Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian berjudul "Benefits of implementing occupational health and safety management systems for the sustainable construction industry: a systematic literature review" karya Kineber et al. (2023) memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi terkini riset mengenai sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) di sektor konstruksi. Dengan menganalisis 104 artikel yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2023 dari database terkemuka seperti Scopus dan Web of Science, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mengategorikan fokus utama dari studi-studi sebelumnya.
Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian (25.96%) berfokus pada manajemen SMK3, sementara topik implementasi juga cukup banyak diteliti (12.50%). Ini menunjukkan bahwa komunitas akademis telah berinvestasi besar dalam memahami bagaimana sistem-sistem ini diterapkan dan dikelola. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan hubungan kuat antara penerapan SMK3 dengan penurunan tingkat kecelakaan kerja, seperti yang diamati di Korea Selatan, di mana terjadi penurunan tingkat kecelakaan sebesar 67% setelah penerapan SMK3, dan tingkat kecelakaan fatal menurun 10,3% dari 2006 hingga 2011.
Studi ini juga secara eksplisit menyoroti data kuantitatif yang memperkuat argumennya. Misalnya, analisis 104 artikel yang ditinjau menunjukkan alokasi persentase topik yang jelas:
Distribusi ini secara deskriptif menggambarkan hubungan kuat antara fokus penelitian yang ada (manajemen, implementasi, model) dan area yang kurang terwakili (manfaat, kesadaran, indikator keselamatan). Selain itu, data geografis menunjukkan disparitas yang signifikan, dengan 61.54% studi dilakukan di negara berkembang dan hanya 38.46% di negara maju. Temuan ini secara tegas menunjukkan hubungan antara tingginya aktivitas konstruksi di negara berkembang dan tingginya perhatian penelitian di sana, namun juga menggarisbawahi perlunya transfer pengetahuan dan standardisasi praktik K3.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya signifikan, penelitian ini juga secara jujur mengakui keterbatasan dan kesenjangan yang ada dalam literatur yang ditinjau. Keterbatasan paling kritis adalah kurangnya data lapangan, survei, dan data klinis yang memadai mengenai insiden yang terjadi di industri konstruksi, sehingga sulit untuk mengautentikasi manfaat penerapan SMK3 secara komprehensif. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur dan mengkuantifikasi manfaat tersebut di luar metrik yang umum seperti penurunan tingkat kecelakaan.
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa topik manfaat/signifikansi dari SMK3 hanya diwakili oleh 3.85% dari total studi. Persentase yang sangat rendah ini menandakan bahwa meskipun banyak penelitian berfokus pada bagaimana mengelola dan mengimplementasikan sistem ini, ada sedikit eksplorasi tentang mengapa sistem ini bermanfaat secara finansial dan operasional dalam jangka panjang, terutama dari perspektif keberlanjutan. Studi-studi yang ada cenderung melihat SMK3 sebagai masalah kepatuhan terhadap legislasi daripada sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu sendiri.
Kesenjangan lain yang diidentifikasi adalah kurangnya penelitian yang memadai pada:
Pertanyaan-pertanyaan ini menantang komunitas akademis untuk beralih dari deskripsi dan analisis ke studi yang berorientasi pada solusi dan kuantifikasi.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk memperdalam pemahaman tentang SMK3 di industri konstruksi:
Penelitian ini harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari negara berkembang dan maju untuk memastikan relevansi dan validitas global dari hasil yang ditemukan. Peneliti dari institusi di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain dengan industri konstruksi yang berkembang pesat harus berkolaborasi dengan universitas terkemuka seperti Queen's University Belfast dan Prince Sattam bin Abdulaziz University yang telah memimpin penelitian ini, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk mentransfer pengetahuan yang sangat dibutuhkan.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Ade Asmi, Aurino Djamaris, dan Ahmad Dasuqi Bin Dahlan (2023) berfokus pada evaluasi penerapan praktik keselamatan kerja di lokasi konstruksi dengan membandingkan empat kelas kontraktor (A, B, C, dan D). Latar belakang riset ini berpijak pada data statistik yang menunjukkan bahwa industri konstruksi di Malaysia memiliki tingkat kecelakaan fatal tertinggi dibanding sektor lain. Kondisi ini menegaskan urgensi penguatan implementasi budaya keselamatan.
Studi dilakukan dengan dua pendekatan utama: tinjauan literatur dan survei kuesioner. Dari literatur, 13 praktik inti keselamatan teridentifikasi, antara lain: penyediaan sumber daya keselamatan, pemeliharaan peralatan, program pelatihan pekerja, sistem keamanan lokasi, instruksi kerja, inspeksi rutin, penerapan standar keselamatan tinggi, strategi pencegahan risiko, kedisiplinan pekerja, kesiapsiagaan darurat, manajemen dan penegakan keselamatan, keterlibatan kontraktor profesional, serta penyediaan fasilitas keselamatan. Praktik-praktik ini kemudian digunakan sebagai indikator dalam kuesioner yang ditujukan kepada kontraktor dari kelas A hingga D.
Hasil survei yang diolah dengan SPSS menunjukkan tingkat reliabilitas instrumen yang sangat tinggi (Cronbach’s Alpha = 0,968), menandakan konsistensi kuat dari kuesioner. Temuan utama memperlihatkan adanya perbedaan signifikan dalam penerapan praktik keselamatan antar kelas kontraktor.
