Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025
Prolog: Tambang Emas di Lokasi Proyek Sebelah Rumah
Beberapa bulan lalu, sebuah gedung tua di seberang jalan komplek saya dirobohkan. Setiap pagi, saya mendengar deru mesin ekskavator dan dentuman baja yang membentur beton. Pemandangannya, jujur saja, terasa brutal. Balok-balok baja raksasa yang bengkok dan berkarat ditumpuk seperti tulang belulang dinosaurus, menunggu diangkut truk entah ke mana. Pikiran saya sederhana: "Sayang sekali, semua itu jadi sampah." Puing-puing itu adalah simbol akhir dari sebuah siklus hidup, sebuah proses destruktif yang bising dan berdebu.
Itulah yang saya pikirkan, sampai saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian berjudul “Reuse of Steel in the Construction Industry: Challenges and Opportunities”.1 Awalnya saya skeptis. Apa yang bisa menarik dari dokumen akademis tentang baja bekas? Tapi rasa penasaran mengalahkan keraguan. Halaman demi halaman, paper itu seperti memberikan saya kacamata baru. Pemandangan di seberang jalan itu—yang tadinya saya lihat sebagai kuburan material—berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang penuh harapan.
Paper ini bukan sekadar tulisan teknis. Ia adalah sebuah kunci yang membuka cara pandang baru. Ia membisikkan sebuah rahasia besar yang tersembunyi di balik puing-puing bangunan: tumpukan baja itu bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan awal dari cerita yang baru. Itu bukan sampah; itu adalah tambang emas urban yang menunggu untuk digali.
Angka-Angka yang Mengguncang: Kenapa Daur Ulang Saja Tidak Cukup
Mari kita jujur, sebagian besar dari kita merasa sudah cukup "hijau" dengan membuang sampah pada tempatnya dan mendukung daur ulang. Saya pun begitu. Tapi paper ini menampar saya dengan kenyataan yang lebih besar. Sektor konstruksi adalah salah satu monster emisi terbesar di planet ini. Bayangkan, industri ini menyumbang 37% emisi gas rumah kaca (GRK) global dan 36% dari total penggunaan energi.1 Artinya, dari setiap tiga gedung yang kita lihat, satu di antaranya adalah kontributor utama masalah iklim kita.
Yang lebih mengejutkan, sekitar 70% dari jejak karbon sebuah gedung baru—dikenal sebagai embodied carbon—dilepaskan di muka, bahkan sebelum gedung itu ditempati. Emisi ini berasal dari proses produksi material dan konstruksi itu sendiri.1 Ini seperti menghabiskan sebagian besar bahan bakar mobil hanya untuk keluar dari garasi.
Di sinilah letak miskonsepsi terbesar kita: daur ulang (recycling) vs. penggunaan kembali (reuse). Selama ini, kita menganggap daur ulang baja sudah merupakan solusi pamungkas. Tapi para peneliti dalam paper ini menunjukkan perbedaan fundamentalnya.
Saya coba jelaskan dengan analogi. Bayangkan Anda punya kalung emas dengan liontin berlian yang modelnya sudah ketinggalan zaman.
Daur Ulang itu seperti melebur seluruh kalung emas dan berlian itu di suhu tinggi, lalu mencetaknya menjadi cincin baru. Proses ini butuh energi yang sangat besar, dan mungkin kualitas emasnya sedikit menurun.
Penggunaan Kembali itu seperti melepas liontin berlian dari kalung lama dan memasangnya di cincin baru. Nilai inti (berliannya) tetap terjaga, dan energi yang dibutuhkan jauh lebih sedikit.
Baja struktural itu seperti berlian dalam analogi ini. Meleburnya kembali (daur ulang) memang lebih baik daripada menambang bijih besi baru, tapi tetap saja boros energi. Menggunakannya kembali secara langsung (reuse) adalah langkah paling cerdas dan ramah lingkungan.
Paper ini menyajikan data yang membuat saya terdiam sejenak:
🚀 Hasilnya luar biasa: Merancang struktur dengan elemen baja bekas dapat mengurangi dampak lingkungan hingga 63% dibandingkan dengan solusi yang menggunakan baja baru, bahkan yang sudah dioptimalkan bobotnya.1
🧠 Inovasinya: Emisi karbon dari baja bekas (reused steel) hanya sekitar 50 $kgCO_{2}e/t$. Bandingkan dengan baja primer dari proses tanur sembur (BF-BOF) yang bisa mencapai 2.500 $kgCO_{2}e/t$. Ini adalah penurunan emisi hingga 95%.1 Bahkan baja daur ulang pun emisinya masih jauh lebih tinggi.
