Menembus Hambatan Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia: Kajian Mendalam terhadap Faktor Penghambat

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

27 Mei 2025, 13.19

Freepik.com

Pendahuluan: Krisis Lingkungan dan Desakan akan Konstruksi Berkelanjutan

 

Industri konstruksi global menyumbang sekitar 38% emisi gas rumah kaca dan mengonsumsi lebih dari 30% sumber daya alam dunia. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, menghadapi tekanan untuk mengadopsi praktik konstruksi berkelanjutan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adopsi konsep ini masih minim. Studi oleh Fitriani dan Ajayi (2022) mengangkat permasalahan ini secara sistematis dan empiris, menggali hambatan-hambatan utama yang menghambat praktik keberlanjutan di industri konstruksi Indonesia.

 

Metodologi: Analisis Statistik Berbasis Kuesioner

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebar kuesioner ke 1.000 profesional konstruksi, menghasilkan 487 respons valid. Data dianalisis dengan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengidentifikasi faktor-faktor laten yang menghambat implementasi keberlanjutan.

 

Hasil: Delapan Faktor Penghambat Utama

 

Dari analisis statistik, ditemukan delapan kelompok hambatan utama:

 

1. Kurangnya Pengetahuan dan Standar: Variabel ini menyumbang 17,5% dari total variasi. Kekosongan informasi dan ketidaktersediaan panduan teknis menjadi hambatan terbesar.

2. Desain yang Buruk: Kurangnya tim desain yang kompeten dan rendahnya pemahaman terhadap dampak lingkungan dari desain bangunan.

3. Keterbatasan Finansial: Ketakutan terhadap biaya awal yang tinggi dan kurangnya insentif dari lembaga keuangan.

4. Kelemahan dalam Manajemen Proyek: Struktur organisasi yang lemah dan kurangnya kompetensi manajerial.

5. Kepemimpinan Proyek yang Minim: Tidak adanya tokoh penggerak dalam organisasi untuk mendorong agenda keberlanjutan.

6. Minimnya Kemauan Politik: Dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah masih sangat terbatas.

7. Kendala Ekonomi: Persepsi bahwa bangunan berkelanjutan lebih mahal tanpa pertimbangan jangka panjang.

8. Tantangan Dokumentasi: Prosedur dokumentasi dan perencanaan pra-kontrak yang dianggap membebani.

 

Studi Kasus dan Data Pendukung

 

Sebagai contoh, 90% bangunan eksisting di Jakarta belum memenuhi regulasi bangunan hijau karena dibangun sebelum penerapan standar hijau (GBCI, 2019). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya integrasi regulasi sejak tahap awal proyek.

 

Analisis Tambahan: Dibandingkan Negara Lain

 

Jika dibandingkan dengan Nigeria, Vietnam, dan Malaysia, hambatan yang dihadapi Indonesia sangat mirip, terutama dalam aspek kurangnya pelatihan dan biaya investasi tinggi. Namun, Indonesia memiliki karakter unik dalam hal lemahnya kemauan politik dan rendahnya sinergi antar pemangku kepentingan.

 

Rekomendasi Strategis

 

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, studi ini merekomendasikan:

 

1. Peningkatan Literasi Keberlanjutan

 

  • Integrasi kurikulum keberlanjutan di universitas teknik.
  • Pelatihan berkelanjutan bagi profesional melalui sertifikasi GBCI dan pelatihan BIM.

 

2. Reformasi Desain dan Perencanaan Proyek

 

  • Adopsi desain ramah lingkungan sejak tahap awal (mengikuti prinsip MacLeamy Curve).
  • Pemanfaatan teknologi BIM untuk efisiensi dokumentasi.

 

3. Insentif Finansial dan Subsidi Hijau

 

  • Pemerintah memberikan keringanan pajak atau pinjaman berbunga rendah untuk proyek hijau.
  • Pengenalan carbon pricing dan insentif performa bangunan.

 

4. Penguatan Regulasi dan Komitmen Politik

 

  • Penerapan nasional standar GREENSHIP dari GBCI.
  • Revisi Peraturan Menteri PUPR agar mengakomodasi keberlanjutan sebagai kriteria wajib tender.

 

5. Peran Aktif Pemimpin Proyek dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

 

  • Penunjukan sustainability champion dalam setiap proyek.
  • Keterlibatan sektor swasta, akademisi, dan LSM dalam perumusan kebijakan.

 

Dampak Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?

 

  • Kontraktor dapat mulai dari menerapkan ISO 14001 atau LEED.
  • Arsitek dapat mengadopsi prinsip desain pasif dan material daur ulang.
  • Pemerintah daerah dapat memulai dari proyek pilot untuk green building di fasilitas umum.

 

Kesimpulan: Dari Hambatan ke Peluang

 

Studi ini bukan hanya memetakan masalah, tetapi juga membuka peluang transformasi. Jika pemerintah, industri, dan akademisi bisa bersinergi, maka konstruksi berkelanjutan di Indonesia bukan sekadar idealisme, melainkan keniscayaan.

 

Penelitian ini dapat diakses di Journal of Environmental Planning and Management melalui DOI berikut: https://doi.org/10.1080/09640568.2022.2057281