Secara kuantitatif:
Kontraktor Kelas A menempati peringkat terbaik dengan rata-rata skor 1,21 (lebih rendah = lebih baik, karena 1 = “Ya” untuk penerapan). Mereka menunjukkan kepatuhan tinggi dalam aspek inspeksi (1,15), kedisiplinan (1,00), dan kesiapsiagaan darurat (1,04).
Kontraktor Kelas B berada di tingkat menengah dengan rata-rata skor 1,56. Walaupun memiliki komitmen pada beberapa aspek, terdapat kelemahan pada perencanaan kerja (1,61) dan pelaksanaan program keselamatan standar (1,82).
Kontraktor Kelas C mencatat performa paling rendah dengan rata-rata skor 1,69. Mereka menunjukkan kelemahan serius pada aspek pelatihan pekerja (skor 2,00), manajemen keselamatan (2,00), serta keterlibatan kontraktor profesional (2,00).
Kontraktor Kelas D memiliki skor rata-rata 1,68, dengan kelemahan menonjol dalam pemeliharaan peralatan (1,89) dan inspeksi (1,89).
Analisis ini memperjelas bahwa perbedaan kelas kontraktor berdampak langsung pada kualitas praktik keselamatan. Kontraktor kelas atas (A) umumnya memiliki sumber daya dan sistem manajemen yang lebih baik, sementara kontraktor kelas bawah (C dan D) cenderung menghadapi kendala finansial, keterbatasan pengetahuan, dan lemahnya pengawasan.
Makalah ini berkontribusi penting dengan:
Menyediakan gambaran komprehensif tentang perbedaan penerapan praktik keselamatan di berbagai kelas kontraktor.
Menyusun 13 indikator keselamatan praktis yang dapat dijadikan tolok ukur standar di lapangan.
Menyajikan bukti empiris berbasis data kuantitatif bahwa kontraktor kelas bawah membutuhkan dukungan tambahan untuk memperbaiki budaya keselamatan.
Secara konseptual, penelitian ini menegaskan bahwa regulasi dan slogan keselamatan belum cukup tanpa implementasi nyata yang merata di seluruh tingkatan kontraktor.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun riset ini memberikan kontribusi signifikan, terdapat sejumlah keterbatasan yang perlu dicatat:
Lingkup geografis terbatas – Survei dilakukan di wilayah Kuala Terengganu sehingga hasil mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi nasional atau regional lainnya. Variasi regulasi lokal maupun kondisi proyek dapat memengaruhi praktik keselamatan.
Metode survei bersifat deskriptif – Instrumen yang digunakan berbasis checklist biner (Ya/Tidak). Meskipun sederhana, metode ini kurang mampu menangkap intensitas, kualitas, atau konsistensi pelaksanaan praktik keselamatan. Misalnya, kontraktor yang menjawab “Ya” bisa saja hanya menerapkan sebagian dari standar.
Fokus pada kontraktor, bukan pekerja lapangan – Persepsi pekerja, yang merupakan pihak paling terdampak, tidak digali secara langsung. Padahal, sikap pekerja terhadap disiplin, APD, atau pelatihan sangat memengaruhi efektivitas program keselamatan.
Ketiadaan analisis hubungan kausalitas – Studi ini hanya memotret tingkat penerapan praktik, namun tidak meneliti kaitannya dengan angka kecelakaan nyata di proyek. Pertanyaan terbuka: apakah skor tinggi dalam pelatihan benar-benar berhubungan dengan penurunan insiden?
Variasi antar fase proyek tidak diperhitungkan – Pentingnya tiap praktik keselamatan bisa berubah seiring fase proyek (misalnya, keamanan lokasi paling relevan saat tahap awal, sementara kesiapsiagaan darurat lebih kritis saat konstruksi berjalan). Riset ini belum menangkap dimensi temporal tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang tersisa antara lain:
Bagaimana hubungan antara skor praktik keselamatan dengan outcome keselamatan aktual (jumlah insiden, tingkat keparahan)?
Apakah intervensi regulasi yang lebih ketat dapat menutup kesenjangan antara kelas kontraktor?
Bagaimana peran subkontraktor dan pekerja informal yang sering kali tidak terikat langsung dengan regulasi?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Analisis Kausalitas antara Praktik Keselamatan dan Tingkat Kecelakaan
Studi lanjutan perlu menghubungkan data penerapan praktik keselamatan (misalnya skor rata-rata 1,21 untuk kelas A vs 1,69 untuk kelas C) dengan angka kecelakaan nyata di lapangan. Metode regression analysis atau structural equation modeling (SEM) dapat digunakan untuk menguji apakah variabel seperti pelatihan atau inspeksi rutin berkontribusi signifikan dalam menurunkan kecelakaan. Ini akan menjawab pertanyaan apakah praktik dengan skor rendah benar-benar berimplikasi pada outcome keselamatan.
Pengembangan Instrumen Penilaian Multilevel (Manajemen dan Pekerja)
Riset mendatang perlu menggabungkan persepsi manajer dengan pekerja lapangan. Misalnya, instrumen survei dapat dilengkapi skala Likert (1–5) untuk menilai kualitas pelaksanaan, serta focus group discussion dengan pekerja untuk memahami kendala kepatuhan. Hal ini akan memperlihatkan kesenjangan antara kebijakan manajemen dan realitas di lapangan.
Studi Longitudinal Berdasarkan Fase Proyek
Penelitian ke depan sebaiknya dilakukan secara longitudinal, mengikuti proyek dari tahap awal hingga akhir. Dengan begitu, dapat dipetakan perubahan relevansi setiap praktik. Contoh hipotesis: perencanaan kerja (skor kelas A = 1,00) paling krusial di awal, sementara kesiapsiagaan darurat (kelas A = 1,04) paling vital saat eksekusi proyek. Variabel temporal ini akan memperkaya pemahaman tentang dinamika praktik keselamatan.
