Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Anisa pada 28 Mei 2025
Mengapa Isu Keberlanjutan dalam Perencanaan Proyek Begitu Krusial?
Dalam dunia konstruksi modern, tekanan untuk menjalankan proyek secara efisien dan bertanggung jawab terhadap lingkungan semakin tinggi. Di tengah krisis iklim dan urbanisasi yang cepat, pendekatan konstruksi berkelanjutan bukan hanya tren, tapi sebuah keniscayaan. Khususnya pada tahap perencanaan — di mana visi proyek dirumuskan — keputusan yang diambil akan menentukan seberapa ramah lingkungan dan inklusif hasil akhirnya.
Dalam konteks inilah skripsi Nur Afifah Tri Ramadhani Surahman mengambil posisi penting. Melalui studi pada proyek Polder Green Garden di Jakarta, peneliti mengevaluasi seberapa dalam prinsip keberlanjutan tertanam dalam perencanaan proyek design and build, dan bagaimana kriteria keberlanjutan tersebut diprioritaskan dengan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP).
Polder Green Garden: Proyek Strategis Pengendali Banjir
Polder Green Garden bukan sembarang proyek. Ia dibangun sebagai solusi sistemik atas banjir yang kerap melanda kawasan Kedoya Utara, Jakarta Barat, terutama saat luapan Kali Angke dan Mookervart tak lagi terbendung. Dengan sistem drainase tertutup dan pompa raksasa, polder ini menjadi bagian dari infrastruktur krusial ibukota.
Namun yang menarik, pembangunan polder ini tidak hanya ditujukan untuk fungsi teknis, tetapi juga mulai mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam desainnya — mulai dari partisipasi masyarakat hingga konservasi sumber daya.
Metodologi: Menyusun Hirarki Prioritas Keberlanjutan
Mengapa AHP?
Analytic Hierarchy Process (AHP) dipilih sebagai metode karena mampu memetakan kompleksitas pengambilan keputusan multikriteria. Melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison), AHP memudahkan peneliti menentukan prioritas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi secara kuantitatif.
Sumber Data
Sumber primer: Kuesioner kepada para profesional proyek
Sumber sekunder: Regulasi seperti Permen PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Konstruksi Berkelanjutan
Hasil: Apa yang Paling Penting dalam Perencanaan Berkelanjutan?
Dari hasil AHP, bobot terbesar justru berasal dari aspek yang selama ini sering diabaikan: Kenyamanan dan Kesehatan (0.40). Artinya, desain proyek yang memperhatikan kualitas udara, pencahayaan, aksesibilitas, dan kenyamanan pengguna menempati prioritas tertinggi.
Catatan Penting:
Sub-kriteria seperti konservasi air, energi, dan partisipasi masyarakat memiliki bobot yang kecil (0.01–0.02).
Namun, meskipun bobotnya kecil, elemen-elemen ini tetap wajib hadir untuk mencapai triple bottom line keberlanjutan: sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tinjauan Kritis: Apakah Sudah Cukup?
Kelebihan Penelitian:
Menggunakan AHP untuk memetakan prioritas keberlanjutan secara kuantitatif
Berbasis pada proyek nyata dengan tantangan kompleks (banjir perkotaan)
Memperhatikan peraturan nasional dan lokal dalam sektor konstruksi berkelanjutan
Kritik dan Saran:
Belum menyentuh aspek digital seperti BIM untuk mendukung keputusan berbasis data
Perlu studi lanjutan pada fase implementasi dan operasional (post-occupancy)
Disarankan menambahkan dimensi resilience terhadap perubahan iklim, bukan sekadar keberlanjutan
Implikasi Nyata: Apa yang Bisa Diambil dari Studi Ini?
Bagi Pemerintah:
Harus memperkuat regulasi teknis dalam pengadaan D&B agar menekankan aspek keberlanjutan
Perlu mendorong integrasi perencanaan partisipatif dalam proyek-proyek publik
Bagi Profesional:
Tim perencana harus mulai menjadikan kenyamanan pengguna dan interaksi sosial sebagai bagian dari KPI proyek
Manajemen proyek harus menggunakan AHP atau metode serupa untuk memprioritaskan sumber daya
Bagi Dunia Akademik:
Studi ini membuka jalan bagi riset kuantitatif lanjutan tentang keberlanjutan berbasis fase proyek
Menawarkan model aplikatif berbasis data untuk mengevaluasi aspek non-teknis dalam proyek infrastruktur
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini menguatkan temuan dari Aghimien et al. (2019) yang menunjukkan bahwa keberlanjutan dalam tahap perencanaan jauh lebih menentukan daripada implementasi teknis semata. Namun skripsi ini melangkah lebih jauh dengan memasukkan konteks lokal (Jakarta) dan skenario aktual (pengendalian banjir), menjadikannya sangat relevan bagi tata kota tropis.
