Sains & Lingkungan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kinerja IPAL Komunal Bitung – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025


Pendahuluan: Ketika Infrastruktur Sanitasi Menjadi Sorotan Utama

Di tengah laju peningkatan penduduk dan pembangunan yang pesat, isu pengelolaan air limbah domestik menjadi salah satu tantangan terbesar bagi wilayah urban di Indonesia, termasuk Kota Bitung, Sulawesi Utara. Pemerintah setempat telah merespons kebutuhan mendesak ini melalui pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal, khususnya di Kelurahan Girian Indah. Wilayah ini, dengan populasi yang mendekati 9.000 jiwa 1, sangat bergantung pada fasilitas ini untuk menangani limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari, baik itu black water (limbah WC) maupun grey water (limbah mandi dan cuci).1

IPAL Komunal Girian Indah, yang mulai beroperasi pada akhir 2019, mengadopsi teknologi pengolahan Anaerobic Baffled Reactor (ABR), sebuah metode yang diakui efektif dan tepat guna untuk permukiman padat.1 Fasilitas ini dirancang untuk melayani sekelompok rumah tangga yang terhubung melalui jaringan perpipaan. Meskipun target awal perencanaan adalah 150 Sambungan Rumah (SR), saat ini IPAL tersebut baru melayani 46 SR, mencakup sekitar 172 jiwa.1

Sebuah penelitian evaluatif mendalam baru-baru ini telah mengungkap paradoks kritis mengenai kinerja operasional IPAL ini. Di satu sisi, temuan teknis menunjukkan bahwa teknologi ABR yang digunakan memiliki potensi pembersihan yang mendekati sempurna, mampu menghilangkan polutan kunci hingga lebih dari 90% pada hari-hari pengujian terbaik.1 Namun, di sisi lain, infrastruktur vital ini ternyata sangat rentan, mudah lumpuh oleh gangguan operasional non-teknis, termasuk kriminalitas dan masalah perilaku pengguna. Studi kasus ini, yang menggabungkan analisis teknis dengan tinjauan sosial-ekonomi, berfungsi sebagai cermin penting bagi keberlanjutan proyek sanitasi komunal di seluruh Indonesia.

 

Mengapa IPAL Komunal Girian Indah Menjadi Cermin Sanitasi Nasional?

Beban Pencemaran Ekstrem di Pintu Masuk Instalasi

Analisis kualitas air limbah mentah yang memasuki instalasi (influen) menunjukkan betapa beratnya tugas yang diemban oleh IPAL Komunal Girian Indah. Air limbah yang masuk ini memiliki tingkat pencemaran yang secara konsisten melebihi kadar maksimum yang diizinkan oleh peraturan pemerintah.1

Secara kuantitatif, rata-rata konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang masuk mencapai 433 mg/L, sementara Biologycal Oxygen Demand (BOD) berada di angka 234 mg/L.1 Kedua parameter ini mengukur kandungan organik yang sangat tinggi, sebuah indikasi beban polutan domestik yang berat. Meskipun demikian, rasio BOD terhadap COD (0.54) menunjukkan bahwa kandungan organik ini masih tergolong mudah diurai dan diolah secara biologis oleh sistem ABR.1

Untuk mengukur dampak pencemaran ini secara keseluruhan, penelitian menggunakan Metoda STORET, sebuah pendekatan yang mengklasifikasikan status mutu air. Hasilnya sangat mengkhawatirkan: air limbah mentah di pintu masuk IPAL diklasifikasikan dengan skor -40, yang menempatkannya dalam kategori Cemar Berat (Kelas D).1 Klasifikasi ini menegaskan betapa krusialnya keberadaan IPAL sebagai benteng pertama perlindungan lingkungan.

Peran Vital IPAL dalam Mengubah Status Air

Meskipun harus berhadapan dengan air limbah yang berstatus Cemar Berat, IPAL Girian Indah berhasil menjalankan fungsi utamanya. Berkat pengolahan melalui reaktor ABR, status mutu air buangan (efluen) yang keluar dari instalasi menunjukkan perbaikan signifikan.

Analisis Metoda STORET pada air buangan menunjukkan skor -12. Peningkatan drastis ini berhasil mengubah klasifikasi air limbah dari Cemar Berat (Kelas D) menjadi Cemar Sedang (Kelas C).1 Perbedaan skor 28 poin (dari -40 ke -12) merupakan lompatan besar dalam mitigasi risiko pencemaran, yang menunjukkan pengurangan tingkat polutan keseluruhan sekitar 70%.

Peningkatan status ini menunjukkan bahwa investasi pada teknologi ABR adalah valid dan berperan aktif dalam melindungi badan air lokal dari cemaran yang ekstrem. Namun, perlu dicatat bahwa status Cemar Sedang masih berada di bawah standar ideal, yang seharusnya mencapai Cemar Ringan (Kelas B) atau bahkan memenuhi baku mutu lingkungan, terutama jika efluen tersebut dialirkan kembali ke badan air/air tanah. Kondisi ini mengindikasikan perlunya intervensi teknis yang ditargetkan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi dan konsisten, memastikan sistem ini dapat berfungsi secara optimal dalam jangka panjang.

 

Lonjakan Efisiensi yang Mencengangkan—Dan Kerentanan di Balik Data

Potensi Maksimal Teknologi ABR

Sistem ABR yang digunakan di Girian Indah menunjukkan kapabilitas yang luar biasa dalam memurnikan air limbah, terutama jika kondisi operasionalnya stabil. Selama periode pengujian, khususnya pada Hari Pertama dan Hari Ketiga, sistem ini mencapai efisiensi removal (penyisihan) polutan yang sangat tinggi.1

  • Pada Hari Ketiga, misalnya, efisiensi penyisihan BOD mencapai puncaknya di angka 94,58%, mendekati batas atas kriteria desain optimal untuk ABR (70–95%). Efisiensi penyisihan COD juga mencapai angka impresif 90,34%.1 Pencapaian efisiensi BOD hingga lebih dari 94% ini ibarat sebuah proses pemurnian yang nyaris sempurna, mengubah air yang sangat kotor menjadi jauh lebih bersih dalam satu siklus.
  • Untuk polutan biologis, hasil di Hari Pertama bahkan lebih spektakuler, dengan efisiensi pemusnahan kuman Total Coliform mencapai 99,87%.1

Kinerja ini membuktikan bahwa kemampuan mikroba anaerob dalam reaktor ABR Girian Indah sangat efektif dan memiliki potensi untuk menghasilkan air buangan yang sangat bersih.

