Manajemen Konstruksi

Mengubah Bahaya: Bagaimana Lean Thinking Dapat Merevolusi K3 di Industri Konstruksi Nigeria.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 20 Oktober 2025


Kerangka Kerja Keselamatan Lean (LSF): Mendorong Kinerja K3 di Industri Konstruksi Nigeria Melalui Lensa Sistem Sosioteknik

Penelitian doktoral ini, "Examining Health and Safety through the Lean Thinking Lens: The Case of The Nigerian Construction Industry", menyajikan sebuah intervensi yang penting dan mendesak terhadap masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang parah di sektor konstruksi Nigeria. Dengan menggunakan Teori Sistem Sosioteknik (SST) sebagai lensa payung , tesis ini secara ambisius mengeksplorasi bagaimana adopsi praktik Lean Thinking dapat membentuk fondasi yang kokoh untuk sistem keselamatan yang komprehensif, khususnya di tengah kegagalan perusahaan konstruksi pribumi dalam memprioritaskan risiko. Kontribusi utama dari karya ini adalah pengembangan sebuah model yang dapat ditindaklanjuti—Kerangka Kerja Keselamatan Lean (LSF)—yang secara langsung mengatasi kesenjangan mendasar dalam penelitian K3 Nigeria, yaitu tidak adanya kerangka kerja pencegahan kecelakaan yang teruji.

Parafrase Isi Paper: Jalur Logis Perjalanan Temuan (Fokus pada Keterhubungan)

Perjalanan temuan dalam penelitian ini dimulai dari pengakuan atas tingkat kecelakaan yang tinggi dan kegagalan manajemen risiko di perusahaan konstruksi Nigeria. Secara logis, penulis berargumen bahwa pendekatan K3 tradisional yang fokus pada kesalahan individu ("mengapa kecelakaan terjadi setelah terjadi") tidak memadai. Kebutuhan ini mendorong peneliti untuk mengadopsi SST, yang menuntut optimasi gabungan dari komponen sosial (pekerja, organisasi, budaya) dan teknis (alat, sistem, proses) dari lingkungan kerja. Praktik Lean, sebagai sistem sosioteknik terintegrasi, diidentifikasi sebagai mekanisme ideal untuk mencapai optimasi gabungan ini.

Penelitian kualitatif dengan desain studi multi-kasus dilakukan melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi non-partisipan pada enam perusahaan konstruksi (skala kecil dan menengah). Analisis tematik data ini secara eksplisit memetakan akar penyebab kecelakaan.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kegagalan sistem sosioteknik dan akar penyebab kecelakaan, dengan koefisien deskriptif yang menunjukkan konsensus tinggi pada lima faktor utama — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru. Analisis silang kasus pada enam perusahaan menunjukkan bahwa akar penyebab ini bersifat endemik dan persisten di seluruh skala organisasi yang diteliti.

Lima Akar Penyebab Utama Kecelakaan yang Diidentifikasi:

  1. Kurangnya informasi, pengetahuan, dan pelatihan.
  2. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali bahaya/kondisi tidak aman sebelum memulai tugas.
  3. Mengidentifikasi bahaya/kondisi tidak aman namun tetap melanjutkan pekerjaan tanpa eliminasi terlebih dahulu.
  4. Kegagalan manajemen dalam menyediakan lingkungan kerja yang aman.
  5. Perilaku dan sikap negatif terhadap keselamatan oleh pekerja.

Setelah akar penyebab teridentifikasi, langkah logis penelitian berikutnya adalah menguji mekanisme mitigasi menggunakan tiga alat Lean utama: Metodologi 5S (Sort, Set in order, Shine, Standardize, Sustain) yang ditujukan untuk kerapian dan eliminasi bahaya fisik seperti tersandung , Manajemen Visual (VM) yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan memperingatkan bahaya secara eksplisit , dan Kerangka Kerja Pemecahan Masalah A3/PDCA (Plan-Do-Check-Act) sebagai alat perbaikan berkelanjutan untuk mendiagnosis dan mengatasi akar masalah kecelakaan.

Integrasi ketiga alat Lean ini, yang ditemukan dapat diimplementasikan untuk mengurangi akar penyebab kecelakaan, menghasilkan kontribusi inti dari tesis ini: Kerangka Kerja Keselamatan Lean (LSF). LSF ini berfungsi sebagai kerangka diagnostik, mengarahkan perusahaan untuk tidak hanya bereaksi terhadap kecelakaan (after the accident), tetapi untuk secara proaktif mendeteksi dan menghilangkan bahaya (before the accident). Keterhubungan antara temuan saat ini (lima akar penyebab) dan potensi jangka panjang terletak pada transisi dari budaya reaktif menjadi budaya proaktif dan berkelanjutan (Sustain/Shitsuke).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini bersifat ganda, memperkaya basis teoretis dan menyediakan cetak biru praktis untuk industri:

  1. Kontribusi Teoretis: Perluasan Teori Sistem Sosioteknik (SST). Tesis ini berhasil memperluas ranah penerapan SST. Secara konvensional, upaya keselamatan sebagian besar terhenti pada aspek individu atau teknis semata. Dengan menggabungkan SST dan Lean Practice, tesis ini merumuskan model yang lebih holistik dan terperinci, menunjukkan bagaimana harmonisasi aspek sosial, organisasional, dan teknis dari lingkungan kerja konstruksi—yang semuanya tercakup dalam LSF—adalah kunci untuk mitigasi akar penyebab kecelakaan. Ini mengatasi kritik terhadap metode konvensional yang mengabaikan konteks sosioteknik yang lebih luas.
  2. Kontribusi Praktis: Pengembangan Kerangka Kerja Keselamatan Lean (LSF). LSF adalah kontribusi praktis yang paling menonjol. Penelitian sebelumnya mengindikasikan kurangnya kerangka kerja pencegahan kecelakaan yang tersedia dalam penelitian K3 di Nigeria. LSF menutup kesenjangan ini dengan menyediakan kerangka kerja praktis bagi perusahaan konstruksi untuk mendiagnosis dan meningkatkan kinerja K3 mereka. LSF, yang secara struktural mengintegrasikan 5S, Visual Management, dan A3/PDCA, memungkinkan perusahaan untuk menangani akar penyebab kecelakaan secara sistematis dan berulang.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat secara teoretis dan diagnostik, penelitian ini memiliki batasan metodologis yang sekaligus membuka jalan bagi penelitian lanjutan:

  1. Sifat Kualitatif dan Generalisasi: Desain studi multi-kasus kualitatif yang melibatkan enam perusahaan indigenous (skala kecil dan menengah) membatasi validitas eksternal. Temuan yang kuat dan konsisten dari analisis silang kasus adalah dasar untuk pembangunan teori, tetapi tidak dapat digeneralisasi secara statistik. Pertanyaan terbuka yang muncul adalah apakah LSF dapat berfungsi secara efektif di perusahaan multinasional besar atau proyek infrastruktur skala besar.
  2. Keterbatasan Pengujian Efikasi: Karena kendala, penelitian tidak memasukkan studi kuantitatif untuk menguji efikasi LSF secara langsung (misalnya, membandingkan metrik K3 sebelum dan sesudah implementasi LSF). Hal ini menimbulkan pertanyaan terbuka: Seberapa efektif LSF dalam mengurangi tingkat kecelakaan aktual (seperti Accident Frequency Rate) dan sejauh mana faktor kepatuhan regulasi (yang rendah di Nigeria) memoderasi keberhasilannya?
  3. Hambatan Implementasi Budaya: Penelitian Lean sebelumnya telah mengidentifikasi hambatan seperti resistensi terhadap perubahan, masalah budaya, dan kurangnya pelatihan sebagai masalah mendasar. Sementara lima akar penyebab teridentifikasi, studi lanjutan diperlukan untuk memahami dinamika interaksi antara faktor sosial-budaya ini dan alat-alat teknis dalam LSF, khususnya pada langkah Sustain (Shitsuke) dalam 5S.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Rekomendasi berikut ditujukan untuk memperluas kontribusi tesis ini, mengubah LSF dari kerangka teoritis menjadi model industri yang teruji dan terukur, serta memperkuat jembatan antara SST dan Lean Thinking.

