Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Penelitian Özge Akboğa Kale (2021) yang berjudul “Characteristic Analysis and Prevention Strategy of Trench Collapse Accidents in the U.S., 1995–2020” memberikan kontribusi penting dalam memahami akar penyebab dan pola kecelakaan galian (trench collapse) di industri konstruksi. Studi ini menganalisis data kecelakaan selama 25 tahun terakhir, menunjukkan bahwa sebagian besar korban merupakan pekerja lapangan berpengalaman yang bekerja tanpa perlindungan memadai seperti penyangga dinding galian, ventilasi, dan pengawasan keselamatan aktif.
Kecelakaan galian termasuk jenis kecelakaan yang paling mematikan di sektor konstruksi karena terjadi tiba-tiba dan sulit diselamatkan setelah runtuhan terjadi. Di Amerika Serikat, data Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kecelakaan galian terjadi akibat pelanggaran terhadap prosedur keselamatan dasar, seperti tidak menggunakan sistem penahan tanah atau menggali terlalu dalam tanpa kajian geoteknik.
Temuan ini menjadi alarm penting bagi pembuat kebijakan publik, termasuk di Indonesia, yang masih sering mengabaikan pengawasan terhadap pekerjaan galian di proyek infrastruktur besar. Kondisi serupa juga pernah dibahas oleh DiklatKerja dalam artikel Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk Mencegah Kegagalan Bangunan.
Penelitian Kale menegaskan bahwa kecelakaan bukan semata akibat kurangnya pengetahuan, melainkan lemahnya sistem pengawasan dan budaya keselamatan di tingkat manajemen proyek. Dengan demikian, kebijakan publik harus diarahkan untuk memperkuat standar K3 berbasis data empiris, termasuk pada pekerjaan berisiko tinggi seperti galian.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Implementasi kebijakan keselamatan galian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data dan audit lapangan rutin dapat menurunkan angka kecelakaan hingga 40% dalam satu dekade terakhir. Setiap proyek diwajibkan memiliki Competent Person—seseorang yang ditunjuk secara resmi dan bertanggung jawab mengidentifikasi bahaya galian dan memastikan kepatuhan terhadap standar OSHA Subpart P.
Namun, implementasi semacam ini masih menghadapi berbagai hambatan. Pertama, banyak kontraktor kecil yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk menyewa ahli geoteknik atau menyediakan alat pelindung tanah seperti trench box. Kedua, tekanan biaya dan waktu menyebabkan pekerja sering mengabaikan prosedur keselamatan demi mengejar target. Ketiga, data kecelakaan sering kali tidak dilaporkan dengan baik, sehingga penyusunan kebijakan berbasis bukti menjadi sulit.
Indonesia menghadapi tantangan serupa. Berdasarkan evaluasi dari Kementerian PUPR dan catatan DiklatKerja, sebagian besar proyek galian di dalam negeri belum mewajibkan shoring system atau trench shield, terutama untuk proyek non-strategis. Akibatnya, risiko runtuhan tanah tetap tinggi, terutama pada pekerjaan di area padat penduduk dengan kondisi tanah labil.
Meskipun demikian, peluang untuk memperbaiki sistem pengawasan sangat besar. Indonesia kini telah memiliki Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) dan program pelatihan digital seperti Pelatihan K3 untuk Pekerja Konstruksi yang diselenggarakan oleh LPJK dan berbagai lembaga seperti DiklatKerja. Digitalisasi pelaporan insiden, pelatihan daring, dan safety compliance audit berbasis data dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat sistem keselamatan nasional.
Relevansi untuk Indonesia
Konteks Indonesia memiliki kesamaan struktural dengan kasus di Amerika Serikat: banyak proyek dilakukan oleh subkontraktor dengan sistem pengawasan berlapis. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW), sekitar 30% proyek konstruksi di Indonesia melibatkan pekerjaan galian, baik untuk jaringan utilitas, fondasi, maupun drainase. Namun, regulasi spesifik yang mengatur keselamatan kerja galian belum tertulis secara eksplisit dalam standar nasional seperti Permen PUPR No. 10 Tahun 2021.
