K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda
Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.
Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.
Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara
Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:
Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah
1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja
2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan
3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan
Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka
Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..
Temuan Tambahan dari Wawancara
A. Normalisasi Cedera
Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.
B. Kurangnya Komunikasi Formal
C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis
Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.
Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi
Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:
Implikasi Praktis & Rekomendasi
Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif
Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.
Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat
Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).
Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.
Tujuan dan Fokus Program Pengabdian
Program ini dirancang untuk:
Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif
Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:
Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan
Sebelum Penyuluhan:
Setelah Penyuluhan:
Materi Kunci yang Disampaikan:
Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:
Dampak Sosial dan Budaya
Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.
Analisis dan Refleksi
Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.
Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.
Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: K3 dalam Industri Kehutanan, Urgensi yang Terlupakan
Industri kehutanan adalah salah satu yang paling berisiko tinggi secara global, dan Swedia tidak terkecuali. Meski negara ini terkenal dengan sistem keselamatan kerja yang maju, nyatanya rata-rata 2–3 kematian kerja akibat aktivitas kehutanan masih terjadi setiap tahun—angka yang tinggi mengingat hanya 0,6% tenaga kerja nasional bekerja di sektor ini, namun menyumbang lebih dari 5% total kecelakaan kerja fatal.
Selain kecelakaan, sekitar 100 insiden serius yang menyebabkan cuti sakit tercatat tiap tahun, dan 34 di antaranya berasal dari aktivitas penebangan. Namun, banyak kasus diduga tidak dilaporkan, sehingga angka riil jauh lebih tinggi.
Artikel ini menginvestigasi bagaimana kontraktor kehutanan di Swedia mengelola Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), serta faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi implementasinya. Studi ini penting karena mencerminkan realita sistem K3 di sektor yang semakin didominasi oleh subkontraktor dan mekanisasi tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Metodologi: Survei Skala Nasional dan Analisis Multivariat
Temuan Utama: Ukuran dan Lokasi Menentukan Kualitas K3
1. Perusahaan Besar Lebih Tertib K3
2. Kesadaran Terhadap K3 Tidak Terkait Langsung dengan Keuntungan
3. Kesenjangan Geografis Signifikan
Studi Kasus: Statistik Fakta Menarik
Kendala Utama Implementasi K3
Analisis & Opini: Sistemik, Bukan Sekadar Individu
Studi ini membuktikan bahwa implementasi K3 lebih dipengaruhi oleh ukuran dan sikap perusahaan dibanding kemampuan finansialnya. Ini menunjukkan bahwa persepsi dan budaya organisasi lebih penting daripada sekadar profitabilitas.
Kesenjangan antara regulasi hukum (AFS 2001:1) dan implementasi lapangan perlu ditangani melalui:
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan
Penelitian ini mengungkap bahwa praktik K3 di industri kehutanan Swedia masih jauh dari ideal, terutama pada level kontraktor kecil dan sedang. Ukuran perusahaan dan persepsi terhadap nilai K3 menjadi faktor penentu keberhasilan implementasi, bukan profitabilitas semata.
Untuk mencapai kondisi kerja yang aman dan sehat, diperlukan pendekatan sistemik, dukungan kebijakan, dan keterlibatan aktif semua pelaku industri. Jika tidak, maka risiko cedera dan kematian akan terus menghantui sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan Swedia.
Sumber : Kronholm, T., Olsson, R., Thyrel, M., & Häggström, C. (2024). Characterization of Swedish Forestry Contractors’ Practices Regarding Occupational Safety and Health Management. Forests, 15(3), 545. https://doi.org/10.3390/f15030545
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: K3 di Konstruksi Indonesia, Antara Retorika dan Realita
Industri konstruksi Indonesia menyumbang lebih dari 30% kecelakaan kerja nasional, menjadikannya sektor paling rentan secara keselamatan kerja. Dengan pertumbuhan pesat dan proyek-proyek berskala nasional yang semakin masif, penting untuk mengembangkan pendekatan sistematis terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian oleh Lestari dan rekan-rekan menjadi pionir dengan menyusun kerangka kerja iklim keselamatan (safety climate) untuk sektor konstruksi Indonesia berdasarkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Metodologi: Survei 311 Responden dan Analisis Multilevel
Temuan Utama: Iklim Keselamatan “Sedang”, Tapi Banyak Kontradiksi
Skor Keseluruhan
Dimensi dengan Skor Tertinggi
Dimensi dengan Skor Terendah
Paradox Iklim K3: Bicara K3, Tapi Tak Bertindak
Penelitian ini mengungkap dua paradoks utama:
Studi Kasus: Realita Lapangan yang Kontras
Temuan Spesifik Tiap Dimensi
1. Komitmen Manajemen
2. Komunikasi
3. Pelatihan
4. Akuntabilitas Pribadi
5. Aturan dan Prosedur
6. Lingkungan Pendukung
Analisis Kritis: Iklim Keselamatan Sebagai Refleksi Budaya dan Kebijakan
Penelitian ini menyoroti bahwa masalah keselamatan bukan hanya pada SOP, tapi juga pada struktur kekuasaan, budaya kerja, dan ketidaksesuaian kebijakan formal dan informal. Banyak pekerja merasa "aman" dalam bahasa, tapi tak punya kuasa bertindak saat situasi tidak aman benar-benar terjadi.
