Kenapa Helm Saja Tidak Cukup: Tiga Pilar Tersembunyi di Balik Keselamatan Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

22 Oktober 2025, 14.20

Kenapa Helm Saja Tidak Cukup: Tiga Pilar Tersembunyi di Balik Keselamatan Proyek Konstruksi

Momen Hening di Tepi Proyek yang Mengubah Segalanya

Saya pernah berdiri di pinggir sebuah proyek konstruksi, kopi di tangan, menyaksikan seorang pekerja di ketinggian nyaris terpeleset. Jantung saya berhenti berdetak sesaat. Seluruh area kerja hening. Dia berhasil menyeimbangkan diri, dan dalam lima menit, suara mesin dan teriakan komando kembali normal seolah tak terjadi apa-apa. Tapi momen itu membekas.

Kita semua tahu aturannya—pakai helm, pasang jaring pengaman, gunakan sabuk keselamatan. Prosedur K3 sudah terpampang di setiap sudut. Tapi kenapa insiden "nyaris celaka" masih jadi cerita sehari-hari? Kita seolah punya resep masakan yang lengkap, tapi hasil akhirnya selalu sedikit gosong. Ada sesuatu yang hilang.

Perasaan ini, bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar daftar periksa K3, ternyata bukan cuma milik saya. Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian dari Vietnam yang, tanpa basa-basi, membongkar seluruh asumsi saya tentang keselamatan kerja. Paper berjudul "A model of factors influencing safety behaviour and awareness among Vietnamese construction workers" ini bukan sekadar dokumen akademis yang kering.1 Bagi saya, ini adalah sebuah peta harta karun yang mengungkap faktor-faktor tak terlihat yang sesungguhnya membentuk perilaku kita di lapangan.

Mengapa Standar Keselamatan Sering Gagal? Sebuah Jawaban dari 320 Profesional

Sebelum kita menyelam lebih dalam, mari kita pahami dulu kenapa penelitian ini begitu penting. Para peneliti di Vietnam melihat angka yang mengkhawatirkan: sektor konstruksi menyumbang 14% dari semua kecelakaan kerja di negara mereka.1 Mereka sadar bahwa menyalahkan pekerja karena "lalai" atau manajer karena "kurang pengawasan" itu mudah, tapi tidak akan pernah menyelesaikan akar masalahnya.

Jadi, mereka melakukan sesuatu yang radikal: mereka bertanya.

Bayangkan mereka mengumpulkan 320 orang—manajer proyek, insinyur lapangan, supervisor, dan bahkan perwakilan investor—lalu meminta mereka menilai 32 potensi "biang keladi" masalah keselamatan.1 Ini bukan survei biasa; ini adalah upaya kolosal untuk memetakan "DNA" dari budaya keselamatan di lapangan.

Yang membuat saya semakin yakin dengan hasilnya adalah keragaman responden. Data dikumpulkan dari berbagai level dan peran 1:

  • Posisi Kerja: 19.7% manajer, 60% insinyur lapangan, dan 20.3% lainnya (seperti mandor).

  • Pemangku Kepentingan: 46.9% kontraktor, 24.7% konsultan pengawas, 16.2% investor, dan sisanya dari pihak lain.

  • Pengalaman: Mayoritas (78.7%) memiliki pengalaman kerja lebih dari tiga tahun.

Ini artinya, suara yang terekam dalam penelitian ini adalah suara kolektif dari seluruh ekosistem proyek. Dari mereka yang duduk di ruang rapat ber-AC hingga mereka yang setiap hari berpanas-panasan di bawah terik matahari. Temuan mereka bukan lagi sekadar teori, melainkan cerminan realitas pahit di lapangan. Meskipun studi ini berlatar di Vietnam, masalah yang diungkapnya adalah cerminan dari lokasi proyek di mana pun, termasuk di halaman belakang kita sendiri.