Hasil penelitian Kale menunjukkan bahwa kebijakan yang berhasil mencegah kecelakaan galian biasanya mengandung tiga elemen penting:
Kewajiban inspeksi pra-pekerjaan dan audit keselamatan harian.
Penerapan teknologi geoteknik sederhana seperti sensor tekanan tanah atau kemiringan dinding galian.
Sanksi tegas dan insentif bagi kontraktor yang menerapkan sistem keselamatan dengan baik.
Penerapan ketiga elemen ini di Indonesia akan membawa perubahan signifikan. Sebagai contoh, jika kontraktor diwajibkan melaporkan data keselamatan proyek ke sistem digital Kementerian PUPR setiap minggu, maka analisis risiko nasional dapat dilakukan secara lebih akurat.
Selain itu, kebijakan mengenai pengawasan galian juga relevan dengan target Sustainable Development Goals (SDG) 8.8, yaitu “mempromosikan lingkungan kerja yang aman bagi semua pekerja.” Dengan memperkuat sistem pelatihan dan audit berbasis teknologi, Indonesia dapat menurunkan angka kecelakaan di sektor konstruksi hingga 30% dalam lima tahun ke depan, sejalan dengan program nasional keselamatan kerja.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan temuan penelitian Kale dan relevansinya terhadap kondisi Indonesia, berikut lima rekomendasi kebijakan publik yang dapat diterapkan:
Pembentukan Standar Nasional Pekerjaan Galian Aman (SNPGA).
Pemerintah perlu menetapkan standar teknis dan operasional untuk pekerjaan galian, mencakup kedalaman maksimal tanpa penahan, metode penimbunan kembali, dan sistem inspeksi harian.
Pelatihan Wajib “Competent Person” untuk Semua Proyek Konstruksi.
Setiap kontraktor wajib memiliki personel bersertifikat K3 Galian yang telah mengikuti pelatihan seperti yang ditawarkan oleh DiklatKerja dan LPJK.
Integrasi Digital Safety Logbook.
Sistem pelaporan online yang merekam kegiatan inspeksi harian, foto lokasi, dan kondisi galian dapat menjadi alat audit dan bukti kepatuhan terhadap regulasi.
Skema Insentif dan Penalti Terukur.
Kontraktor yang tidak melaporkan insiden atau pelanggaran dapat dikenai denda dan larangan ikut tender; sebaliknya, perusahaan dengan nol kecelakaan mendapat potongan retribusi sertifikasi.
Program Edukasi Publik tentang Keselamatan Konstruksi.
Melibatkan masyarakat sekitar proyek melalui sosialisasi dan sistem pelaporan publik (community-based safety monitoring) agar budaya keselamatan menjadi tanggung jawab bersama.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meskipun kebijakan keselamatan galian tampak ideal di atas kertas, ada sejumlah risiko kegagalan implementasi yang perlu diantisipasi. Pertama, regulasi sering kali disusun tanpa memperhitungkan kemampuan finansial kontraktor kecil, sehingga penerapannya sulit di lapangan. Kedua, pengawasan sering kali tidak independen karena auditor berasal dari perusahaan pelaksana proyek itu sendiri. Ketiga, kurangnya integrasi data antar lembaga (Kementerian PUPR, Disnaker, dan BNSP) membuat tindak lanjut terhadap pelanggaran menjadi lambat.
Selain itu, kebijakan keselamatan tanpa program edukasi dan sosialisasi publik berisiko gagal menciptakan budaya keselamatan yang berkelanjutan.
Penutup
Penelitian Özge Akboğa Kale (2021) menegaskan bahwa keselamatan dalam pekerjaan galian adalah indikator kedewasaan sistem manajemen proyek konstruksi. Tragedi galian bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cerminan kegagalan sistem kebijakan publik dalam menegakkan standar keselamatan. Indonesia perlu mengambil pelajaran dari Amerika Serikat dengan membangun kebijakan berbasis data, memperkuat pelatihan profesional, dan memanfaatkan teknologi untuk pengawasan yang transparan.
Dengan langkah kebijakan yang komprehensif dan kolaboratif—melibatkan pemerintah, akademisi, asosiasi profesi, dan masyarakat—Indonesia dapat menekan angka kecelakaan konstruksi secara signifikan dan menjadikan sektor ini lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.