Kesimpulan: Perencanaan adalah Pondasi Keberlanjutan
Keberlanjutan dalam proyek konstruksi bukan hanya soal panel surya atau toilet hemat air. Ia harus dimulai dari perencanaan — ketika keputusan besar tentang orientasi bangunan, desain tapak, material, dan sistem utilitas diambil.
Melalui penelitian ini, jelas bahwa proyek design and build seperti Polder Green Garden tidak hanya bisa efisien secara teknis, tapi juga dapat mengadopsi nilai-nilai keberlanjutan yang kuat sejak awal. Asalkan, prioritasnya diletakkan pada apa yang benar-benar penting: manusia, lingkungan, dan nilai ekonomi jangka panjang.
Sumber
Surahman, N. A. T. R. (2023). Penerapan Konstruksi Berkelanjutan pada Tahapan Perencanaan pada Kontrak Rancang dan Bangun (Studi Kasus: Proyek Polder Green Garden Wilayah DKI Jakarta). Skripsi, Universitas Hasanuddin.
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Tantangan Kompetensi di Era MEA dan Sertifikasi Tenaga Kerja
Sektor konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan fisik dan infrastruktur. Namun, di balik cepatnya laju pembangunan, sektor ini masih menghadapi tantangan fundamental—yaitu rendahnya kompetensi terstandar tenaga kerja, khususnya pada posisi krusial seperti pengawas proyek. Masuknya Indonesia ke dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menuntut adanya pengakuan sertifikasi kompetensi yang tidak hanya relevan secara nasional, tapi juga kompatibel dengan standar internasional.
Menjawab kebutuhan tersebut, artikel ini menyajikan analisis kritis terhadap materi uji kompetensi jabatan kerja pengawas, sebagai salah satu elemen penting dalam proses sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Fokus utama penelitian adalah menilai sejauh mana materi uji benar-benar mencerminkan kompetensi yang dibutuhkan di lapangan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menggambarkan kondisi aktual kompetensi tenaga pengawas konstruksi.
Menganalisis sejauh mana materi uji sesuai dengan kebutuhan jabatan pengawas di bidang penyedia perumahan.
Memberikan rekomendasi perbaikan substansi dan struktur materi uji untuk sertifikasi.
Metodologi: Evaluasi Lapangan dengan Kuesioner Terstruktur
Penelitian dilakukan melalui uji pemetaan kompetensi oleh Kementerian PUPR di tiga lokasi:
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta (3 peserta)
PT Istaka Karya (5 peserta)
PT Brantas Abipraya (6 peserta)
Instrumen:
Kuesioner terdiri dari 25 soal pilihan ganda dan 3 soal esai
70% soal teknis, 30% administratif
Materi disusun mengacu pada SKKNI 2005–2015, FGD dengan praktisi, dan hasil validasi konsultan.
Komposisi Materi Uji: Lima Unit Kompetensi Inti
Unit 1: SMK3L (Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Lingkungan)
Fokus pada pemahaman APD, rambu keselamatan, dokumen AMDAL, dan risiko kerja.
Unit 2: Organisasi dan Komunikasi Proyek
Menilai pemahaman struktur organisasi, koordinasi tim, serta bidang pengawasan.
Unit 3: Persiapan Pengawasan
Melibatkan tinjauan dokumen teknis, kontrak, dan kesiapan peralatan.
Unit 4: Pelaksanaan Pengawasan
Menguji kemampuan mengawasi mutu, jadwal, dan metode pelaksanaan.
Unit 5: Pelaporan Pengawasan
Meliputi penyusunan laporan, daftar cacat pekerjaan, dan dokumen serah terima.
Hasil Pengujian: Penyerapan Kompetensi Masih Belum Optimal
A. Pilihan Ganda
64% soal dijawab dengan benar
Soal-soal dengan tingkat penyerapan 0%:
P3 (risiko kerja)
P10 (penyusunan bidang pengawasan)
P15 (nilai kontrak)
P19 dan P20 (kesesuaian hasil kerja dan SCM)
P22 (daftar cacat bangunan)
B. Soal Esai
Soal 1: Definisi umum (seperti BOQ, PHO, footing) dijawab baik.
Soal 2: Analisis lingkungan konstruksi masih lemah.
Soal 3: Pemahaman proses serah terima relatif memadai.
Analisis Tambahan: Apa yang Salah?
Kelemahan Materi Uji:
Terlalu teoritis dan umum, kurang mencerminkan kondisi teknis riil.
Penggunaan kalimat terlalu akademik, menyulitkan peserta yang berlatar praktik lapangan.
Alokasi waktu ujian (45 menit) dianggap terlalu panjang untuk soal yang dapat dikerjakan lebih ringkas.
Materi yang Paling Mendesak Direvisi:
Kompetensi IV (Pengawasan pekerjaan) dan
Kompetensi III (Persiapan pengawasan)
Karena keduanya menyangkut kemampuan utama jabatan pengawas dan banyak soal pada bagian ini tidak terserap.