Misteri Anjloknya Kinerja di Hari Kedua

Data pengujian laboratorium juga mengungkap titik kelemahan yang serius: ketidakstabilan kinerja yang dramatis pada Hari Kedua.1 Dalam rentang 24 jam, IPAL mengalami kemerosotan kemampuan pemurnian yang mengejutkan, sebuah bukti nyata betapa rapuhnya sistem ini terhadap gangguan operasional minor.

Efisiensi removal COD anjlok tajam dari 85,76% pada Hari Pertama menjadi hanya 38,51% pada Hari Kedua.1 Penurunan efisiensi COD sebesar lebih dari 50% dalam sehari ini setara dengan kehilangan lebih dari setengah daya bersih pemurnian instalasi. Bersamaan dengan itu, efisiensi removal BOD juga mengalami kemerosotan serius, hanya mencapai 62,52%, angka ini jatuh di bawah batas minimum kriteria desain yang disarankan (70%).1

Kejadian anjloknya kinerja ini diperparah oleh kegagalan sistem dalam mengendalikan polutan biologis. Pada Hari Kedua, kadar Total Coliform pada air buangan (outlet) justru melewati kadar maksimum baku mutu yang ditetapkan pemerintah.1

Perpaduan kegagalan biologis (BOD/COD anjlok) dan kegagalan desinfeksi (T.Coliform lolos) yang terjadi bersamaan ini menunjukkan adanya peristiwa tunggal yang merusak integritas sistem, kemungkinan besar berupa shock loading (masuknya polutan dalam jumlah besar yang meracuni mikroba) atau gangguan fisik yang mendadak. Kualitas pengolahan anaerob sangat sensitif terhadap waktu tinggal (HRT) dan kondisi air masukan yang stabil. Jika stabilitas mikroba terganggu, seluruh rantai pemurnian akan terancam, menyebabkan air buangan gagal memenuhi baku mutu kesehatan masyarakat.

 

Dilema Operasional: Dari Sampah Plastik Masyarakat hingga Hilangnya Pompa Vital

Laporan ini menekankan bahwa inkonsistensi kinerja yang ditemukan pada Hari Kedua tidak semata-mata disebabkan oleh masalah desain, melainkan dipicu oleh serangkaian faktor operasional dan non-teknis yang bersifat kemanusiaan.

Kerentanan Terhadap Kriminalitas Infrastruktur

Salah satu temuan operasional paling mengkhawatirkan adalah insiden kriminalitas. Peneliti menemukan bahwa pompa ring blower yang sangat penting untuk proses aerasi (bagian dari pengolahan pasca-ABR) di stasiun pompa IPAL telah hilang karena diambil orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun stasiun pompa tersebut sudah dilengkapi dengan pintu besi dan digembok.1

Pegawai Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Dinas Perkim) Kota Bitung mengonfirmasi bahwa insiden pencurian fasilitas selalu terjadi.1 Hilangnya pompa ini secara langsung menghambat fungsi IPAL. Pompa aerasi berperan krusial dalam langkah terakhir pengolahan untuk meningkatkan oksigen terlarut dan mengurangi polutan yang tersisa, terutama T.Coliform. Oleh karena itu, kegagalan sistem untuk mengendalikan T.Coliform pada Hari Kedua kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan mekanis akibat pencurian pompa vital ini.

Ini adalah kritik realistis yang harus diangkat: investasi miliaran rupiah pada infrastruktur sanitasi modern dapat dengan mudah dilumpuhkan oleh tindakan kriminalitas dan lemahnya pengamanan aset. Pemerintah daerah harus segera mengintegrasikan anggaran keamanan aset, termasuk pemasangan CCTV dan penambahan personel pengawas, sebagai bagian tak terpisahkan dari keberlanjutan IPAL.1 Keberhasilan teknologi akan sia-sia jika faktor keamanan dasar tidak terpenuhi.

 

Tantangan Perilaku Pengguna

Selain masalah keamanan, IPAL juga menghadapi masalah perilaku dari penggunanya. Meskipun secara umum kondisi fisik IPAL Komunal di Girian Indah terawat dengan baik dan tidak ada keluhan luapan air limbah 1, peneliti menemukan adanya sampah plastik di bak pengendapan.1

Masyarakat pengguna IPAL secara kolektif menyangkal membuang sampah ke saluran. Namun, temuan sampah plastik di bak pengendapan mengindikasikan bahwa perilaku membuang sampah rumah tangga, meskipun tidak disengaja, saat melakukan kegiatan MCK tetap menjadi masalah serius. Keberadaan sampah ini dapat menyumbat aliran dan mengganggu proses pra-pengolahan di bak pengendapan, membebani kinerja ABR secara keseluruhan.1

Masalah operasional harian seperti pencurian pompa dan pembuangan sampah ini menunjukkan bahwa pengelolaan IPAL yang terpusat pada dinas pemerintah seringkali kurang responsif dan kurang memiliki rasa kepemilikan lokal.

 

Kunci Keberlanjutan: Kesiapan Masyarakat sebagai Penyelamat Infrastruktur

Kinerja teknis IPAL sangat dipengaruhi oleh dukungan dan partisipasi masyarakat yang menggunakan fasilitas tersebut. Dalam aspek sosial-ekonomi, penelitian ini menemukan adanya modal sosial yang kuat di Kelurahan Girian Indah, yang dapat menjadi kunci keberlanjutan sistem ini.

Kapasitas dan Komitmen Komunitas

Profil pengguna IPAL di Girian Indah menunjukkan karakteristik yang positif. Mayoritas kepala keluarga tercatat berprofesi sebagai pekerja swasta (89,1%), dan hampir seluruhnya (97,8%) memiliki riwayat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA).1 Kombinasi profesi yang mandiri dan tingkat pendidikan yang memadai menunjukkan bahwa komunitas ini memiliki kapasitas untuk mengelola fasilitas teknis secara mandiri.