Perbandingan Lintas Wilayah dan Lintas Negara
Karena konteks studi ini terbatas di Kuala Terengganu, riset lebih luas perlu dilakukan lintas negara berkembang, seperti Indonesia, Thailand, atau Vietnam. Perbandingan ini dapat mengidentifikasi faktor kontekstual (regulasi, budaya keselamatan, kapasitas finansial) yang memengaruhi implementasi. Dengan memasukkan variabel moderasi seperti tingkat penegakan hukum, peneliti dapat menilai apakah kelemahan kelas kontraktor C/D bersifat lokal atau global.
Integrasi KPI Keselamatan dengan Indikator Kinerja Proyek
Studi selanjutnya dapat mengembangkan model integratif yang menghubungkan praktik keselamatan dengan kinerja proyek lain (biaya, waktu, mutu). Pendekatan multi-criteria decision making (MCDM) dapat digunakan untuk menimbang trade-off. Misalnya, apakah investasi pada pelatihan rutin (skor rendah di kelas C dan D) berdampak pada efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi insiden keterlambatan akibat kecelakaan. Hal ini akan memperkuat argumen bahwa keselamatan bukan sekadar beban, tetapi investasi strategis.
Penelitian Ade Asmi et al. (2023) berhasil mengidentifikasi perbedaan nyata dalam penerapan praktik keselamatan berdasarkan kelas kontraktor, dengan data kuantitatif yang menunjukkan bahwa kontraktor kelas A lebih konsisten dalam budaya keselamatan dibanding kelas C dan D. Namun, keterbatasan metodologis dan lingkup riset membuka peluang besar untuk studi lanjutan yang lebih komprehensif, lintas konteks, dan berbasis kausalitas.
Untuk memperkuat dampak, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Bakrie (Indonesia), Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM), serta lembaga pengawas keselamatan kerja nasional. Kolaborasi lintas institusi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan relevansi hasil penelitian demi terciptanya lingkungan konstruksi yang lebih aman.
Baca Penelitian Lengkapnya disini : A STUDY ON ASSESSING CONSTRUCTION SITE SAFETY PRACTICES AMONG CLASS OF CONTRACTORS. (2023). Jurnal Infrastruktur , 9(2), 107-118. https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/infrastruktur/article/view/5604
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Dalam diskursus pedagogi teknik, penanaman kemampuan berpikir tingkat tinggi sering kali menjadi tujuan yang lebih fundamental daripada sekadar transfer pengetahuan teknis. Karya konseptual Susan Analika yang berjudul, "Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN," secara spesifik membahas peran sebuah alat manajemen proyek klasik—metode Activity on Arrow (AOA)—sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pedagogis yang lebih tinggi tersebut. Latar belakang masalah yang diangkat adalah pentingnya mencapai hasil belajar yang optimal, yang didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dalam hal kecakapan, keterampilan, dan sikap.
Kerangka teoretis penelitian ini berpusat pada mata kuliah Manajemen Konstruksi (MK) di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Universitas Negeri Jakarta. Penulis memposisikan pembelajaran AOA bukan hanya sebagai salah satu topik dalam silabus, melainkan sebagai sebuah latihan fundamental yang dirancang untuk membentuk karakter mahasiswa agar mahir dalam manajemen industri konstruksi. Hipotesis implisit yang mendasari argumen ini adalah bahwa penguasaan metode AOA secara langsung berkontribusi pada pengembangan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Dengan demikian, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menegaskan kembali peranan penting AOA dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teknik penjadwalan tetapi juga sebagai fondasi untuk metode yang lebih kompleks dan sebagai alat untuk mencapai prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengumpulkan data empiris baru, melainkan untuk membangun sebuah argumen pedagogis yang koheren melalui sintesis definisi-definisi dan konsep-konsep yang telah mapan. Penulis secara sistematis menguraikan konsep-konsep dasar seperti "belajar", "pembelajaran", dan "hasil belajar" dengan merujuk pada berbagai sumber literatur untuk membangun landasan teoretisnya.
Analisis yang dilakukan bersifat kualitatif-argumentatif, di mana konsep-konsep tersebut kemudian dihubungkan secara logis dengan peran dan fungsi metode AOA dalam konteks mata kuliah Manajemen Konstruksi. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan metode baru, melainkan pada artikulasi ulang nilai pedagogis dari sebuah metode yang sudah dikenal. Alih-alih hanya membahas AOA dari perspektif teknis (bagaimana cara menggunakannya), penelitian ini memberikan kontribusi dengan membingkainya sebagai alat pengembangan kognitif, sebuah perspektif yang sering kali terabaikan dalam literatur teknis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah studi konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah serangkaian argumen yang menegaskan kembali signifikansi AOA dalam pendidikan teknik.
AOA sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Berpikir: Temuan sentral dari argumen penulis adalah bahwa proses pembelajaran AOA secara inheren melatih mahasiswa untuk berpikir secara sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Proses memetakan ketergantungan antar aktivitas, mengidentifikasi jalur kritis, dan menghitung float memaksa pembelajar untuk melihat proyek sebagai sebuah sistem yang saling terhubung, bukan sebagai serangkaian tugas yang terisolasi.