Sumber
Kale, Ö. A. (2021). Characteristic Analysis and Prevention Strategy of Trench Collapse Accidents in the U.S., 1995–2020. Revista de la Construcción, Vol. 20, No. 3, 617–631.
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Studi “Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia” (2023) menyoroti bahwa tingkat penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada kontraktor bangunan di Johor masih belum optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kontraktor hanya menerapkan kebijakan K3 secara parsial, terbatas pada proyek besar atau kontrak pemerintah, sementara proyek kecil masih abai terhadap standar keselamatan.
Temuan ini menjadi sangat penting karena konstruksi merupakan sektor berisiko tinggi terhadap kecelakaan dan kematian kerja. Di Malaysia, sebagaimana di Indonesia, konstruksi menyumbang proporsi signifikan dari total kecelakaan kerja nasional. Penelitian ini mengungkap bahwa kurangnya komitmen manajemen, rendahnya pelatihan tenaga kerja, lemahnya pengawasan, serta budaya kerja yang mengabaikan keselamatan menjadi penyebab utama kegagalan penerapan sistem manajemen K3.
Dalam konteks kebijakan publik, hasil studi ini relevan dengan kebutuhan Indonesia untuk memperkuat implementasi K3 di sektor konstruksi yang terus berkembang. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2023, lebih dari 40% kecelakaan kerja di Indonesia terjadi di sektor konstruksi. Meski telah ada regulasi seperti Permenaker No. 9 Tahun 2016 tentang Sistem Manajemen K3 (SMK3) dan PP No. 50 Tahun 2012, pelaksanaannya di lapangan masih sering bersifat administratif dan belum berorientasi pada perubahan budaya kerja.
Konteks ini sejalan dengan artikel Membedah Mitos Zero Harm: Apa Kata Data tentang Keselamatan Konstruksi? yang menegaskan bahwa pencapaian target nol kecelakaan (zero harm) hanya bisa diwujudkan jika perusahaan berinvestasi pada pelatihan, supervisi aktif, dan sistem pelaporan yang transparan, bukan sekadar slogan dalam dokumen proyek.
Temuan dari Johor memperlihatkan bahwa tanpa kebijakan publik yang kuat dan pengawasan yang konsisten, keselamatan akan selalu menjadi prioritas kedua di bawah efisiensi biaya dan kecepatan pembangunan. Indonesia dapat mengambil pelajaran langsung dari studi ini untuk memperkuat kebijakan K3 yang berkelanjutan dan berbasis budaya keselamatan (safety culture).
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Implementasi manajemen K3 yang efektif membawa dampak besar terhadap produktivitas, efisiensi proyek, dan reputasi perusahaan. Di Malaysia, kontraktor yang menerapkan sistem K3 dengan baik menunjukkan penurunan tingkat kecelakaan hingga 35% dalam lima tahun terakhir. Dampak sosialnya pun signifikan: meningkatnya kesejahteraan pekerja, kepercayaan masyarakat terhadap industri konstruksi, dan kepastian hukum bagi kontraktor.
Di Indonesia, penerapan K3 yang baik akan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 8 tentang “Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi” serta poin 9 tentang “Industri, Inovasi, dan Infrastruktur.” Keselamatan kerja bukan hanya isu teknis, tetapi bagian dari pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Hambatan
Namun, penelitian Johor mengungkap berbagai hambatan yang serupa dengan yang terjadi di Indonesia. Pertama, kurangnya komitmen manajemen proyek terhadap K3. Banyak kontraktor kecil lebih fokus pada efisiensi biaya ketimbang keselamatan pekerja. Kedua, minimnya pelatihan dan kesadaran pekerja lapangan, di mana sebagian besar tenaga kerja tidak memahami bahaya kerja spesifik. Ketiga, lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proyek-proyek non-pemerintah. Keempat, ketidakterpaduan regulasi, karena banyak aturan tumpang tindih antara kementerian tenaga kerja dan kementerian pekerjaan umum.
Kondisi ini tercermin pula dalam artikel Manajemen Keselamatan Konstruksi: Perspektif Pekerja dan Implikasi Kebijakan, yang menjelaskan bahwa banyak pekerja konstruksi di Indonesia masih menganggap pelatihan keselamatan sebagai formalitas. Kesadaran baru tumbuh setelah terjadi kecelakaan atau sanksi hukum.