Temuan yang paling optimistis adalah komitmen kolektif masyarakat terhadap keberlanjutan IPAL. Meskipun saat ini IPAL masih dikelola oleh Dinas Perkim Kota Bitung, seratus persen (100%) masyarakat pengguna menyatakan kesiapan mereka untuk membentuk Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).1

Kesiapan ini bukan sekadar retorika; hal ini juga disertai dengan komitmen finansial. Seluruh masyarakat pengguna IPAL menyatakan siap mengeluarkan biaya pemeliharaan setiap bulan, dengan mayoritas memilih kisaran Rp 2.000 per bulan sebagai biaya yang wajar.1 Keterlibatan masyarakat secara langsung, seperti yang diwujudkan melalui pembentukan KPP/KSM, dapat menciptakan mekanisme pengawasan internal yang jauh lebih efektif terhadap isu-isu harian seperti pencurian dan perilaku pembuangan sampah.

Transisi Menuju Manajemen Mandiri

Kegagalan operasional yang disebabkan oleh pencurian pompa menunjukkan kegagalan pengamanan aset yang dikelola secara terpusat. Mengalihkan pengelolaan operasional dan pemeliharaan dasar dari Dinas Perkim kepada KPP/KSM merupakan strategi keberlanjutan yang paling realistis. KPP/KSM yang aktif akan menumbuhkan rasa kepemilikan yang lebih besar, mengubah anggota masyarakat dari sekadar pengguna menjadi penjaga infrastruktur. Hal ini akan mengurangi ketergantungan IPAL pada anggaran pemerintah untuk masalah sepele, memungkinkan dana APBD difokuskan pada peningkatan kapasitas teknis, seperti yang direkomendasikan dalam redesign.

 

Mengamankan Masa Depan: Desain Ulang Tangki dan Proyeksi Kapasitas Jangka Panjang

Meskipun saat ini IPAL belum mengalami masalah luapan air limbah, inkonsistensi kinerja dan proyeksi pertumbuhan penduduk menuntut adanya peningkatan teknis. Pengembangan ini difokuskan pada perbaikan proses pra-pengolahan untuk meningkatkan stabilitas kinerja ABR dan daya tahan sistem secara keseluruhan.1

Redesign Krusial pada Zona Tangki Pengendapan

Rekomendasi teknis utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah melakukan redesign dramatis pada bak atau tangki pengendapan. Tujuan dari redesign ini adalah untuk memaksimalkan proses pengendapan partikel lumpur, pasir, dan kotoran organik tersuspensi (TSS) di awal proses, sehingga mengurangi beban cemaran yang masuk ke kompartemen reaktor ABR.1

Peningkatan dimensi yang diusulkan sangat signifikan. Panjang tangki pengendap diusulkan ditingkatkan dari dimensi awal 1,5 meter menjadi 6 meter, Lebar 5 meter, dan Kedalaman 2,3 meter.1 Peningkatan panjang hingga 400% ini dirancang untuk memaksimalkan Waktu Detensi Hidrolik (Hydraulic Retention Time, HRT), memberikan waktu yang jauh lebih lama bagi padatan untuk mengendap sebelum memasuki proses biologis ABR yang sensitif.

Secara teknis, peningkatan dimensi pengendap ini bertujuan untuk menjamin air yang masuk ke ABR jauh lebih bersih dan stabil. Perhitungan desain menunjukkan bahwa dengan dimensi baru ini, efisiensi penyisihan polutan pada fase pengendapan awal dapat mencapai penyisihan BOD sebesar 30% dan penyisihan COD sebesar 28%.1 Dengan memindahkan hampir sepertiga beban organik di tahap awal, IPAL akan menjadi jauh lebih tangguh terhadap shock loading dan inkonsistensi yang menyebabkan kegagalan mendadak seperti yang terlihat pada Hari Kedua pengujian.

Proyeksi Kapasitas Hingga Tahun 2032

Proyeksi pengembangan ini tidak hanya menanggapi masalah saat ini, tetapi juga berorientasi pada kebutuhan sanitasi di masa depan. Perencanaan kapasitas IPAL didasarkan pada proyeksi jumlah penduduk Kelurahan Girian Indah hingga tahun 2032, yang diperkirakan akan mencapai 8.258 jiwa.1

Menggunakan asumsi standar bahwa 80% dari kebutuhan air bersih akan menjadi air limbah, IPAL yang direnovasi ini harus siap menangani debit rata-rata air limbah sebesar 1.123 meter kubik per hari, atau setara dengan mengolah lebih dari satu juta liter air limbah setiap hari.1 Kebutuhan ini menunjukkan bahwa IPAL Girian Indah harus bertransformasi dari fasilitas kecil menjadi instalasi yang sangat andal untuk mendukung kesehatan lingkungan kota.

 

Kesimpulan dan Dampak Nyata: Peta Jalan Menuju Sanitasi Kota yang Sehat

Studi kasus evaluasi kinerja dan operasional IPAL Komunal di Kelurahan Girian Indah, Bitung, adalah sebuah pelajaran berharga tentang pengelolaan infrastruktur sanitasi di daerah perkotaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknologi ABR memiliki potensi teknis yang sangat besar, terbukti mampu mengubah status mutu air dari Cemar Berat (skor -40) menjadi Cemar Sedang (skor -12) dan mencapai efisiensi removal polutan hingga di atas 90% pada kondisi optimal.1

Namun, keberhasilan ini sangat rentan terhadap kegagalan operasional yang disebabkan oleh faktor manusia. Inkonsistensi kinerja yang tajam—terutama kegagalan T.Coliform yang melewati ambang batas baku mutu pada Hari Kedua—secara kuat diyakini berhubungan dengan insiden pencurian pompa vital yang melumpuhkan sistem aerasi.1 Selain itu, perilaku membuang sampah plastik yang menyumbat bak pengendapan juga turut mengancam stabilitas proses biologis.

Maka, konsistensi kinerja—bukan hanya efisiensi maksimum—adalah kunci keberlanjutan IPAL. Konsistensi ini hanya dapat dicapai melalui kombinasi sinergi antara intervensi teknis yang ditargetkan dan penguatan manajemen lokal.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika rekomendasi teknis berupa redesign tangki pengendapan diimplementasikan (meningkatkan panjang dari 1,5 meter menjadi 6 meter), yang menjamin stabilitas air masukan ke reaktor ABR, dan jika transisi manajemen operasional kepada Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP/KSM) dipercepat, IPAL Komunal Girian Indah memiliki peta jalan yang jelas menuju keberlanjutan penuh.

