Pengelolaan Partisipatif
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025
Latar Belakang Degradasi DAS Bodri
Degradasi daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia bukan hanya soal ekologi, tapi juga soal tata kelola. DAS Bodri di Jawa Tengah adalah contoh nyata krisis ini. Kerusakan hulu dan tengah DAS menyebabkan tingkat erosi mencapai 4.870.185 ton per tahun, sebuah angka yang menggambarkan rusaknya keseimbangan alam di kawasan ini. Akibatnya, pendangkalan sungai, banjir bandang, dan penurunan kualitas tanah menjadi masalah rutin.
Desa Keseneng, yang terletak di lereng Gunung Ungaran dan masuk dalam Sub DAS Blorong, merupakan kawasan kritis yang mengalami tekanan penduduk tinggi: 1,70–3,61 (di atas ambang daya dukung). Tekanan ini mendorong pembukaan lahan dan konversi hutan yang memperparah kerusakan lingkungan. Namun, di balik kompleksitas ini, muncul satu pendekatan alternatif: pengelolaan berbasis masyarakat.
Desa Keseneng dan Inisiatif CBNRM
Tesis oleh Fransisca Emilia (2013) mengeksplorasi penerapan Community-Based Natural Resources Management (CBNRM) di Desa Keseneng. CBNRM merupakan pendekatan yang menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam, mulai dari perencanaan hingga pengawasan.
Di Keseneng, pendekatan ini dilakukan secara sadar dan kolektif melalui empat tahap klasik manajemen:
Pendekatan ini membedakan diri dari model top-down konvensional karena warga terlibat aktif sebagai pengambil keputusan.
Analisis Enam Aspek CBNRM
Studi ini mengevaluasi efektivitas CBNRM di Keseneng melalui enam aspek utama. Berikut ini hasil analisisnya:
1. Keadilan (Equity)
Masyarakat memiliki akses setara dalam pengambilan keputusan dan distribusi manfaat. Kelompok tani, ibu rumah tangga, dan tokoh adat dilibatkan dalam forum desa.
2. Pemberdayaan
Partisipasi masyarakat tinggi. Warga tidak sekadar "melaksanakan", tetapi juga ikut merancang dan mengevaluasi program.
3. Resolusi Konflik
Dengan pendekatan musyawarah, konflik agraria dan batas lahan dapat diredam. Sistem lokal lebih dipercaya dibanding campur tangan eksternal.
4. Kesadaran Kolektif
Ada peningkatan kesadaran ekologis, terlihat dari inisiatif menjaga vegetasi lereng dan pengurangan pembakaran lahan.
5. Biodiversitas
Varietas tanaman yang ditanam meningkat, dari monokultur ke sistem campuran (agroforestri). Hal ini memperkaya biodiversitas lokal.
6. Pemanfaatan Berkelanjutan (Catatan Kritis)
Aspek ini gagal dicapai. Beberapa warga masih mengejar keuntungan jangka pendek, seperti menjual kayu atau menyewa lahan secara eksploitatif.
Kritik, Tantangan, dan Peluang
Kegagalan dalam aspek keberlanjutan menjadi titik lemah utama CBNRM di Keseneng. Beberapa faktor penyebab:
Bandingkan dengan Studi Lain
Kasus di Lombok menunjukkan keberhasilan skema Payment for Environmental Services (PES), di mana masyarakat hulu mendapat insentif finansial untuk menjaga tutupan lahan. Di DAS Citarum, model co-management antara pemerintah dan LSM menghasilkan tata kelola yang lebih stabil.
CBNRM di Keseneng menunjukkan potensi sosial, tetapi untuk sukses ekologis dan ekonomi, perlu kombinasi pendekatan: CBNRM + PES + tata ruang partisipatif.
Rekomendasi:
Penutup: Desa sebagai Benteng Terdepan Konservasi
Desa Keseneng membuktikan bahwa masyarakat bukanlah penghambat konservasi—justru mereka bisa menjadi garda terdepan. Namun, keberhasilan sosial belum tentu menjamin keberlanjutan ekologis. Dibutuhkan kebijakan holistik yang mendukung dari bawah ke atas, bukan sebaliknya.
CBNRM adalah fondasi kuat, tapi ia harus dilengkapi dengan inovasi kelembagaan, dukungan ekonomi, dan pengakuan politik agar bisa menjadi strategi nasional dalam pemulihan DAS.
Sumber:
Emilia, F. (2013). Pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dalam upaya konservasi daerah aliran sungai (Studi kasus Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang) [Tesis Magister, Universitas Diponegoro].