Studi Kasus Terkait dan Tren Nasional
Contoh nyata dapat dilihat pada proyek pembangunan rumah susun di Jakarta Timur tahun 2020. Dalam proyek tersebut, pengawas lapangan tidak mampu menyusun laporan kemajuan mingguan yang valid karena tidak memahami dokumen kontrak secara menyeluruh. Akibatnya, terjadi keterlambatan pelaporan hingga dua minggu, yang kemudian memengaruhi pencairan pembayaran kontraktor.
Komparasi dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Jumas, Ariani & Asrini (2021) yang menunjukkan bahwa tingkat efektivitas pelatihan sangat dipengaruhi oleh kejelasan materi uji. Dalam konteks pengawasan konstruksi, materi yang bersifat aplikatif jauh lebih efektif dibanding teori umum.
Rekomendasi Strategis
Untuk Pemerintah:
Revisi substansi materi uji berdasarkan data lapangan.
Terapkan model uji berbasis studi kasus yang relevan dengan situasi proyek nyata.
Untuk Lembaga Sertifikasi:
Sederhanakan bahasa soal untuk memastikan keterbacaan oleh tenaga kerja non-akademik.
Tambahkan simulasi pengawasan lapangan sebagai bagian dari evaluasi kompetensi.
Untuk Dunia Industri:
Kaitan dengan Standar Global
Di negara seperti Australia dan Jerman, pengawas proyek diwajibkan mengikuti pelatihan berbasis tugas nyata, termasuk penilaian berbasis observasi. Hal ini memperkuat argumen bahwa materi uji harus dikaitkan langsung dengan praktik lapangan, bukan sekadar teori.
Kesimpulan: Saatnya Materi Uji Menyesuaikan Realitas Proyek
Penelitian ini memberikan pesan penting: kompetensi pengawas konstruksi tidak cukup diukur melalui soal teoretis. Diperlukan pendekatan yang lebih dekat dengan realita di lapangan. Evaluasi mendalam terhadap struktur soal, keterkaitan dengan jabatan kerja, dan cara penyampaian materi adalah kunci peningkatan kualitas sertifikasi.
Sumber Artikel
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Euis Puspita Dewi, Siti Sujatini, Henni. (2021). "Analisis Materi Uji Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi Jabatan Kerja Pengawas Bidang Kerja Penyedia Perumahan."
Dipublikasikan di Jurnal IKRAITH-TEKNOLOGI, Vol. 5 No. 3, November 2021.
Link Jurnal Resmi
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas, Masalah Lama di Dunia Konstruksi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional, tetapi ironi besar muncul ketika berbicara soal produktivitas. Dibandingkan sektor manufaktur, tingkat inovasi dan efisiensi konstruksi masih tertinggal jauh. Berdasarkan data dari Lean Construction Institute, sebanyak 57% aktivitas kontruksi tergolong “waste”, sementara hanya 10% yang benar-benar memberikan nilai tambah.
Dalam konteks inilah, artikel karya Paulus Setyo Nugroho menjadi sangat relevan. Penelitian ini tidak hanya memaparkan masalah klasik seperti keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya, tetapi juga menawarkan solusi praktis melalui pemilihan metode konstruksi yang tepat, khususnya melalui penerapan teknologi pracetak dan inovasi sistem panel dinding serta metode Rheda untuk pembangunan rel kereta cepat.
Metodologi: Pendekatan Perbandingan Multi-Metode Konstruksi
Penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif dengan pendekatan studi kasus di beberapa proyek nyata, termasuk:
Proyek Rusunawa Cilacap (penggunaan metode pracetak vs konvensional)
Proyek jalur rel kecepatan tinggi antara Belgia–Belanda (penggunaan metode Rheda 2000 NL)
Evaluasi sistem konstruksi gedung perumahan berbasis panel dinding prefab.
Fokus utamanya adalah mengukur efisiensi waktu, biaya, dan produktivitas kerja, yang kemudian dibandingkan antar metode.
Hasil Utama: Metode Konstruksi sebagai Game Changer
A. Pracetak vs Konvensional: Studi Kasus Rusunawa Cilacap
Metode beton pracetak (precast concrete) terbukti mampu memangkas waktu dan biaya proyek:
Durasi pelaksanaan struktur:
Pracetak: 168 hari
Konvensional: 196 hari
Efisiensi waktu: 14% lebih cepat
Penghematan biaya total struktur: Rp 227,5 juta (sekitar 6%)
Pengurangan biaya pelat: 10%
Penghematan kolom dan balok: 2%
B. Rheda 2000 NL: Solusi Efisiensi untuk Infrastruktur Rel
Untuk proyek skala besar seperti rel kereta cepat di perbatasan Belanda–Belgia, metode Rheda 2000 NL terbukti meningkatkan produktivitas hingga:
Pengurangan biaya lembur: 24,6%
Peningkatan kecepatan pembetonan (hingga 499 m/hari)
Kualitas pengerjaan meningkat berkat sistem kerja paralel dan peralatan modern
C. Teknologi Panel Dinding: Membangun Rumah dalam Hitungan Hari
Inovasi dalam sistem panel dinding modular (contoh: RISHA dan Smart Modula) dinilai mampu mempercepat proses pembangunan hunian:
Dimensi ringan (90x70 cm) → bisa diangkat oleh 1–2 orang
Tidak perlu alat berat
Sistem sambungan kering → mempercepat pemasangan
Estetika sederhana namun efisien
Analisis Tambahan: Kenapa Metode Berperan Vital?