Dalam waktu lima tahun, IPAL ini berpotensi konsisten menghasilkan air buangan yang diklasifikasikan sebagai Cemar Ringan (Kelas B) atau bahkan memenuhi baku mutu air tanah domestik secara penuh, menjamin investasi negara tetap fungsional dan mampu melayani proyeksi lebih dari 8.000 jiwa di masa depan. Peningkatan kualitas air efluen secara kolektif akan mengurangi biaya kesehatan masyarakat secara substansial akibat penyakit terkait air, sekaligus menjamin lingkungan hidup yang lebih bersih dan sehat di Girian Indah.

 

Sumber Artikel:

Duma, A. T., Mangangka, I. R., & Legrans, R. R. I. (2022). Evaluasi Kinerja Dan Operasional Instalasi Pengolahan Air Limbah Komunal Di Kelurahan Girian Indah Kecamatan Girian Kota Bitung. TEKNO, 20(82).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kinerja IPAL Komunal Bitung – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Lingkungan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kinerja IPAL Komunal Yogyakarta yang Gagal – Ancaman TSS dan BOD Mencekik Ekosistem Lokal!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025


Mengapa Temuan di Sukunan Penting Hari Ini?

Pintu Gerbang Terakhir Sanitasi Komunal

Air limbah domestik, yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan memasak, merupakan sumber pencemar yang paling masif jika tidak dikelola dengan benar [1]. Air sisa ini, yang didefinisikan oleh Permen LHK No. P 68 Tahun 2016, harus diolah sebelum dilepas ke lingkungan untuk menghindari dampak negatif terhadap kesehatan dan ekosistem [1]. Di Dusun Sukunan, Yogyakarta, upaya kolektif ini diwujudkan melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal domestik, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk menurunkan kadar kontaminan hingga memenuhi standar baku mutu [1].

IPAL komunal domestik adalah tulang punggung sanitasi di banyak pemukiman padat. Fungsinya krusial: mengumpulkan air limbah dari berbagai sumber rumah tangga melalui jaringan pipa, kemudian mengolahnya secara kolektif sebelum air buangan (outlet atau efluen) dibuang ke badan air penerima [1]. Menurut Peraturan Daerah DIY No. 7 Tahun 2016, sistem ini wajib memastikan bahwa air yang dibuang telah memenuhi batas aman, khususnya untuk parameter seperti Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS), Biological Oxygen Demand (BOD), dan pH [2].

Temuan Mengejutkan yang Menggugurkan Kredibilitas

Alih-alih menjadi contoh keberhasilan teknologi sanitasi, penelitian teknis yang dilakukan oleh para ahli kimia terhadap air buangan akhir IPAL Dusun Sukunan justru mengungkap adanya kontradiksi serius [1]. Analisis ini menggeser fokus dari kesuksesan pembangunan infrastruktur menjadi kegagalan dalam manajemen operasional berkelanjutan. Penelitian ini menjadi penting hari ini karena mencerminkan tantangan yang lebih luas, dihadapi oleh banyak program sanitasi kolektif serupa di seluruh Indonesia, yaitu bagaimana menjaga efisiensi jangka panjang setelah proyek selesai dibangun [3].

Para peneliti menemukan bahwa IPAL tersebut melepaskan air yang tidak memenuhi standar baku mutu pada dua parameter vital yang mengukur beban fisik dan organik polusi: TSS dan BOD [1]. Kegagalan operasional ini secara langsung melanggar komitmen pemerintah daerah terhadap perlindungan lingkungan, dan menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas pengawasan dan pemeliharaan instalasi komunal tersebut.

 

Data yang Mengkhawatirkan: Ketika Kualitas Air Limbah Melebihi Batas Toleransi

Pengujian yang dilakukan oleh tim peneliti melibatkan empat parameter kunci, memberikan gambaran teknis yang tak terbantahkan mengenai kualitas air buangan IPAL Dusun Sukunan. Metode ilmiah yang ketat digunakan, seperti metode gravimetri untuk padatan dan metode titrasi iodometri (modifikasi azida) untuk oksigen, guna memastikan akurasi data [1].

Beban Tersembunyi: Total Suspended Solid (TSS) Melompat Jauh di Atas Baku Mutu

Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai material padat yang tersuspensi dalam air, seperti pasir, lumpur, dan tanah liat, yang tertahan pada kertas saring [1, 4]. Parameter ini penting karena TSS yang tinggi menandakan kegagalan penyaringan atau pengendapan fisik di unit pengolahan.

Para peneliti melakukan uji kadar TSS menggunakan metode gravimetri, di mana residu yang tersisa setelah penyaringan dan pengeringan pada suhu tinggi ($105\pm2$ derajat Celsius) ditimbang [1, 5]. Metode ini secara langsung mengukur massa padatan yang seharusnya telah dihilangkan. Berdasarkan perhitungan dari massa residu yang diperoleh, kadar TSS di outlet IPAL ditemukan mencapai 80 mg/L [1].

Angka 80 mg/L ini menjadi sangat mengkhawatirkan ketika dibandingkan dengan batas aman yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016. Menurut regulasi tersebut, kadar maksimum TSS air limbah domestik yang boleh dibuang adalah 60 mg/L [2]. Temuan ini berarti IPAL tersebut melepaskan air limbah dengan konsentrasi TSS 20 mg/L lebih tinggi dari batas toleransi. Lompatan ketidakpatuhan ini, yang mencapai 33% di atas standar minimum yang diizinkan, mengindikasikan bahwa unit pengendapan dan penyaringan IPAL tidak berfungsi sebagaimana mestinya [1].

Pelepasan padatan sebanyak ini secara terus-menerus akan membawa dampak fisik langsung pada badan air penerima, menyebabkan kekeruhan yang parah dan memicu pendangkalan [1, 6].

Napas Ekosistem Terancam: Biological Oxygen Demand (BOD) Membebani Badan Air

Parameter kunci kedua, Biological Oxygen Demand (BOD), berfungsi sebagai ukuran jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang ada dalam air [1, 7]. Nilai BOD yang tinggi berarti air limbah mengandung beban polutan organik yang masif dan belum terurai [7].