AOA sebagai Fondasi untuk Pembelajaran Berkelanjutan: Ditemukan bahwa AOA memiliki peran strategis sebagai pemahaman awal sebelum mahasiswa mempelajari metode jaringan kerja yang lebih lanjut, seperti Precedence Diagram Method (PDM). Dengan menguasai logika dasar AOA terlebih dahulu, mahasiswa dipersiapkan dengan lebih baik untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks, sejalan dengan prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
AOA sebagai Jembatan menuju Praktik Industri: Kontekstualisasi temuan ini sangat jelas: tujuan akhir dari pembelajaran AOA dalam mata kuliah MK adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya manajemen proyek dan membekali mahasiswa dengan pola pikir yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan nyata di industri jasa konstruksi.
Secara interpretatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa AOA memiliki peranan yang jauh melampaui fungsinya sebagai alat penjadwalan; ia adalah sebuah latihan pedagogis fundamental yang membentuk cara berpikir seorang calon profesional konstruksi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya konseptual dan tidak didukung oleh data empiris. Klaim bahwa pembelajaran AOA secara langsung meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif merupakan sebuah hipotesis yang kuat, namun tetap menjadi sebuah asersi teoretis yang belum divalidasi. Studi ini tidak menyajikan data dari hasil tes, survei, atau studi kasus yang dapat membuktikan secara kuantitatif atau kualitatif adanya hubungan sebab-akibat antara penguasaan AOA dengan peningkatan keterampilan kognitif tersebut. Hubungan kausal yang diasumsikan kemungkinan besar lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti metode pengajaran dosen dan motivasi mahasiswa.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, tulisan ini memberikan justifikasi pedagogis yang kuat bagi para pendidik di bidang teknik sipil untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat pengajaran metode-metode fundamental seperti AOA dalam kurikulum mereka, dengan penekanan pada pengembangan proses berpikir di balik teknik tersebut.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif merumuskan serangkaian hipotesis yang matang untuk diuji secara empiris. Studi selanjutnya dapat merancang penelitian quasi-eksperimental dengan desain pra-tes dan pasca-tes untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kritis pada kelompok mahasiswa yang mempelajari AOA dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dengan para profesional industri dapat mengeksplorasi apakah mereka mempersepsikan adanya korelasi antara pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip jaringan kerja dengan kemampuan pemecahan masalah di lapangan.
Sumber
Analika, S. (2020). Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 10-17.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Artikel ini berdasar pada teori pendidikan teknik sipil yang menekankan pentingnya keterampilan pemecahan masalah (problem-solving) dalam keberhasilan proyek dan karir profesional. Banyak studi terdahulu menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning/PBL) dan simulasi berbantuan peran (role-playing) dapat meningkatkan kemampuan analitis dan kritis mahasiswa (parafrase). Peneliti menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan teknik sipil dan manajemen konstruksi, kursus capstone BIM (Building Information Modeling) dapat mengintegrasikan teknologi dan praktik industri sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman memecahkan masalah nyata (Forsythe et al. 2013; Sacks dan Barak, 2010). Namun, literatur menunjukkan masih kurangnya pedoman sistematis untuk melatih keterampilan ini dalam lingkungan pembelajaran kaya teknologi (information-rich environments). Oleh karena itu penulis merumuskan hipotesis bahwa penerapan panduan Perencanaan Eksekusi Proyek (Project Execution Planning – PEP) dengan metode role-playing terstruktur dalam kursus BIM capstone akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Framework teoretis artikel ini menggabungkan konsep PBL, peran-permainan tim, dan pedoman PEP-BIM sebagai landasan pedagogi baru yang terstruktur.
Metodologi dan Kebaruan
Metode penelitian adalah teaching–learning experiment dalam konteks kursus capstone BIM selama sembilan minggu di Chang’an University, China. Sebanyak 82 mahasiswa program teknik sipil/manajemen konstruksi tingkat akhir dibagi ke dalam 21 tim proyek. Masing-masing tim menjalankan proyek bangunan nyata (gedung paud) sambil berperan sebagai insinyur BIM, koordinator, supervisor, dan teknisi sesuai panduan BIM PEPG (Building Information Modeling Project Execution Planning Guide). Instruktur berperan sebagai manajer proyek yang memfasilitasi kegiatan mingguan dan merancang langkah-langkah pembelajaran. Hal baru (novelty) dalam penelitian ini adalah integrasi peran-permainan terstruktur dan prosedur BIM PEP ke dalam kurikulum, sehingga setiap mahasiswa memilih peran spesifik dan bertanggung jawab dalam perencanaan proyek.
Pengumpulan data menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tiga instrumen utama digunakan: (1) kuesioner self-report berisi pertanyaan skala Likert untuk menilai persepsi mahasiswa tentang keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan role-playing/PEP (Tabel II); (2) evaluasi sejawat (peer evaluation) formatif untuk menilai keterlibatan tiap anggota tim (Tabel III); dan (3) penilaian manual oleh instruktur dan pakar industri atas deliverable proyek serta presentasi (Tabel IV dan V). Selain itu, terapan analisis data meliputi pemodelan persamaan struktural (SEM) untuk mengevaluasi hubungan antar variabel laten (keterampilan RP dan PEP) dengan skor kompetensi pemecahan masalah (ITRE search score). Aspek kualitatif diperoleh dari komentar siswa anonim dan observasi pengajar. Pendekatan metodologis ini dirancang untuk menstimulasi komunikasi dalam tim, perencanaan proyek, dan pembelajaran aktif berbasis proyek nyata. Dengan demikian, studi ini menyuguhkan panduan operasional detail bagi pendidik untuk menerapkan PEP-BIM dalam pembelajaran, menjawab kebutuhan penelitian yang menginginkan struktur role-playing dalam lingkungan kaya teknologi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Secara kualitatif, komentar anonim mahasiswa menegaskan bahwa pengalaman role-playing dan penggunaan BIM PEP membuat mereka lebih memahami lingkup pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga kemampuan menyelesaikan masalah meningkat dibandingkan awal semester. Misalnya, siswa melaporkan kemajuan dalam keterampilan metakognitif (RP1) dan kepemimpinan (RP4) sebagai hasil kegiatan peran. Demikian pula, umpan balik instruktur mencatat sikap belajar positif mahasiswa dan kemampuan mereka menerapkan panduan perencanaan untuk memecahkan isu teknis.