Peluang
Peluang besar muncul dari digitalisasi dan kerja sama internasional. Platform daring seperti DiklatKerja kini menyediakan kursus dan pelatihan K3 berbasis e-learning yang dapat diakses secara fleksibel oleh kontraktor di seluruh Indonesia. Digitalisasi pelatihan memungkinkan pelacakan kompetensi, audit daring, dan sistem pelaporan yang lebih cepat.
Selain itu, meningkatnya investasi asing di sektor infrastruktur membuka peluang harmonisasi standar keselamatan dengan praktik internasional seperti ISO 45001:2018. Kolaborasi dengan asosiasi kontraktor dan universitas juga dapat memperluas pengembangan modul pelatihan yang sesuai dengan kondisi lokal Indonesia.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Artikel Menggali Budaya Keselamatan di Proyek Konstruksi Besar menegaskan bahwa budaya keselamatan hanya akan tumbuh jika seluruh aktor—dari manajemen puncak hingga pekerja lapangan—terlibat aktif dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan keselamatan kerja sering gagal bukan karena kurangnya regulasi, melainkan lemahnya penerapan. Jika kebijakan K3 hanya diwujudkan sebagai persyaratan administratif, maka tujuannya tidak akan tercapai. Tanpa pengawasan lapangan dan evaluasi berbasis data, banyak proyek hanya menyiapkan dokumen K3 formalitas untuk memenuhi persyaratan tender.
Selain itu, terdapat risiko bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada proyek besar akan mengabaikan ribuan proyek kecil menengah, padahal di sektor inilah mayoritas kecelakaan terjadi. Jika kebijakan tidak inklusif terhadap semua skala proyek, maka kesenjangan keselamatan akan semakin melebar.
Dari perspektif ekonomi, tanpa insentif yang menarik, kontraktor kecil cenderung menganggap investasi K3 sebagai biaya tambahan. Di sinilah kebijakan publik harus berperan untuk menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan keberlanjutan bisnis.
Penutup
Penelitian tentang praktik manajemen K3 di Johor, Malaysia, memberikan cerminan yang kuat bagi Indonesia. Bahwa keselamatan kerja bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan strategi pembangunan berkelanjutan yang melibatkan manusia sebagai pusatnya. Pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk belajar dari model regional seperti Malaysia, yang telah mulai mengintegrasikan keselamatan ke dalam kontrak proyek, pendidikan teknik, dan sistem audit nasional.
Kebijakan publik yang mendorong penerapan K3 berbasis budaya, pelatihan berkelanjutan, dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi fondasi bagi pembangunan yang aman, produktif, dan berdaya saing global. Dengan dukungan regulasi kuat dan inovasi digital, Indonesia dapat menekan angka kecelakaan kerja dan memperkuat reputasi konstruksi nasional di mata dunia.
Sumber
Abukhashabah, E., Summan, A., & Balkhyour, M. (2023). Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia. Journal of Social Science and Management, Vol. 18(2).
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Buku Insinyur Indonesia menyajikan narasi komprehensif tentang peran strategis profesi insinyur dalam kerangka pembangunan nasional. Di dalamnya, ditekankan bahwa insinyur bukan sekadar penanggung jawab teknis; mereka adalah agen perubahan yang menentukan kualitas, keamanan, dan keberlanjutan infrastruktur bangsa.
Salah satu poin penting yang diangkat adalah bahwa jumlah dan distribusi insinyur di Indonesia masih sangat timpang. Buku tersebut mengkritisi bahwa banyak lulusan teknik belum tersertifikasi sebagai insinyur profesional, sehingga kapasitas teknis negara terbuang. Hal ini mendapat dukungan dari artikel Insinyur Indonesia, yang menyoroti bahwa ketimpangan kualitas, regulasi yang belum optimal, dan kurangnya keterlibatan insinyur dalam kebijakan publik menjadi isu utama dalam pengembangan profesi teknik di Indonesia.
