Inovasi Material Ramah Lingkungan: Teknologi Tepat Guna dalam Konstruksi Hijau yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

22 April 2025, 15.10

Freepik.com

Pendahuluan: Urgensi Konstruksi Hijau di Era Krisis Iklim

 

Di tengah maraknya isu perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya alam, dunia konstruksi dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana membangun tanpa merusak? Industri konstruksi global menyumbang sekitar 40% konsumsi energi dunia dan 31,5 juta ton limbah setiap tahun hanya di Amerika Serikat. Dalam konteks ini, konsep konstruksi hijau (green construction) bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak.

 

Indonesia pun menghadapi tantangan serupa. Dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan perumahan yang terus meningkat, dibutuhkan pendekatan baru yang tidak hanya efisien secara teknis dan ekonomis, tetapi juga ramah lingkungan. Paper karya Mohammad Imran dari STITEK Bina Taruna Gorontalo hadir sebagai refleksi penting atas persoalan ini. Lewat tulisan berjudul "Teknologi Tepat Guna, Alternatif Material Konstruksi Hijau", Imran menyodorkan solusi konkret yang bisa diterapkan secara luas, terutama melalui pemanfaatan teknologi tepat guna dan material bangunan alternatif yang lebih lestari.

 

Teknologi Tepat Guna: Solusi Kontekstual untuk Pembangunan Inklusif

 

Salah satu konsep kunci yang diangkat dalam paper ini adalah teknologi tepat guna. Bukan teknologi tinggi (hi-tech), melainkan inovasi yang relevan, sederhana, ekonomis, dan kontekstual—cocok dengan kemampuan masyarakat lokal. Karakteristiknya meliputi:

Hemat energi dan sumber daya

Mudah dirawat dan diproduksi secara lokal

Minim polusi

Mampu menyerap tenaga kerja lokal (padat karya)

 

Teknologi tepat guna bukanlah solusi murahan, tetapi justru solusi bijak. Misalnya, dalam pembangunan rumah sederhana di daerah rural, pemanfaatan bahan lokal seperti bambu, batu bata ringan, atau panel EPS bukan hanya menekan biaya, tetapi juga mempercepat proses konstruksi dan mengurangi jejak karbon.

 

Material Alternatif: Bukan Sekadar Pengganti, Tapi Solusi Masa Depan

 

Dalam papernya, Imran mengidentifikasi sejumlah material alternatif yang terbukti ramah lingkungan dan mulai banyak diterapkan:

1. Baja Ringan

Digunakan sebagai pengganti kayu dalam struktur atap dan bangunan. Keunggulannya:

Tahan rayap, lentur, ringan, dan tidak korosif

Bisa didesain presisi sesuai kalkulasi arsitektur

Mengurangi illegal logging

 

2. Aluminium

Sering digunakan untuk kusen jendela dan pintu. Keunggulan:

Tahan lama, bebas perawatan, tidak beracun

Dapat didaur ulang dan insulatif terhadap panas dan suara

 

3. Batu Bata Ringan & Batu Bata Alami

Efisien dalam menyerap panas, tahan tekanan, dan memiliki insulasi suara yang baik. Ini penting dalam mengurangi kebutuhan pendingin ruangan (A/C), yang menurut data, menyumbang hingga 40% konsumsi listrik di rumah tangga Indonesia.

 

4. Expanded Polystyrene System (EPS)

EPS sebagai panel bangunan menawarkan keunggulan sebagai insulator termal dan akustik, serta mendukung efisiensi energi. Meski umumnya dikenal sebagai limbah, dalam bentuk panel konstruksi EPS menjadi teknologi yang tepat guna dan sangat ramah lingkungan jika digunakan dengan sistem closed loop recycling, seperti di Jepang yang mendaur ulang 90% EPS.

 

 

Studi Kasus: Efisiensi Energi Lewat Panel EPS

 

Dalam portofolio proyek EPS panel yang telah dilaksanakan di Indonesia (lebih dari 50 proyek), tercatat penghematan emisi karbon hingga 10 kiloton per tahun. Ini dimungkinkan karena:

Konsumsi A/C berkurang signifikan (hingga 30%)

EPS memiliki sifat fire retardant, aman, tidak beracun

Proses produksinya minim limbah

 

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa penghematan energi selama siklus hidup bangunan (hingga 95%) lebih besar dibanding konsumsi saat pembangunan (hanya 5–13%).

