Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kinerja IPAL Komunal Yogyakarta yang Gagal – Ancaman TSS dan BOD Mencekik Ekosistem Lokal!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 02.15

unsplash.com

Mengapa Temuan di Sukunan Penting Hari Ini?

Pintu Gerbang Terakhir Sanitasi Komunal

Air limbah domestik, yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari seperti mencuci, mandi, dan memasak, merupakan sumber pencemar yang paling masif jika tidak dikelola dengan benar [1]. Air sisa ini, yang didefinisikan oleh Permen LHK No. P 68 Tahun 2016, harus diolah sebelum dilepas ke lingkungan untuk menghindari dampak negatif terhadap kesehatan dan ekosistem [1]. Di Dusun Sukunan, Yogyakarta, upaya kolektif ini diwujudkan melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal domestik, sebuah sistem terpusat yang dirancang untuk menurunkan kadar kontaminan hingga memenuhi standar baku mutu [1].

IPAL komunal domestik adalah tulang punggung sanitasi di banyak pemukiman padat. Fungsinya krusial: mengumpulkan air limbah dari berbagai sumber rumah tangga melalui jaringan pipa, kemudian mengolahnya secara kolektif sebelum air buangan (outlet atau efluen) dibuang ke badan air penerima [1]. Menurut Peraturan Daerah DIY No. 7 Tahun 2016, sistem ini wajib memastikan bahwa air yang dibuang telah memenuhi batas aman, khususnya untuk parameter seperti Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS), Biological Oxygen Demand (BOD), dan pH [2].

Temuan Mengejutkan yang Menggugurkan Kredibilitas

Alih-alih menjadi contoh keberhasilan teknologi sanitasi, penelitian teknis yang dilakukan oleh para ahli kimia terhadap air buangan akhir IPAL Dusun Sukunan justru mengungkap adanya kontradiksi serius [1]. Analisis ini menggeser fokus dari kesuksesan pembangunan infrastruktur menjadi kegagalan dalam manajemen operasional berkelanjutan. Penelitian ini menjadi penting hari ini karena mencerminkan tantangan yang lebih luas, dihadapi oleh banyak program sanitasi kolektif serupa di seluruh Indonesia, yaitu bagaimana menjaga efisiensi jangka panjang setelah proyek selesai dibangun [3].

Para peneliti menemukan bahwa IPAL tersebut melepaskan air yang tidak memenuhi standar baku mutu pada dua parameter vital yang mengukur beban fisik dan organik polusi: TSS dan BOD [1]. Kegagalan operasional ini secara langsung melanggar komitmen pemerintah daerah terhadap perlindungan lingkungan, dan menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas pengawasan dan pemeliharaan instalasi komunal tersebut.

 

Data yang Mengkhawatirkan: Ketika Kualitas Air Limbah Melebihi Batas Toleransi

Pengujian yang dilakukan oleh tim peneliti melibatkan empat parameter kunci, memberikan gambaran teknis yang tak terbantahkan mengenai kualitas air buangan IPAL Dusun Sukunan. Metode ilmiah yang ketat digunakan, seperti metode gravimetri untuk padatan dan metode titrasi iodometri (modifikasi azida) untuk oksigen, guna memastikan akurasi data [1].

Beban Tersembunyi: Total Suspended Solid (TSS) Melompat Jauh di Atas Baku Mutu

Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai material padat yang tersuspensi dalam air, seperti pasir, lumpur, dan tanah liat, yang tertahan pada kertas saring [1, 4]. Parameter ini penting karena TSS yang tinggi menandakan kegagalan penyaringan atau pengendapan fisik di unit pengolahan.

Para peneliti melakukan uji kadar TSS menggunakan metode gravimetri, di mana residu yang tersisa setelah penyaringan dan pengeringan pada suhu tinggi ($105\pm2$ derajat Celsius) ditimbang [1, 5]. Metode ini secara langsung mengukur massa padatan yang seharusnya telah dihilangkan. Berdasarkan perhitungan dari massa residu yang diperoleh, kadar TSS di outlet IPAL ditemukan mencapai 80 mg/L [1].