Selain itu, buku ini menekankan pentingnya legalitas profesi insinyur melalui Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) agar gelar dan praktek teknik memiliki basis hukum yang kokoh. Hal ini relevan dengan artikel Gelar Insinyur tak lagi Masyur, harus punya Sertifikat Profesi, yang membahas bahwa gelar insinyur kini harus disertai sertifikasi resmi serta diakui secara legal agar tidak sekadar simbol formalitas.
Dengan demikian, buku ini menjadi panggilan bagi penyusunan kebijakan publik agar tidak hanya menciptakan regulasi teoretis, tetapi juga keterpaduan antara pendidikan tinggi, profesi, regulasi, dan dunia industri agar insinyur bisa benar-benar menjadi motor pembangunan nasional.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Peningkatan kualitas infrastruktur: Bila lebih banyak insinyur profesional terlibat dalam proyek strategis dengan standar yang memadai, kualitas pelaksanaan, pengawasan, dan pemeliharaan dapat meningkat signifikan.
Kepercayaan publik menguat: Publik mendapatkan jaminan bahwa proyek-proyek nasional ditangani oleh tenaga teknis yang memiliki kompetensi dan legalitas profesional.
Daya saing insinyur meningkat: Dengan profil profesional yang jelas, insinyur Indonesia dapat bersaing di tingkat regional dan global.
Efisiensi sumber daya: Proyek yang didesain dan dikelola dengan baik dapat meminimalisir biaya revisi, kecacatan, dan kerugian jangka panjang.
Hambatan
Kesadaran rendah dan persepsi negatif: Banyak lulusan teknik dan praktisi belum melihat nilai tambah sertifikasi insinyur. Sertifikasi dianggap beban tambahan tanpa manfaat langsung.
Biaya dan beban administratif: Pengurusan sertifikasi, pelatihan CPD, dan regulasi pendukung sering dianggap mahal, terutama bagi insinyur pemula atau yang berada di luar kota besar.
Ketidakmerataan fasilitas pendidikan: Sebagaimana artikel Insinyur Indonesia di Era Industri 4.0: Siapkah Kita? menyebut, jumlah universitas penyelenggara PSPPI sangat timpang — 32 di wilayah barat, 7 di tengah, dan hanya 1 di timur — yang menyebabkan kesenjangan kompetensi antarwilayah.
Dualisme regulasi dan lembaga: Sistem sertifikasi di Indonesia melibatkan beberapa lembaga (PII, LSP, pemerintah) yang kadang memiliki tumpang tindih kewenangan dan sinkronisasi kurang baik.
Peraturan pelaksana yang belum lengkap: Meskipun UU Keinsinyuran sudah diterbitkan, regulasi teknis pelaksana (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri) belum sepenuhnya menjabarkan mekanisme detail.
Peluang
Penguatan Program Profesi Insinyur (PSPPI) di lebih banyak perguruan tinggi untuk memicu peningkatan akses sertifikasi.
Pemanfaatan teknologi digital, seperti platform daring untuk pelatihan CPD, registrasi insinyur, dan audit profesional yang transparan.
Insentif pemerintah (seperti prioritas proyek, pengurangan birokrasi, atau subsidi sertifikasi) bagi insinyur yang sudah bersertifikasi untuk mendorong partisipasi.
Harmonisasi sertifikasi nasional dengan skema internasional (ASEAN MRA, mutual recognition) agar sertifikasi insinyur Indonesia memiliki pengakuan global.
Kampanye kesadaran profesi teknik yang mengangkat cerita sukses insinyur bersertifikasi agar nilai sertifikasi lebih dirasakan secara nyata oleh profesional di lapangan.
Relevansi untuk Indonesia
Buku ini sangat relevan dengan pengembangan profesi teknik di Indonesia. Dalam banyak proyek nasional (tol, kereta cepat, IKN, PLTA, proyek energi terbarukan), keterlibatan insinyur profesional yang kompeten adalah mutlak. Kelemahan dalam sistem profesi insinyur bisa melemahkan daya saing, menurunkan kualitas proyek, bahkan mengancam keselamatan publik.