💡 Pelajaran: Kita terlalu lama terjebak dalam pola pikir daur ulang. Padahal, penggunaan kembali adalah cara paling efektif untuk mempertahankan nilai material dan energi yang sudah tertanam di dalamnya.
Masalahnya, permintaan global akan baja tiga kali lebih besar dari ketersediaan baja bekas (scrap).1 Artinya, daur ulang saja tidak akan pernah cukup. Kita akan selalu butuh memproduksi baja primer yang boros energi. Satu-satunya cara memutus siklus ini adalah dengan mengurangi permintaan baja primer secara drastis, yaitu dengan menjaga baja yang sudah ada tetap beredar selama mungkin melalui penggunaan kembali.
Menghadapi Lima Raksasa: Rintangan di Jalan Menuju Ekonomi Sirkular
Jika penggunaan kembali baja begitu hebat, mengapa praktik ini tidak menjadi standar industri? Paper ini mengidentifikasi lima tantangan besar, yang saya bayangkan sebagai lima raksasa yang menghadang jalan kita menuju ekonomi sirkular sejati di dunia konstruksi.1
Rintangan #1: Seni Membongkar, Bukan Menghancurkan (Ketersediaan Material)
Raksasa pertama adalah kebiasaan. Industri demolisi modern telah berinvestasi besar-besaran pada peralatan dan metode untuk menghancurkan bangunan secepat mungkin. Kecepatan adalah uang. Sebaliknya, proses dekonstruksi—membongkar bangunan secara hati-hati untuk menyelamatkan material—jauh lebih lambat dan mahal.1 Tanpa insentif yang kuat, kontraktor demolisi tidak punya alasan untuk mengubah cara kerja mereka yang sudah efisien dan menguntungkan.
Rintangan #2: Peta Tanpa Legenda (Kurangnya Aturan dan Standar Desain)
Bayangkan Anda seorang insinyur yang diminta membangun jembatan menggunakan kayu dari sebuah kapal tua. Pertanyaan pertama Anda pasti: "Seberapa kuat kayu ini? Apa riwayatnya? Adakah standar yang menjamin keamanannya?" Ketidakpastian inilah raksasa kedua. Saat ini, belum ada standar universal yang harmonis untuk penggunaan kembali baja struktural. Meskipun sudah ada panduan seperti P427 di Inggris atau upaya standardisasi di tingkat Uni Eropa, para desainer dan arsitek masih ragu karena risiko dan ambiguitas hukum.1 Tanpa "peta" dan "legenda" yang jelas, mereka lebih memilih jalur aman dengan material baru yang bersertifikat.
Rintangan #3: Biaya Tersembunyi dan Jejak Karbon yang Terlupakan (Biaya Awal & Karbon Demolisi)
Saat ini, jejak karbon dari proses demolisi sebuah gedung tua dianggap sebagai bagian dari akhir siklus hidup gedung tersebut (Modul C). Gedung baru yang dibangun di atasnya memulai perhitungan karbonnya dari nol, seolah-olah lahannya bersih secara "karbon".1 Paper ini menyoroti proposal brilian dari RICS (Royal Institution of Chartered Surveyors) untuk memperkenalkan "Modul A5.1: Demolisi Pra-Konstruksi". Aturan ini akan memaksa proyek baru untuk "mewarisi" jejak karbon dari proses demolisi di lokasinya. Tiba-tiba, ada insentif finansial yang sangat kuat untuk menggunakan kembali material dari gedung lama demi mengimbangi "dosa warisan" karbon tersebut.