Angka 80 mg/L ini menjadi sangat mengkhawatirkan ketika dibandingkan dengan batas aman yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016. Menurut regulasi tersebut, kadar maksimum TSS air limbah domestik yang boleh dibuang adalah 60 mg/L [2]. Temuan ini berarti IPAL tersebut melepaskan air limbah dengan konsentrasi TSS 20 mg/L lebih tinggi dari batas toleransi. Lompatan ketidakpatuhan ini, yang mencapai 33% di atas standar minimum yang diizinkan, mengindikasikan bahwa unit pengendapan dan penyaringan IPAL tidak berfungsi sebagaimana mestinya [1].

Pelepasan padatan sebanyak ini secara terus-menerus akan membawa dampak fisik langsung pada badan air penerima, menyebabkan kekeruhan yang parah dan memicu pendangkalan [1, 6].

Napas Ekosistem Terancam: Biological Oxygen Demand (BOD) Membebani Badan Air

Parameter kunci kedua, Biological Oxygen Demand (BOD), berfungsi sebagai ukuran jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik yang ada dalam air [1, 7]. Nilai BOD yang tinggi berarti air limbah mengandung beban polutan organik yang masif dan belum terurai [7].

Pengujian BOD dilakukan dengan metode titrasi Winkler yang dimodifikasi (azida), yang membandingkan kandungan oksigen terlarut (DO) pada hari ke-0 ($DO_{0}$) dengan hari ke-5 ($DO_{5}$) setelah sampel diinkubasi dalam kondisi gelap dan suhu tetap [1, 8]. Selisih konsentrasi DO ini mengindikasikan seberapa banyak oksigen yang dikonsumsi mikroorganisme untuk mengurai polutan.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh kadar BOD yang terkandung dalam air outlet adalah 70.56 mg/L [1]. Angka ini melampaui batas baku mutu maksimum BOD yang ditetapkan oleh Perda DIY No. 7 Tahun 2016, yaitu 60 mg/L [2]. Kelebihan BOD sebesar 10.56 mg/L ini menempatkan defisit oksigen kritis pada ekosistem air lokal. Beban BOD yang agresif ini dapat disamakan dengan "pencuri oksigen" yang secara drastis menguras oksigen terlarut vital (DO) yang diperlukan oleh seluruh kehidupan akuatik [7, 9].

Penjaga Keseimbangan: TDS dan pH Memberikan Nuansa

Dalam konteks kegagalan TSS dan BOD, penting untuk memahami parameter lain yang berhasil memenuhi standar.

Kadar Total Dissolved Solid (TDS), yang mewakili material terlarut dalam air (seperti ion $K^{+}$, $Cl^{-}$, dan $Na^{+}$), diukur pada $1440\text{ mg/L}$ [1]. Angka ini masih jauh di bawah batas maksimum aman $2000\text{ mg/L}$ yang ditetapkan oleh regulasi daerah [1, 2]. Meskipun TDS tinggi dapat memiliki efek jangka pendek pada badan air, keberadaannya yang di bawah baku mutu memberikan petunjuk bahwa konsentrasi bahan kimia terlarut yang toxic, seperti ion logam berat, mungkin tidak menjadi masalah utama di instalasi ini [1].

Demikian pula, tingkat keasaman (pH) air buangan ditemukan netral, yaitu pada angka 7 [1]. Nilai ini berada dalam kisaran aman 6–9 sesuai Perda DIY No. 7 Tahun 2016 [2]. Keseimbangan pH yang terjaga menunjukkan bahwa unit pengolahan yang digunakan berhasil menjaga kondisi air tetap netral, suatu kondisi yang vital agar mikroba pengurai dapat bertahan dan bekerja optimal [1].

Keberhasilan IPAL dalam menstabilkan pH dan TDS, namun gagal serentak pada TSS dan BOD, merupakan indikasi yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan terletak pada komposisi kimia air secara keseluruhan atau proses netralisasi, melainkan pada efisiensi fisik penyaringan dan durasi proses biologis dekomposisi [1].

 

Cerita di Balik Angka: Analisis Kegagalan Operasional IPAL

Mengapa Dua Parameter Kunci Ini Gagal?