Tiga Kaki Penopang Keselamatan: Manusia, Sistem, dan Lingkungan

Setelah menganalisis semua data, para peneliti menemukan sebuah pola yang indah. Dari puluhan faktor yang bertebaran, muncul tiga pilar utama yang menopang seluruh bangunan keselamatan. Saya suka membayangkannya seperti kursi berkaki tiga. Jika salah satu kakinya goyang, tak peduli seberapa kuat dua kaki lainnya, Anda pasti akan jatuh.

Secara statistik, model tiga pilar ini sangat kuat. Analisis mereka menunjukkan bahwa 23 faktor kunci yang teridentifikasi mampu menjelaskan lebih dari 60% variasi dalam perilaku keselamatan.1 Dalam bahasa manusia, itu artinya: "Ini adalah faktor-faktor yang benar-benar penting."

Mari kita bedah satu per satu ketiga kaki penopang ini.

Pilar #1: Sisi Manusiawi—Dari Toleransi Risiko hingga Kepercayaan pada Bos

Pilar pertama ini adalah tentang apa yang ada di dalam kepala dan hati setiap pekerja. Ini adalah faktor-faktor internal yang sering kali paling sulit diukur, namun dampaknya luar biasa. Penelitian ini mengidentifikasi 7 faktor kunci di area ini.1 Tiga di antaranya paling menonjol bagi saya:

  • Toleransi Risiko (A12): Ini adalah faktor dengan bobot pengaruh tertinggi di kelompoknya (koefisien 0.861).1 Ini bukan soal nekat atau penakut. Ini lebih tentang "kalibrasi" internal kita terhadap bahaya. Seorang pekerja yang benar-benar memahami risiko jatuh dari ketinggian akan memeriksa sabuk pengamannya dua kali, bukan karena ada aturan, tapi karena insting bertahan hidupnya yang menyala.1 Sebaliknya, pekerja yang sudah terbiasa dengan risiko akan menjadi "kebal" dan cenderung meremehkan bahaya.

  • Kebiasaan Merokok atau Konsumsi Alkohol (A10): Paper ini berani menyoroti hal yang sering dianggap tabu: gaya hidup di luar jam kerja. Kebiasaan merokok atau minum alkohol tidak hanya merusak kesehatan fisik, tapi juga "menguras" baterai mental yang sangat dibutuhkan keesokan harinya di lokasi proyek. Penurunan kewaspadaan dan fokus akibat kebiasaan ini secara langsung meningkatkan risiko kecelakaan.1

  • Kepercayaan pada Efektivitas Manajemen (A9): Ini faktor psikologis yang krusial. Jika pekerja tidak percaya bahwa manajemen serius soal keselamatan, maka helm yang mereka pakai hanyalah formalitas. Peraturan hanya akan dipatuhi saat ada pengawas yang melihat. Kepercayaan adalah perekat yang membuat semua aturan K3 benar-benar menempel dalam perilaku sehari-hari.1

Pilar #2: Kekuatan Sistem—Ketika Peraturan Bukan Sekadar Pajangan di Dinding

Pilar kedua adalah tentang kerangka kerja, kebijakan, dan tindakan yang diambil oleh manajemen. Ini adalah "sistem operasi" keselamatan di sebuah proyek. Jika sistemnya lemah, maka individu-individu terbaik pun akan kesulitan untuk bekerja dengan aman. Dari 8 faktor di kelompok ini, beberapa yang paling krusial adalah 1:

  • Inspeksi Rutin Kondisi Keselamatan (B5): Ini adalah faktor dengan bobot tertinggi di kelompok manajemen (koefisien 0.806).1 Kenapa? Karena inspeksi rutin mengirimkan pesan non-verbal yang sangat kuat: "Kami peduli. Kami memperhatikan. Keselamatan adalah prioritas operasional, bukan sekadar slogan di spanduk." Ini bukan soal mencari-cari kesalahan, tapi soal menunjukkan komitmen yang konsisten.