Secara kuantitatif, analisis korelasi dari data SEM mendukung temuan tersebut. Tabel hasil analisis (Bagian 4.3) mengindikasikan korelasi positif yang signifikan antara skor pengetahuan dan keterampilan role-playing (RP) dengan skor pemecahan masalah (ITRE search). Misalnya, total skor ITRE search berkorelasi sebesar 0,61 dengan kemampuan role-playing dan 0,40 dengan kemampuan perencanaan proyek (p<0,05), menunjukkan hubungan erat antara peran yang dimainkan dan efektivitas pemecahan masalah. Demikian pula, skor spesifik keterampilan RP dan PEP berkorelasi 0,52 dan 0,33 dengan skor pemecahan masalah. Selain itu, analisis korelasi lebih rinci (Tabel VIII) memperlihatkan bahwa setiap aspek observabel RP (metakognitif, profesional, kognitif, kepemimpinan) berkaitan signifikan (p<0,05) dengan skor jawaban soal uraian pemecahan masalah, sedangkan aspek PEP menunjukkan korelasi lebih rendah (~0,21). Pola ini mengindikasikan bahwa siswa yang aktif dalam peran tim memperoleh performa lebih baik dalam tugas problem-solving.
Temuan ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menekankan efektivitas pembelajaran berbasis proyek dan role-play dalam pendidikan teknik sipil. Dengan menyediakan struktur perencanaan eksekusi proyek dan pengalaman dunia nyata, studi ini memperkuat pemahaman teoretis bahwa konteks pembelajaran praktikal mendorong penguasaan konsep. Secara praktis, pedoman BIM PEP terbukti meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang pentingnya perencanaan, komunikasi, dan kerja sama tim untuk pemecahan masalah. Penelitian ini mengonfirmasi bahwa integrasi BIM dan proses perencanaan dalam kurikulum dapat menutup kesenjangan antara teori dan praktik industri konstruksi modern.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Walaupun menjanjikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis. Pertama, sampel penelitian terbatas pada mahasiswa tingkat akhir dari satu universitas di China, sehingga generalisasi hasil ke konteks lain masih terbatas. Tidak ada kelompok kontrol untuk membandingkan pengaruh intervensi, sehingga efek kausal dari penggunaan BIM PEP sulit dibuktikan secara mutlak. Kedua, sebagian besar data bersumber dari laporan diri siswa dan pengamatan subjektif, yang rentan bias motivasi atau “halo effect” instruktor. Meskipun digunakan instrumen semacam kuesioner dan skala evaluasi, tidak terdapat pengukuran pra-dan-pasca (pre-test/post-test) yang eksplisit untuk mengkuantifikasi peningkatan kinerja.
Dari sisi analisis statistik, penulis menekankan korelasi signifikan namun tidak melaporkan ukuran efek atau uji statistik lain untuk memvalidasi temuan peningkatan. Hasil SEM dan koefisien korelasi memang signifikan (p<0,05) namun kurang jelas implikasi praktisnya. Karena desain eksperimental tidak menyeimbangkan faktor lain (misalnya motivasi individu atau tingkat dasar BIM), sulit memastikan bahwa perbedaan kinerja semata-mata disebabkan oleh metode yang diujikan. Selain itu, interval waktu sembilan minggu relatif pendek; dampak jangka panjang pada penguasaan kompetensi belum diuji. Secara keseluruhan, meski inovatif secara pedagogi, penelitian ini memerlukan pengukuran yang lebih objektif dan desain yang lebih kuat (misalnya eksperimen random dengan kelompok kontrol) untuk menegaskan validitas kesimpulannya.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Studi ini menyiratkan sejumlah implikasi penting bagi penelitian dan praktik pendidikan teknik sipil berikutnya. Pertama, model pedagogis yang mengintegrasikan BIM PEP dan role-playing dapat diuji ulang pada populasi yang lebih luas atau berbeda, misalnya mahasiswa dengan latar belakang motivasi/tingkat kemampuan yang berbeda, atau dalam mata kuliah lain (seperti desain struktur atau manajemen proyek lanjutan). Kedua, metodologi campuran perlu dikembangkan dengan fokus pada pengukuran kinerja objektif, misalnya tugas pemecahan masalah terstandardisasi atau penilaian kinerja proyek sebelum dan sesudah intervensi.
Secara ilmiah, hasil ini mendorong penelitian lebih lanjut terhadap mekanisme spesifik yang membuat role-playing efektif—apakah karena peningkatan komunikasi, tanggung jawab bersama, atau aspek motivasionalnya. Penerapan SEM dalam konteks serupa juga bisa diperluas untuk mengeksplorasi variabel-variabel mediasi lain, seperti keterampilan kolaborasi atau motivasi intrinsik mahasiswa. Dalam ranah praktis, penelitian ini relevan dengan tren global dalam pendidikan CECM yang semakin berfokus pada building information modeling dan pembelajaran berbasis proyek. Di masa depan, integrasi inovasi seperti ini dapat membantu mencetak insinyur sipil/manajer konstruksi yang lebih siap menghadapi tuntutan industri yang kompleks dan terhubung teknologi.