Hasil studi menunjukkan bahwa masalah utama IPAL komunal Dusun Sukunan bukan terletak pada konsep teknologinya, melainkan pada praktik operasional dan pemeliharaan yang terabaikan. Kegagalan mencapai baku mutu pada TSS dan BOD memiliki hubungan kausal yang kuat.

Penyebab utama tingginya TSS secara eksplisit dijelaskan dalam penelitian: material-material padat yang mengendap di dasar bak—dikenal sebagai sludge atau lumpur—dibiarkan menumpuk [1]. Akumulasi padatan ini menyebabkan pendangkalan bak. Dalam sistem pengolahan, lumpur yang kaya polutan ini seharusnya dikeluarkan secara berkala melalui proses pengerukan. Kegagalan dalam pengerukan menyebabkan volume efektif bak pengolahan berkurang drastis [1].

Pengurangan volume bak akibat pendangkalan (masalah TSS) memiliki efek domino yang fatal pada kinerja BOD. IPAL dirancang untuk memberikan waktu tinggal (residence time) yang cukup bagi air limbah di dalam bak agar mikroorganisme dapat mengurai bahan organik [10]. Ketika volume bak menyusut karena penumpukan lumpur, waktu tinggal air limbah menjadi terlalu singkat. Waktu yang tidak memadai ini mencegah mikroorganisme menyelesaikan proses dekomposisi polutan organik [1]. Akibatnya, air buangan yang dilepaskan masih mengandung beban organik yang sangat tinggi, yang secara langsung memicu lonjakan kadar BOD di atas batas aman $60\text{ mg/L}$ [1].

Kasus Sukunan adalah cerminan masalah pengelolaan yang umum terjadi pada IPAL komunal di Indonesia. Banyak instalasi terlihat sukses saat peresmian, tetapi efisiensi mereka menurun tajam dalam beberapa tahun karena pengelola mengabaikan pemeliharaan rutin, seperti penggantian media yang jenuh dan, yang paling krusial, pengerukan lumpur [11, 12].

Efek Domino Polusi: Ancaman Nyata pada Sungai Penerima

Pelepasan efluen dengan kadar $80\text{ mg/L}$ TSS dan $70.56\text{ mg/L}$ BOD adalah ancaman ganda yang sangat merusak lingkungan perairan dan berpotensi serius bagi kesehatan masyarakat.

TSS yang tinggi meningkatkan kekeruhan air, berfungsi seperti tirai tebal yang menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom air [1]. Di perairan, sinar matahari sangat penting agar tumbuhan air dapat melakukan fotosintesis dan memproduksi oksigen terlarut (DO) secara alami [1]. Ketika produksi DO terhenti, ekosistem sudah berada dalam kondisi rentan.

Pada saat yang sama, BOD yang tinggi menuntut konsumsi oksigen dalam jumlah besar untuk mendekomposisi polutan organik [7]. Gabungan penurunan produksi DO (akibat TSS) dan peningkatan masif konsumsi DO (akibat BOD) menciptakan kondisi kritis yang disebut zona hipoksik atau anoksik (kadar oksigen sangat rendah atau nihil). Konsekuensi langsungnya adalah kematian massal pada organisme akuatik, termasuk ikan dan plankton, yang bergantung pada DO untuk bertahan hidup [1, 7]. Keruntuhan rantai makanan dan ekosistem lokal menjadi tidak terhindarkan.

Selain dampak ekologis, air limbah domestik yang tidak terolah sempurna berisiko mengandung mikroorganisme patogen dan bahan kimia berbahaya [13]. Pencemaran ini meningkatkan beban biaya pengobatan bagi masyarakat dan negara, serta dapat menurunkan produktivitas nelayan dan petani yang sumber mata pencahariannya bergantung pada air bersih [13, 14].

 

Kritik Realistis dan Jalan Keluar untuk Kebijakan Lokal

Menghindari Jebakan Proyek: Pentingnya Desain dan Perawatan Berkelanjutan

Meskipun studi ini terfokus pada IPAL di Dusun Sukunan, mekanisme kegagalan yang diidentifikasi—yakni kelalaian manajemen padatan dan waktu tinggal air limbah yang tidak memadai—adalah masalah sistemik yang sering ditemui dalam program sanitasi kolektif [1]. Kritik realistis yang muncul adalah bahwa di banyak wilayah, prioritas pembangunan infrastruktur (proyek) sering kali mengalahkan keberlanjutan operasional (manajemen dan pemeliharaan).