Sistem sertifikasi insinyur Indonesia sendiri telah berkembang. Menurut artikel Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Insinyur Indonesia, sertifikasi PII terdiri dari jenjang Insinyur Profesional Pratama, Madya, dan Utama, dengan sistem portofolio dan asesmen. Namun, survei penulis menunjukkan bahwa lebih dari 50% insinyur belum memiliki sertifikasi, dan hambatan utama adalah kurangnya sosialisasi dan biaya.
Lebih lanjut, artikel Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices mengidentifikasi bahwa dari 36 faktor uji, 20 tidak sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi internasional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kerangka regulasi sudah ada, banyak aspek teknis implementasinya belum menyentuh standar global.
Dengan merujuk referensi-referensi tersebut, buku Insinyur Indonesia makin diperkuat sebagai landasan debat kebijakan: bahwa profesionalisme insinyur harus dibangun tidak hanya lewat regulasi formal, tetapi lewat pemahaman praktis, pengawasan nyata, dan kesetaraan akses.
Rekomendasi Kebijakan
Wajibkan Sertifikasi Insinyur dalam Proyek Strategis
Proyek publik nasional (misalnya proyek infrastruktur, energi, IKN) sebaiknya mensyaratkan bahwa tim teknis proyek melibatkan insinyur bersertifikasi STRI atau setara sebagai syarat legal.
Perluas PSPPI ke wilayah timur Indonesia
Dengan distribusi PSPPI yang timpang, perluasan ke universitas di luar Jawa dan Sumatra sangat penting agar kesempatan kompetensi merata.
Penguatan regulasi teknis pelaksana UU Keinsinyuran
Pemerintah harus segera menerbitkan regulasi teknis (PP, Permen, regulasi PKB, audit profesi) agar UU tidak menjadi sekadar dokumen formal.
Subsidi dan Insentif Sertifikasi bagi Insinyur Pemula / Daerah
Misalnya pembiayaan ujian, insentif pajak, akses lebih mudah ke proyek pemerintah bagi insinyur bersertifikasi.
Digitalisasi proses sertifikasi dan audit
Sistem online terpusat agar registrasi, verifikasi, audit, dan pelaporan dapat diakses publik, memperkuat transparansi dan akuntabilitas.
Harmonisasi sertifikasi nasional dengan skema global
Kerjasama internasional agar sertifikasi STRI/PPI dapat diakui di kawasan ASEAN atau global melalui perjanjian Mutual Recognition Agreements (MRA).
Kampanye nasional & edukasi profesi teknik
Program literasi profesi teknik di perguruan tinggi, perusahaan, dan lembaga pemerintah agar manfaat sertifikasi lebih dipahami dan diapresiasi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika regulasi hanya berlaku di kota besar dan tidak terimplementasi di daerah terpencil, maka ketidaksetaraan justru membesar.
Tanpa audit eksternal atau lembaga pengawas independen, sertifikasi bisa berubah menjadi formalitas tanpa makna nyata.
Jika biaya dan proses birokrasi tidak disederhanakan, banyak insinyur enggan ikut sertifikasi, sehingga tujuan peningkatan kualitas terhambat.
Potensi konflik kepentingan: lembaga sertifikasi atau asosiasi bisa memiliki kepentingan dalam “mengatur” pasar insinyur dan bukan memfokuskan pada kompetensi publik.
Regulasi teknis yang lambat disusun bisa membuat UU Keinsinyuran tidak efektif di lapangan, sehingga celah implementasi akan menyalahkan regulasi dan bukan kualitas insinyur.
Penutup
Buku Insinyur Indonesia adalah panggilan penting bahwa penguatan profesi insinyur bukanlah proyek masa depan, melainkan kebutuhan saat ini. Indonesia tidak cukup memiliki UU, tetapi harus membangun sistem sertifikasi, regulasi, pendidikan, dan budaya profesi yang matang. Hanya dengan sinergi regulasi, institusi pendidikan, asosiasi profesi, dan teknologi digital, insinyur Indonesia bisa menjadi pilar pembangunan nasional yang kredibel dan berdaya saing global.
Sumber
Buku Insinyur Indonesia (PII / penerbit)
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Robles & Quadrado (2023) mengeksplorasi bagaimana persyaratan akreditasi Certifying Engineer dalam standar ASME BPV (Boiler and Pressure Vessel Code) berdampak pada negara-negara di Amerika Tengah, Selatan, dan Meksiko. Banyak insinyur lokal tidak memenuhi persyaratan akreditasi internasional sehingga proyek harus bergantung pada tenaga asing yang bersertifikasi.