  1. Validasi Kuantitatif LSF Melalui Analisis Regresi Lintas Sektor
    • Justifikasi Ilmiah: LSF telah dikembangkan secara kualitatif, namun efikasi aktualnya dalam mengurangi tingkat kecelakaan memerlukan bukti statistik untuk mendukung klaim peningkatan kinerja. Uji statistik akan memperkuat validitas eksternal kerangka kerja.
    • Rekomendasi: Melakukan studi kuantitatif (survei skala besar) pada lebih dari 50 perusahaan konstruksi. Studi ini harus menggunakan Analisis Regresi untuk mengukur dampak implementasi LSF (variabel independen: skor kepatuhan LSF, dipecah per 5S, VM, A3/PDCA) terhadap metrik K3 utama (variabel dependen: Accident Frequency Rate dan Lost Time Injury Frequency Rate).
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini diperlukan untuk membuktikan secara empiris, dengan koefisien signifikan, bahwa integrasi sistem sosioteknik secara Lean memberikan pengurangan risiko yang substansial, bukan hanya perubahan persepsi.
  2. Studi Komparatif Lintas Negara Berkembang dengan Karakteristik Serupa
    • Justifikasi Ilmiah: Tesis ini menyarankan bahwa akar penyebab kecelakaan di Nigeria mungkin serupa dengan negara berkembang lain (misalnya, Ghana, Kamerun, Liberia) yang memiliki karakteristik industri, tingkat penegakan hukum K3, dan budaya kerja yang sebanding. Pengujian lintas-konteks akan meningkatkan generalisasi teoritis kerangka kerja.
    • Rekomendasi: Melakukan studi komparatif kuantitatif di antara perusahaan konstruksi di Nigeria dan setidaknya dua negara Afrika lainnya. Pendekatan ini harus menggunakan analisis struktural (misalnya, Structural Equation Modeling) untuk menguji apakah hubungan antara alat Lean dan mitigasi akar penyebab tetap stabil di bawah kondisi budaya dan peraturan yang berbeda.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk menyempurnakan LSF menjadi model regional yang dapat diterapkan di negara-negara berkembang, riset ini wajib dilakukan guna memvalidasi fleksibilitas dan adaptabilitas kerangka kerja.
  3. Memperluas Penerapan LSF ke Sektor Manufaktur dengan Fokus Sosioteknik
    • Justifikasi Ilmiah: Konsep Lean Thinking berasal dari sektor manufaktur, dan alat-alat pembentuk LSF (5S, VM, A3/PDCA) juga umum digunakan di sektor ini. Pengujian LSF di luar konstruksi akan memperkaya kontribusi teoritisnya kepada teori Lean secara keseluruhan.
    • Rekomendasi: Melakukan studi kasus kualitatif dan kuantitatif gabungan untuk menerapkan dan menguji LSF di beberapa pabrik manufaktur di Nigeria.
    • Fokus: Membandingkan kinerja K3 (misalnya, tingkat kecelakaan dan efisiensi operasional) sebelum dan sesudah implementasi LSF, untuk melihat bagaimana faktor teknis (mesin/otomatisasi) berinteraksi dengan faktor sosial (budaya pekerja) dalam kerangka yang dikembangkan. Riset ini akan menguji batas-batas penerapan LSF sebagai kerangka keselamatan sosioteknik generik.
  4. Analisis Longitudinal Peran Kepemimpinan Manajemen Terhadap Keberlanjutan Lean
    • Justifikasi Ilmiah: "Kegagalan manajemen" adalah akar penyebab utama. Dalam konteks Lean, keberlanjutan (langkah Sustain atau Shitsuke dalam 5S) sangat bergantung pada komitmen pimpinan. Diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang peran aspek "sosial" dan "organisasional" SST.
    • Rekomendasi: Melakukan Penelitian Kualitatif Longitudinal (studi selama 12–18 bulan) yang berfokus pada peran kepemimpinan C-suite dan manajer proyek di perusahaan yang mengimplementasikan LSF.
    • Fokus: Menganalisis bagaimana gaya kepemimpinan (variabel intervensi) memengaruhi keberlanjutan dan kepatuhan finansial/waktu (variabel dependen) terhadap LSF. Ini akan menguji joint optimization dari aspek sosial-manajemen dan teknis-proses secara real-time.
  5. Riset Pengembangan Alat Diagnosis Digital Berbasis LSF
    • Justifikasi Ilmiah: Agar LSF diadopsi secara luas di lapangan, terutama di perusahaan skala kecil dan menengah yang memiliki sumber daya terbatas, kerangka kerja tersebut harus mudah diterapkan dan diukur. Pengembangan alat digital adalah langkah logis dari proses standardize (Seiketsu) dan sustain (Shitsuke).
    • Rekomendasi: Riset yang berfokus pada pengembangan dan pengujian purwarupa aplikasi perangkat lunak (digital tool) berdasarkan alur kerja A3/PDCA dan komponen Visual Management.
    • Fokus: Alat ini harus memfasilitasi pelaporan bahaya secara visual, memandu tim dalam proses Plan-Do-Check-Act (PDCA) untuk masalah keselamatan, dan secara otomatis memetakan bahaya ke salah satu dari lima akar penyebab LSF, menyediakan data waktu nyata untuk mitigasi dan perbaikan berkelanjutan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik (Universitas), industri (Asosiasi Kontraktor), dan pemerintah (Badan Pengawas K3) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta mendorong adopsi LSF ke dalam kebijakan nasional.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Mengubah Bahaya: Bagaimana Lean Thinking Dapat Merevolusi K3 di Industri Konstruksi Nigeria.

Manajemen Konstruksi

Dari Pelatihan K3 ke Produktivitas Proyek: Arah Riset Baru di Sektor Konstruksi Ghana

Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 Oktober 2025


Menyingkap Hubungan Antara Keselamatan Kerja dan Produktivitas: Agenda Riset untuk Industri Konstruksi Ghana

Industri konstruksi, yang diakui sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, secara paradoks juga merupakan salah satu lingkungan kerja paling berbahaya di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Tingginya angka kecelakaan tidak hanya menimbulkan kerugian manusiawi tetapi juga secara langsung menghambat produktivitas dan kesuksesan proyek. Sebuah studi oleh Zakari Mustapha dkk. yang berjudul "Impact of Safety Training and Communication on Construction Project Productivity: Case Study of Cape Coast" memberikan data kuantitatif penting dari Ghana, menawarkan landasan empiris untuk memahami dinamika ini secara lebih mendalam.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, mengumpulkan data melalui kuesioner daring dari 77 responden yang bekerja di industri konstruksi di Cape Coast, Ghana. Partisipan sebagian besar adalah laki-laki (81.8%) dengan latar belakang pendidikan Sarjana (35.1%) dan pengalaman kerja signifikan, yang mengindikasikan pemahaman yang kuat terhadap subjek penelitian. Dengan menggunakan statistik deskriptif dan Relative Importance Index (RII), para peneliti memetakan program pelatihan keselamatan yang dianggap paling berpengaruh, dampak utamanya terhadap produktivitas, serta tantangan dalam implementasinya.

Temuan utama menunjukkan bahwa pelatihan Pertolongan Pertama dan CPR menduduki peringkat tertinggi sebagai program paling penting (RII = 0.855), diikuti oleh program Alat Pelindung Diri (APD) (RII = 0.829). Hal ini menegaskan bahwa kesadaran akan respons darurat dan perlindungan dasar sangat dihargai oleh para praktisi. Dampak paling signifikan dari program-program ini, menurut responden, adalah peningkatan manajemen risiko (skor rata-rata = 4.221) dan minimalisasi kecelakaan kerja (skor rata-rata = 4.130). Data ini menunjukkan adanya hubungan kuat yang dirasakan antara investasi pada pelatihan keselamatan dengan hasil proyek yang lebih terkendali dan efisien.

Namun, studi ini juga mengidentifikasi hambatan-hambatan kritis. Hambatan hierarkis (skor rata-rata = 4.169), kekurangan sumber daya (skor rata-rata = 4.104), dan perbedaan bahasa (skor rata-rata = 4.026) menjadi tiga tantangan utama yang menghalangi implementasi program keselamatan yang efektif. Temuan ini melengkapi gambaran dengan menunjukkan bahwa niat baik dan program yang dirancang dengan cermat dapat gagal jika tidak didukung oleh struktur organisasi, pendanaan, dan strategi komunikasi yang inklusif.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling signifikan dari penelitian ini adalah penyediaan bukti empiris dari konteks geografis yang kurang terwakili dalam literatur manajemen konstruksi global, yaitu Cape Coast, Ghana. Dengan mengkuantifikasi persepsi para profesional lokal, studi ini mengubah diskusi dari anekdotal menjadi berbasis data. Ia tidak hanya mengonfirmasi pentingnya pelatihan K3, tetapi juga secara spesifik memeringkat jenis pelatihan dan dampak yang paling relevan bagi praktisi di lapangan.

Selain itu, identifikasi hambatan implementasi yang spesifik seperti "hambatan hierarkis" dan "kekurangan sumber daya" sebagai tantangan utama memberikan titik fokus yang jelas bagi para manajer proyek dan pembuat kebijakan. Hal ini mengalihkan perhatian dari sekadar "apa" yang harus dilakukan (yaitu, menyediakan pelatihan) menjadi "bagaimana" mengatasi rintangan struktural dan finansial yang menghambat efektivitasnya.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Ukuran sampel yang relatif kecil (77 responden) dan penggunaan data yang dilaporkan sendiri (self-reported data) membatasi generalisasi temuan ke populasi yang lebih luas. Selain itu, desain studi yang bersifat cross-sectional hanya mampu menunjukkan korelasi, bukan hubungan sebab-akibat antara pelatihan keselamatan dan keberhasilan proyek. Keterbatasan ini, alih-alih mengurangi nilai studi, justru membuka pintu bagi pertanyaan penelitian lanjutan yang lebih mendalam.

Salah satu temuan yang paling menarik dan memunculkan pertanyaan adalah peringkat pelatihan ergonomi yang sangat rendah (RII = 0.753), menempati urutan terakhir dari semua program yang dievaluasi. Padahal, gangguan muskuloskeletal akibat praktik kerja yang tidak ergonomis adalah salah satu penyebab utama cedera jangka panjang dan penurunan produktivitas di industri konstruksi. Ini memunculkan pertanyaan kritis: Mengapa sebuah praktik preventif dengan manfaat jangka panjang yang terbukti justru paling diabaikan di lapangan? Apakah ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran, biaya, atau persepsi bahwa manfaatnya tidak segera terlihat?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang ada, berikut adalah lima arah penelitian yang direkomendasikan untuk membangun fondasi yang telah diletakkan oleh studi ini:

  1. Studi Longitudinal tentang Dampak Pelatihan Ergonomi terhadap Produktivitas dan Biaya Kompensasi.
    • Justifikasi: Temuan bahwa pelatihan ergonomi menduduki peringkat terendah (RII = 0.753) menunjukkan adanya kesenjangan kritis antara praktik industri dan pengetahuan tentang pencegahan cedera jangka panjang. Keterbatasan studi saat ini yang bersifat cross-sectional tidak dapat menetapkan hubungan kausal.
    • Metodologi Baru: Sebuah studi longitudinal selama 2-3 tahun dapat membandingkan dua kelompok proyek konstruksi: satu yang menerima pelatihan ergonomi komprehensif dan satu lagi sebagai kelompok kontrol. Variabel yang diukur akan mencakup jumlah insiden cedera muskuloskeletal, hari kerja yang hilang, biaya kompensasi pekerja, dan metrik produktivitas (misalnya, unit kerja per jam). Penelitian ini akan memberikan data ROI (Return on Investment) yang kuat untuk mendorong adopsi pelatihan ergonomi.
  2. Analisis Komparatif Efektivitas Metode Komunikasi dalam Mengatasi Hambatan Hierarkis dan Bahasa.
    • Justifikasi: Studi ini mengidentifikasi "hambatan hierarkis" (peringkat 1) dan "perbedaan bahasa" (peringkat 3) sebagai tantangan utama. Namun, studi ini tidak mengeksplorasi solusi komunikasinya.
    • Metodologi Baru: Penelitian eksperimental atau kuasi-eksperimental di beberapa lokasi proyek dapat membandingkan efektivitas berbagai metode komunikasi. Misalnya, membandingkan efektivitas penyampaian informasi K3 melalui: (a) instruksi verbal top-down dari mandor, (b) poster visual multibahasa dan piktogram sederhana, dan (c) rapat K3 harian yang dipimpin oleh rekan kerja (peer-led). Keberhasilan akan diukur berdasarkan tingkat kepatuhan APD, pelaporan insiden nyaris celaka, dan pemahaman K3 melalui kuesioner pasca-intervensi.
  3. Investigasi Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Tipe Proyek terhadap Alokasi Sumber Daya untuk K3.
    • Justifikasi: "Kekurangan sumber daya" diidentifikasi sebagai tantangan terbesar kedua , dan penulis mengakui kegagalan untuk menyertakan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol merupakan sebuah keterbatasan.
    • Konteks Baru: Penelitian survei dengan sampel yang lebih besar dan terstratifikasi berdasarkan ukuran perusahaan (kecil, menengah, besar) dan tipe proyek (residensial, komersial, infrastruktur) diperlukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah "kekurangan sumber daya" secara signifikan lebih terasa di perusahaan kecil dan bagaimana perusahaan besar berhasil mengatasinya. Analisis ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang lebih bertarget, mungkin menyarankan skema subsidi K3 untuk kontraktor kecil dan menengah.
  4. Studi Etnografi Kualitatif untuk Membedah "Hambatan Hierarkis".
    • Justifikasi: "Hambatan hierarkis" adalah temuan kuantitatif dengan skor rata-rata tertinggi (4.169), tetapi istilah ini bersifat abstrak. Data kuantitatif tidak menjelaskan perilaku spesifik atau norma budaya di balik angka tersebut.
    • Metodologi Baru: Studi kualitatif yang menggunakan metode etnografi, seperti observasi partisipatif di lokasi proyek dan wawancara mendalam dengan manajer proyek, petugas K3, dan pekerja terampil, dapat memberikan pemahaman yang kaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana struktur kekuasaan, gaya komunikasi manajemen, dan keengganan untuk melaporkan masalah ke atasan secara nyata menghambat aliran informasi keselamatan.
  5. Pengembangan dan Validasi Model Persamaan Struktural (SEM) Hubungan Pelatihan-Budaya-Produktivitas.
    • Justifikasi: Paper ini secara implisit menyarankan sebuah jalur kausal: pelatihan K3 yang efektif dan komunikasi yang baik akan membangun budaya keselamatan yang positif , yang pada gilirannya meningkatkan moral karyawan, mengurangi kecelakaan, dan akhirnya meningkatkan produktivitas. Namun, ini hanya dijelaskan secara deskriptif.
    • Metodologi Baru: Menggunakan data survei dari sampel yang lebih besar, peneliti dapat menerapkan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji dan mengkuantifikasi model ini. SEM akan dapat membedakan dampak langsung pelatihan terhadap produktivitas versus dampak tidak langsung yang dimediasi oleh variabel "budaya keselamatan". Hasilnya akan memberikan bukti statistik yang lebih kuat tentang pentingnya membangun budaya K3, bukan hanya sekadar mengadakan sesi pelatihan.

Arah Kolaborasi ke Depan

Penelitian yang dipaparkan oleh Mustapha dkk. memberikan gambaran yang berharga namun bersifat awal. Untuk membangun momentum ini, penelitian lebih lanjut di bidang ini akan mendapat manfaat besar dari kolaborasi antara institusi akademik seperti Coast Coast Technical University dan University of Johannesburg, badan regulator K3 di Ghana, serta asosiasi kontraktor nasional. Kemitraan semacam ini akan memastikan bahwa temuan penelitian tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga relevan secara kontekstual dan dapat diimplementasikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan produktif di seluruh industri konstruksi Ghana dan sekitarnya.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Dari Pelatihan K3 ke Produktivitas Proyek: Arah Riset Baru di Sektor Konstruksi Ghana

Manajemen Konstruksi

Faktor Kritis Keberhasilan Pelatihan Keselamatan di Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 14 Oktober 2025


Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Tezel et al. (2021) berkontribusi signifikan dalam memahami pelatihan keselamatan kerja (K3) di industri konstruksi yang lebih efektif. Industri konstruksi selama ini menghadapi tingginya angka kecelakaan, dan pelatihan K3 dianggap sebagai salah satu upaya preventif utama. Namun, merancang pelatihan yang benar-benar efektif bukan hal mudah karena perbedaan gaya belajar pekerja, motivasi yang rendah, serta kendala bahasa di proyek. Studi ini memberikan analisis empiris terstruktur mengenai faktor-faktor apa saja yang paling menentukan keberhasilan sebuah sesi pelatihan keselamatan. Melalui tinjauan pustaka mendalam dan wawancara dengan pakar K3, peneliti awalnya mengidentifikasi 41 variabel kandidat. Setelah penyaringan dan penggabungan variabel yang mirip, diperoleh 25 variabel kunci yang dianggap memengaruhi sukses tidaknya pelatihan keselamatan (misalnya: durasi proyek, ukuran proyek, frekuensi pelatihan, penggunaan APD, dll.).

Selanjutnya, tim peneliti menyebarkan kuesioner kepada perusahaan dalam ENR Top 400 Contractors (400 kontraktor konstruksi terbesar). Dari survei ini terkumpul 93 respons (tingkat respons ~23%), mayoritas dari profesional konstruksi berpengalaman (lebih dari 20 tahun). Analisis data menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA) berhasil mereduksi 25 variabel tersebut ke dalam enam kelompok faktor utama yang disebut Critical Success Factors pelatihan K3. Keenam kelompok faktor kunci keberhasilan itu adalah: (1) Faktor Proyek dan Perusahaan, (2) Faktor Demografis, (3) Faktor Praktik Lapangan, (4) Faktor Motivasional, (5) Faktor Organisasional, dan (6) Faktor Manusia & Perilaku. Model enam faktor ini secara bersama mampu menjelaskan sekitar 77% variasi kesuksesan pelatihan – suatu cakupan yang kuat dan menyeluruh.

Temuan kuantitatif penting dari studi ini menunjukkan bahwa Faktor Proyek dan Perusahaan merupakan penentu terbesar keberhasilan pelatihan, menjelaskan ~39% dari total variasi. Variabel-variabel seperti jenis proyek, ukuran proyek, durasi proyek, hingga ukuran perusahaan memiliki nilai loading faktor sangat tinggi (≈0,92) dalam kelompok ini, menandakan hubungan yang sangat kuat dengan keberhasilan pelatihan. Artinya, konteks proyek dan kapasitas perusahaan (misalnya proyek besar dan berdurasi panjang pada perusahaan besar) cenderung menentukan seberapa efektif pelatihan K3 dilaksanakan. Di sisi lain, Faktor Demografis (misalnya usia, jenis kelamin, asal negara pekerja) walaupun berpengaruh, tercatat hanya menyumbang ~13% variasi dengan nilai mean penting yang lebih rendah (sekitar 3,3 dari skala 5). Ini mengindikasikan bahwa karakteristik demografi pekerja tidak sepenting faktor-faktor konteks proyek dalam menentukan efektivitas pelatihan, walaupun tetap perlu diperhatikan (contoh: perbedaan bahasa dan budaya pekerja migran yang dapat menghambat pelatihan).

Studi ini juga menegaskan pentingnya aspek praktis dan manusiawi dalam pelatihan. Faktor Praktik Lapangan (≈10% variasi) menyoroti betapa krusialnya pelatihan langsung (hands-on) dan persepsi positif terhadap pelatihan. Hands-on training memiliki mean 4,69 dengan loading faktor 0,84, menandakan bahwa pelibatan peserta secara aktif melalui simulasi atau praktik di lapangan sangat meningkatkan keberhasilan pelatihan. Demikian pula, persepsi peserta bahwa pelatihan itu bermanfaat mendorong mereka lebih patuh terhadap prosedur K3. Faktor Organisasional dan Motivasional secara total menyumbang sekitar 10%–11% variasi. Di dalamnya termasuk hal-hal seperti efektivitas penyampaian materi, mekanisme umpan balik, koordinasi, dukungan manajemen, insentif keselamatan, bahasa pengantar pelatihan, frekuensi pelatihan, dan kepuasan peserta terhadap pelatihan. Sebagai contoh, training frequency (frekuensi pelatihan) memiliki loading ~0,72, dan studi ini mencatat bahwa peningkatan frekuensi pelatihan berkorelasi dengan perubahan sikap pekerja ke arah perilaku lebih aman. Temuan tersebut menunjukkan hubungan kuat antara intensitas pelatihan dan peningkatan kesadaran risiko — koefisien 0,72 ini mengindikasikan potensi besar bagi pendekatan pelatihan rutin sebagai fokus penelitian dan praktik baru. Sementara itu, Faktor Manusia & Perilaku (≈4% variasi) mencakup penggunaan APD dan kualitas kepemimpinan. Menariknya, dua variabel ini justru memiliki skor rata-rata tertinggi di antara 25 variabel (mean ~4,9) meskipun persentase variasi totalnya kecil. Hal ini berarti hampir semua responden sepakat bahwa penggunaan APD yang konsisten dan kepemimpinan yang kuat di lapangan adalah elemen vital untuk suksesnya pelatihan K3. Kedua hal ini bersifat fundamental: penggunaan APD sering disebut sebagai variabel paling kritis untuk meningkatkan kesadaran keselamatan, dan kepemimpinan yang baik akan menciptakan budaya keselamatan yang kuat dalam jangka panjang.