  • Sanksi atas Pelanggaran Keselamatan Kerja (B1): Aturan tanpa konsekuensi hanyalah saran. Sistem yang kuat memberlakukan sanksi yang adil, transparan, dan konsisten. Ini menunjukkan kepada semua orang bahwa keselamatan tidak bisa ditawar dan ada harga yang harus dibayar jika sengaja diabaikan.

  • Program Pelatihan Keselamatan yang Tidak Efisien (B10): Kita semua pernah mengalaminya. Pelatihan yang membosankan, di mana semua orang hanya menunggu sertifikat. Paper ini mengingatkan kita bahwa banyak perusahaan melakukan "pelatihan centang kotak". Pelatihan yang efektif bukan diukur dari berapa jam durasinya, tapi dari apakah ada perubahan perilaku nyata di lapangan setelahnya.

Pilar #3: Lingkungan yang Membentuk—Debu, Bising, dan Kurangnya Inovasi

Pilar terakhir adalah tentang konteks fisik dan teknis di mana pekerjaan dilakukan. Kita sering lupa bahwa lingkungan kerja memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk perilaku. Dari 8 faktor di kelompok ini, ada beberapa yang benar-benar membuka mata saya 1:

  • Kurangnya Inovasi dalam Teknik Keselamatan dan Konstruksi (C1): Ini adalah temuan yang paling menampar. Faktor ini memiliki bobot pengaruh tertinggi di seluruh penelitian (koefisien 0.892).1 Artinya, kegagalan kita untuk berinovasi adalah salah satu kontributor terbesar kecelakaan kerja. Kita sering terjebak dengan cara-cara lama yang berisiko. Padahal, inovasi—seperti penggunaan drone untuk inspeksi area berbahaya, material yang lebih aman, atau teknik konstruksi modular—bukanlah biaya, melainkan investasi untuk menghilangkan risiko dari akarnya.

  • Kondisi Lokasi Proyek yang Menantang (C2): Faktor ini juga memiliki bobot yang sama tingginya (0.892).1 Bekerja di ruang sempit, di ketinggian ekstrem, atau di area yang sulit dijangkau secara inheren meningkatkan stres fisik dan mental. Kelelahan ini membuat pekerja lebih rentan melakukan kesalahan. Lingkungan fisik secara langsung membentuk kondisi mental kita.

  • Kualitas Peralatan Keselamatan yang Buruk (C6): Memberikan pekerja helm yang sudah retak, sepatu bot yang solnya tipis, atau sabuk pengaman yang usang adalah pesan non-verbal yang paling buruk. Itu artinya perusahaan secara tidak langsung mengatakan bahwa mereka menghargai profit lebih dari nyawa manusianya. Ini akan langsung merusak pilar pertama (kepercayaan) dan membuat pilar kedua (sistem) menjadi mandul.

Ketiga pilar ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka saling berbicara. Kondisi kerja yang buruk akan merusak kepercayaan pekerja, dan kepercayaan yang rusak akan membuat sistem manajemen paling canggih sekalipun menjadi tidak berguna. Inilah inti dari pendekatan sistemik yang ditawarkan penelitian ini.

Temuan yang Paling Mengejutkan (dan Sedikit Kritik dari Saya)

Di tengah semua data dan angka, ada satu temuan yang membuat saya terdiam. Setelah melakukan uji statistik (ANOVA), para peneliti menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam cara berbagai kelompok responden menilai faktor-faktor ini.1

Inilah bagian yang paling penting. Ternyata, baik manajer di kantor, insinyur di lapangan, supervisor, kontraktor, maupun investor, baik yang junior maupun yang sudah puluhan tahun berpengalaman, semuanya setuju tentang apa saja masalah utamanya.

Artinya? Kita tidak punya masalah "persepsi". Kita punya masalah "aksi". Semua orang tahu di mana letak kebocorannya, tapi entah kenapa kita belum menambalnya bersama-sama. Kita semua melihat masalah yang sama, tapi terjebak dalam silo masing-masing.