Bagi Indonesia, temuan ini relevan karena menghadapi tantangan serupa seiring meningkatnya proyek teknik khusus seperti pembangkit listrik, industri minyak/gas, dan sistem tekanan tinggi lainnya. Republik Indonesia telah mengatur keinsinyuran melalui UU No. 11/2014, tetapi kelemahan dalam teknis pelaksanaan dan akreditasi masih terlihat. Sebagai perbandingan, artikel Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia memaparkan berbagai prosedur dan tantangan yang dihadapi sistem sertifikasi insinyur di Indonesia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Di lapangan, ketiadaan pengakuan internasional memaksa proyek konstruksi di Amerika Latin untuk mengalokasikan anggaran tambahan guna membayar insinyur asing. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur, keterlambatan jadwal, serta berkurangnya peluang bagi insinyur lokal. Hambatannya terletak pada lambannya reformasi akreditasi pendidikan tinggi teknik, keterbatasan sistem registrasi insinyur, dan minimnya kolaborasi dengan lembaga internasional.
Namun, peluang tetap ada. Dengan mengajukan program studi teknik menjadi bagian dari Washington Accord atau memperoleh label EUR-ACE, negara-negara tersebut bisa mempercepat pengakuan global. Selain itu, CodeCase 3036 yang dikeluarkan ASME memberikan jalan tengah dengan memperbolehkan insinyur lokal bersertifikat di yurisdiksi mereka, meskipun masih ada banyak pembatasan.
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di Amerika Latin. Banyak insinyur Indonesia masih menghadapi hambatan pengakuan internasional karena belum semua program studi teknik terakreditasi secara global. Dengan meningkatnya proyek infrastruktur strategis dan keterlibatan perusahaan asing, kebutuhan terhadap insinyur bersertifikasi internasional semakin mendesak. Mengikuti standar akreditasi internasional akan menjadi langkah penting agar insinyur Indonesia dapat berperan penuh, tanpa harus selalu bergantung pada tenaga asing.
Rekomendasi Kebijakan
Pertama, pemerintah Indonesia perlu mendorong seluruh program studi teknik untuk memperoleh akreditasi internasional seperti Washington Accord atau EUR-ACE. Kedua, asosiasi profesi insinyur harus memperkuat proses sertifikasi agar sesuai dengan standar global. Ketiga, insentif bagi universitas dan insinyur yang mengikuti proses akreditasi internasional harus diberikan. Keempat, kerja sama dengan lembaga internasional perlu ditingkatkan untuk mempercepat transfer teknologi dan standar. Kelima, Indonesia dapat belajar dari CodeCase 3036 untuk menyusun mekanisme transisi sementara hingga pengakuan penuh diperoleh.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan
Risiko besar muncul jika kebijakan akreditasi dan sertifikasi tidak segera dilakukan. Insinyur lokal akan terpinggirkan dalam proyek besar, biaya proyek meningkat karena ketergantungan pada insinyur asing, dan posisi Indonesia dalam peta daya saing global bisa melemah. Lebih jauh, tanpa pengakuan internasional, gelar insinyur Indonesia bisa dianggap kurang kredibel di luar negeri, sehingga membatasi mobilitas global tenaga kerja teknik.
Penutup
Penelitian ini menyoroti masalah krusial dalam dunia rekayasa: pentingnya akreditasi internasional bagi insinyur untuk diakui secara global. Bagi Indonesia, pelajaran dari Amerika Latin harus menjadi dorongan untuk memperkuat sistem pendidikan teknik, sertifikasi insinyur, dan integrasi dengan standar global. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memastikan kemandirian teknis sekaligus memperluas kontribusi insinyur di panggung internasional.
Sumber
Robles, R., & Quadrado, J. (2023). Analyzing the ASME BPV Code of Construction Professional Engineer Accreditation Requirements and their Impact in Central, South America and Mexico. 21st LACCEI International Multi-Conference for Engineering, Education, and Technology, Buenos Aires, Argentina.