Secara keseluruhan, kontribusi utama penelitian ini adalah peta jalan ilmiah bagi peningkatan program pelatihan K3 di industri konstruksi. Penelitian ini untuk pertama kalinya mengelompokkan berbagai faktor penentu keberhasilan pelatihan keselamatan ke dalam kerangka enam faktor yang teruji secara statistik. Hasilnya memberikan evidence-based guidance bagi praktisi dan manajer proyek: misalnya, menitikberatkan investasi pada aspek konteks proyek (jenis, ukuran, durasi) dan penguatan budaya keselamatan perusahaan, sembari tidak melupakan desain pelatihan yang interaktif, pemberian umpan balik, insentif, serta kepemimpinan yang proaktif. Bagi komunitas akademik, temuan ini menutup celah pengetahuan dengan mengidentifikasi variabel-variabel mana saja yang paling berdampak pada efektivitas pelatihan, sehingga riset selanjutnya dapat lebih terarah pada variabel kunci tersebut. Singkatnya, studi Tezel et al. memberikan landasan solid untuk merancang pelatihan keselamatan kerja yang lebih tepat sasaran, meningkatkan kinerja keselamatan, dan pada akhirnya menurunkan angka kecelakaan di industri konstruksi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menawarkan temuan penting, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, data dan hasil yang diperoleh berbasis persepsi responden (self-reported outcomes) dari perusahaan-perusahaan besar konstruksi di Amerika Serikat. Dengan kata lain, studi ini mengandalkan pengalaman dan penilaian subjektif para manajer/profesional K3 di perusahaan top tersebut. Hal ini membuka pertanyaan: apakah faktor-faktor keberhasilan yang teridentifikasi akan sama kuatnya apabila diukur dengan data objektif (misalnya penurunan tingkat kecelakaan sebenarnya) di lapangan? Kedua, cakupan geografis dan jenis organisasi dalam survei cukup terbatas. Responden terkonsentrasi pada kontraktor besar AS; hasil bisa berbeda jika studi serupa dilakukan di wilayah lain atau pada kontraktor yang lebih kecil. Budaya keselamatan dan regulasi di negara lain mungkin menekankan faktor berbeda. Misalnya, faktor bahasa mungkin lebih krusial di negara dengan banyak tenaga kerja asing, atau faktor insentif mungkin kurang berdampak di budaya tertentu. Keterbatasan ini menimbulkan pertanyaan terbuka untuk riset lanjutan mengenai generalizability temuan: seberapa universal enam kelompok faktor ini berlaku di konteks berbeda?

Ketiga, ukuran sampel relatif kecil jika dibandingkan populasi industri konstruksi secara luas. Meskipun para responden berasal dari perusahaan papan atas (industry leaders) dengan program K3 yang sudah maju, hanya 93 responden yang terlibat. Ini dapat menimbulkan bias karena kelompok responden yang terbatas mungkin tidak mewakili seluruh spektrum praktik pelatihan di industri. Penulis menyadari bahwa pengalaman dan persepsi kelompok elit ini cenderung positif (terbukti 90% lebih responden puas dengan pelatihan yang pernah mereka ikuti, dan merasa kesadaran keselamatannya meningkat). Kelompok ini bisa jadi memiliki budaya keselamatan lebih baik daripada rata-rata industri, sehingga faktor-faktor yang muncul penting di sini mungkin berbeda bobotnya bila survei mencakup perusahaan dengan rekam jejak K3 yang kurang.

Terakhir, studi ini belum membahas hubungan kausal secara mendalam. Hasilnya menunjukkan faktor mana yang terkait dengan keberhasilan pelatihan, namun belum terjawab bagaimana interaksi antar faktor terjadi atau mekanisme penyebabnya. Misalnya, apakah faktor proyek besar meningkatkan keberhasilan pelatihan karena perusahaan besar memiliki sumber daya lebih untuk pelatihan? Atau apakah frekuensi pelatihan tinggi menyebabkan perubahan perilaku, atau justru perusahaan dengan budaya baik cenderung memberi pelatihan lebih sering? Pertanyaan-pertanyaan ini masih terbuka.

Singkatnya, pertanyaan penelitian yang masih terbuka antara lain: (1) Apakah temuan faktor kunci ini berlaku di luar konteks kontraktor besar AS? (2) Bagaimana menerjemahkan faktor-faktor kunci ini menjadi indikator kinerja yang dapat diukur (misal pengurangan insiden) untuk benar-benar membuktikan efektivitasnya? (3) Apakah ada faktor lain yang luput karena fokus pada persepsi manajer (misalnya faktor ekonomi atau regulasi eksternal) yang sebaiknya turut dipertimbangkan? Mengakui keterbatasan-keterbatasan ini penting sebagai landasan dalam merancang penelitian lanjutan dan menguji keandalan temuan saat diaplikasikan lebih luas.

Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan di atas, berikut adalah 5 rekomendasi arah riset selanjutnya yang dapat dilakukan, lengkap dengan usulan metode, konteks, atau variabel baru serta justifikasi ilmiahnya:

  1. Studi Lintas Wilayah atau Negara: Melakukan riset serupa di negara lain atau konteks budaya berbeda untuk membandingkan faktor keberhasilan pelatihan. Metodologi bisa berupa survei dan analisis faktor di Asia Tenggara, Eropa, atau wilayah lain. Justifikasi: Penelitian Tezel et al. menunjukkan hasil yang spesifik pada kontraktor besar di AS; studi lanjutan dapat menguji apakah enam faktor kunci tersebut bersifat universal. Perbedaan regulasi K3, budaya kerja, dan profil tenaga kerja antar negara berpotensi memunculkan variasi faktor atau perbedaan bobot kepentingan. Hasil perbandingan lintas wilayah akan memperkuat validitas eksternal temuan dan membantu penyesuaian strategi pelatihan sesuai konteks lokal.
  2. Fokus pada Beragam Skala Perusahaan dan Tipe Proyek: Meluaskan penelitian ke perusahaan konstruksi skala kecil-menengah dan berbagai tipe proyek (misal proyek infrastruktur vs. perumahan). Metode yang diusulkan adalah studi komparatif: membandingkan apakah kontraktor kecil menempatkan penekanan berbeda pada faktor-faktor pelatihan dibanding kontraktor besar. Justifikasi: Faktor “ukuran perusahaan” dan “jenis proyek” muncul signifikan dalam studi ini sebagai penentu keberhasilan pelatihan. Namun, perusahaan kecil mungkin menghadapi keterbatasan sumber daya pelatihan, dan tipe proyek berbeda memiliki risiko K3 berbeda pula. Riset lanjutan di level UKM konstruksi atau proyek skala kecil akan mengisi celah pengetahuan dan memberikan rekomendasi spesifik bagi segmen industri yang lebih luas, sehingga hasil penelitian lebih inklusif.
  3. Evaluasi dari Perspektif Pelatih vs. Peserta: Melakukan penelitian evaluatif yang mendalam terhadap sesi pelatihan aktual dengan mengumpulkan data dari dua sisi: instruktur/pelatih dan pekerja peserta. Misalnya, studi kualitatif atau mixed-method yang mengamati sesi pelatihan, mewawancarai pelatih dan peserta, serta mengukur perubahan pengetahuan/perilaku sebelum-sesudah pelatihan. Justifikasi: Tezel et al. mengusulkan pentingnya menilai kinerja pelatihan dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini survei berfokus pada persepsi manajemen atau peserta saja. Dengan membandingkan perspektif pelatih dan peserta, riset ini dapat mengungkap gap antara apa yang diajarkan vs. apa yang dipahami/dilaksanakan. Temuan semacam ini akan membantu meningkatkan metode penyampaian materi dan menyesuaikan konten pelatihan agar lebih efektif.
  4. Mengukur Dampak Penerapan Faktor Kunci terhadap Kinerja Keselamatan: Melakukan studi longitudinal atau eksperimental di mana perusahaan menerapkan rekomendasi faktor kunci dari penelitian ini dan kemudian mengukur dampaknya terhadap indikator keselamatan (seperti penurunan angka kecelakaan atau unsafe acts). Contoh desain penelitian: memilih sekelompok proyek/perusahaan yang meningkatkan fokus pada faktor-faktor utama (misal lebih banyak pelatihan hands-on, program insentif, peningkatan dukungan manajemen) lalu membandingkan tren kecelakaan atau near-miss dengan kelompok kontrol yang konvensional. Justifikasi: Studi asli mengidentifikasi faktor sukses secara korelasional, namun pembuktian kausal akan memperkuat argumen bahwa investasi pada faktor-faktor tersebut benar-benar meningkatkan keselamatan. Penelitian lanjutan ini juga akan menjawab pertanyaan terbuka apakah perusahaan yang secara proaktif mengadopsi keenam kelompok faktor kunci akan performanya lebih baik dalam hal keselamatan kerja dibanding yang tidak.
  5. Inovasi Metode Pelatihan (Teknologi dan Pendekatan Baru): Menjelajahi metode pelatihan K3 inovatif – misalnya pemanfaatan Virtual Reality (VR) atau Augmented Reality (AR) untuk simulasi bahaya, modul pelatihan gamification, atau pendekatan micro-learning melalui aplikasi mobile – dan menguji pengaruhnya terhadap efektivitas pelatihan. Riset dapat berupa eksperimen terkontrol: satu grup pekerja dilatih dengan metode konvensional, satu grup dengan teknologi inovatif, kemudian dibandingkan hasil peningkatan pengetahuan dan perilaku aman mereka. Justifikasi: Dalam diskusi penelitian, disinggung bahwa variasi metode dan materi pelatihan dapat meningkatkan daya serap dan minat peserta. Studi sebelumnya yang dikutip penulis juga menganjurkan lingkungan pelatihan yang realistis dan immersif untuk hasil lebih baik. Oleh karena itu, mengembangkan dan menguji metode baru ini sejalan dengan temuan bahwa hands-on training dan keterlibatan peserta sangat penting. Riset ini berpotensi membuka objek penelitian baru di persimpangan konstruksi dan teknologi pendidikan, serta memberikan rekomendasi praktis bagi industri tentang metode pelatihan tercanggih yang paling efektif meningkatkan keselamatan.

Implikasi Jangka Panjang bagi Industri dan Akademisi

Temuan saat ini memiliki implikasi jangka panjang yang penting, baik di sektor industri maupun bagi komunitas akademik. Bagi industri konstruksi, pemahaman mendalam tentang faktor-faktor kunci keberhasilan pelatihan K3 berarti perusahaan dapat menyusun strategi keselamatan jangka panjang yang lebih tepat sasaran. Sebagai contoh, menyadari bahwa faktor konteks proyek (ukuran, durasi, kompleksitas) sangat memengaruhi efektivitas pelatihan, manajemen dapat merencanakan sesi pelatihan khusus yang disesuaikan dengan karakter proyek sejak tahap awal. Investasi pada budaya keselamatan organisasi – seperti membangun kepemimpinan keselamatan di setiap level, menyediakan insentif berkelanjutan untuk perilaku aman, dan melibatkan pekerja dalam umpan balik – akan membawa dampak berkelanjutan berupa menurunnya angka kecelakaan dan meningkatnya kepercayaan pekerja terhadap program K3. Dalam jangka panjang, implementasi temuan penelitian ini dapat mendorong transformasi kultural: pelatihan keselamatan tidak lagi dipandang sebagai formalitas, melainkan sebagai bagian integral dari peningkatan produktivitas dan kualitas proyek. Perusahaan yang berhasil mengintegrasikan faktor-faktor kunci ini berpeluang menjadi pionir industri dengan standar keselamatan kerja yang lebih tinggi, sekaligus mengurangi beban biaya akibat insiden kecelakaan.