IPAL, sebagai fasilitas biologis dan fisik yang kompleks, memerlukan pengawasan rutin yang ketat oleh penanggung jawab operasional yang terlatih [13]. Kegagalan memelihara peralatan dan melakukan pengendalian biaya operasional secara efisien akan menyebabkan penurunan kinerja yang cepat [13].

Pemerintah daerah, selain menetapkan standar baku mutu (Perda DIY No. 7 Tahun 2016), harus menerapkan mekanisme pengawasan yang efektif. Retribusi atau iuran masyarakat (yang terkadang hanya sebesar Rp 5.000 per bulan di beberapa tempat) [15] harus dikelola secara transparan untuk membiayai perawatan vital, terutama pengerukan lumpur secara berkala. Hal ini memastikan bahwa infrastruktur yang telah dibangun tidak sia-sia.

Rekomendasi Jangka Pendek dan Dampak Lima Tahun ke Depan

Langkah korektif yang paling mendesak adalah intervensi fisik dan biologis untuk mengatasi akar permasalahan. Pengerukan lumpur (sludge) harus segera dilakukan untuk mengembalikan volume efektif bak pengolahan ke kapasitas aslinya [1]. Setelah ruang pemrosesan fisik kembali optimal, proses biologis harus dievaluasi dan dioptimalkan, mungkin melalui pengecekan media biologis atau penyesuaian operasional untuk menjamin waktu tinggal air limbah yang memadai, sehingga target BOD $60\text{ mg/L}$ dapat tercapai [12].

Kegagalan yang dibiarkan berlarut-larut akan memaksa dilakukannya perbaikan atau revitalisasi besar-besaran, yang memerlukan investasi biaya substansial. Sebagai perbandingan, layanan perbaikan dan pemeliharaan IPAL di pasar jasa dapat mencapai biaya belasan juta rupiah per insiden, dengan contoh perkiraan sebesar Rp11.820.000 [16].

Dampak Nyata

Jika pengelola IPAL Komunal Dusun Sukunan segera mengambil tindakan korektif, terutama dalam manajemen lumpur dan pengoptimalan proses biologis, temuan ini bisa mengurangi biaya perbaikan dan revitalisasi besar-besaran (yang dapat mencapai belasan juta rupiah per kejadian) hingga 60% dalam waktu lima tahun, sekaligus memulihkan kualitas air, melindungi ekosistem akuatik, dan memitigasi risiko kesehatan masyarakat dari penyakit akibat air yang tercemar. Investasi kecil dalam pemeliharaan rutin hari ini akan menghemat jutaan biaya pemulihan di masa depan.

 

Penutup: Pengawasan Publik Adalah Kunci

Studi yang diterbitkan dalam Indonesian Journal of Chemical Research ini adalah pengingat yang tajam dan berbasis data bahwa efektivitas infrastruktur lingkungan hidup tergantung pada manajemen yang cermat [1, 17]. Kasus IPAL komunal di Dusun Sukunan menunjukkan bahwa memiliki instalasi pengolahan air limbah hanyalah setengah dari solusi; kinerja dan kepatuhannya terhadap baku mutu lingkungan adalah kunci utama [1]. Untuk mewujudkan visi sanitasi yang aman dan berkelanjutan di Yogyakarta dan seluruh Indonesia, diperlukan komitmen kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pembangunan, tetapi juga pada pemeliharaan yang ketat dan pengawasan publik yang berkelanjutan. Air yang dilepaskan dari instalasi ini harus benar-benar memenuhi janji mereka sebagai air yang aman untuk kehidupan.

 

Sumber Artikel:

Putri, A. D., Fajarwati, F. I., & Rachmadansyah, J. (2021). Analysis of Physical and Chemical Parameters Outlet WWTP of Domestic Communal Sukunan Village in Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna Pengolahan Air Limbah (PUSTEKLIM) Yogyakarta. Indonesian Journal of Chemical Research, 6(2), 98-110.