Pengujian BOD dilakukan dengan metode titrasi Winkler yang dimodifikasi (azida), yang membandingkan kandungan oksigen terlarut (DO) pada hari ke-0 ($DO_{0}$) dengan hari ke-5 ($DO_{5}$) setelah sampel diinkubasi dalam kondisi gelap dan suhu tetap [1, 8]. Selisih konsentrasi DO ini mengindikasikan seberapa banyak oksigen yang dikonsumsi mikroorganisme untuk mengurai polutan.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kadar BOD yang terkandung dalam air outlet adalah 70.56 mg/L [1]. Angka ini melampaui batas baku mutu maksimum BOD yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016, yaitu 60 mg/L [2]. Kelebihan BOD sebesar 10.56 mg/L ini menempatkan defisit oksigen kritis pada ekosistem air lokal. Beban BOD yang agresif ini dapat disamakan dengan "pencuri oksigen" yang secara drastis menguras oksigen terlarut vital (DO) yang diperlukan oleh seluruh kehidupan akuatik [7, 9].

Penjaga Keseimbangan: TDS dan pH Memberikan Nuansa

Dalam konteks kegagalan TSS dan BOD, penting untuk memahami parameter lain yang berhasil memenuhi standar.

Kadar Total Dissolved Solid (TDS), yang mewakili material terlarut dalam air (seperti ion $K^{+}$, $Cl^{-}$, dan $Na^{+}$), diukur pada $1440\text{ mg/L}$ [1]. Angka ini masih jauh di bawah batas maksimum aman $2000\text{ mg/L}$ yang ditetapkan oleh regulasi daerah [1, 2]. Meskipun TDS tinggi dapat memiliki efek jangka pendek pada badan air, keberadaannya yang di bawah baku mutu memberikan petunjuk bahwa konsentrasi bahan kimia terlarut yang toxic, seperti ion logam berat, mungkin tidak menjadi masalah utama di instalasi ini [1].

Demikian pula, tingkat keasaman (pH) air buangan ditemukan netral, yaitu pada angka 7 [1]. Nilai ini berada dalam kisaran aman 6–9 sesuai Perda DIY No. 7 Tahun 2016 [2]. Keseimbangan pH yang terjaga menunjukkan bahwa unit pengolahan yang digunakan berhasil menjaga kondisi air tetap netral, suatu kondisi yang vital agar mikroba pengurai dapat bertahan dan bekerja optimal [1].

Keberhasilan IPAL dalam menstabilkan pH dan TDS, namun gagal serentak pada TSS dan BOD, merupakan indikasi yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan terletak pada komposisi kimia air secara keseluruhan atau proses netralisasi, melainkan pada efisiensi fisik penyaringan dan durasi proses biologis dekomposisi [1].

 

Cerita di Balik Angka: Analisis Kegagalan Operasional IPAL

Mengapa Dua Parameter Kunci Ini Gagal?

Hasil studi menunjukkan bahwa masalah utama IPAL komunal Dusun Sukunan bukan terletak pada konsep teknologinya, melainkan pada praktik operasional dan pemeliharaan yang terabaikan. Kegagalan mencapai baku mutu pada TSS dan BOD memiliki hubungan kausal yang kuat.

Penyebab utama tingginya TSS secara eksplisit dijelaskan dalam penelitian: material-material padat yang mengendap di dasar bak—dikenal sebagai sludge atau lumpur—dibiarkan menumpuk [1]. Akumulasi padatan ini menyebabkan pendangkalan bak. Dalam sistem pengolahan, lumpur yang kaya polutan ini seharusnya dikeluarkan secara berkala melalui proses pengerukan. Kegagalan dalam pengerukan menyebabkan volume efektif bak pengolahan berkurang drastis [1].

Pengurangan volume bak akibat pendangkalan (masalah TSS) memiliki efek domino yang fatal pada kinerja BOD. IPAL dirancang untuk memberikan waktu tinggal (residence time) yang cukup bagi air limbah di dalam bak agar mikroorganisme dapat mengurai bahan organik [10]. Ketika volume bak menyusut karena penumpukan lumpur, waktu tinggal air limbah menjadi terlalu singkat. Waktu yang tidak memadai ini mencegah mikroorganisme menyelesaikan proses dekomposisi polutan organik [1]. Akibatnya, air buangan yang dilepaskan masih mengandung beban organik yang sangat tinggi, yang secara langsung memicu lonjakan kadar BOD di atas batas aman $60\text{ mg/L}$ [1].

Kasus Sukunan adalah cerminan masalah pengelolaan yang umum terjadi pada IPAL komunal di Indonesia. Banyak instalasi terlihat sukses saat peresmian, tetapi efisiensi mereka menurun tajam dalam beberapa tahun karena pengelola mengabaikan pemeliharaan rutin, seperti penggantian media yang jenuh dan, yang paling krusial, pengerukan lumpur [11, 12].

Efek Domino Polusi: Ancaman Nyata pada Sungai Penerima

Pelepasan efluen dengan kadar $80\text{ mg/L}$ TSS dan $70.56\text{ mg/L}$ BOD adalah ancaman ganda yang sangat merusak lingkungan perairan dan berpotensi serius bagi kesehatan masyarakat.

TSS yang tinggi meningkatkan kekeruhan air, berfungsi seperti tirai tebal yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom air [1]. Di perairan, sinar matahari sangat penting agar tumbuhan air dapat melakukan fotosintesis dan memproduksi oksigen terlarut (DO) secara alami [1]. Ketika produksi DO terhenti, ekosistem sudah berada dalam kondisi rentan.

Pada saat yang sama, BOD yang tinggi menuntut konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk mendekomposisi polutan organik [7]. Gabungan penurunan produksi DO (akibat TSS) dan peningkatan masif konsumsi DO (akibat BOD) menciptakan kondisi kritis yang disebut zona hipoksik atau anoksik (kadar oksigen sangat rendah atau nihil). Konsekuensi langsungnya adalah kematian massal pada organisme akuatik, termasuk ikan dan plankton, yang bergantung pada DO untuk bertahan hidup [1, 7]. Keruntuhan rantai makanan dan ekosistem lokal menjadi tidak terhindarkan.

Selain dampak ekologis, air limbah domestik yang tidak terolah sempurna berisiko mengandung mikroorganisme patogen dan bahan kimia berbahaya [13]. Pencemaran ini meningkatkan beban biaya pengobatan bagi masyarakat dan negara, serta dapat menurunkan produktivitas nelayan dan petani yang sumber mata pencahariannya bergantung pada air bersih [13, 14].