1. Kunci Efisiensi: Meminimalisasi Pemborosan
Dalam konstruksi, pemborosan waktu dan sumber daya sering kali tidak disadari, seperti:
Proses bekisting yang memakan waktu
Perubahan desain mendadak
Penundaan material
Dengan metode seperti pracetak, aktivitas ini diminimalisasi karena:
Produksi dilakukan di pabrik
Komponen siap pasang
Pekerjaan lapangan dipersingkat
2. Mengurangi Ketergantungan pada Tenaga Ahli
Metode modular memungkinkan pekerja low-skilled bisa melakukan instalasi dengan pelatihan singkat, mengurangi beban biaya SDM. Di tengah kondisi kelangkaan tenaga kerja terampil, solusi ini sangat menjanjikan.
3. Adaptasi Terhadap Tantangan Urbanisasi
Kebutuhan akan pembangunan cepat dan masif (terutama di perkotaan) menuntut inovasi. Di sinilah metode konstruksi industrialisasi menjadi jawaban.
Kritik dan Refleksi: Tidak Semua Proyek Cocok dengan Pracetak
Meskipun metode pracetak terbukti unggul, ada beberapa catatan penting:
Tidak fleksibel terhadap perubahan desain
Biaya awal relatif mahal (biaya pabrikasi & crane)
Membutuhkan perencanaan matang sejak awal
Sebagai contoh, proyek kecil dengan banyak modifikasi di lapangan mungkin lebih cocok dengan metode konvensional atau campuran.
Perbandingan dengan Studi Lain
Artikel ini sejalan dengan temuan Low dan Chan (2001) serta Tam et al. (2007) yang menekankan bahwa pracetak:
Meningkatkan mutu
Mengurangi tenaga kerja
Mempermudah pengawasan
Namun, artikel ini unggul karena menyajikan data kuantitatif dan studi kasus nyata di Indonesia. Pendekatan lokal inilah yang membuatnya lebih aplikatif bagi industri konstruksi nasional.
Implikasi Praktis dan Strategi Implementasi
Bagi Pemerintah:
Dorong penggunaan pracetak melalui regulasi atau insentif
Tambahkan kurikulum modular building di pelatihan kerja
Bagi Kontraktor:
Lakukan studi kelayakan metode sebelum proyek dimulai
Investasi pada teknologi crane dan logistik modular
Bagi Akademisi:
Teliti lebih lanjut integrasi metode hybrid (kombinasi konvensional dan modular)
Kaji dampak metode terhadap emisi karbon proyek
Kesimpulan: Produktivitas adalah Pilihan Strategis
Produktivitas dalam konstruksi bukan sesuatu yang abstrak. Ia bisa dihitung, dibandingkan, dan ditingkatkan. Kuncinya? Pemilihan metode konstruksi yang tepat. Artikel ini secara meyakinkan membuktikan bahwa metode seperti pracetak, Rheda 2000 NL, dan teknologi panel dinding dapat memberikan lompatan besar dalam produktivitas.
Namun, seperti semua strategi, kuncinya ada di implementasi yang cermat dan kontekstual. Pemilihan metode konstruksi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kesesuaian terhadap kondisi proyek, lokasi, dan tujuan pembangunan.
Sumber
Nugroho, P. S. (2012). Peningkatan Produktivitas Konstruksi Melalui Pemilihan Metode Konstruksi. Dinamika Rekayasa, 8(1), 25–30.
Tersedia di: CORE.ac.uk
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh SDM Hebat
Pembangunan infrastruktur Indonesia, khususnya sejak 2014, mengalami lonjakan signifikan dari sisi anggaran maupun skala proyek. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah kualitas sumber daya manusia konstruksi kita sudah selaras dengan ambisi pembangunan tersebut?
Berangkat dari realitas ini, studi yang dilakukan oleh Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini memfokuskan diri pada efektivitas pelatihan berbasis kompetensi, yang menjadi strategi utama pemerintah dalam mencetak tenaga kerja konstruksi yang andal. Evaluasi ini menggunakan pendekatan empat level model Kirkpatrick: reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.
Konteks Masalah: Pelatihan Meningkat, Tapi Apakah Efektif?
