Konstruksi Tangguh

Mewujudkan Konstruksi Tangguh dan Berkelanjutan: Pembelajaran dari Regional Building and Design Conference 2020

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Isu ketahanan bangunan dan keberlanjutan (resilience and sustainability) semakin menjadi perhatian utama di tengah meningkatnya frekuensi bencana alam, perubahan iklim, serta tekanan terhadap lingkungan. Regional Building and Design Conference (RBDCC) 2020 menyoroti pentingnya integrasi prinsip ketahanan (resilience), efisiensi energi, serta keberlanjutan dalam perencanaan, desain, dan pelaksanaan konstruksi. Konferensi ini menggarisbawahi bahwa masa depan industri konstruksi tidak lagi cukup hanya berorientasi pada estetika dan efisiensi biaya, tetapi juga harus menjamin keamanan, daya tahan, dan adaptabilitas bangunan terhadap ancaman alam maupun sosial.

Bagi Indonesia, temuan ini memiliki relevansi strategis. Sebagai negara yang rawan bencana gempa, banjir, tanah longsor, dan perubahan iklim ekstrem, pembangunan infrastruktur tanpa memperhitungkan aspek ketahanan hanya akan memperbesar risiko kerugian di masa depan. Kebijakan publik yang hanya fokus pada percepatan pembangunan tanpa standar ketahanan dapat mengakibatkan proyek-proyek besar menjadi white elephant — mahal dibangun, tetapi rapuh dan berumur pendek.

Kementerian PUPR telah menegaskan pentingnya penerapan Building Resilience Framework di berbagai proyek nasional. Namun, agar kebijakan tersebut berjalan efektif, perlu ada integrasi lintas sektor antara perencana, kontraktor, akademisi, dan lembaga sertifikasi kompetensi.

Selain itu, RBDCC 2020 juga menekankan peran penting arsitektur berkelanjutan dan material hijau dalam menciptakan lingkungan binaan yang adaptif terhadap krisis iklim. Sejalan dengan Inovasi Material Ramah Lingkungan: Teknologi Tepat Guna dalam Konstruksi Hijau yang Berkelanjutan

Oleh karena itu, kebijakan nasional harus mengadopsi prinsip resilience-based design ke dalam regulasi, sistem perizinan, dan skema pembiayaan agar seluruh proyek infrastruktur publik memiliki standar ketahanan yang seragam dan terukur.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi konsep resilient building design di lapangan mulai menunjukkan dampak positif di berbagai negara maju. Misalnya, Jepang berhasil menekan angka kerusakan pasca gempa besar berkat penerapan desain tahan gempa terintegrasi, sementara Singapura menggabungkan efisiensi energi dan ketahanan iklim dalam perencanaan kawasan perkotaan. Dampaknya bukan hanya pada keamanan, tetapi juga efisiensi jangka panjang, karena bangunan tahan bencana cenderung memiliki biaya perawatan yang lebih rendah dan umur teknis yang lebih panjang.

Di Indonesia, dampak penerapan desain tangguh mulai terlihat pada proyek-proyek besar seperti bendungan, jembatan, dan gedung pemerintah. Namun, tingkat penerapannya belum merata. Banyak proyek berskala menengah dan kecil yang masih mengandalkan metode konvensional tanpa analisis risiko mendalam. Hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia yang memahami konsep desain tangguh, serta biaya tambahan yang sering dianggap beban oleh kontraktor.

Hambatan terbesar dalam implementasi adalah keterbatasan kapasitas teknis dan finansial. Konsep bangunan tangguh sering kali memerlukan investasi awal lebih tinggi, meskipun dalam jangka panjang justru lebih hemat. Banyak pengembang dan kontraktor kecil belum mampu mengakses teknologi canggih seperti Building Information Modeling (BIM), analisis simulasi bencana, atau sistem material cerdas.