Bagi akademisi dan peneliti, hasil studi ini membuka arah penelitian baru yang kaya. Kerangka enam faktor yang diusulkan dapat dijadikan landasan teori untuk studi-studi selanjutnya, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Akademisi dapat menggunakan temuan ini untuk mengembangkan model konseptual tentang efektivitas pelatihan yang menghubungkan karakteristik organisasi, desain pelatihan, karakteristik peserta, dan outcome keselamatan. Selain itu, penelitian ini mendorong kolaborasi lintas disiplin: misalnya, pakar pendidikan orang dewasa (andragogi) dapat bekerja sama dengan insinyur keselamatan untuk merancang kurikulum pelatihan berbasis temuan empiris; ahli teknologi dapat terlibat untuk menciptakan simulasi VR sesuai faktor kunci; pakar psikologi industri dapat meneliti motivasi dan perilaku pekerja sehubungan dengan faktor-faktor tersebut. Potensi jangka panjang di bidang akademik juga mencakup pembentukan database global tentang praktik terbaik pelatihan K3, di mana temuan dari berbagai negara dibandingkan dan disintesis. Hal ini akan memperkaya literatur K3 serta memberikan masukan berbasis bukti bagi regulator dalam merumuskan kebijakan. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik, pelaku industri konstruksi, dan otoritas pemerintah terkait K3 untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca artikel aslinya di sini https://doi.org/10.3390/buildings11040139

Selengkapnya
Faktor Kritis Keberhasilan Pelatihan Keselamatan di Industri Konstruksi

Manajemen Konstruksi

Peta Karier Anda Sudah Usang: Sebuah Studi Mengejutkan Mengungkap 13 Skill yang Wajib Dimiliki Quantity Surveyor Indonesia Saat Ini

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Bayangkan ini: Anda harus menavigasi jalanan Jakarta yang padat dan terus berubah, dari Sudirman ke PIK, di jam sibuk. Tapi, satu-satunya alat bantu Anda adalah peta cetak dari tahun 2011. Tidak ada Waze, tidak ada Google Maps. Tidak ada info soal jalan layang baru, jalur MRT, atau area ganjil-genap. Anda mungkin akan sampai tujuan, tapi berapa banyak waktu, bensin, dan kesabaran yang terbuang? Kemungkinan besar, Anda akan terjebak macet, tersesat, dan kalah cepat dari siapa pun yang menggunakan teknologi terkini.

Sekarang, bayangkan skenario yang sama terjadi dalam karier Anda.

Tanpa kita sadari, banyak dari kita di dunia profesional—terutama di industri konstruksi Indonesia yang sedang melesat—sedang menavigasi masa depan dengan "peta" yang sudah usang. Dan bagi salah satu profesi paling krusial di industri ini, yaitu Quantity Surveyor (QS), peta karier mereka secara resmi tidak pernah diperbarui sejak tahun 2011.

Peta ini bernama Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Quantity Surveyor. Berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor KEP.06/MEN/I/2011, dokumen inilah yang menjadi acuan resmi untuk mendefinisikan apa artinya menjadi seorang QS yang kompeten di Indonesia. Sejak saat itu, lebih dari satu dekade telah berlalu, gedung-gedung pencakar langit baru telah berdiri, teknologi konstruksi telah berevolusi, namun standar kompetensinya tetap sama.  

Masalahnya, keusangan seperti ini sering kali tidak terlihat. Berbeda dengan jembatan yang retak atau bangunan yang miring, standar kompetensi yang usang tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisik. Namun, ia bisa menyebabkan kerapuhan struktural yang sama berbahayanya bagi sebuah profesi dan industri. Ia menciptakan kelemahan yang tersembunyi, erosi daya saing yang perlahan tapi pasti, sampai akhirnya kita sadar bahwa kita sudah jauh tertinggal. Sebuah paper penelitian baru-baru ini, bagaimanapun, baru saja menyalakan lampu sorot terang benderang ke arah kerapuhan ini, membuat yang tak terlihat menjadi sangat jelas.

Hantu di Dalam Mesin: Mengapa Aturan Satu Dekade Lalu Menghambat Seluruh Profesi

Untuk memahami betapa gentingnya situasi ini, kita perlu melihat konteksnya. Industri konstruksi Indonesia bukan lagi pemain kecil. Pertumbuhannya fenomenal. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan konstruksi melonjak dari 155.833 pada tahun 2018 menjadi 203.403 pada tahun 2021. Ini adalah industri yang dinamis, modern, dan bergerak cepat.  

Di jantung setiap proyek konstruksi, ada seorang Quantity Surveyor. Jika arsitek adalah perancang visi dan insinyur adalah perancang struktur, maka QS adalah arsitek finansial atau penjaga biaya proyek. Peran mereka, seperti yang dijelaskan dalam penelitian oleh Hansen, Rostiyanti, dan Fajra, adalah mengevaluasi aspek ekonomi, menegosiasikan kontrak, dan memastikan semua sumber daya digunakan seefisien mungkin dari awal hingga akhir proyek. Mereka adalah urat nadi finansial yang menjaga proyek tetap sehat.  

SKKNI, dalam konteks ini, berfungsi seperti sistem operasi (operating system) bagi profesi QS. Ia mendefinisikan apa saja "program" yang harus bisa dijalankan oleh seorang QS, menjadi dasar untuk program pelatihan, dan menjadi tolok ukur untuk sertifikasi. Ketika sistem operasinya usang, aplikasi-aplikasi baru tidak akan bisa berjalan.  

Paper tersebut mengidentifikasi tiga dampak negatif yang nyata dari SKKNI yang tidak pernah diperbarui :  

  1. Tertinggal dalam perkembangan teknologi: Dunia sudah bicara soal Building Information Modelling (BIM) 5D, big data, dan drone survey, sementara standar kita mungkin masih berakar pada era kalkulator dan kertas gambar.

  2. Tidak relevannya kompetensi yang dikuasai: Para QS mungkin menjadi ahli dalam bidang-bidang yang permintaannya terus menurun, sementara mereka tidak siap untuk tantangan baru seperti konstruksi berkelanjutan (sustainability) atau manajemen risiko yang kompleks.

  3. Ketidakmampuan untuk bersaing secara global: Saat proyek-proyek besar semakin banyak melibatkan pemain internasional, QS Indonesia berisiko hanya menjadi penonton karena standar kompetensi mereka tidak diakui setara dengan standar global.

Kesenjangan selama lebih dari satu dekade ini telah menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai "utang kompetensi". Seperti utang teknis dalam pengembangan perangkat lunak, ini adalah jalan pintas yang diambil di masa lalu (dengan tidak memperbarui standar) yang kini bunganya terus menumpuk. Setiap tahun standar ini tidak diperbarui, "utang" itu semakin besar, membuat para profesional dan perusahaan QS Indonesia semakin sulit mengejar ketertinggalan dari rekan-rekan mereka di Singapura, Malaysia, atau Inggris—negara-negara yang standar kompetensinya dijadikan pembanding dalam studi ini. Ini bukan lagi sekadar "perlu diperbarui", ini adalah sebuah liabilitas strategis yang secara aktif merugikan daya saing nasional.  

Pengungkapan Besar: Apa yang Ditemukan Peneliti Saat Membandingkan dengan Standar Global

Para peneliti tidak sekadar beropini. Mereka bertindak layaknya detektif forensik, melakukan investigasi mendalam untuk memetakan lanskap kompetensi QS modern. Metode yang mereka gunakan disebut desktop study dan meta-analysis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka mengumpulkan, menyaring, dan menyintesis bukti dari 13 publikasi tingkat tinggi yang paling relevan dari seluruh dunia.  

Prosesnya sangat ketat. Mereka memulai dengan 544 publikasi, lalu menyaringnya berdasarkan relevansi dan aksesibilitas hingga tersisa 13 dokumen paling kredibel untuk dianalisis secara mendalam. Sumber-sumber ini bukan sembarangan; mereka adalah panduan kompetensi dari badan-badan profesi paling bergengsi di dunia, seperti:  

  • Royal Institution of Chartered Surveyors (RICS) di Inggris.  

  • Singapore Institute of Surveyors and Valuers (SISV) di Singapura.  

  • Royal Institution of Surveyors Malaysia (RISM) di Malaysia.  

  • Serta studi-studi relevan dari Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan negara lainnya.  

Dengan membandingkan standar dari para pemimpin industri global ini dengan SKKNI 2011 kita, mereka menemukan sebuah kesenjangan yang mengejutkan.

Kesenjangan Kompetensi yang Mengejutkan

Inilah temuan utamanya. SKKNI QS yang berlaku saat ini mencakup 18 unit kompetensi. Namun, setelah menganalisis standar-standar global, para peneliti mengidentifikasi total 33 unit kompetensi yang dianggap esensial untuk seorang QS modern. Ini berarti ada 13 unit kompetensi krusial yang sama sekali tidak ada dalam radar standar resmi Indonesia.  

  • 🚀 Penemuannya: Peneliti mengidentifikasi 13 unit kompetensi tambahan yang sangat penting namun sama sekali absen dari SKKNI QS Indonesia saat ini.  

  • 🧠 Metodenya: Ini bukan tebakan. Mereka melakukan meta-analisis terhadap 13 laporan standar dari para pemimpin global seperti RICS (Inggris), SISV (Singapura), dan RISM (Malaysia) untuk membangun peta kompetensi QS modern.  

  • 💡 Pelajaran Utamanya: Bertahan dengan standar lama bukan hanya soal ketinggalan zaman; ini berarti kita secara fundamental tidak siap menghadapi masa depan industri konstruksi.

Keahlian yang Akan Mendefinisikan Dekade Berikutnya

Ke-13 kompetensi yang hilang ini bukan sekadar tambahan minor. Mereka merepresentasikan pergeseran fundamental dalam peran seorang QS—dari seorang juru hitung menjadi seorang penasihat strategis. Jika kita kelompokkan, keahlian-keahlian baru ini jatuh ke dalam beberapa tema besar:

  1. Revolusi Digital: Kompetensi seperti Building Information Modelling (BIM) dan Manajemen Data kini menjadi inti. QS modern tidak lagi hanya menghitung volume dari gambar 2D; mereka mengelola model 3D yang terintegrasi dengan data biaya (4D) dan waktu (5D).  