Secara keseluruhan, meskipun terobosan pendidikan ini masih memerlukan evaluasi lebih lanjut, studi Zhang, Xie, dan Li (2019) menunjukkan bahwa perencanaan eksekusi proyek berbasis BIM dalam setting kelas memang berpotensi tinggi untuk memperkuat keterampilan pemecahan masalah mahasiswa, dan oleh karena itu sesuai dengan kebutuhan pendidikan teknik sipil modern.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 September 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterlambatan Material Adalah Masalah Global?
Keterlambatan proyek konstruksi adalah isu klasik yang terus menghantui industri global. Dalam konteks proyek berskala besar seperti perumahan nasional hingga infrastruktur publik, keterlambatan tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga memicu ketidakpercayaan terhadap kontraktor dan lembaga pemerintahan.
Studi yang dilakukan oleh Rahman et al. (2017) di Brunei Darussalam menunjukkan perspektif segar mengenai penyebab utama dari dua aspek kritis: kekurangan dan keterlambatan pasokan material. Walau terfokus pada Brunei, temuan ini memiliki relevansi luas terhadap negara-negara berkembang maupun maju yang mengalami fenomena serupa.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Kajian Literatur dan Wawancara Lapangan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap:
1. Literatur Review – untuk mengidentifikasi pola global dalam kekurangan material.
2. Diskusi Pakar Industri – guna memahami mekanisme rantai pasok material di Brunei.
3. Wawancara Semi-Terstruktur – melibatkan 15 narasumber, yaitu 10 pemasok material dan 5 kontraktor lokal.
Wawancara ini menggali pengalaman mereka dalam mengelola bahan bangunan dari berbagai sumber, baik lokal maupun impor, dengan rentang pengalaman 3 hingga 40 tahun.
Hasil Utama: 15 Faktor Penyebab Keterlambatan dan Kekurangan Material
Penelitian ini membagi akar permasalahan menjadi dua kategori besar:
Penyebab Kekurangan Material (6 Faktor)
1. Ketergantungan Impor Material
Banyak material konstruksi di Brunei, seperti besi, baja, dan komponen modular, harus diimpor, yang menciptakan lead time panjang dan rentan gangguan logistik. Misalnya, selama proyek perumahan skala besar, kekurangan stok lokal menyebabkan keterlambatan signifikan.
Catatan industri: Ketergantungan pada impor juga terjadi di Indonesia, terutama untuk material seperti baja dan semen khusus.
2. Estimasi Volume Material yang Buruk
Kesalahan dalam perhitungan kebutuhan material bisa menyebabkan dua masalah utama: kekurangan (yang memaksa pemesanan ulang sehingga menunda proyek) dan kelebihan (yang meningkatkan biaya logistik dan penyimpanan).
3. Kualitas Pekerjaan Rendah
Pemasangan yang ceroboh oleh tenaga kerja menyebabkan kerusakan material yang harus diganti. Proses klaim garansi dan investigasi membutuhkan waktu cukup lama.
4. Mutu Material Buruk
Defek yang terjadi selama proses pengiriman—seperti kerusakan saat transit—membuat material tak layak pakai. Misalnya, pintu kayu yang dikirim dari Malaysia ternyata penuh lubang karena serangan serangga.
5. Permintaan Tidak Konsisten
Untuk material seperti cat, permintaan tergantung preferensi warna yang fluktuatif. Jika warna tertentu tidak tersedia, pemesanan baru ke luar negeri bisa memakan waktu sebulan lebih.
6. Material Khusus & Proyek Spesifik
Untuk proyek seperti rumah sakit atau penjara, lampu dan peralatan spesifik sering kali harus dipesan dari Eropa atau Asia, sehingga waktu tunggu sangat lama.
Penyebab Keterlambatan Pasokan (9 Faktor)
1. Produktivitas Tenaga Kerja Rendah
Sebagian besar tenaga kerja berasal dari luar negeri (India, Bangladesh, Indonesia) dan banyak yang kurang terampil, terutama dalam penanganan material. Siklus pelatihan yang terus-menerus memperlambat produksi dan distribusi.
2. Cuaca Buruk
Sebagai negara tropis, Brunei mengalami hujan sepanjang tahun yang mengganggu pengiriman dan penempatan material seperti beton cor.
3. Regulasi Pemerintah
Beberapa material, seperti kayu, memerlukan izin impor khusus. Proses ini bisa memakan waktu lama, terutama jika ada kesalahan dalam dokumen.
4. Keputusan yang Lambat
Owner proyek sering menunda keputusan pembelian atau perubahan desain, terutama untuk produk finishing seperti ubin. Akibatnya, pemesanan material menjadi tertunda.
5. Kekurangan Bahan Baku di Pabrik
Misalnya, produsen cat di Singapura yang harus menunggu bahan kimia dari negara ketiga sebelum bisa memproduksi barang pesanan untuk Brunei.
6. Masalah Logistik
Brunei sebagai negara kecil sering mengalami masalah less container load (LCL), yang memperpanjang proses pengiriman dari pabrik ke proyek.
7. Perencanaan & Penjadwalan Buruk
Banyak kontraktor tidak memesan material sejak awal, menyebabkan keterlambatan ketika permintaan meningkat atau pasokan global terganggu (contoh: kelangkaan besi selama Olimpiade Beijing 2008).