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Kerangka Iklim K3 sebagai Solusi Sistemik
Penelitian ini bukan hanya mengukur persepsi pekerja, tapi menawarkan solusi konkret berbasis bukti dan realita budaya Indonesia. Kerangka kerja yang dihasilkan bersifat multilevel (proyek, organisasi, nasional) dan bisa digunakan untuk mengevaluasi serta meningkatkan performa K3 di proyek-proyek konstruksi di Indonesia.
Untuk benar-benar menyelamatkan nyawa pekerja, Indonesia butuh lebih dari sekadar peraturan tertulis—diperlukan komitmen kolektif lintas level, dari pekerja hingga pembuat kebijakan.
Sumber : Lestari, F., Sunindijo, R. Y., Loosemore, M., Kusminanti, Y., & Widanarko, B. (2020). A Safety Climate Framework for Improving Health and Safety in the Indonesian Construction Industry. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(20), 7462.
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: Tantangan Kesehatan Mental di Industri Konstruksi
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang keras, dominan laki-laki, dan penuh tekanan kerja fisik. Namun, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental juga menjadi tantangan serius di sektor ini. Penelitian oleh Cedstrand et al. (2022) menyoroti hal ini melalui uji coba terkontrol berdurasi dua tahun di Swedia. Fokus utama penelitian ini adalah menilai efektivitas intervensi kesehatan kerja berbasis co-creation dalam mengatasi stres dan memperbaiki kondisi kerja psikososial.
Penelitian ini relevan dengan konteks global yang semakin menyoroti burnout, depresi, dan kecemasan kerja sebagai penyebab utama cuti sakit, terutama di negara-negara maju seperti Swedia. Di sana, stres kerja menjadi alasan paling umum untuk absensi kerja jangka panjang, dengan peningkatan signifikan terutama di kalangan manajer garis depan dan profesional teknik dalam industri konstruksi.
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan utama:
Desain Penelitian:
Intervensi dirancang melalui pendekatan co-creation dengan pemangku kepentingan, dan berfokus pada dua komponen utama:
Hasil Utama: Dampak Terbatas Namun Signifikan di Aspek Tertentu
1. Tidak Ada Pengaruh Signifikan terhadap Tingkat Stres
Hasil menunjukkan bahwa intervensi tidak menghasilkan perbedaan signifikan dalam pengurangan stres antara grup intervensi dan kontrol. Malah, tingkat stres meningkat pada kedua grup selama masa studi — sebesar +5 poin di grup intervensi dan +6,1 di grup kontrol, menurut skala COPSOQ (0–100). Ini menandakan bahwa faktor eksternal seperti pandemi COVID-19 berperan besar dalam meningkatkan tekanan kerja.
2. Peningkatan Kejelasan Peran (Role Clarity)
Namun demikian, intervensi memberikan dampak positif pada kejelasan peran, khususnya pada profesional dan manajer garis depan.
Ini menunjukkan bahwa duties clarification dan structured roundmaking efektif dalam memperjelas peran kerja, meski tidak langsung berdampak pada penurunan stres.
3. Pengaruh Negatif Pandemi
Peningkatan beban kerja kuantitatif juga tercatat di kedua grup:
Peningkatan ini dipandang sebagai dampak pandemi, yang menyebabkan beban proyek meningkat dan sumber daya manusia terbatas.