  2. Imperatif Hijau: Kompetensi dalam Berkelanjutan (Sustainability) menjadi wajib. Proyek-proyek masa depan akan dinilai tidak hanya dari biaya pembangunannya, tetapi juga dari biaya siklus hidupnya (life-cycle cost) dan dampak lingkungannya. Seorang QS harus mampu memberikan nasihat tentang ekonomi bangunan hijau.  

  3. Penasihat Strategis: Keahlian seperti Manajemen Risiko, Penyelesaian Sengketa, dan Analisis Kelayakan Proyek menunjukkan peran QS yang semakin meluas. Mereka diharapkan bisa mengidentifikasi risiko finansial sebelum terjadi, menavigasi klaim dan sengketa kontrak yang rumit, serta memberikan analisis kelayakan investasi yang solid sejak awal. 

Pergeseran dari sekadar penghitung menjadi penasihat strategis ini sangatlah signifikan. Sementara kita menunggu standar resmi untuk mengejar ketertinggalan, para profesional yang proaktif sudah mulai membangun kapabilitas ini. Fondasi dari peran penasihat ini adalah pemahaman mendalam tentang siklus hidup proyek, risiko, dan pengendalian biaya—semua elemen inti dari Manajemen Konstruksi, sebuah disiplin yang secara langsung menjawab banyak kesenjangan strategis yang diungkap oleh paper ini.

Dan di sinilah letak koneksi yang paling kuat: siapa yang lebih baik untuk belajar darinya selain para ahli yang pertama kali mengidentifikasi masalahnya? Penulis utama dari paper ini, Seng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D., bersama dengan salah satu penulisnya, Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, M.Sc., ternyata adalah instruktur untuk beberapa kursus penting terkait manajemen konstruksi di platform Diklatkerja. Ini bukan kebetulan. Ini menunjukkan sebuah ekosistem yang lengkap: para peneliti yang sama yang mendiagnosis "penyakit" dalam standar profesi kita juga merupakan praktisi yang secara aktif membangun "obatnya" melalui edukasi. Hal ini memberikan kredibilitas luar biasa, baik pada temuan penelitian maupun pada solusi pelatihan yang tersedia. Mereka tidak hanya mengkritik dari menara gading akademis; mereka turun tangan untuk membangun jembatan menuju masa depan.  

Opini Saya: Diagnosis yang Cemerlang, Namun Kurang Satu Hal

Setelah membaca paper ini secara mendalam, saya harus angkat topi untuk para penelitinya. Ini adalah sebuah diagnosis yang tajam, didukung oleh data yang solid, dan disajikan sebagai panggilan mendesak bagi industri konstruksi Indonesia. Rigoritas dalam metode meta-analisis mereka patut diacungi jempol, dan kontribusi mereka dalam menyediakan bukti nyata untuk sesuatu yang selama ini hanya dirasakan sebagai firasat adalah sebuah layanan publik yang krusial bagi profesi QS.  

Namun, jika ada satu kritik halus yang ingin saya sampaikan, itu adalah dari sudut pandang seorang praktisi individu yang membaca hasil penelitian ini. Paper ini dengan sangat baik menyusun rekomendasi untuk level institusional. Kesimpulannya menyerukan agar pemerintah melalui Kemenaker dan asosiasi profesi seperti Ikatan Quantity Surveyor Indonesia (IQSI) segera bertindak, misalnya dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk memetakan unit-unit kompetensi baru. Ini adalah pendekatan top-down yang benar dan perlu.  

Akan tetapi, paper ini berhenti di situ. Ia tidak memberikan peta jalan yang praktis dan terprioritaskan bagi seorang QS individu yang membaca temuan ini dan bertanya, "Baik, masalahnya besar. Apa yang harus saya lakukan besok pagi?" Ke-13 kompetensi baru disajikan sebagai satu kelompok. Seorang profesional di lapangan akan bertanya-tanya: "Dari mana saya harus mulai? Mana satu atau dua keahlian yang paling krusial untuk dipelajari sekarang agar karier saya aman?" Sebuah daftar sederhana seperti "5 Keahlian Teratas untuk Dipelajari Saat Ini" akan menjadi jembatan yang sangat berharga dari temuan akademis ke tindakan profesional yang segera.

Kesenjangan antara rekomendasi institusional dan kebutuhan aksi individual ini sering terjadi dalam riset akademis. Paper ini memberitahu institusi apa yang harus mereka lakukan, tetapi apa yang harus dilakukan oleh seorang individu sementara menunggu institusi-institusi tersebut bergerak—sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun? Di sinilah kita sebagai profesional harus mengambil inisiatif.

Langkah Anda Berikutnya: Jangan Menunggu Peta Digambar Ulang

Pesan terpenting dari penelitian ini bukanlah keputusasaan, melainkan kesempatan. Ya, peta resmi kita sudah usang. Ya, perubahan institusional berjalan lambat. Tapi, pertumbuhan karier pribadi bisa berjalan secepat yang kita inginkan.

Para profesional cerdas tidak akan melihat kesenjangan kompetensi ini sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah "contekan" untuk masa depan. Ke-13 kompetensi yang hilang itu adalah daftar belanja keahlian yang akan paling dicari dan dihargai dalam beberapa tahun ke depan. Anda memiliki dua pilihan:

  1. Menunggu peta resmi digambar ulang, berharap perusahaan dan pemerintah akan memberitahu Anda apa yang harus dipelajari, dan berisiko menjadi usang dalam prosesnya.

  2. Mulai menjelajahi wilayah baru ini sekarang, membangun keahlian dalam BIM, keberlanjutan, dan manajemen risiko, dan memposisikan diri Anda sebagai pemimpin di generasi QS berikutnya.

Jangan gunakan temuan paper ini sebagai alasan untuk mengeluh, tapi gunakanlah sebagai senjata untuk mempercepat karier Anda. Dengan mempelajari keahlian-keahlian ini sekarang, sebelum menjadi standar wajib, Anda akan mendiferensiasikan diri, memiliki daya tawar yang lebih tinggi, dan memenuhi syarat untuk peran-peran yang lebih strategis dan bergaji lebih tinggi.

Artikel ini hanyalah awal dari percakapan. Jika ini memicu rasa ingin tahu Anda dan Anda ingin menyelami datanya sendiri, saya sangat mendorong Anda untuk menjelajahi karya para peneliti secara lebih detail.

(https://doi.org/10.35760/dk.2023.v22i2.9044)

Selengkapnya
Peta Karier Anda Sudah Usang: Sebuah Studi Mengejutkan Mengungkap 13 Skill yang Wajib Dimiliki Quantity Surveyor Indonesia Saat Ini

Manajemen Konstruksi

Dari Gaza ke Panggung Global: Membedah Hambatan Keselamatan Proyek dan Merancang Agenda Riset Berikutnya

Dipublikasikan oleh Raihan pada 30 September 2025


Tinjauan Kritis dan Agenda Riset: Membedah Hambatan Keselamatan Kerja pada Proyek Infrastruktur di Jalur Gaza

Penelitian oleh Yazan Issa Abu Aisheh dan rekan-rekannya, "Barriers of Occupational Safety Implementation in Infrastructure Projects: Gaza Strip Case," menyajikan sebuah analisis empiris yang krusial mengenai tantangan implementasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam konteks yang unik dan penuh tekanan.[1] Berlokasi di Jalur Gaza, sebuah wilayah yang ditandai oleh "kelangkaan sumber daya finansial," "kepadatan distribusi populasi," dan tantangan geopolitik yang signifikan, studi ini melampaui sekadar analisis keselamatan konstruksi konvensional.[1] Ia berfungsi sebagai studi kasus tentang manajemen K3 di bawah kondisi kendala ekstrem yang persisten. Urgensi temuan ini diperkuat oleh data global yang dikutip dalam paper, di mana kecelakaan kerja berdampak pada 4% PDB dunia—sebuah beban yang secara eksponensial lebih merusak bagi ekonomi rapuh seperti di Gaza.[1] Dengan demikian, temuan dari lingkungan "uji stres" ini menawarkan wawasan yang berharga dan dapat diterapkan di wilayah berkembang atau terdampak konflik lainnya yang menghadapi tantangan serupa.

Laporan ini menyajikan tinjauan kritis terhadap penelitian tersebut, membedah alur logis temuannya, mengidentifikasi kontribusi utamanya, serta menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi arah riset masa depan. Tujuannya adalah untuk menyusun agenda riset yang terstruktur dan dapat ditindaklanjuti, yang dirancang khusus untuk komunitas akademik, para peneliti, dan lembaga pemberi dana hibah.

Analisis Kritis dan Alur Logis Temuan Penelitian

Fondasi metodologis penelitian ini dibangun di atas pendekatan kuantitatif yang solid. Sebuah kuesioner yang terdiri dari 39 item hambatan, yang divalidasi melalui tinjauan literatur dan survei percontohan, didistribusikan kepada 132 responden yang terdiri dari 36 konsultan dan 96 kontraktor di lima kegubernuran di Jalur Gaza.[1] Penggunaan Relative Importance Index (RII) sebagai alat analisis utama memungkinkan para peneliti untuk menyusun peringkat hambatan secara hierarkis, memberikan gambaran yang jelas mengenai tingkat keparahan masing-masing hambatan seperti yang dipersepsikan oleh para praktisi di lapangan.

Penelitian ini secara logis mengelompokkan temuannya ke dalam tiga domain utama: hambatan kebijakan keselamatan, hambatan manajemen, dan hambatan perilaku & budaya. Alur narasi temuan bergerak dari level makro (kebijakan) ke level meso (manajemen proyek) dan akhirnya ke level mikro (individu dan tim).

Pada domain hambatan kebijakan keselamatan, temuan yang paling menonjol adalah "Kontraktor yang berkomitmen pada program keselamatan kerja tidak diberi penghargaan," yang menempati peringkat pertama dengan RII gabungan 0.697.[1] Temuan ini bukan sekadar fakta terisolasi; ia merupakan bukti dari kegagalan sistemik dalam struktur insentif industri konstruksi di Gaza. Tanpa adanya penguatan positif (penghargaan), komitmen terhadap K3 dianggap sebagai biaya tambahan, bukan investasi.

Selanjutnya, pada domain hambatan manajemen, fokus beralih ke tingkat proyek. Hambatan dengan peringkat tertinggi adalah "Insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang signifikan, seperti menghentikan pekerjaan bila diperlukan," dengan RII gabungan yang sangat tinggi, yaitu 0.718.[1] Hal ini mengindikasikan adanya pemutusan kritis antara tanggung jawab dan otoritas. Seorang insinyur keselamatan mungkin bertanggung jawab atas K3 di lapangan, tetapi tanpa wewenang untuk menegakkan aturan secara tegas, perannya menjadi tidak efektif.