Data dari LPJK Sumbar menunjukkan lonjakan pelatihan berbasis kompetensi dari hanya 5 kegiatan pada 2014 menjadi 17 kegiatan pada 2015. Ini merupakan peningkatan lebih dari tiga kali lipat. Namun, dengan tingginya investasi (sekitar Rp150 juta per kegiatan), evaluasi terhadap efektivitas program menjadi sangat penting.
Penelitian ini dilakukan di Sumatera Barat dengan menyasar pelatihan yang diadakan antara 2017–2018. Total responden sebanyak 64 orang, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, memberikan gambaran beragam terhadap persepsi dan dampak pelatihan.
Metodologi: Evaluasi Berbasis Model Kirkpatrick
Model evaluasi Kirkpatrick membagi efektivitas pelatihan dalam empat level:
Reaksi: sejauh mana peserta puas dengan pelatihan
Pembelajaran: seberapa besar pengetahuan/skill bertambah
Perilaku: apakah peserta menerapkan materi pelatihan
Hasil: dampak nyata pada performa kerja
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berisi 43 indikator, diuji validitas dan reliabilitasnya dengan SPSS. Uji hubungan dilakukan menggunakan analisis Kendall’s Tau-b dan chi-square untuk menilai kekuatan hubungan antar variabel.
Temuan Utama: Hanya 58% Indikator yang Efektif
Dari 43 indikator:
58,1% dinyatakan efektif (bernilai di atas cut-off poin ≥4)
Sisanya 41,9% tidak efektif, termasuk beberapa indikator penting seperti materi K3, kualitas waktu pelatihan, dan pengaruh pelatihan terhadap efisiensi waktu kerja
Temuan ini cukup mengejutkan, mengingat anggapan umum bahwa semua pelatihan berbasis kompetensi otomatis berkorelasi positif dengan peningkatan performa.
Detail Temuan Berdasarkan Level Kirkpatrick
Level 1: Reaksi
21 indikator digunakan, hanya 13 yang lolos cut-off. Yang gagal antara lain:
instruktur tidak menguasai materi secara maksimal
waktu pelatihan tidak cukup dan mengganggu pekerjaan
modul pelatihan tidak membantu memahami materi
Interpretasi: Banyak pelatihan dijalankan seperti “tugas administratif,” tanpa memperhatikan kenyamanan, waktu efektif, dan pendekatan instruktur yang komunikatif.
Level 2: Pembelajaran
6 indikator digunakan, dan hanya 3 yang efektif:
Materi komunikasi, K3, dan jadwal kerja dinilai belum cukup meningkatkan pembelajaran
Analisis tambahan: Materi teknis dan keselamatan seharusnya menjadi inti dari pelatihan konstruksi. Fakta bahwa hal ini justru kurang efektif menunjukkan adanya gap dalam metode pengajaran atau mungkin kekeliruan dalam penyampaian materi.
Level 3: Perilaku
5 indikator digunakan, hanya 2 yang efektif:
Peserta tidak merasa pelatihan membuat mereka lebih disiplin, mandiri, atau bertanggung jawab
Opini kritis: Ini adalah alarm serius. Jika pelatihan tidak mengubah perilaku kerja, maka pelatihan gagal mencapai tujuannya. Perubahan mindset dan attitude seharusnya jadi target utama dalam membentuk tenaga kerja profesional.
Level 4: Hasil
11 indikator digunakan, 7 dinilai efektif. Yang tidak efektif mencakup:
peserta tidak mempraktikkan materi
tidak membantu manajemen waktu kerja
tidak meningkatkan kemampuan membuat laporan
Catatan penting: Tanpa implementasi di lapangan, hasil pelatihan hanya tinggal di ruang kelas. Artinya, pelatihan perlu disertai sistem mentoring di proyek untuk memastikan transfer ilmu.
Evaluasi Kompetensi: Mana yang Terkait dengan Indikator Efektif?
Peneliti menghubungkan indikator pelatihan dengan 6 kompetensi utama:
Hanya 4 indikator yang signifikan:
Mengubah cara pandang & sikap (berpengaruh ke K2, S2, A2)
Meningkatkan keterampilan kerja (berpengaruh ke K1, A1)
Meningkatkan kemampuan membaca gambar (K1)
Materi sesuai unit kompetensi (A2)
Kesimpulan Penting: Dari 43 indikator, hanya 4 yang benar-benar berkorelasi dengan peningkatan kompetensi. Ini menunjukkan efektivitas pelatihan masih sangat terbatas dan perlu perombakan total.
Kritik dan Saran: Pelatihan Harus Relevan, Praktis, dan Evaluatif
Kritik Penulis:
Terlalu banyak pelatihan yang bersifat formalitas
Evaluasi hanya dilakukan dari sisi peserta, bukan juga dari pihak penyelenggara
Minim pemanfaatan teknologi pembelajaran (e-learning, simulasi proyek)
Rekomendasi Penguatan:
Libatkan pelaku industri dalam desain kurikulum pelatihan
Gunakan metode blended learning yang menggabungkan teori dan praktik lapangan
Lakukan evaluasi pasca-pelatihan di proyek nyata untuk mengukur dampak
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Studi Lin et al. (2011) menunjukkan bahwa dalam sektor konstruksi di Taiwan, keberhasilan pelatihan sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi. Sementara Kodri dkk. (2018) di Indonesia menemukan bahwa sertifikasi saja tidak cukup, tanpa diikuti perubahan proses kerja.
