Konstruksi & Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Insiden seperti terpeleset (slips), tersandung (trips), dan terjatuh (falls) merupakan penyebab kecelakaan kerja yang sering dianggap “remaja” dibanding kecelakaan besar, tetapi dampaknya signifikan — mulai dari cedera ringan hingga cedera berat, penurunan produktivitas, hingga beban biaya besar bagi perusahaan dan negara.
Dalam konteks konstruksi dan industri Indonesia — seperti proyek gedung bertingkat, pabrik, atau area publik yang sedang dibangun risiko tersebut sangat nyata. Sebagian besar slips & trips terjadi akibat kondisi lantai licin, barang/rintangan berserakan, pencahayaan buruk, atau perubahan level permukaan yang tidak terlihat.
Temuan ini penting untuk kebijakan karena:
Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia selama ini lebih banyak berfokus pada kecelakaan besar atau kerja di ketinggian, padahal insiden seperti slips/trips/falls justru berfrekuensi tinggi dan memiliki dampak akumulatif signifikan.
Diperlukan kebijakan K3 yang memperkuat aspek preventif, seperti kondisi lantai, kelembapan, penataan jalur kerja, pencahayaan, pelatihan kesadaran bahaya, serta pengawasan rutin — bukan hanya persyaratan APD atau audit formal.
Pendekatan global menunjukkan bahwa negara yang berhasil menurunkan angka jatuh di tempat kerja menerapkan sistem pelaporan, analisis akar penyebab, dan desain lingkungan kerja yang lebih aman. Indonesia bisa mengambil pelajaran dengan memasukkan metrik untuk slips/trips/falls ke dalam regulasi SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) nasional.
Sebagai contoh lokal, artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO” di Diklatkerja.com menyoroti bagaimana risiko terpeleset dan tersandung sering kali diabaikan padahal merupakan pemicu awal dari banyak cedera di proyek.
Selain itu, “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?” menekankan pentingnya reformasi sistem pengawasan di proyek-proyek publik agar tidak hanya berorientasi pada dokumentasi, tetapi pada praktik nyata di lapangan.
Dengan demikian, kebijakan publik perlu memperluas kerangka regulasi: mencakup kondisi fisik lokasi kerja (permukaan lantai, pencahayaan, jalur aman), pelatihan dan budaya kerja (kesadaran risiko kecil), serta sistem pengawasan dan pelaporan yang menyertakan jenis insiden ini agar intervensi dapat lebih tepat sasaran.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif bila ditangani:
Proyek yang rutin melakukan inspeksi jalur kerja, pemeliharaan lantai, dan pelatihan kesadaran hazard mengalami penurunan insiden slips/trips/falls hingga 30%.
Berkurangnya absensi atau cuti medis akibat cedera ringan meningkatkan produktivitas dan reputasi proyek.
Terbentuk budaya kerja “jalur aman” (clear walkway) yang meningkatkan kepuasan pekerja dan menurunkan kecemasan terhadap keselamatan.
Hambatan yang sering muncul:
Area proyek sering berubah layout, sehingga rambu, pencahayaan, dan jalur aman sulit diperbarui tepat waktu.
Banyak subkontraktor menganggap pelatihan hazard kecil sebagai “biaya tambahan”.
Kurangnya data atau indikator spesifik untuk slips/trips/falls membuat pengawasan tidak fokus pada jenis insiden ini.
Peluang:
Penerapan sistem digital pelaporan near-miss slips/trips untuk mendeteksi dan mencegah insiden besar sebelum terjadi.
Kolaborasi dengan lembaga yang menyediakan pelatihan terkait risiko mikro dan budaya keselamatan kerja.
Penggunaan checklist harian keselamatan untuk menilai kondisi jalur kerja, tangga, dan kabel sebelum kegiatan proyek dimulai.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Wajibkan sistem pelaporan internal untuk slips, trips & falls di setiap proyek besar dan laporan tahunan ke instansi K3 nasional.
Audit jalur kerja dan kondisi lantai dilakukan minimal setiap tiga bulan untuk memastikan area aman dari licin, rintangan, dan bahaya jatuh.
Pelatihan hazard kecil bagi pekerja baru dan supervisor, termasuk simulasi kondisi licin dan rintangan, serta briefing rutin.
Tata ulang jalur aman (clear walkways), kabel tertata, dan rambu hazard permanen sebagai syarat kontrak proyek publik.
Berikan insentif bagi proyek dengan nol insiden slips/trips/falls, seperti pengurangan premi BPJS Ketenagakerjaan atau penghargaan nasional Safe Work Path Award.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan K3 dapat gagal jika hanya menitikberatkan pada kecelakaan besar dan mengabaikan insiden kecil yang justru lebih sering terjadi. Tanpa pencatatan insiden ringan dan near-miss, pola risiko tidak akan terlihat jelas. Selain itu, budaya kerja yang masih mengutamakan kecepatan dan target fisik di atas keselamatan “langkah per langkah” menyebabkan risiko terus berulang.Kebijakan juga rawan stagnan jika tidak dilengkapi pengukuran hasil seperti tren penurunan insiden dan tindak lanjut terhadap temuan audit. Sebagaimana ditegaskan dalam artikel “Kenapa Penerapan Kebijakan Keselamatan di Proyek Konstruksi Masih Lemah?”, keberhasilan manajemen K3 bukan hanya soal dokumen, tapi soal perubahan perilaku dan kepemimpinan di lapangan.
Penutup
Insiden slips, trips, dan falls mungkin terlihat sepele dibanding kecelakaan besar, tetapi sering menjadi pintu masuk bagi cedera serius, penurunan produktivitas, dan kerugian ekonomi.
Menjadikan pencegahan insiden ini bagian dari kebijakan K3 nasional berarti membangun ekosistem kerja yang tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga berbudaya aman.
Melalui sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pelatihan, Indonesia dapat memperkuat budaya keselamatan yang proaktif dan berkelanjutan di setiap proyek konstruksi dan industri.
Sumber Artikel
Muhammad Ezam Nurdin (2022). Safety in Construction Management (Thesis)