Tentu, sebagai orang yang bukan peneliti, saya punya sedikit kritik halus. Meskipun temuannya sangat kuat, cara analisanya yang menggunakan istilah seperti 'Exploratory Factor Analysis (EFA)' dan 'Cronbach's alpha' ($α$) mungkin terasa abstrak bagi praktisi di lapangan.1 Ini seperti seorang chef hebat yang menjelaskan resep menggunakan nama-nama senyawa kimia. Rasanya enak, tapi sulit direplikasi tanpa penerjemah. Namun, kritik ini tidak mengurangi kekuatan pesan utamanya yang tetap jernih dan tak terbantahkan.

Mari kita rangkum pelajaran utamanya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Model 3 pilar ini mampu menjelaskan lebih dari 60% penyebab perilaku tidak aman. Ini adalah peta yang sangat akurat untuk navigasi kita.1

  • 🧠 Inovasinya: Penelitian ini membuktikan secara ilmiah bahwa keselamatan bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan hasil dari sebuah sistem yang kompleks (Manusia + Sistem + Lingkungan).1

  • 💡 Pelajaran: Berhenti mencari satu 'kambing hitam'. Jika ada kecelakaan, kemungkinan besar ada masalah di ketiga pilar tersebut secara bersamaan.

Dari Teori ke Aksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan Besok Pagi?

Melihat ketiga pilar ini, mungkin kita merasa kewalahan. Mengubah karakter manusia itu sulit, dan mengubah kondisi fisik proyek sering kali di luar kendali kita. Tapi ada satu pilar yang sepenuhnya berada dalam genggaman kita.

Dari ketiga pilar, 'Kapasitas Manajemen' adalah tuas yang paling kuat yang bisa kita tarik. Pekerja membawa kebiasaan mereka dari rumah, dan lingkungan proyek seringkali sudah ditentukan oleh desain dan geografi. Tapi sistem, kebijakan, pelatihan, dan budaya—itu semua adalah hasil dari keputusan manajemen.

Melihat betapa sentralnya peran manajemen dalam membentuk budaya keselamatan, ini menegaskan bahwa menjadi manajer yang kompeten bukan lagi soal efisiensi dan anggaran semata, tapi juga soal menjadi penjaga nyawa. Ini adalah tanggung jawab besar yang membutuhkan keahlian spesifik dan pemahaman yang mendalam.

Untuk membangun fondasi ini, berinvestasi dalam pemahaman yang lebih dalam tentang seluk-beluk pengelolaan proyek adalah langkah pertama yang paling logis. Mengikuti kursus terstruktur seperti Overview of Construction Management di Diklatkerja bisa menjadi cara untuk mempertajam gergaji, memastikan kita tidak hanya membangun gedung, tapi juga membangun lingkungan kerja yang aman dan manusiawi.2

Kesimpulan - Berhenti Saling Tunjuk, Mulai Bangun Fondasi Bersama

Paper ini pada akhirnya bukan tentang menyalahkan siapa pun. Ini adalah ajakan untuk berhenti saling tunjuk—pekerja menyalahkan manajemen, manajemen menyalahkan kondisi—dan mulai melihat keselamatan sebagai tanggung jawab bersama yang dibangun di atas tiga fondasi yang kokoh: manusia yang sadar, sistem yang mendukung, dan lingkungan yang aman.

Setiap proyek yang kita bangun akan menjadi monumen. Pertanyaannya adalah, apakah itu akan menjadi monumen kehebatan rekayasa kita saja, atau juga monumen penghargaan kita terhadap nyawa manusia? Pilihan ada di tangan kita.

Jika Anda tertarik untuk menyelami data dan analisisnya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang akan mengubah cara Anda memandang lokasi proyek selamanya.

(https://doi.org/10.31276/VJSTE.2024.0038)