Analisis Kritis dan Implikasi Praktis
Kekuatan Intervensi Co-Creation:
Keterbatasan:
Dampak terhadap Industri:
Perbandingan dengan Literatur Lain:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan utama:
Rekomendasi:
Sumber : Cedstrand, E., Augustsson, H., Alderling, M., Sánchez Martinez, N., Bodin, T., Nyberg, A., & Johansson, G. (2022). Effects of a co-created occupational health intervention on stress and psychosocial working conditions within the construction industry: A controlled trial. Frontiers in Public Health, 10, 973890. https://doi.org/10.3389/fpubh.2022.973890
K3 Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025
Pendahuluan: Ancaman Nyata di Balik Megaproyek UAE
Industri konstruksi di Uni Emirat Arab (UAE) telah mengalami lonjakan luar biasa dalam dua dekade terakhir. Proyek bernilai miliaran dolar mengubah lanskap negara ini menjadi pusat arsitektur futuristik. Namun di balik kejayaan fisik tersebut, penelitian doktoral oleh Mohamed Alhajeri (2011) mengungkap krisis sistemik terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dapat menghambat keberlanjutan industri.
Penelitian ini mendalam, berbasis kuesioner dan wawancara dengan para profesional di sektor konstruksi dan migas UAE. Tujuannya jelas: menganalisis dan menyusun kerangka kerja manajemen K3 yang efektif, berbasis perbandingan antara praktik di UAE dan regulasi K3 di Inggris (UK), yang dianggap lebih matang.
Realita Buruk K3 di Lapangan
1. Data Statistik yang Mengkhawatirkan
2. Praktik Buruk dan Ketiadaan Budaya K3
Faktor Penyebab Utama Kecelakaan
Penelitian ini mengidentifikasi berbagai faktor penyebab kecelakaan di lapangan konstruksi UAE:
a. Organisasi Proyek yang Terfragmentasi
Proyek dikerjakan oleh banyak subkontraktor tanpa koordinasi yang kuat. Ini menyebabkan ambiguitas tanggung jawab dan kontrol K3.
b. Budaya Organisasi yang Lemah
Tidak adanya budaya K3 yang kuat membuat keselamatan dianggap beban, bukan investasi. Fokus pada target produksi sering menyingkirkan protokol keselamatan.
c. Kompleksitas Sosial-Budaya
Solusi: Belajar dari Inggris dan Reformasi Internal
Alhajeri menyarankan reformasi besar terhadap sistem K3 konstruksi UAE, dengan mengadopsi elemen dari praktik di Inggris. Ini mencakup:
1. Pembentukan Badan Pengawas Independen
2. Pelatihan dan Sertifikasi Operator Alat Berat
3. Integrasi K3 dalam Manajemen Proyek
4. Sistem Pelaporan Kecelakaan yang Terpusat
Hasil Penelitian Lapangan: Kuesioner dan Wawancara
Temuan utama dari survei lapangan:
Studi juga menyertakan analisis SWOT, di mana ditemukan bahwa kelemahan utama adalah kurangnya sistem dan budaya K3 yang terstruktur, sementara peluangnya terletak pada komitmen pemerintah untuk regulasi baru.
Rekomendasi: Kerangka Praktik Terbaik untuk Konstruksi di UAE
Penelitian ini menutup dengan panduan praktik terbaik (best practice) untuk perusahaan konstruksi di UAE, mencakup:
Panduan ini bukan hanya solusi teknis, tetapi menekankan pentingnya transformasi budaya keselamatan di lingkungan kerja konstruksi.
Analisis Kritis dan Relevansi Global
Penelitian ini bukan hanya relevan untuk UAE, tetapi juga menggambarkan tantangan khas negara berkembang yang sedang membangun infrastruktur besar. Banyak negara di Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah menghadapi masalah serupa: sistem hukum yang lemah, minimnya pelatihan K3, dan kurangnya kesadaran manajerial terhadap risiko keselamatan.
Jika tidak ditangani, biaya ekonomi dari kecelakaan kerja—seperti waktu kerja hilang, kompensasi, dan litigasi—bisa jauh lebih besar dari investasi awal untuk sistem K3.
Kesimpulan: K3 adalah Investasi, Bukan Beban
Penelitian ini memberikan pemahaman komprehensif bahwa penerapan sistem K3 yang efektif bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi investasi strategis yang dapat:
UAE sebagai negara maju secara ekonomi, harus segera mengadopsi sistem K3 berbasis budaya keselamatan yang kuat dan sistematis jika ingin mempertahankan pertumbuhan infrastruktur berkelanjutan.
Sumber : Alhajeri, M. (2011). Health and safety in the construction industry: challenges and solutions in the UAE (Unpublished doctoral thesis). Coventry University.