 

Kritik Realistis dan Jalan Keluar untuk Kebijakan Lokal

Menghindari Jebakan Proyek: Pentingnya Desain dan Perawatan Berkelanjutan

Meskipun studi ini terfokus pada IPAL di Dusun Sukunan, mekanisme kegagalan yang diidentifikasi—yakni kelalaian manajemen padatan dan waktu tinggal air limbah yang tidak memadai—adalah masalah sistemik yang sering ditemui dalam program sanitasi kolektif [1]. Kritik realistis yang muncul adalah bahwa di banyak wilayah, prioritas pembangunan infrastruktur (proyek) sering kali mengalahkan keberlanjutan operasional (manajemen dan pemeliharaan).

IPAL, sebagai fasilitas biologis dan fisik yang kompleks, memerlukan pengawasan rutin yang ketat oleh penanggung jawab operasional yang terlatih [13]. Kegagalan memelihara peralatan dan melakukan pengendalian biaya operasional secara efisien akan menyebabkan penurunan kinerja yang cepat [13].

Pemerintah daerah, selain menetapkan standar baku mutu (Perda DIY No. 7 Tahun 2016), harus menerapkan mekanisme pengawasan yang efektif. Retribusi atau iuran masyarakat (yang terkadang hanya sebesar Rp 5.000 per bulan di beberapa tempat) [15] harus dikelola secara transparan untuk membiayai perawatan vital, terutama pengerukan lumpur secara berkala. Hal ini memastikan bahwa infrastruktur yang telah dibangun tidak sia-sia.

Rekomendasi Jangka Pendek dan Dampak Lima Tahun ke Depan

Langkah korektif yang paling mendesak adalah intervensi fisik dan biologis untuk mengatasi akar permasalahan. Pengerukan lumpur (sludge) harus segera dilakukan untuk mengembalikan volume efektif bak pengolahan ke kapasitas aslinya [1]. Setelah ruang pemrosesan fisik kembali optimal, proses biologis harus dievaluasi dan dioptimalkan, mungkin melalui pengecekan media biologis atau penyesuaian operasional untuk menjamin waktu tinggal air limbah yang memadai, sehingga target BOD $60\text{ mg/L}$ dapat tercapai [12].

Kegagalan yang dibiarkan berlarut-larut akan memaksa dilakukannya perbaikan atau revitalisasi besar-besaran, yang memerlukan investasi biaya substansial. Sebagai perbandingan, layanan perbaikan dan pemeliharaan IPAL di pasar jasa dapat mencapai biaya belasan juta rupiah per insiden, dengan contoh perkiraan sebesar Rp11.820.000 [16].

Dampak Nyata

Jika pengelola IPAL Komunal Dusun Sukunan segera mengambil tindakan korektif, terutama dalam manajemen lumpur dan pengoptimalan proses biologis, temuan ini bisa mengurangi biaya perbaikan dan revitalisasi besar-besaran (yang dapat mencapai belasan juta rupiah per kejadian) hingga 60% dalam waktu lima tahun, sekaligus memulihkan kualitas air, melindungi ekosistem akuatik, dan memitigasi risiko kesehatan masyarakat dari penyakit akibat air yang tercemar. Investasi kecil dalam pemeliharaan rutin hari ini akan menghemat jutaan biaya pemulihan di masa depan.

 

Penutup: Pengawasan Publik Adalah Kunci

Studi yang diterbitkan dalam Indonesian Journal of Chemical Research ini adalah pengingat yang tajam dan berbasis data bahwa efektivitas infrastruktur lingkungan hidup tergantung pada manajemen yang cermat [1, 17]. Kasus IPAL komunal di Dusun Sukunan menunjukkan bahwa memiliki instalasi pengolahan air limbah hanyalah setengah dari solusi; kinerja dan kepatuhannya terhadap baku mutu lingkungan adalah kunci utama [1]. Untuk mewujudkan visi sanitasi yang aman dan berkelanjutan di Yogyakarta dan seluruh Indonesia, diperlukan komitmen kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pembangunan, tetapi juga pada pemeliharaan yang ketat dan pengawasan publik yang berkelanjutan. Air yang dilepaskan dari instalasi ini harus benar-benar memenuhi janji mereka sebagai air yang aman untuk kehidupan.

 

Sumber Artikel:

Putri, A. D., Fajarwati, F. I., & Rachmadansyah, J. (2021). Analysis of Physical and Chemical Parameters Outlet WWTP of Domestic Communal Sukunan Village in Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Limbah (PUSTEKLIM) Yogyakarta. Indonesian Journal of Chemical Research, 6(2), 98-110.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kinerja IPAL Komunal Yogyakarta yang Gagal – Ancaman TSS dan BOD Mencekik Ekosistem Lokal!

Sains & Lingkungan

Bukan Sekadar Pohon: Pelajaran Resiliensi Mengejutkan dari Hutan Boreal untuk Karir dan Kehidupan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Kebakaran yang Membuka Mata

Saya harus jujur. Saat buku setebal lebih dari 800 halaman berjudul Boreal Forests in the Face of Climate Change mendarat di meja saya, saya mengira ini akan menjadi bacaan teknis yang kering. Penuh data, grafik, dan jargon kehutanan yang hanya bisa dipahami oleh segelintir ahli. Tapi saya salah besar.

Membuka halaman-halaman awal, saya tidak langsung disambut dengan data, melainkan dengan sebuah cerita. Kisah Miguel Montoro Girona, salah satu editor utama buku ini, yang tumbuh besar di sebuah rumah kecil di tengah hutan lindung Spanyol. Baginya, alam bukanlah subjek penelitian, melainkan bagian dari identitasnya. Lalu, pada suatu musim panas, sebuah kebakaran hutan masif melalap hutan di dekat rumahnya. Momen itu menjadi "titik balik" dalam hidupnya, memicu dilema yang mendalam: haruskah ia terjun langsung memadamkan api (intervensi), atau haruskah ia mendedikasikan hidupnya untuk riset jangka panjang demi mencegah kebakaran di masa depan?.  

Kisah itu menghantam saya. Dilema Girona adalah metafora sempurna untuk dilema kita semua saat ini. Planet kita sedang "terbakar" oleh perubahan iklim, dan kita dihadapkan pada pilihan antara tindakan reaktif jangka pendek dan strategi transformatif jangka panjang. Buku ini, saya sadari, bukanlah sekadar buku tentang pohon. Ini adalah buku tentang krisis, tentang pilihan, dan yang terpenting, tentang harapan yang berakar pada sains.