Penelitian ini memperkuat argumen bahwa proses pelatihan dan evaluasi harus lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya seputar penyampaian materi.
Kesimpulan Akhir: Pelatihan Tak Cukup, Harus Ada Transformasi
Penelitian ini memberikan gambaran gamblang tentang kondisi pelatihan SDM konstruksi di Indonesia, khususnya Sumatera Barat: belum cukup efektif. Hanya sebagian kecil indikator yang berkorelasi langsung dengan peningkatan kompetensi.
Untuk itu, pelatihan berbasis kompetensi harus mengalami revolusi—dari segi kurikulum, instruktur, metode evaluasi, hingga implementasi di lapangan.
Sumber
Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini (2021).
Analisis Hubungan Efektivitas Pelatihan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi terhadap Level Kirkpatrick.
Rang Teknik Journal, Vol. 4 No. 1.
DOI: http://dx.doi.org/10.31869/rtj.v4i1.2093
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025
Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan design and build (D&B) semakin populer dalam industri konstruksi Indonesia, terutama untuk proyek-proyek gedung bertingkat di kawasan metropolitan seperti Jakarta. Metode ini dianggap efisien karena menggabungkan proses desain dan konstruksi dalam satu kontrak. Namun, di balik efisiensinya, metode ini menyimpan berbagai potensi risiko yang, jika tidak dikelola dengan tepat, dapat menimbulkan kerugian signifikan.
Artikel ini meresensi dan menganalisis secara mendalam hasil penelitian dari [paper asli], yang berfokus pada identifikasi, evaluasi, dan mitigasi risiko dalam proyek D&B, khususnya melalui studi kasus sebuah proyek gedung di Jakarta.
Sekilas tentang Metode Design and Build
Metode design and build memungkinkan pemilik proyek menunjuk satu kontraktor untuk menangani desain sekaligus pelaksanaan pembangunan. Konsep ini berbeda dari pendekatan tradisional yang memisahkan kontrak desain dan konstruksi. Keuntungan utamanya adalah efisiensi waktu dan biaya karena proses berjalan paralel.
Namun, model ini menyatukan tanggung jawab besar pada satu entitas, sehingga potensi risiko—baik teknis, administratif, maupun eksternal—juga menjadi tanggungannya secara penuh.
Kategori Risiko dalam Proyek Design and Build
Penelitian ini berhasil mengelompokkan risiko ke dalam beberapa kategori utama, yaitu:
Risiko Proyek Internal
Perubahan desain oleh pemilik proyek
Ketidaksesuaian spesifikasi teknis
Risiko Keuangan
Keterlambatan pembayaran
Fluktuasi harga material
Risiko Hukum dan Kontrak
Ambiguitas dalam dokumen kontrak
Sengketa antara pemilik dan kontraktor
Risiko Lingkungan dan Eksternal
Perizinan
Gangguan sosial atau politik
Melalui metode Probability-Impact Matrix, risiko-risiko ini dipetakan berdasarkan tingkat kemungkinan dan dampaknya, yang kemudian menjadi dasar dalam penyusunan strategi mitigasi.
Studi Kasus – Proyek Gedung di Jakarta
Studi ini menggunakan proyek pembangunan gedung perkantoran bertingkat di Jakarta sebagai studi kasus. Berdasarkan wawancara dengan pihak-pihak terlibat (pemilik proyek, kontraktor, konsultan), didapatkan daftar 20 risiko dominan yang dikaji secara kuantitatif dan kualitatif.
Temuan Penting:
Risiko paling dominan: perubahan desain dari pemilik proyek, dengan skor dampak tinggi dan probabilitas menengah.
Risiko keuangan: keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek menduduki posisi kedua.
Risiko teknis: desain struktural awal yang tidak lengkap sering menimbulkan penundaan saat pelaksanaan.
Menariknya, hasil pengukuran menunjukkan bahwa 40% risiko utama berasal dari faktor internal (desain & manajemen), bukan dari faktor eksternal seperti regulasi atau cuaca.
Strategi Mitigasi Risiko: Pendekatan Preventif & Korektif
Penelitian ini menyarankan strategi mitigasi berbasis dua pendekatan: preventif (sebelum terjadi) dan korektif (sesudah terjadi). Beberapa contoh langkah mitigasi adalah:
Perubahan desain: Menyusun spesifikasi desain yang lebih rigid dan menetapkan periode 'freezing' desain setelah fase awal.
Keterlambatan pembayaran: Penjadwalan ulang pembayaran dengan milestone yang fleksibel namun mengikat.