Selain itu, meningkatnya kesadaran global terhadap green economy juga memberi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi internasional yang mensyaratkan keberlanjutan dan ketahanan sebagai prasyarat pendanaan. Lembaga-lembaga seperti ADB dan World Bank kini mensyaratkan resilience audit dalam proyek infrastruktur besar — suatu peluang untuk mempercepat transformasi kebijakan dalam negeri.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk memperkuat implementasi prinsip ketahanan bangunan di Indonesia, beberapa rekomendasi kebijakan dapat diterapkan:

  1. Integrasi Resilience ke dalam Regulasi Nasional. Perlu pembaruan terhadap Peraturan Bangunan Gedung (PBG) dan standar SNI agar setiap proyek wajib melakukan analisis risiko multi-bencana. Regulasi harus mengharuskan penerapan desain tangguh pada bangunan publik dan infrastruktur vital.
  2. Program Literasi dan Sertifikasi SDM. Tenaga ahli, insinyur, dan arsitek perlu dilatih melalui modul seperti Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi agar memahami standar ketahanan dan keberlanjutan bangunan. Peningkatan kapasitas SDM menjadi pondasi utama keberhasilan implementasi kebijakan.
  3. Skema Pembiayaan Insentif untuk Proyek Resilient. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, potongan pajak, atau kemudahan kredit bagi pengembang yang menerapkan desain tangguh dan material hijau. Skema green financing akan mempercepat adopsi di sektor swasta.
  4. Pengembangan Platform Monitoring Digital. Platform nasional berbasis BIM dan IoT dapat memantau kualitas konstruksi, penggunaan material, serta ketahanan struktur secara real-time. Ini memastikan setiap proyek mengikuti standar resilience.
  5. Kolaborasi Lintas Sektor. Kebijakan harus mendorong sinergi antara pemerintah, universitas, lembaga riset, dan industri agar inovasi desain tangguh terus berkembang. Kolaborasi ini penting untuk memperkaya basis data bencana dan mempercepat riset kebijakan konstruksi tangguh.
  6. Evaluasi dan Audit Ketahanan Berkala. Setiap lima tahun, pemerintah perlu melakukan audit nasional atas proyek infrastruktur utama untuk menilai sejauh mana penerapan desain tangguh telah dilaksanakan dan dampaknya terhadap pengurangan risiko.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan ketahanan bangunan berisiko gagal jika tidak disertai strategi implementasi yang realistis.

  1. Pertama, biaya tinggi dan resistensi pasar dapat menghambat adopsi luas. Kontraktor kecil sering kali menganggap desain tangguh sebagai beban tambahan, bukan investasi. Tanpa skema pembiayaan inovatif, implementasi bisa terbatas pada proyek besar saja.
  2. Kedua, kurangnya pengawasan dan audit teknis dapat membuat regulasi hanya formalitas. Banyak proyek lulus evaluasi administratif tanpa verifikasi lapangan terhadap aspek ketahanan.
  3. Ketiga, keterbatasan data risiko dan peta bencana juga menjadi kendala. Tanpa basis data yang kuat, desain tangguh hanya bersifat spekulatif. Diperlukan sinergi antara lembaga riset dan instansi teknis untuk menyediakan hazard mapping yang akurat.
  4. Keempat, disparitas kompetensi SDM antara wilayah urban dan rural. Insinyur di daerah terpencil sering kali belum terpapar teknologi dan metodologi desain tangguh. Jika tidak ada pemerataan pelatihan, kebijakan resilience hanya akan efektif di kota besar.

Akhirnya, kebijakan ini juga dapat gagal jika tidak ada indikator kinerja (Key Performance Indicators/KPI) yang jelas. Tanpa tolok ukur, evaluasi menjadi subjektif, dan program resilience bisa kehilangan arah.

Penutup

Regional Building and Design Conference 2020 memberikan pelajaran berharga bahwa masa depan industri konstruksi tidak hanya soal membangun cepat, tetapi membangun tangguh. Di tengah ancaman bencana alam dan perubahan iklim, konsep resilient building design harus menjadi norma baru dalam setiap kebijakan dan proyek nasional.

Bagi Indonesia, momentum transformasi menuju konstruksi tangguh sudah di depan mata. Dengan pembaruan regulasi, peningkatan kapasitas SDM, digitalisasi sistem pengawasan, serta pembiayaan inovatif, prinsip ketahanan dapat diintegrasikan ke seluruh siklus pembangunan. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada komitmen, kolaborasi lintas sektor, dan kesadaran bahwa bangunan tangguh bukan hanya melindungi investasi, tetapi juga menyelamatkan nyawa.

Sumber

RBDCC (2020). Regional Building and Design Conference Proceedings.

Selengkapnya
Mewujudkan Konstruksi Tangguh dan Berkelanjutan: Pembelajaran dari Regional Building and Design Conference 2020
page 1 of 1