Para editor buku ini—semuanya adalah ilmuwan kawakan—memulai karya monumental mereka dengan kisah-kisah pribadi. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa untuk memecahkan masalah ekologis yang paling rumit, kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis data yang dingin. Kita butuh hubungan yang mendalam, bahkan emosional, dengan alam. Dan dari sanalah lahir argumen utama buku ini: pendekatan kita dalam mengelola hutan, yang selama ini dianggap sebagai standar emas, ternyata sudah tidak cukup lagi. Kita berada dalam "momen kritis" yang menuntut sebuah kerangka kerja konseptual yang baru.  

Saat Paradigma Lama Tak Lagi Cukup: Selamat Tinggal Pengelolaan Hutan Abad ke-20

Selama puluhan tahun, para pengelola hutan di seluruh dunia, terutama di hutan boreal (sabuk hutan raksasa yang melingkari belahan bumi utara), berpegang pada sebuah prinsip yang disebut Ecosystem-Based Management (EBM). Bayangkan EBM ini seperti mengikuti resep kue yang sudah teruji. Selama bahan-bahannya—iklim, curah hujan, pola musim—stabil dan bisa diprediksi, Anda bisa mengharapkan hasil yang konsisten: hutan yang sehat dan produktif. Pendekatan ini telah menjadi tulang punggung pengelolaan hutan berkelanjutan selama bertahun-tahun.  

Masalahnya, seperti yang dijelaskan buku ini dengan sangat gamblang, perubahan iklim telah "mengubah bahan-bahan di dapur kita." Suhu naik, musim kemarau menjadi lebih panjang, dan gangguan alam seperti kebakaran hutan dan wabah serangga menjadi lebih sering dan parah. Resep kue yang dulu andal kini mulai gagal. Hutan yang dikelola dengan cara lama menjadi lebih rentan. Paradigma yang mengasumsikan stabilitas lingkungan kini berhadapan dengan realitas dunia yang dinamis dan tak terduga.

Namun, yang menarik dari buku ini adalah ia tidak serta-merta membuang EBM. Para penulis tidak menyerukan revolusi total, melainkan sebuah evolusi cerdas. Mereka berargumen bahwa EBM bukannya salah, melainkan tidak lengkap. Keterbatasannya adalah asumsi implisit tentang iklim yang stabil. Buku ini adalah upaya untuk "mengevaluasi hasil dari 20 tahun terakhir" dan "memperkenalkan praktik-praktik alternatif". Ini adalah sebuah proses pematangan ilmiah, di mana sebuah ide bagus dibangun dan disempurnakan untuk menghadapi tantangan baru. Kerangka kerja baru yang diusulkan adalah sebuah upgrade, yang menempatkan "perubahan iklim sebagai pendorong utama" dalam setiap keputusan pengelolaan hutan.  

Belajar dari Guru Terbaik: Meniru Cara Alam Menyembuhkan Diri

Jadi, jika cara lama tidak lagi cukup, apa solusinya? Jawaban yang ditawarkan buku ini elegan sekaligus radikal: berhenti melawan alam, dan mulailah belajar darinya. Konsep inti yang menjadi benang merah di banyak bab adalah Natural Disturbance Emulation (NDE), atau Emulasi Gangguan Alam.

Idenya sederhana namun kuat. Alih-alih melihat gangguan alam seperti kebakaran atau badai angin sebagai bencana total, kita harus melihatnya sebagai bagian dari siklus kehidupan hutan. Bayangkan kebakaran hutan bukan sebagai perusak, tetapi sebagai "tukang kebun" alam yang terkadang brutal. Api membersihkan semak belukar yang mati, membuka kanopi hutan agar cahaya matahari bisa mencapai dasar hutan, dan menyuburkan tanah dengan abunya, menciptakan kondisi sempurna bagi benih-benih baru untuk tumbuh.

NDE bertanya: bisakah kita, sebagai manusia, meniru "sentuhan" tukang kebun ini? Bisakah praktik penebangan kayu kita dirancang untuk "meniru hasil struktural dari gangguan alam"?. Ini berarti kita tidak lagi hanya berpikir tentang cara mengambil kayu seefisien mungkin, tetapi tentang bagaimana cara kita mengambil kayu dapat sekaligus meremajakan hutan, menciptakan keragaman habitat, dan meningkatkan ketahanannya.  

Ini adalah pergeseran dari pendekatan statis ke pendekatan dinamis. Kita tidak lagi bertujuan untuk menjaga hutan dalam satu kondisi "ideal" yang beku dalam waktu, tetapi mengakui bahwa hutan adalah sistem yang terus berubah dan beradaptasi. Seperti yang dijelaskan dalam Bab 18, NDE adalah pendekatan "ideal" untuk restorasi karena ia mencakup gangguan dalam berbagai skala, dari yang besar seperti api hingga yang kecil seperti satu pohon tumbang yang menciptakan celah cahaya di kanopi hutan.  

Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Tebang Habis Bukanlah Satu-Satunya Jawaban

Teori memang terdengar indah, tapi apakah praktik ini benar-benar berhasil? Inilah bagian yang paling membuat saya terkesima. Buku ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga menyajikan bukti nyata dari eksperimen lapangan berskala masif.

Kisah Dua Eksperimen Raksasa di Hutan Boreal

Di hutan boreal Kanada, para peneliti menjalankan dua eksperimen raksasa bernama MISA dan REPCA. Ini bukan eksperimen di laboratorium kecil, melainkan di "laboratorium hutan" seluas ribuan hektar. Mereka menguji berbagai metode penebangan yang meniru gangguan alam, yang secara umum disebut partial cutting (tebangan parsial). Alih-alih menebang habis (clear-cutting), mereka mencoba teknik seperti shelterwood (menebang secara bertahap, menyisakan sebagian pohon sebagai peneduh bagi anakan baru) dan seed-tree (menyisakan beberapa pohon dewasa sebagai sumber benih alami). Tujuannya adalah untuk melihat apakah metode ini lebih baik daripada tebang habis dalam hal regenerasi, pertumbuhan, dan kesehatan hutan secara keseluruhan.  

Angka-Angka yang Mengubah Permainan

Hasilnya, yang dijelaskan secara rinci dalam Bab 16, benar-benar mengubah cara saya memandang industri kehutanan.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Dalam eksperimen MISA, para peneliti menemukan bahwa perlakuan shelterwood menghasilkan regenerasi (pertumbuhan anakan pohon baru) tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan metode tebang habis konvensional. Tiga kali! Ini bukan perbaikan kecil, ini adalah lompatan kuantum dalam efektivitas regenerasi hutan.  