8. Durasi Konstruksi yang Tidak Realistis
Proyek-proyek dengan waktu pelaksanaan sangat pendek memaksa kontraktor mengambil jalan pintas, termasuk memesan material darurat dengan biaya lebih tinggi.
9. Perubahan Desain atau Permintaan Klien
Perubahan tiba-tiba sering membutuhkan material baru yang harus diimpor, menambah tekanan pada waktu pengiriman.
Studi Kasus Nyata: Brunei & Negara Lain
Kritik & Opini: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Meski penelitian ini cukup mendalam, terdapat ruang untuk penguatan:
Kuantifikasi Dampak: Studi selanjutnya sebaiknya memasukkan estimasi waktu atau biaya akibat masing-masing faktor.
Studi Perbandingan Regional: Menarik jika dilakukan studi serupa di negara ASEAN lain seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk melihat pola umum.
Solusi Teknologi: Penggunaan sistem manajemen rantai pasok digital seperti BIM (Building Information Modeling) atau SCM tools dapat memperkecil kesalahan estimasi dan mempercepat keputusan.
Rekomendasi Praktis bagi Industri Konstruksi
1. Digitalisasi Inventaris dan Logistik
Gunakan perangkat lunak SCM (Supply Chain Management) untuk memantau stok dan waktu pengiriman secara real-time.
2. Konsolidasi Pengadaan
Bentuk asosiasi kontraktor untuk pengadaan bersama demi efisiensi pengiriman dan penghematan biaya.
3. Pelatihan Tenaga Kerja Lokal
Kurangi ketergantungan pada pekerja asing dengan investasi dalam pelatihan tenaga kerja lokal.
4. Perencanaan Material Sejak Tender
Kewajiban perencanaan pasokan material sebagai bagian dari dokumen tender.
Kesimpulan: Menyatukan Visi untuk Konstruksi yang Lebih Efisien
Penelitian oleh Rahman dkk. menyoroti kbahwa tantangan dalam rantai pasok konstruksi jauh lebih kompleks daripada sekadar masalah logistik. Keterlambatan proyek sering muncul dari kombinasi perencanaan yang kurang matang, keputusan yang lambat, ketergantungan pada impor, hingga perubahan desain mendadak. Temuan ini menjadi panggilan bagi para pemangku kepentingan industri untuk bergerak menuju sistem konstruksi yang lebih adaptif, terencana, dan berbasis data.
Sumber:
Rahman, M. M., Yap, Y. H., Ramli, N. R., Dullah, M. A., & Shamsuddin, M. S. W. (2017). Causes of shortage and delay in material supply: a preliminary study. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 271(1), 012037. DOI:10.1088/1757-899X/271/1/012037
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 Agustus 2025
Pendahuluan
Disertasi karya Nimesha Vilasini ini mengangkat persoalan klasik namun krusial di industri konstruksi: bagaimana mengintegrasikan sistem operasional yang efisien ke dalam proyek yang menggunakan metode alliance contracting. Meskipun alliancing menjanjikan kolaborasi dan kinerja unggul, bukti empiris menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas yang “game breaking” belum sepenuhnya terwujud.
Penulis berargumen bahwa kelemahan ini disebabkan oleh fokus yang terlalu besar pada ranah kontraktual dan organisasi, sementara domain operasional diabaikan. Sebagai solusi, penelitian ini mengusulkan penerapan prinsip Lean—suatu filosofi manajemen yang menitikberatkan pada pengurangan limbah (waste) dan penciptaan nilai—ke dalam lingkungan proyek alliancing.
Kerangka Teori dan Landasan Konseptual
1. Filosofi Alliancing
Dalam kerangka teorinya, Vilasini menjelaskan bahwa alliancing merupakan bentuk kontrak relasional yang memfokuskan diri pada:
Kerja sama berbasis kepercayaan
Alokasi risiko dan keuntungan secara adil
Transparansi biaya melalui prinsip open-book
Konsep ini dianggap mampu meminimalkan “interferensi” (hambatan kinerja) sebagaimana dirumuskan dalam Gallwey’s Formula:
Kinerja aktual = Potensi sejati – Interferensi
Namun, temuan di berbagai studi menunjukkan bahwa masih ada interferensi yang bersumber dari proses operasional yang kurang efisien.
2. Filosofi Lean
Lean didefinisikan sebagai upaya berkelanjutan untuk menghilangkan pemborosan, memaksimalkan nilai, dan mengoptimalkan aliran kerja. Penulis mengadopsi delapan kategori pemborosan:
Overproduksi
Menunggu
Transportasi berlebih
Pemrosesan tambahan
Inventori berlebih
Gerakan tidak perlu
Pekerjaan ulang (rework)
Tidak dimanfaatkannya kreativitas pekerja (unused creativity) – fokus utama studi ini
Kombinasi alliancing dan Lean dipandang selaras: alliancing menyediakan lingkungan kolaboratif, sementara Lean memberi kerangka operasional yang sistematis.
Kontribusi Ilmiah
Penelitian ini menyumbang tiga hal penting:
Integrasi Teori dan Praktik
Menggabungkan kerangka relational contracting (khususnya alliancing) dengan teori Lean, yang sebelumnya jarang dikaji secara mendalam di konteks konstruksi Selandia Baru.
Pengukuran Waste di Proyek Alliancing
Melalui studi kasus jembatan Newmarket Viaduct, penulis memetakan berbagai jenis process waste dan behavioural waste, lalu mengaitkannya dengan peluang perbaikan berbasis Lean.