Rintangan #4 & #5: Sebuah Orkestra yang Butuh Dirigen (Memaksimalkan Material & Koordinasi Ekosistem)
Dua raksasa terakhir ini saling berkaitan. Agar dekonstruksi menjadi layak secara ekonomi, kita tidak bisa hanya menyelamatkan bajanya. Komponen lain seperti panel fasad, pelat lantai, dan lainnya juga harus diselamatkan untuk dijual kembali.1 Hal ini membutuhkan koordinasi yang luar biasa dari seluruh ekosistem konstruksi: pemilik gedung, arsitek, insinyur, kontraktor demolisi, pabrikator, hingga regulator. Saat ini, mereka semua bekerja dalam silo masing-masing, seperti sebuah orkestra tanpa dirigen.1
Kelima rintangan ini menciptakan lingkaran setan: tidak ada standar, jadi permintaan rendah. Permintaan rendah, jadi tidak ada insentif untuk dekonstruksi. Tanpa dekonstruksi, biaya tetap tinggi dan pasokan tidak menentu. Tanpa pasokan, tidak ada yang mau membuat standar. Dan seterusnya. Memecahkan lingkaran inilah tantangan sebenarnya.
Bukti dari Lapangan: Kisah Sukses yang Menginspirasi
Bagian paling menarik dari paper ini adalah ketika teori bertemu dengan praktik. Para penulis menyajikan beberapa studi kasus nyata yang membuktikan bahwa penggunaan kembali baja bukan hanya mimpi, tapi kenyataan yang menguntungkan.
Contoh lain yang menginspirasi adalah Sloane Square House, sebuah proyek renovasi kantor yang berhasil menggunakan 100% baja bekas untuk penambahan lantai baru. Kuncinya? Penggunaan perangkat lunak digital internal yang mampu mencocokkan stok baja bekas yang tersedia dengan kebutuhan desain secara real-time.
Ada juga proyek skala industri seperti Port of Dundee East Redevelopment, di mana pipa gas berlebih (surplus) dialihfungsikan menjadi tiang pancang untuk dermaga. Proyek ini berhasil menghemat 2.185 ton emisi karbon.
Studi kasus ini mengungkapkan sebuah benang merah: data adalah segalanya. Baik itu berupa gambar teknis lama, protokol pengujian yang ketat, maupun perangkat lunak canggih, informasi yang andal adalah yang mengubah sebatang baja bekas dari "sampah" menjadi "aset berharga".
Masa Depan Konstruksi: Saat AI Bertemu Palu Godam
Lalu, bagaimana kita bisa memecahkan lingkaran setan tantangan tadi dalam skala besar? Paper ini menawarkan visi masa depan di mana teknologi tinggi bertemu dengan industri berat.
Bayangkan drone terbang di atas lokasi demolisi, kameranya memindai setiap balok baja. Dalam hitungan menit, sebuah sistem kecerdasan buatan (AI) menganalisis gambar-gambar tersebut, secara otomatis mendeteksi korosi, kerusakan, atau jenis sambungan. Ini bukan fiksi ilmiah. Para peneliti telah mengembangkan model Convolutional Neural Network (CNN) yang dapat melakukan hal ini dengan akurasi 83% hingga 89%. Teknologi ini dapat secara drastis mengurangi biaya dan waktu inspeksi manual yang mahal.
Lebih jauh lagi, ada konsep Structural Digital Twin atau Kembaran Digital Struktural. Anggap saja ini seperti "rekam medis digital" untuk sebuah gedung. Sejak hari pertama dibangun, semua data tentang material, beban yang pernah dialami, dan kondisi lingkungan dicatat dalam sebuah model virtual. Ketika gedung itu akan dibongkar 60 tahun kemudian, kita tinggal membuka "rekam medis"-nya untuk mengetahui dengan pasti bagian mana saja yang "sehat" dan siap untuk digunakan kembali, tanpa perlu pengujian ekstensif.
Mewujudkan visi canggih ini, mulai dari dekonstruksi yang terencana hingga pemanfaatan teknologi AI, tentu saja bukan pekerjaan mudah. Ini membutuhkan pemimpin proyek yang tidak hanya paham teknis, tapi juga mampu mengorkestrasi ekosistem yang rumit dan mengelola risiko dengan cermat. Inilah mengapa keahlian dalam Manajemen Proyek Konstruksi menjadi sangat krusial, menggabungkan prinsip-prinsip efisiensi dengan wawasan pembangunan berkelanjutan yang visioner.
Catatan Pribadi: Antara Optimisme dan Realisme
Setelah selesai membaca paper ini, saya dipenuhi oleh optimisme yang berdasar. Ini bukan sekadar seruan "selamatkan bumi" yang abstrak. Paper ini menyajikan peta jalan yang konkret, didukung oleh data, studi kasus, dan solusi teknologi yang masuk akal. Ia menunjukkan bahwa perubahan menuju industri konstruksi yang lebih sirkular tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan.