Ambiguitas kontrak: Menyusun dokumen kontrak berbasis FIDIC yang terstandarisasi secara internasional.
Desain awal yang kurang lengkap: Mewajibkan proses desain tahap awal divalidasi oleh tim teknis independen.
Langkah-langkah ini mencerminkan pentingnya sistem manajemen risiko yang terstruktur dan berbasis data, bukan sekadar reaksi spontan terhadap masalah di lapangan.
Analisis Tambahan – Pembelajaran dan Relevansi Industri
Meskipun studi kasus terbatas pada satu proyek di Jakarta, temuan ini merefleksikan tantangan umum dalam sistem D&B di Indonesia. Beberapa insight tambahan:
1. Budaya Perubahan Desain yang Terlalu Longgar
Perubahan desain mendadak sering kali terjadi karena kurangnya keputusan tegas di awal. Ini menunjukkan perlunya edukasi kepada pemilik proyek mengenai pentingnya komitmen terhadap keputusan desain awal.
2. Tantangan Legal dan Administratif
Banyak proyek D&B masih menggunakan dokumen kontrak yang tidak standar, membuka peluang multitafsir. Penggunaan kontrak berbasis FIDIC atau NEC bisa meningkatkan kejelasan dan mengurangi potensi konflik.
3. Integrasi Teknologi Masih Lemah
Belum banyak proyek D&B yang memanfaatkan teknologi seperti BIM (Building Information Modeling) secara optimal. Padahal BIM dapat meminimalkan risiko desain dan koordinasi antar-disiplin teknik.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini sejalan dengan studi oleh Rahman & Kumaraswamy (2004) yang juga mengidentifikasi desain dan komunikasi sebagai sumber utama risiko dalam proyek D&B di Asia. Namun, studi ini memberikan konteks lokal yang lebih kuat karena berbasis proyek nyata di Indonesia, memperkaya pustaka literatur yang sebelumnya masih didominasi studi dari luar negeri.
Implikasi Praktis bagi Pelaku Industri
Penelitian ini memberikan panduan nyata bagi pelaku konstruksi, terutama:
Developer: Perlu membuat keputusan desain yang tegas dan komitmen terhadap spesifikasi awal.
Kontraktor: Harus memiliki tim desain in-house yang kuat dan sistem manajemen risiko.
Konsultan: Perannya penting dalam menjembatani komunikasi antara pemilik dan kontraktor.
Rekomendasi untuk Penelitian Lanjutan
Beberapa ruang yang dapat dieksplorasi dalam studi lanjutan:
Analisis risiko proyek D&B di luar gedung bertingkat, seperti infrastruktur transportasi.
Perbandingan efektivitas mitigasi risiko antara proyek D&B dan metode konvensional.
Integrasi digitalisasi dalam manajemen risiko proyek D&B.
Kesimpulan: Design and Build Bukan Solusi Instan, Tapi Memerlukan Strategi Matang
Meskipun metode design and build menawarkan banyak keuntungan, seperti efisiensi waktu dan biaya, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan para pelaku proyek dalam mengelola risiko yang muncul. Paper ini memberikan kontribusi nyata dengan tidak hanya mengidentifikasi risiko, tapi juga menyajikan strategi mitigasi yang praktis dan aplikatif di lapangan.
Kehadiran sistem manajemen risiko yang kuat, kontrak yang jelas, dan desain yang matang sejak awal adalah kunci sukses bagi proyek D&B, terutama dalam konteks kompleksitas urban seperti Jakarta.
Sumber Artikel
Penelitian ini berasal dari:
“Analisis Risiko dan Mitigasi dalam Proyek Design and Build (Studi Kasus: Proyek Gedung di Jakarta)”, dapat diakses melalui repository resmi institusi akademik penulis. [Silakan masukkan DOI atau tautan resmi jika tersedia]
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Konstruksi Modern
Di tengah kompleksitas dan dinamika proyek konstruksi modern, efisiensi waktu dan biaya menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Salah satu pendekatan yang mulai banyak dikaji dan diimplementasikan untuk menjawab tantangan ini adalah constructability—yaitu integrasi keahlian konstruksi ke dalam seluruh tahap proyek, mulai dari perencanaan, perancangan, hingga pelaksanaan. Artikel karya Dony Yunianto, Jati Utomo Dwi Hatmoko, dan Arif Hidayat ini menyajikan evaluasi mendalam terhadap penerapan constructability pada dua proyek nyata: Gedung Universitas Diponegoro dan proyek apartemen swasta di Semarang.
Penelitian ini bukan hanya mengukur tingkat penerapan constructability, tetapi juga menyoroti peran stakeholder serta dampak nyata terhadap siklus hidup proyek.
Apa Itu Constructability dan Mengapa Penting?
