oleh para ekonom sebagai "preferensi yang dinyatakan versus preferensi yang diungkapkan." "Gagasan di baliknya adalah bahwa apa yang kita katakan kita inginkan sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya kita lakukan," kata Wooten kepada BI. "Perilaku yang terungkap," lanjutnya, adalah "perilaku yang sebenarnya dari preferensi aktual seseorang dan bukan hanya apa yang mereka katakan akan mereka lakukan. Jadi Anda bisa melihat bahwa ini benar-benar contoh yang sempurna."
Apa yang Selanjutnya untuk Netflix?
Reaksi spontan dari seseorang yang membaca ini mungkin saja terjadi: Wah, ini menjengkelkan. Saya tidak ingin Netflix - sebuah perusahaan yang bernilai lebih dari $238 miliar - dan platform lainnya merasa diberdayakan untuk memeras lebih banyak dari pelanggan. Kami sudah membayar begitu banyak untuk langganan lain. (Sekitar $219 per bulan, menurut sebuah penelitian.) Apa lagi yang akan diambil Netflix dari kita? Kita bisa membingkainya seperti itu. Netflix - setelah melihat berapa banyak orang yang bersedia membayar untuk kontennya - mungkin akan menaikkan harga langganan, seperti yang sudah dilakukannya, menambahkan lebih banyak iklan, atau peringatan lain untuk mengakses perpustakaannya.
Dari sudut pandang ekonom, larangan berbagi kata sandi dapat dilihat sebagai bagian dari tren yang terus berlanjut dari Netflix untuk memperkenalkan lebih banyak opsi berlangganan, kata Wooten. "Jadi idenya adalah bahwa mereka akan membawa orang dengan harga yang berbeda," katanya. Salah satu opsi yang menurut Wooten dapat diluncurkan Netflix adalah langganan yang lebih murah yang membatasi jumlah konten yang dapat ditonton oleh pelanggan.
Hal ini mirip dengan batasan 15 jam pada buku audio per bulan dari Spotify untuk pelanggan premiumnya. Itu berarti sekitar dua buku audio rata-rata per bulan, menurut perusahaan streaming musik tersebut. "Saya tidak akan terkejut jika Netflix memperkenalkan semacam batasan pada jumlah hal yang dapat Anda tonton pada tingkat harga yang lebih rendah, semacam menciptakan celah yang berbeda di mana orang dapat menjadi pelanggan pada tingkat yang mereka sukai," kata Wooten. "Dan itulah yang benar-benar penting dalam banyak hal terkait streaming: Siapa yang terbesar dan siapa yang memiliki paling banyak pelanggan?" Juru bicara Netflix tidak menanggapi permintaan komentar.
Sumber: katadata.co.id