Namun, saya juga ingin bersikap realistis. Ada satu kritik halus yang muncul di benak saya. Paper ini, dengan studi kasus dan standar yang dirujuk, sangat berfokus pada konteks Eropa, khususnya Inggris. Pertanyaannya, seberapa mudah solusi ini bisa diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia? Di sini, kita mungkin menghadapi tantangan yang berbeda terkait regulasi, rantai pasok yang belum matang untuk material bekas, dan tingkat adopsi teknologi digital yang bervariasi. Selain itu, meskipun AI terdengar menjanjikan, pengembangannya membutuhkan dataset gambar yang besar dan berkualitas untuk melatih modelnya—sebuah tantangan tersendiri di tahap awal.
Meskipun begitu, kritik ini tidak mengurangi nilai dari paper tersebut. Justru, ia menjadi pemicu untuk pertanyaan selanjutnya: bagaimana kita bisa mengadaptasi dan mengontekstualisasikan gagasan-gagasan brilian ini untuk kondisi lokal kita?
Epilog: Dari Puing Menjadi Fondasi Masa Depan
Sekarang, setiap kali saya melihat lokasi proyek di seberang jalan, pandangan saya sudah berubah total. Saya tidak lagi melihat tumpukan sampah atau mendengar suara kehancuran. Saya melihat sebuah tambang urban. Saya melihat balok-balok baja bukan sebagai rongsokan, tetapi sebagai fondasi untuk gedung berikutnya, jembatan berikutnya, atau gudang berikutnya.
Paper ini mengajarkan saya satu hal penting: salah satu tindakan iklim paling berdampak yang bisa dilakukan oleh industri konstruksi adalah dengan melihat kembali apa yang sudah kita miliki. Bukan dengan menciptakan material "hijau" baru yang canggih, tetapi dengan menghargai dan menggunakan kembali material tangguh yang sudah terbukti kekuatannya selama puluhan tahun.
Perubahan ini membutuhkan pergeseran paradigma dari semua pihak. Bagi para profesional di industri, ini adalah panggilan untuk berinovasi dan keluar dari zona nyaman. Bagi kita sebagai masyarakat, ini adalah ajakan untuk mengubah cara kita memandang "sampah" dan menuntut praktik pembangunan yang lebih bertanggung jawab.
Perjalanan menuju ekonomi sirkular memang masih panjang dan penuh tantangan. Tapi seperti yang ditunjukkan oleh paper ini, langkah pertama dimulai dengan sebuah kesadaran sederhana: bahwa di dalam setiap akhir, selalu ada awal yang baru.
Jika Anda tergelitik oleh gagasan ini dan ingin mendalami detail teknisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya.
Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Studi “Smart Building Design for Energy Efficiency and User Comfort” (Buildings, 2024) menyoroti pergeseran paradigma besar dalam dunia arsitektur modern: bangunan tidak lagi hanya menjadi struktur fisik, tetapi sistem cerdas yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan perilaku penghuninya.
Penelitian ini menemukan bahwa penerapan teknologi digital seperti sensor otomatis, IoT, dan sistem manajemen energi berbasis data dapat mengurangi konsumsi energi hingga 45%, sekaligus meningkatkan kenyamanan termal dan produktivitas penghuni.
Temuan ini sangat relevan bagi Indonesia, di mana sektor bangunan menyumbang hampir 36% konsumsi energi nasional. Kebijakan pemerintah tentang Bangunan Gedung Hijau (BGH) perlu diperluas ke arah smart building framework yang menekankan konektivitas, efisiensi, dan ketahanan iklim.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Panduan Solusi dan Teknologi Bangunan Pintar, efisiensi energi bukan sekadar aspek teknis, melainkan komponen vital dari pembangunan berkelanjutan. Smart building adalah bentuk evolusi dari konsep ini mengintegrasikan teknologi dengan kebijakan keberlanjutan untuk menciptakan ekosistem konstruksi yang tangguh dan adaptif.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Implementasi smart building di berbagai negara maju telah menunjukkan dampak signifikan. Di Uni Eropa dan Singapura, penerapan sistem otomatisasi HVAC (Heating, Ventilation, and Air Conditioning) dan sensor pencahayaan berhasil memangkas konsumsi listrik hingga 50%. Selain itu, penggunaan machine learning untuk memprediksi pola penggunaan energi membuat manajemen gedung lebih presisi dan efisien.