Constructability merupakan konsep strategis yang menekankan pentingnya keterlibatan konstruksi sejak tahap awal proyek. Pendekatan ini mampu:
Mengurangi rework atau pekerjaan ulang
Meningkatkan efisiensi desain
Meminimalisir waste time
Menyederhanakan proses pengadaan
Menurunkan biaya total proyek secara jangka panjang
Banyak proyek gagal tepat waktu dan anggaran karena keterputusan informasi antara perencana dan pelaksana. Di sinilah constructability menjadi jembatan yang menjamin kelancaran dan kesinambungan proses.
Studi Kasus: Proyek Universitas Diponegoro vs Proyek Apartemen Swasta
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Responden berasal dari pihak pemilik proyek, kontraktor, dan tim teknis. Penilaian dilakukan berdasarkan 34 konsep constructability yang dikembangkan dari model CII, Nima (2001), dan Trigunarsyah (2004), yang mencakup tahap:
Perencanaan awal dan konsep
Perancangan dan pengadaan
Pra-konstruksi
Konstruksi
Tingkat penerapan constructability diukur dengan skala Likert 1–4:
Nilai <1: sangat rendah
1–2: sedang
2–3: tinggi
3–4: sangat tinggi
Analisis:
Proyek apartemen swasta memiliki penerapan constructability “sangat tinggi”, sedangkan proyek universitas berada di kategori “tinggi”.
Gap terbesar terlihat pada tahap pra-konstruksi. Hal ini menunjukkan pentingnya perencanaan teknis yang matang dan sinergi antar tim sejak awal.
Dampak Terhadap Siklus Hidup Proyek
Proyek Universitas Diponegoro (Design-Bid-Build)
Sistem kontrak terpisah antar tahap proyek.
Total waktu: ±28 bulan.
Waste time: ±16 bulan (lebih dari 50% waktu proyek).
Tantangan birokrasi APBN dua tahun anggaran menyebabkan inefisiensi.
Simulasi Alternatif: Design and Build
Durasi diperkirakan hanya ±9 bulan.
Potensi efisiensi waktu: 68% lebih singkat.
Namun, realisasi sulit karena keterbatasan sistem birokrasi pemerintah.
Proyek Apartemen Swasta (Design and Build)
Tahap desain dan konstruksi dilakukan bersamaan (overlapping).
Total waktu jauh lebih optimal.
Tidak ada jeda yang signifikan antara tahap desain dan pelaksanaan.
Nilai Tambah dan Opini: Apa yang Bisa Dipelajari?
Kelebihan Penelitian
Penilaian berbasis parameter konseptual yang kuat (CII, Nima, Trigunarsyah)
Studi kasus nyata dengan data primer dari stakeholder proyek
Penggunaan kombinasi kualitatif dan kuantitatif menambah kedalaman analisis
Kritik dan Keterbatasan
Keterbatasan jumlah proyek hanya dua unit—belum representatif untuk kesimpulan nasional
Belum mengeksplorasi integrasi teknologi seperti BIM atau digital twin yang kini makin relevan dengan constructability
Konteks birokrasi proyek pemerintah belum sepenuhnya dijawab oleh solusi teknis
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Reformasi Proyek Pemerintah
Dorong sistem kontrak design and build berbasis tahun jamak
Libatkan kontraktor sejak perencanaan awal
Tim Teknis Internal
Bentuk tim teknis lintas fase sebagai “penjaga informasi”
Bertugas menjaga kontinuitas desain, mengawal pelaksanaan, dan mengevaluasi kesesuaian lapangan
Penguatan Peran Perencana
Wajib terlibat hingga tahap konstruksi
Kewajiban dicantumkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK)
Penggunaan Alat Digital
Gunakan BIM untuk meningkatkan koordinasi lintas fase
Buat sistem aplikasi baku untuk monitoring constructability
Kesimpulan
Penerapan constructability terbukti mampu mempercepat waktu pelaksanaan dan meningkatkan kualitas proyek, terutama jika diterapkan sejak tahap awal oleh seluruh stakeholder. Proyek apartemen swasta menjadi contoh keberhasilan sistem design and build, di mana waktu proyek lebih singkat, peran stakeholder lebih solid, dan kualitas desain lebih baik.
Sebaliknya, proyek Universitas Diponegoro mencerminkan keterbatasan pendekatan tradisional design-bid-build. Meski tidak gagal, proyek mengalami pemborosan waktu yang signifikan akibat tidak terintegrasinya perencanaan dan pelaksanaan.
Penelitian ini menjadi pengingat pentingnya kolaborasi lintas fungsi dan keterbukaan desain terhadap masukan konstruksi sejak awal. Dengan penguatan manajemen dan kebijakan yang mendukung, constructability bisa menjadi fondasi utama pengelolaan proyek konstruksi di Indonesia ke depan.
Sumber Artikel
Yunianto, D., Hatmoko, J. U. D., & Hidayat, A. (2014). Evaluasi Penerapan Constructability pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 20, No. 2.
Tersedia di: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/view/20877