 

Konstruksi Hijau: Transformasi Sistemik Bukan Sekadar Estetika

 

Konsep green construction yang diuraikan penulis menekankan pada pembangunan berkelanjutan yang menyeluruh, dari tahap desain hingga operasional. Beberapa prinsip pentingnya:

Penggunaan material daur ulang dan dapat diperbaharui

Pengelolaan limbah konstruksi

Pengendalian dampak lingkungan (udara, tanah, air, suara)

Efisiensi energi dan air

Penggunaan pencahayaan alami dan ventilasi silang

 

 

Kritik: Tantangan Implementasi di Lapangan

 

Walau secara konsep sangat kuat, penerapan konstruksi hijau di Indonesia masih terbentur oleh:

Rendahnya literasi teknis masyarakat dan pelaku konstruksi

Biaya awal (upfront cost) yang tampak lebih tinggi, meskipun biaya operasional jangka panjang jauh lebih rendah

Kurangnya kebijakan insentif dari pemerintah untuk pembangunan ramah lingkungan

 

 

Inovasi Tahan Gempa: Seismic Bearing sebagai Teknologi Adaptif

 

Indonesia sebagai negara rawan gempa membutuhkan konstruksi yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga tangguh. Dalam paper ini, Imran menyoroti teknologi seismic bearing yang menggunakan bantalan karet alam dan lempeng baja.

 

Keunggulan:

Mampu menyerap hingga 70% energi gempa

Menghindari keruntuhan struktural fatal

Murah dan berbahan lokal

Cocok untuk daerah rawan bencana seperti NTT, Maluku, atau Sumatra Barat

 

 

Studi dari bangunan di Jepang dan Taiwan membuktikan bahwa base isolation system ini mampu menyelamatkan banyak bangunan dari kerusakan parah selama gempa besar.

 

Efek Nyata: Kontribusi terhadap Perubahan Iklim dan Kesejahteraan Sosial

 

Dampak konstruksi hijau dengan penerapan teknologi tepat guna bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada:

Pengurangan emisi gas rumah kaca

Penurunan biaya hidup masyarakat (biaya listrik, pemeliharaan)

Penyediaan lapangan kerja lokal

Pemberdayaan ekonomi melalui penggunaan bahan baku lokal

 

Dalam konteks global, pendekatan ini sangat sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama poin 11 (kota dan pemukiman yang berkelanjutan) dan poin 13 (penanganan perubahan iklim).

 

Opini & Perbandingan: Bagaimana Kita Berjalan Dibanding Negara Lain?

 

Negara seperti Jerman dan Belanda telah menerapkan sistem sertifikasi bangunan hijau seperti DGNB dan BREEAM. Di Indonesia, kita memiliki Greenship dari Green Building Council Indonesia, namun belum diterapkan secara luas. Paper ini dapat menjadi landasan penting untuk mendorong penerapan lebih luas melalui:

 

Insentif fiskal bagi pengembang yang menggunakan teknologi hijau

 

Integrasi konsep green building ke dalam kurikulum SMK dan Perguruan Tinggi

 

Kolaborasi industri – akademik – pemerintah untuk pengembangan riset dan prototipe

 

 

Kesimpulan: Waktunya Bertransformasi, Bukan Sekadar Beradaptasi

 

Paper ini menyajikan gambaran yang sangat komprehensif tentang bagaimana teknologi tepat guna dan material alternatif dapat menjadi pilar penting dalam revolusi konstruksi hijau di Indonesia. Lewat pendekatan yang kontekstual, murah, dan relevan secara sosial, kita bisa membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, tanpa harus mengorbankan kualitas maupun estetika.

 

Konstruksi hijau bukan sekadar estetika hijau, melainkan sistem hidup baru yang lebih hemat energi, lebih adil bagi semua kalangan, dan lebih peduli terhadap generasi masa depan.

 

 

Sumber:

Imran, M. (2022). Teknologi Tepat Guna, Alternatif Material Konstruksi Hijau. RADIAL - Jurnal Peradaban Sains, Rekayasa, dan Teknologi. STITEK Bina Taruna Gorontalo. [Diakses dari PDF pribadi]