Namun, di Indonesia, penerapan teknologi serupa masih menghadapi sejumlah hambatan.
Hambatan utama meliputi:
Biaya investasi awal tinggi. Sensor pintar, sistem IoT, dan integrasi data masih dianggap mahal bagi pengembang kecil.
Kurangnya SDM bersertifikat. Banyak tenaga ahli konstruksi belum memiliki kompetensi dalam manajemen energi digital.
Regulasi belum adaptif. Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait efisiensi energi belum sepenuhnya mengakomodasi sistem berbasis digital.
Keterbatasan kesadaran pengguna. Banyak penghuni gedung belum memahami manfaat pengelolaan energi otomatis dan efisiensi perilaku penggunaan listrik.
Meski demikian, peluangnya sangat besar. Selain itu, dukungan internasional melalui skema green financing dan carbon credit trading juga memberi peluang bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam teknologi bangunan cerdas yang ramah energi.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Untuk mempercepat adopsi smart building di Indonesia, berikut rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan:
Integrasi Smart Building ke dalam Standar Nasional Bangunan
Pemerintah perlu memperluas Bangunan Gedung Hijau menjadi Bangunan Cerdas Hijau (Smart Green Building) dengan indikator digitalisasi dan efisiensi energi yang jelas.
Pengembangan SDM melalui Pelatihan Berbasis Teknologi
Pekerja konstruksi, arsitek, dan teknisi perlu dibekali pelatihan smart energy management dan analisis data bangunan.
Insentif Fiskal dan Skema Green Tax
Pemerintah dapat memberikan potongan pajak, subsidi teknologi, atau skema carbon reward bagi pengembang yang membangun gedung cerdas berstandar efisiensi tinggi.
Digital Monitoring System Nasional
Pengembangan platform Energy Management Information System (EMIS) berbasis cloud dapat memantau konsumsi energi seluruh gedung pemerintah secara nasional, seperti yang diterapkan di Korea Selatan.
Kolaborasi Lintas Sektor
Diperlukan kolaborasi antara Kementerian PUPR, PLN, dan sektor teknologi untuk mendorong sinergi dalam pengembangan ekosistem smart energy building di Indonesia.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meskipun visi smart building sangat menjanjikan, ada beberapa potensi kegagalan yang perlu diantisipasi:
Risiko kesenjangan teknologi. Gedung-gedung di kota besar akan lebih cepat mengadopsi teknologi digital dibanding daerah pedesaan, menciptakan ketimpangan pembangunan.
Kurangnya interoperabilitas sistem. Beragam vendor teknologi membuat sistem sensor dan manajemen energi tidak selalu kompatibel antar perangkat.
Minimnya evaluasi pasca implementasi. Banyak proyek smart building berhenti di tahap instalasi tanpa pemantauan kinerja berkelanjutan.
Ancaman keamanan data (cyber risk). Sistem bangunan yang terkoneksi internet rentan terhadap serangan siber jika tidak dilindungi dengan baik.
Penutup
Penelitian “Smart Building Design for Energy Efficiency and User Comfort” memberikan pelajaran penting bahwa masa depan konstruksi bukan hanya soal estetika atau kecepatan pembangunan, tetapi tentang inteligensi dan keberlanjutan.
Dengan integrasi teknologi digital, kebijakan efisiensi energi, serta peningkatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pionir smart tropical architecture di Asia Tenggara.
Bangunan cerdas bukan hanya efisien dalam energi, tetapi juga tangguh terhadap perubahan iklim, nyaman bagi penghuninya, dan menjadi simbol kemajuan peradaban yang selaras dengan alam.
Sumber
Buildings Journal (2024). Smart Building Design for Energy Efficiency and User Comfort.
Kementerian PUPR (2023). Panduan Bangunan Gedung Hijau (BGH).
Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Krisis Lingkungan dan Desakan akan Konstruksi Berkelanjutan
Industri konstruksi global menyumbang sekitar 38% emisi gas rumah kaca dan mengonsumsi lebih dari 30% sumber daya alam dunia. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, menghadapi tekanan untuk mengadopsi praktik konstruksi berkelanjutan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adopsi konsep ini masih minim. Studi oleh Fitriani dan Ajayi (2022) mengangkat permasalahan ini secara sistematis dan empiris, menggali hambatan-hambatan utama yang menghambat praktik keberlanjutan di industri konstruksi Indonesia.
Metodologi: Analisis Statistik Berbasis Kuesioner
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebar kuesioner ke 1.000 profesional konstruksi, menghasilkan 487 respons valid. Data dianalisis dengan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengidentifikasi faktor-faktor laten yang menghambat implementasi keberlanjutan.
Hasil: Delapan Faktor Penghambat Utama
Dari analisis statistik, ditemukan delapan kelompok hambatan utama:
1. Kurangnya Pengetahuan dan Standar: Variabel ini menyumbang 17,5% dari total variasi. Kekosongan informasi dan ketidaktersediaan panduan teknis menjadi hambatan terbesar.
2. Desain yang Buruk: Kurangnya tim desain yang kompeten dan rendahnya pemahaman terhadap dampak lingkungan dari desain bangunan.
3. Keterbatasan Finansial: Ketakutan terhadap biaya awal yang tinggi dan kurangnya insentif dari lembaga keuangan.
4. Kelemahan dalam Manajemen Proyek: Struktur organisasi yang lemah dan kurangnya kompetensi manajerial.
5. Kepemimpinan Proyek yang Minim: Tidak adanya tokoh penggerak dalam organisasi untuk mendorong agenda keberlanjutan.
6. Minimnya Kemauan Politik: Dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah masih sangat terbatas.
7. Kendala Ekonomi: Persepsi bahwa bangunan berkelanjutan lebih mahal tanpa pertimbangan jangka panjang.
8. Tantangan Dokumentasi: Prosedur dokumentasi dan perencanaan pra-kontrak yang dianggap membebani.
Studi Kasus dan Data Pendukung
Sebagai contoh, 90% bangunan eksisting di Jakarta belum memenuhi regulasi bangunan hijau karena dibangun sebelum penerapan standar hijau (GBCI, 2019). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya integrasi regulasi sejak tahap awal proyek.
Analisis Tambahan: Dibandingkan Negara Lain
Jika dibandingkan dengan Nigeria, Vietnam, dan Malaysia, hambatan yang dihadapi Indonesia sangat mirip, terutama dalam aspek kurangnya pelatihan dan biaya investasi tinggi. Namun, Indonesia memiliki karakter unik dalam hal lemahnya kemauan politik dan rendahnya sinergi antar pemangku kepentingan.
Rekomendasi Strategis
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, studi ini merekomendasikan:
1. Peningkatan Literasi Keberlanjutan
2. Reformasi Desain dan Perencanaan Proyek
3. Insentif Finansial dan Subsidi Hijau
4. Penguatan Regulasi dan Komitmen Politik
5. Peran Aktif Pemimpin Proyek dan Kolaborasi Multi-Stakeholder
Dampak Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?
Kesimpulan: Dari Hambatan ke Peluang
Studi ini bukan hanya memetakan masalah, tetapi juga membuka peluang transformasi. Jika pemerintah, industri, dan akademisi bisa bersinergi, maka konstruksi berkelanjutan di Indonesia bukan sekadar idealisme, melainkan keniscayaan.
Penelitian ini dapat diakses di Journal of Environmental Planning and Management melalui DOI berikut: https://doi.org/10.1080/09640568.2022.2057281
Konstruksi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor yang paling rakus dalam mengonsumsi sumber daya alam, sekaligus kontributor utama terhadap degradasi lingkungan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, paper berjudul Evaluation of Sustainable Construction Sites: A Lean, Green and Well-being Integrated Approach oleh Iuri Aragão de Vasconcelos, Luis Felipe Cândido, dan Luiz Fernando Mählmann Heineck menyajikan model evaluasi inovatif untuk mengukur keberlanjutan proyek konstruksi dari tiga dimensi penting: efisiensi proses (Lean), ramah lingkungan (Green), dan kesejahteraan sosial (Well-being).
Penelitian ini dilakukan dengan metodologi Design Science dan diterapkan pada tiga proyek konstruksi di Fortaleza, Brasil. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan cara untuk mengukur keberlanjutan, tetapi juga memberikan alat diagnostik untuk meningkatkan kinerja proyek secara menyeluruh.