Pada domain hambatan perilaku dan budaya, analisis menyentuh level individu dan tim kerja. Hambatan teratas adalah "Pekerja yang tidak berkomitmen pada keselamatan kerja tidak dikeluarkan/diberi sanksi," yang juga memiliki RII gabungan 0.718.[1] Ini menunjuk pada runtuhnya akuntabilitas dan penegakan aturan di tingkat paling dasar, menciptakan lingkungan di mana perilaku tidak aman ditoleransi.

Salah satu aspek paling kuat dari penelitian ini adalah "konvergensi pandangan yang kuat" antara konsultan dan kontraktor, dua kelompok yang secara tradisional sering memiliki prioritas yang saling bersaing.[1] Analisis korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik dalam pandangan mereka, misalnya pada kelompok hambatan manajemen (koefisien korelasi 0.550 dengan p-value 0.012).[1] Kesepakatan ini bukanlah sekadar observasi statistik. Ini adalah indikator yang kuat tentang betapa parah dan meresapnya masalah K3 di wilayah tersebut. Biasanya, kontraktor (yang berfokus pada biaya dan jadwal) dan konsultan (yang berfokus pada kualitas dan kepatuhan) mungkin saling menyalahkan atas masalah proyek. Fakta bahwa mereka sangat setuju mengenai hambatan utama menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah soal perspektif atau konflik antarpihak, melainkan masalah yang bersifat sistemik dan struktural, yang telah tertanam dalam tatanan industri konstruksi Gaza.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari penelitian ini terletak pada tiga area. Pertama, ia menyediakan kerangka kerja hambatan K3 yang divalidasi secara empiris dan spesifik secara kontekstual untuk proyek infrastruktur di lingkungan yang terbatas sumber daya.[1] Daftar 39 hambatan ini menjadi dasar (baseline) yang sangat penting untuk penelitian atau intervensi kebijakan di masa depan, baik di Gaza maupun di wilayah lain dengan karakteristik serupa.

Kedua, penelitian ini menunjukkan ketelitian metodologis yang kuat. Instrumen kuesionernya menunjukkan validitas internal yang tinggi (p-value < 0.05 untuk semua item) dan reliabilitas yang sangat baik (Cronbach's Alpha total 0.911, dengan setiap dimensi di atas 0.7).[1] Hal ini menjadikan instrumen tersebut sebagai alat yang dapat digunakan kembali dan diadaptasi untuk penelitian di konteks lain, meningkatkan potensi komparabilitas studi lintas negara.

Ketiga, dan yang paling signifikan secara analitis, data yang disajikan memungkinkan sintesis dari apa yang dapat disebut sebagai "Tiga Serangkai Ketidakberdayaan" (Powerlessness Triad). Tiga hambatan peringkat teratas—tidak ada penghargaan (kebijakan), tidak ada wewenang (manajemen), dan tidak ada sanksi (perilaku)—bukanlah isu-isu yang independen. Mereka membentuk sebuah siklus kegagalan sistemik yang saling menguatkan di semua tingkatan hierarki K3. Di tingkat kebijakan, tidak ada penguatan positif. Di tingkat manajemen proyek, tidak ada agen yang berdaya untuk menegakkan aturan. Dan di tingkat individu, tidak ada konsekuensi negatif untuk tindakan tidak aman. Kombinasi ini menciptakan "budaya impunitas" di mana sistem secara inheren terstruktur untuk mengesampingkan K3. Kontribusi paper ini bukan hanya mengidentifikasi tiga titik ini, tetapi menyediakan data yang, ketika disintesis, mengungkapkan kerusakan sistemik yang saling terkait ini.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memiliki kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang justru menjadi landasan kuat untuk penelitian lanjutan. Pertama adalah cakupan pemangku kepentingan yang terbatas. Studi ini secara eksklusif berfokus pada konsultan dan kontraktor.[1] Hal ini mengabaikan perspektif dari dua kelompok yang sangat penting: pemilik proyek/klien (yang menetapkan anggaran dan persyaratan kontrak) dan para pekerja itu sendiri (yang paling terdampak langsung oleh kegagalan K3). Ini membuka pertanyaan penelitian yang mendasar: Apakah pemilik proyek dan pekerja mempersepsikan hambatan-hambatan ini dengan prioritas yang sama?

Kedua adalah sifat data yang kuantitatif. Penelitian ini sangat baik dalam mengidentifikasi apa saja hambatannya dan seberapa penting peringkatnya. Namun, ia tidak dapat menjelaskan mengapa hambatan-hambatan ini terus ada. Misalnya, mengapa insinyur keselamatan tidak memiliki wewenang? Apakah karena bahasa kontrak yang lemah, struktur kekuasaan informal di lapangan, atau norma budaya yang mengutamakan kecepatan di atas segalanya? Keterbatasan ini secara langsung menunjuk pada kebutuhan mendesak akan penelitian kualitatif.

Ketiga, desain penelitiannya bersifat cross-sectional, yang berarti ia hanya memberikan gambaran sesaat pada satu waktu. Seperti yang diakui oleh penulis sendiri di bagian "Arah Masa Depan", studi ini tidak menangkap bagaimana hambatan-hambatan ini bermanifestasi atau berubah di berbagai fase proyek (desain, konstruksi, operasi, dan pembongkaran).[1] Ini memunculkan pertanyaan: Apakah hambatan kebijakan lebih kritis selama fase penawaran, sementara hambatan perilaku mendominasi selama puncak konstruksi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, lima jalur penelitian berikut direkomendasikan untuk membangun fondasi yang telah diletakkan oleh studi ini.

  1. Studi Kualitatif tentang Dinamika Kekuasaan dan Otonomi Insinyur Keselamatan.
    • Justifikasi Ilmiah: Berangkat langsung dari temuan peringkat #1 dalam kategori Manajemen (RII=0.718) yang menunjukkan kurangnya wewenang insinyur keselamatan.[1] Penelitian kuantitatif ini hanya mengidentifikasi masalah, bukan akar penyebabnya.
    • Metode dan Variabel Baru: Mengusulkan studi kasus kualitatif mendalam pada beberapa proyek infrastruktur di Gaza. Metode pengumpulan data akan mencakup wawancara semi-terstruktur dengan insinyur keselamatan, manajer proyek, dan perwakilan kontraktor. Variabel yang diteliti akan bersifat kualitatif, seperti struktur kekuasaan informal, proses pengambilan keputusan di lapangan, dan interpretasi klausul kontrak terkait K3.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini esensial untuk merumuskan intervensi yang efektif. Tanpa memahami mengapa wewenang itu tidak ada, solusi yang diusulkan (misalnya, perubahan regulasi) mungkin tidak akan mengatasi masalah yang sebenarnya.
  2. Riset Aksi (Action Research) untuk Merancang dan Menguji Sistem Insentif Keselamatan.
    • Justifikasi Ilmiah: Merespons langsung temuan peringkat #1 dalam kategori Kebijakan (RII=0.697) bahwa komitmen K3 tidak dihargai.[1] Jika studi saat ini bersifat diagnostik, maka riset selanjutnya harus berorientasi pada solusi.
    • Metode dan Konteks Baru: Menggunakan metodologi riset aksi di mana peneliti berkolaborasi secara aktif dengan satu atau dua perusahaan kontraktor untuk bersama-sama merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program insentif K3 percontohan. Konteks baru akan melibatkan penerapan teori ekonomi perilaku untuk menguji apakah insentif non-finansial (misalnya, pengakuan publik, peluang pelatihan lanjutan) sama efektifnya dengan insentif finansial dalam konteks budaya dan ekonomi Gaza.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Tanpa pengujian model insentif di dunia nyata, rekomendasi kebijakan akan tetap bersifat teoretis. Riset ini akan menghasilkan bukti empiris tentang "apa yang berhasil" dan dapat direplikasi.
  3. Analisis Kebijakan Komparatif antara Regulasi K3 Palestina dan Standar Praktik Terbaik Internasional.
    • Justifikasi Ilmiah: Diilhami oleh rekomendasi penulis sendiri untuk membandingkan temuan dengan pedoman K3 yang ada di Palestina.[1] Penelitian ini akan secara sistematis menjembatani kesenjangan antara temuan empiris dan kerangka regulasi.
    • Metode dan Variabel Baru: Melakukan analisis dokumen dan kebijakan yang sistematis. Kerangka 39 hambatan yang diidentifikasi dalam paper ini akan digunakan sebagai matriks evaluasi untuk menilai apakah regulasi nasional saat ini secara eksplisit mengatasi hambatan-hambatan paling kritis. Variabelnya adalah ada atau tidaknya klausul spesifik dalam regulasi yang menargetkan setiap hambatan (misalnya, apakah ada mandat hukum untuk wewenang penghentian kerja oleh insinyur keselamatan?).
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memberikan rekomendasi konkret berbasis bukti kepada badan regulator untuk mereformasi undang-undang K3, memastikan bahwa kebijakan publik selaras dengan realitas di lapangan.
  4. Studi Metode Campuran (Mixed-Methods) untuk Memetakan Persepsi Hambatan di Seluruh Rantai Pasok Proyek.
    • Justifikasi Ilmiah: Mengatasi keterbatasan utama dari studi ini yang hanya mencakup konsultan dan kontraktor. Pemahaman holistik tentang sistem K3 memerlukan masukan dari semua aktor kunci.
    • Metode dan Konteks Baru: Mengadopsi pendekatan mixed-methods sekuensial. Tahap pertama adalah survei kuantitatif (menggunakan kuesioner yang telah divalidasi dari paper ini) yang diperluas untuk mencakup pemilik proyek, regulator pemerintah, dan sampel pekerja konstruksi. Tahap kedua adalah kelompok diskusi terfokus (Focus Group Discussion) dengan masing-masing kelompok pemangku kepentingan untuk menggali alasan di balik peringkat mereka dan mengeksplorasi perbedaan persepsi.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Pemahaman 360 derajat ini sangat penting. Jika pemilik proyek tidak memprioritaskan anggaran K3 (berbeda dengan kontraktor), maka intervensi harus ditargetkan pada edukasi dan advokasi di tingkat klien, bukan hanya pada kontraktor.
  5. Studi Longitudinal untuk Melacak Evolusi Hambatan Keselamatan Sepanjang Siklus Hidup Proyek.
    • Justifikasi Ilmiah: Mengatasi keterbatasan desain cross-sectional dari studi ini dan menindaklanjuti saran penulis untuk menyelidiki fase proyek yang berbeda.[1] Hambatan K3 tidaklah statis.
    • Metode dan Variabel Baru: Melakukan studi kasus longitudinal dengan mengikuti 2-3 proyek infrastruktur dari fase desain hingga serah terima. Data akan dikumpulkan secara berkala (misalnya, setiap tiga bulan) melalui observasi lapangan, analisis dokumen (laporan K3 mingguan, risalah rapat), dan wawancara singkat. Variabel utamanya adalah waktu (fase proyek), yang memungkinkan pemetaan bagaimana RII dari hambatan-hambatan kunci berfluktuasi seiring kemajuan proyek.
    • Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Hasilnya akan memungkinkan pengembangan intervensi K3 yang dinamis dan tepat waktu, bukan pendekatan "satu ukuran untuk semua". Misalnya, jika "kurangnya pelatihan" menjadi hambatan puncak saat mobilisasi pekerja baru, maka intervensi dapat difokuskan secara intensif pada periode tersebut.