Metodologi Peningkatan Proses di Lapangan
Menghasilkan metode observasi, pemetaan aliran nilai (Value Stream Mapping), dan analisis partisipatif yang dapat diadopsi oleh proyek sejenis.
Metodologi dan Strategi Penelitian
Pendekatan Filosofis
Paradigma interpretivis dipilih untuk memahami fenomena secara kontekstual, bukan sekadar mengukur variabel.
Peneliti berperan aktif dalam proses observasi, sejalan dengan action research approach.
Strategi
Studi kasus longitudinal tunggal: proyek penggantian Viaduct di Auckland.
Metode pengumpulan data:
Observasi partisipatif pada lima proses konstruksi berulang
Pertemuan tindak lanjut dengan manajemen proyek
Wawancara semi-terstruktur dengan manajemen puncak
Kuesioner ke manajemen menengah
Analisis dokumen proyek
Analisis Data
Value Stream Mapping (VSM) untuk mengidentifikasi VA, NVAN, dan NVAU.
Diagram sebab-akibat, spaghetti diagram, dan Pareto chart untuk memetakan penyebab pemborosan.
Pendekatan campuran (kualitatif + kuantitatif) untuk menggabungkan hasil observasi dan persepsi partisipan.
Hasil dan Angka Penting
Proporsi Waste
Studi menemukan bahwa tingkat process waste di proyek alliancing hampir setara dengan model pengadaan lain (55% pada salah satu proses). Artinya, model kontrak saja tidak otomatis mengurangi pemborosan.
Behavioural Waste
Pekerja lapangan: minimnya partisipasi dalam perbaikan proses mengakibatkan ide-ide inovatif tidak termanfaatkan.
Subkontraktor: kurangnya integrasi menyebabkan koordinasi lemah, menambah waktu tunggu dan pekerjaan ulang.
Efektivitas Lean Tools
Implementasi alat Lean menghasilkan penghematan signifikan pada proses berulang, seperti pengurangan waktu tunggu dan peningkatan efisiensi penggunaan peralatan.
Refleksi Teoretis atas Temuan
Temuan ini memperkuat argumen bahwa kinerja proyek tidak hanya ditentukan oleh “apa” kontraknya, tetapi juga “bagaimana” kontrak itu dioperasikan. Alliancing menciptakan ekosistem kolaboratif, tetapi tanpa sistem operasional seperti Lean, potensi maksimumnya terhambat.
Dari perspektif TFV (Transformation–Flow–Value), integrasi Lean membantu mengurangi gangguan pada flow dan memastikan value yang dihasilkan benar-benar sesuai kebutuhan pengguna akhir.
Analisis Argumentatif Penulis
Vilasini membangun narasi dengan alur logis:
Menunjukkan masalah produktivitas di industri konstruksi (latar belakang).
Mengidentifikasi bahwa alliancing telah memberi perbaikan di ranah strategis, tapi belum di ranah operasional.
Menawarkan Lean sebagai solusi, dengan argumentasi kompatibilitas kedua konsep.
Menguji solusi ini melalui studi kasus terperinci.
Menyimpulkan bahwa tanpa integrasi sistem operasional, alliancing tidak akan mencapai breakthrough performance.
Pendekatan ini memadukan analisis empiris (data kuantitatif) dengan pembacaan konseptual (teori Lean dan relational contracting).
Kritik terhadap Metodologi
Kekuatan
Kedalaman konteks: studi longitudinal tunggal memungkinkan pemahaman mendalam atas dinamika proyek.
Kombinasi metode: triangulasi data meningkatkan validitas internal.
Keterlibatan langsung: posisi peneliti sebagai partisipan memberi akses ke detail proses yang biasanya tertutup.
Keterbatasan
Generalisasi terbatas: satu studi kasus di Selandia Baru mungkin tidak mewakili semua proyek alliancing global.
Potensi bias: peneliti tunggal mengumpulkan dan menganalisis data, meskipun mitigasi dilakukan lewat member checking.
Durasi pemantauan terbatas: sulit menilai keberlanjutan perbaikan Lean setelah proyek selesai.
Dari sudut pandang epistemologis, pendekatan interpretivis sangat tepat untuk tujuan eksplorasi, namun akan lebih kuat bila dilengkapi studi komparatif lintas proyek.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Potensi Ilmiah
Membuka ruang studi interdisipliner antara manajemen kontrak, manajemen operasi, dan perilaku organisasi.
Menawarkan kerangka konseptual integrasi Lean–Alliancing yang dapat diadaptasi di penelitian selanjutnya.
Implikasi Praktis
Pemilik proyek dan kontraktor dapat menggunakan Lean untuk memaksimalkan pembagian keuntungan dalam gain–pain share.
Proses perbaikan berkelanjutan memerlukan integrasi pekerja lapangan dan subkontraktor sejak tahap awal.
Kesimpulan Reflektif
Disertasi ini menegaskan bahwa inovasi dalam metode pengadaan harus berjalan seiring dengan inovasi dalam manajemen proses. Alliancing menciptakan landasan kolaborasi, sementara Lean menjadi penggerak efisiensi di lapangan. Integrasi keduanya berpotensi menghasilkan kinerja proyek yang unggul, bukan hanya dalam hitungan biaya dan waktu, tetapi juga dalam kualitas dan keterlibatan manusia di dalamnya.
Secara konseptual, penelitian ini adalah kontribusi berharga bagi pengembangan teori manajemen konstruksi, dan secara reflektif, ia mengingatkan bahwa teknologi atau kontrak secanggih apa pun tidak akan berdampak maksimal tanpa perbaikan proses di tingkat operasional.