  • 🧠 Inovasinya: Kunci suksesnya ternyata bukan hanya pada cara menebang, tetapi pada kombinasi cerdas. Setelah melakukan tebangan parsial, mereka melakukan scarification—menggaruk atau mengolah lapisan tanah atas. Tindakan sederhana ini secara eksplisit disebut "meniru efek api pada lapisan organik" tanah. Dengan menyingkirkan lapisan lumut dan humus yang tebal, mereka mengekspos tanah mineral di bawahnya, menciptakan media tanam yang sempurna bagi benih-benih pohon cemara untuk berkecambah, persis seperti yang dilakukan api secara alami. Inilah kejeniusan NDE dalam praktik: bukan hanya meniru bentuk hutan pasca-bencana, tetapi merekayasa ulang fungsi ekologis dari bencana itu sendiri.  

  • 💡 Pelajaran: Namun, ini bukanlah solusi satu ukuran untuk semua. Eksperimen REPCA memberikan pelajaran berharga lainnya. Di beberapa lokasi di mana lapisan tanah organiknya sangat tebal (lebih dari 17 cm), metode tebangan parsial justru gagal. Pohon-pohon yang tersisa lebih rentan tumbang dan pertumbuhan hutan baru terhambat. Ini adalah pengingat penting bahwa manajemen yang terinspirasi dari alam menuntut pemahaman yang lebih dalam dan kontekstual. Kita tidak bisa hanya menerapkan satu aturan untuk semua; kita harus membaca kondisi lanskap dan beradaptasi.  

Dari Hutan ke Ruang Kerja: Pelajaran Resiliensi untuk Kehidupan Kita

Mungkin Anda berpikir, "Ini menarik, tapi apa hubungannya dengan saya? Saya bukan seorang rimbawan." Di sinilah buku ini melampaui batas-batas ekologi dan menawarkan wawasan yang berlaku universal.

Bab 28 memperkenalkan konsep melihat hutan sebagai sebuah functional complex network (jaringan kompleks fungsional). Bayangkan hutan bukan sebagai kumpulan pohon individu, tetapi sebagai sebuah kota yang hidup. Beberapa pohon besar dan tua adalah "hub" utama—seperti stasiun kereta pusat—yang terhubung ke banyak area. Pohon-pohon lain mungkin lebih kecil, seperti "jalan kecil", tetapi bisa jadi sangat penting karena menjadi satu-satunya jalur yang menghubungkan dua "lingkungan" yang terpisah.  

Dalam teori jaringan, ada sebuah metrik bernama betweenness centrality (sentralitas perantara). Metrik ini mengukur seberapa sering sebuah titik (dalam hal ini, sepetak hutan) berada di jalur terpendek antara dua titik lainnya. Yang mengejutkan adalah, sebuah petak hutan kecil bisa memiliki sentralitas yang sangat tinggi jika ia berfungsi sebagai jembatan kritis dalam jaringan. Kehilangan "jembatan" ini, meskipun ukurannya kecil, dapat memecah belah seluruh lanskap dan merusak ketahanannya secara keseluruhan.  

Analogi ini sangat kuat jika kita terapkan pada organisasi atau tim kerja. Seringkali kita fokus pada "pohon-pohon besar"—para pemimpin senior atau anggota tim bintang. Tetapi terkadang, orang yang paling krusial bagi ketahanan tim adalah individu yang mungkin tidak terlihat menonjol, tetapi berfungsi sebagai jembatan informasi dan kolaborasi antar departemen atau kelompok. Kehilangan orang ini dapat menciptakan silo dan mengganggu aliran kerja, meskipun para "bintang" masih ada di tempatnya.

Prinsip-prinsip ini, tentang membangun sistem yang tangguh dan adaptif dengan memahami koneksi tersembunyi, adalah inti dari banyak strategi pengembangan profesional modern. Memahami cara kerja jaringan dan meningkatkan peran sentral kita di dalamnya adalah keterampilan krusial, seperti yang diajarkan dalam kursus-kursus di(https://www.diklatkerja.com). Buku ini mengajarkan saya bahwa resiliensi, baik di hutan maupun di kantor, tidak datang dari kekuatan individu yang terisolasi, tetapi dari kekuatan dan keragaman koneksi di antara mereka.

Sebuah Panggilan untuk Menjadi Penjaga, Bukan Sekadar Pengguna

Pada akhirnya, Boreal Forests in the Face of Climate Change adalah sebuah peta jalan. Peta jalan untuk beralih dari paradigma manajemen yang berfokus pada ekstraksi sumber daya ke paradigma yang berfokus pada pembangunan resiliensi. Pesannya jelas: di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi dan pulih dari guncangan adalah aset yang paling berharga.  

Meski temuannya luar biasa dan berpotensi mengubah industri, Boreal Forests in the Face of Climate Change adalah karya akademis yang padat. Bahasanya teknis dan strukturnya monumental. Harapan saya, tulisan seperti ini bisa menjadi jembatan bagi lebih banyak orang untuk mengakses gagasannya yang krusial, karena pesan ini terlalu penting untuk hanya tersimpan di kalangan ilmuwan.

Buku ini ditutup dengan semangat yang sama seperti saat dibuka: dengan sebuah panggilan yang penuh harapan. Di halaman dedikasinya, para editor menulis: "Manusia itu tangguh. Dengan sains, solidaritas, dan kreativitas, kita bisa beradaptasi. Kita bisa menjadi perubahan!".  

Setelah membaca buku ini, saya tidak lagi melihat hutan hanya sebagai kumpulan pohon. Saya melihatnya sebagai jaringan yang kompleks, sebuah sistem yang hidup, dan seorang guru yang mengajarkan pelajaran mendalam tentang ketahanan. Buku ini mendorong kita semua untuk melihat sistem di sekitar kita—baik itu hutan di belakang rumah, perusahaan tempat kita bekerja, atau komunitas tempat kita tinggal—dan bertanya: "Bagaimana kita bisa membuatnya lebih tangguh?"

Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca buku aslinya dan lihat sendiri datanya. Ini bukan sekadar buku tentang pohon, tapi tentang masa depan kita bersama.

(https://doi.org/10.1007/978-3-031-15988-6)

Selengkapnya
Bukan Sekadar Pohon: Pelajaran Resiliensi Mengejutkan dari Hutan Boreal untuk Karir dan Kehidupan
page 1 of 1