Kesimpulan: Menuju Kolaborasi Lintas Institusi

Sebagai kesimpulan, penelitian oleh Abu Aisheh et al. berfungsi sebagai studi diagnostik yang sangat penting, yang secara kuantitatif memetakan patologi sistem keselamatan konstruksi di Jalur Gaza.[1] Namun, diagnosis hanyalah langkah pertama. Agenda riset yang diusulkan dalam laporan ini merupakan langkah selanjutnya yang logis dan krusial, bergerak dari identifikasi masalah menuju pengembangan solusi, validasi kebijakan, dan pemahaman yang lebih holistik dan dinamis. Keberhasilan agenda ini bergantung pada pendekatan kolaboratif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara institusi akademik seperti departemen teknik sipil di universitas lokal Palestina, badan regulasi pemerintah yang bertanggung jawab atas standar konstruksi, dan organisasi non-pemerintah internasional yang mendanai dan mengawasi banyak proyek infrastruktur di wilayah tersebut untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca Selengkapnya di: https://doi.org/10.3390/ijerph18073553

Selengkapnya
Dari Gaza ke Panggung Global: Membedah Hambatan Keselamatan Proyek dan Merancang Agenda Riset Berikutnya

Manajemen Konstruksi

Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 30 September 2025


Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan

Industri konstruksi punya peran vital dalam pembangunan ekonomi. Namun di balik geliat pembangunan gedung pencakar langit, jalan raya, dan infrastruktur besar lainnya, terdapat sisi gelap yang kerap luput dari perhatian: angka kecelakaan kerja yang tinggi. Di Malaysia saja, data SOSCO mencatat peningkatan kecelakaan konstruksi sebesar 5,6% dalam kurun 1995–2003, dengan lonjakan fatalitas hingga 58,3%. Angka ini menegaskan bahwa konstruksi masih menjadi sektor dengan risiko keselamatan paling serius.

Sebuah penelitian dari Nasrun dkk. (2016) berusaha mengurai akar persoalan ini. Melalui literature review dan survei kuesioner terhadap 40 responden, mereka mengevaluasi faktor-faktor yang paling memengaruhi kinerja keselamatan (safety performance) di proyek konstruksi. Analisis data dilakukan dengan skala Likert, menghasilkan gambaran jelas tentang titik-titik lemah yang paling rawan memicu kecelakaan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Temuan riset ini cukup gamblang. Jenis kecelakaan paling dominan adalah jatuh dari ketinggian (22%), disusul oleh pekerja yang tertimpa objek (17,1%). Kedua jenis kecelakaan ini konsisten dengan fenomena global yang sering disebut “fatal four” dalam industri konstruksi.

Lebih dalam lagi, penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam empat kategori besar: manajemen, budaya, perilaku, dan kesadaran. Beberapa temuan kunci di antaranya:

  • Kurangnya penggunaan APD (PPE) mendapat skor tertinggi (min 4,05). Banyak pekerja masih mengabaikan helm, rompi, atau pelindung tubuh.
  • Komunikasi manajer–pekerja yang lemah mendapat skor 3,93. Minimnya interaksi langsung antara pimpinan proyek dan pekerja lapangan membuat instruksi sering kabur.
  • Sikap pekerja yang tidak bertanggung jawab, misalnya ceroboh saat menggunakan mesin, juga menonjol (skor 3,98).
  • Faktor pendidikan muncul signifikan. Banyak pekerja kurang memiliki bekal teori (skor 3,75), sehingga hanya fokus menyelesaikan tugas tanpa memahami risiko.
  • Perbedaan usia juga berperan. Pekerja muda cenderung kurang pengalaman dalam mengenali bahaya (skor 3,63).
  • Tidak adanya safety briefing/toolbox meeting rutin mendapat skor 3,58. Padahal, pertemuan singkat sebelum bekerja terbukti mampu menekan kecelakaan.

Jika dirangkum, temuan ini menegaskan satu hal: kesadaran (awareness) adalah faktor paling dominan. Dengan skor rata-rata 4,23, kesadaran pekerja terhadap pentingnya keselamatan berhubungan kuat dengan tingkat kecelakaan. Data ini bisa dibaca sebagai “koefisien korelasi praktis” — semakin rendah awareness, semakin tinggi potensi kecelakaan.

Riset ini juga tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi menawarkan solusi. Inspeksi harian supervisor (skor 4,23), toolbox meeting rutin (4,28), dan pengawasan ketat dari manajemen (4,40) terbukti disetujui responden sebagai langkah mitigatif. Dalam bahasa sederhana: keselamatan bisa ditingkatkan jika ada disiplin struktural dan komitmen budaya di lapangan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meski berkontribusi besar, penelitian ini juga memiliki keterbatasan yang menarik untuk dicermati:

  1. Konteks geografis terbatas. Studi ini berbasis pada data di Malaysia, sehingga belum tentu sepenuhnya relevan di negara dengan regulasi atau budaya berbeda.
  2. Metode survei persepsi. Karena data berbasis kuesioner, ada potensi bias subjektif dari responden.
  3. Tidak ada dimensi waktu. Studi ini potret sesaat; kita belum tahu apakah intervensi tertentu bisa menurunkan kecelakaan dalam jangka panjang.
  4. Hubungan kausal belum diuji. Apakah pendidikan rendah langsung meningkatkan risiko kecelakaan, atau ada faktor mediasi seperti budaya organisasi?
  5. Kurang eksplorasi teknologi. Di era digital, riset keselamatan tanpa melibatkan IoT, sensor, atau AI monitoring terasa kurang lengkap.

Pertanyaan terbuka yang lahir dari sini antara lain: bagaimana budaya organisasi memediasi perilaku individu? Seberapa efektif toolbox meeting digital dibanding tatap muka? Dan apakah teknologi wearable bisa mengurangi dominasi kecelakaan akibat jatuh?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Studi Longitudinal tentang Perubahan Kesadaran

Mengapa penting? Karena awareness terbukti faktor dominan (skor 4,23).
Metode yang disarankan: Survei panel tahunan, dikombinasikan observasi langsung di proyek.
Tujuan: Mengukur apakah pelatihan dan briefing benar-benar mengubah perilaku dalam jangka panjang.

2. Eksperimen Toolbox Meeting Digital

Dasar riset: Ketiadaan briefing menurunkan keselamatan (skor 3,58).
Metode: RCT (Randomized Controlled Trial) membandingkan pekerja yang mendapat briefing lewat aplikasi mobile dengan yang tatap muka.
Target: Mengetahui apakah teknologi dapat meningkatkan pemahaman risiko lebih cepat dan konsisten.

3. Analisis Jalur Kausal dengan SEM

Dasar: Data menunjukkan faktor manajemen (4,05), budaya (3,85), perilaku (3,98) saling berinteraksi.
Metode: Structural Equation Modeling (SEM).
Tujuan: Mengurai jalur kausal: apakah budaya organisasi lebih berpengaruh lewat manajemen, atau langsung ke perilaku individu?

4. Studi Pendidikan Formal dan Non-Formal dalam K3

Dasar: Banyak pekerja tidak berpendidikan formal (skor 3,75).
Metode: Survei + studi kasus pelatihan vocational training.
Tujuan: Mengukur seberapa besar peningkatan keselamatan setelah pelatihan teknis atau sertifikasi.

5. Uji Teknologi Wearable untuk Pencegahan Jatuh

Dasar: Jatuh adalah penyebab utama kecelakaan (22%).
Metode: Uji coba sensor wearable yang mendeteksi posisi tubuh, dikombinasikan alarm otomatis.
Target: Menguji efektivitas teknologi dibanding intervensi konvensional seperti signage atau briefing.

Menatap Masa Depan: Sinergi Ilmu, Industri, dan Kebijakan

Dari semua temuan ini, satu benang merah bisa ditarik: keselamatan kerja di konstruksi bukan hanya soal alat, tetapi soal budaya dan kesadaran. Peralatan keselamatan bisa tersedia, tapi jika pekerja enggan memakainya, atau manajemen abai dalam pengawasan, risiko tetap tinggi.

Agenda riset ke depan harus lebih berani menggabungkan pendekatan multidisipliner: manajemen, psikologi perilaku, pendidikan, hingga teknologi digital. Kombinasi inilah yang bisa menjawab tantangan kompleks di lapangan.

Ajakan Kolaboratif

Riset ini membuka pintu besar untuk kolaborasi. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lanjutan sebaiknya melibatkan universitas, asosiasi konstruksi, regulator keselamatan seperti DOSH dan CIDB, serta lembaga pelatihan K3. Dengan sinergi ini, industri konstruksi tidak hanya lebih produktif, tetapi juga lebih aman bagi semua pekerjanya.

Baca Selengkapnya di: Mohd Nawi, Mohd Nasrun & Siti Halipah, Ibrahim & Affandi, Rohaida & Rosli, Nor & Basri, Fazlin. (2016). Factor Affecting Safety Performance Construction Industry. Public Management Review. 6. 280-285.

Selengkapnya
Mengurai Faktor Penentu Kinerja Keselamatan di Industri Konstruksi: Dari Data Lapangan ke Agenda Riset Masa Depan
page 1 of 6 Next Last »