Tiga Pilar Evaluasi Keberlanjutan
Model ini mengintegrasikan tiga pendekatan manajemen yang sering berjalan sendiri-sendiri dalam praktik konstruksi:
1. Lean Construction: Fokus pada efisiensi proses dan pengurangan pemborosan.
2. Green Building: Menitikberatkan pada pengelolaan dampak lingkungan.
3. Well-being: Menyoroti aspek kesejahteraan tenaga kerja dan komunitas sekitar.
Ketiganya diikat oleh konsep triple bottom line—ekonomi, lingkungan, dan sosial—yang menjadi standar emas dalam pengukuran keberlanjutan.
Desain Model dan Instrumen Evaluasi
Matriks A x I (Aspek x Dampak)
Matriks ini menjadi alat utama dalam evaluasi. Sebanyak 34 kelompok aksi manajerial dari kategori sumber daya, polusi, limbah, infrastruktur, dan isu sosial, dipetakan terhadap dampak yang mungkin terjadi di 29 dimensi, termasuk kualitas udara, fauna lokal, keselamatan publik, hingga kemacetan lalu lintas. Matriks ini bersifat fleksibel dan memungkinkan penyesuaian sesuai konteks proyek.
Checklist 108 Praktik Terbaik
Praktik ini diklasifikasikan sebagai:
Masing-masing diberi skor dampak: Basic (1), Intermediate (2), dan Superior (3), tergantung kontribusinya terhadap keberlanjutan.
Studi Kasus: Tiga Lokasi Proyek
Situs A: Proyek Apartemen 11 Lantai
1. Ukuran: 88 unit, luas 2.677,40 m2
2. Masalah utama: Pembuangan air tanah ke jalan publik
3. Skor Umum: Rencana 75, Capaian 79
4. Praktik Unggulan Sistem Kanban untuk aliran kerja
Situs B: Kompleks 5 Menara (208 Unit)
1. Ukuran: Luas 17.361,95 m2
2. Masalah utama: Ancaman terhadap flora dan fauna lokal
3. Skor Umum: Rencana 65, Capaian 64
4. Praktik Unggulan:
5. Produksi sel (cell production)
6. Pelatihan CAD untuk mandor akses masuk yang aman dan area trotoar terlindungi
Analisis Komparatif
1. Situs A unggul dalam infrastruktur dan well-being.
2. Situs B konsisten dengan rencana namun rendah dalam pengelolaan limbah konstruksi.
3. Situs C memiliki ambisi besar tetapi implementasi buruk.
Secara umum, polusi dan gangguan lingkungan menjadi fokus utama seluruh proyek. Namun, aspek sosial seperti well-being sering kali diabaikan atau hanya dipenuhi dalam batas minimum.
Kekuatan Model
1. Fleksibilitas: Tidak semua proyek wajib memenuhi seluruh kriteria; evaluasi berdasarkan komitmen internal.
2. Adaptif: Dapat dibandingkan antar proyek dan tahapan dalam satu proyek.
3. Partisipatif: Mengajak tim manajemen proyek untuk menetapkan sendiri tolok ukur keberlanjutan mereka.
Rekomendasi dan Refleksi
1. Skalabilitas: Model ini sangat cocok untuk dikembangkan di negara berkembang seperti Indonesia, di mana praktik keberlanjutan masih berkembang.
2. Perluasan Komponen Sosial: Jumlah praktik well-being perlu ditingkatkan agar tidak hanya sekadar pelengkap.
3. Integrasi Legal dan Praktis: Perlu penyelarasan antara kepatuhan hukum dan motivasi intrinsik perusahaan untuk keberlanjutan.
Kesimpulan
Paper ini menghadirkan kerangka evaluasi yang komprehensif, adaptif, dan praktis untuk mendorong keberlanjutan di lokasi konstruksi. Dengan menyatukan prinsip Lean, Green, dan Well-being, model ini mampu menjadi alat bantu pengambilan keputusan yang kuat sekaligus pendorong budaya manajemen konstruksi yang bertanggung jawab.
Sumber Artikel
Vasconcelos, I. A., Cândido, L. F., & Heineck, L. F. M. (2020). Evaluation of sustainable construction sites: a lean, green and well-being integrated approach. Gestão & Produção, 27(3), e4552.