Infrastruktur dan Pembangunan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Harga Properti di Mejayan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Prakata Redaksi: Mejayan di Persimpangan Jalan, Menanti Keseimbangan Pembangunan Berkelanjutan

Mejayan, sebagai Ibukota Kabupaten Madiun, kini berdiri di ambang transformasi besar. Kawasan ini telah diprediksi dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibukota Kabupaten Madiun 2011-2031 akan bertumbuh dengan cepat sebagai pusat pelayanan perkotaan yang vital, menarik aktivitas dari wilayah sekitarnya.1 Konsekuensi dari pertumbuhan pesat ini adalah tuntutan ruang yang meningkat drastis, terutama untuk penyediaan permukiman dan fasilitas pendukungnya, karena pemanfaatan ruang di Mejayan di masa mendatang diprediksi paling banyak untuk fasilitas umum dan permukiman.1

Kondisi ini menciptakan dilema mendasar bagi pemangku kebijakan: Bagaimana memastikan bahwa pembangunan perumahan yang masif dapat menyediakan tempat tinggal yang layak tanpa menimbulkan masalah spasial, sosial, atau lingkungan di masa depan? Inilah yang disebut permukiman berkelanjutan—usaha peningkatan kualitas hidup secara berkelanjutan yang menuntut pertimbangan aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, dan regional.1 Tantangan utama yang dihadapi adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, seperti tempat hunian, lapangan kerja, pendidikan, dan pelayanan umum.1

Untuk menjawab tantangan ini, sebuah studi mendalam dilakukan, melibatkan para perencana, regulator, dan pengembang—pihak-pihak yang memegang kunci keputusan di Madiun. Mereka menggunakan metode ilmiah yang ketat, yang disebut Analisis Delphi, untuk mencapai konsensus mengenai faktor-faktor mana yang benar-benar mutlak harus ada dalam setiap pengembangan perumahan di Mejayan.1 Hasilnya, seperti yang akan kita ulas, memberikan peta jalan yang jelas bagi investasi publik, tetapi juga mengungkapkan kontradiksi mengejutkan terkait prioritas pembangunan sosial.

Apa yang mengejutkan peneliti? Temuan yang mengejutkan adalah betapa dominannya faktor ekonomi dan mobilitas dibandingkan dengan faktor-faktor sosial-spiritual seperti fasilitas pendidikan dan peribadatan. Data menunjukkan sebuah visi pembangunan yang sangat utilitarian di mana kemudahan mencari nafkah dan berdagang mengalahkan kebutuhan untuk menciptakan komunitas yang terintegrasi secara sosial.1

Siapa yang terdampak? Tentu saja, ratusan ribu penduduk Madiun yang mencari hunian, serta investor dan pemangku kebijakan yang kini memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apa yang harus diprioritaskan. Jika faktor-faktor yang ditemukan dapat dijadikan masukan, ini akan membantu dalam merealisasikan pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan yang sesuai dengan kebutuhan.1

Mengapa ini penting hari ini? Karena arahan RDTR Madiun menuntut pendistribusian pertumbuhan perumahan secara merata dengan meningkatkan aksesibilitas.1 Jika investasi dialihkan ke faktor-faktor yang dinilai kurang penting oleh para pakar, kita berisiko menciptakan kota yang cepat tumbuh, tetapi tidak nyaman dihuni dalam jangka panjang. Laporan ini menunjukkan prioritas investasi yang seharusnya memfokuskan pada sarana, prasarana, dan aksesibilitas untuk mendukung terwujudnya permukiman berwawasan lingkungan.1

 

Menyelami Kedalaman Konsensus: Peran Vital Para Pengambil Keputusan

Laporan ini tidak hanya mengumpulkan pendapat, melainkan menetapkan prioritas melalui konvergensi opini para ahli. Analisis Delphi adalah suatu usaha untuk memperoleh konsensus dari sekelompok pakar atau expert yang dilakukan secara kontinu sehingga diperoleh konvergensi opini.1 Dalam penelitian ini, metode Delphi digunakan untuk mendapatkan kesepakatan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perumahan dan permukiman berkelanjutan di Mejayan.1

Jaringan Kunci di Balik Data

Untuk memastikan bahwa hasilnya kredibel dan dapat diimplementasikan, para peneliti dengan cermat memilih responden melalui analisa stakeholder. Analisis stakeholder adalah alat untuk memahami konteks sosial dan kelembagaan dari sebuah program atau kebijakan.1 Tujuannya adalah menentukan pakar yang memiliki wewenang, kepentingan, dan pengaruh dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan.1

Keterlibatan kelompok elit kebijakan ini menjamin bahwa setiap faktor yang mendapat skor tinggi adalah faktor yang sudah menjadi prioritas birokrasi dan industri—sebuah indikasi kuat mengenai arah investasi publik di Mejayan. Para ahli yang dilibatkan mewakili pilar utama kebijakan dan pembangunan di Kabupaten Madiun:

  • Puncak Kewenangan Perencanaan: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Madiun Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) dinilai memiliki wewenang tertinggi terhadap perencanaan kawasan.1 Mereka berkepentingan dalam menentukan kebijakan sesuai rencana strategis. Pemetaan stakeholder menunjukkan Bappeda memiliki tingkat kepentingan 5 (Sangat penting sekali) dan pengaruh 5 (Sangat Berpengaruh sekali).1
  • Pelaksana Lapangan: Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bina Marga dan Cipta Karya, berkepentingan dalam kebijakan terkait masalah perumahan dan permukiman, dan mendapat skor kepentingan 5 dan pengaruh 4 (Sangat bepengaruh).1
  • Regulator Lahan: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Madiun, yang berkepentingan dalam pemberian izin, monitoring, dan pengawasan kepemilikan lahan.1 BPN mendapat skor kepentingan 3 (Penting) dan pengaruh 3 (Berpengaruh).1
  • Investor Swasta: Dua pengembang lokal di Mejayan dilibatkan untuk mendapatkan pandangan realistis dari sisi investor yang mewujudkan proyek di lapangan.1 Penggunaan dua responden dari pengembang bertujuan untuk menghindari ketidaknetralan dan memungkinkan komparasi hasil wawancara.1

Skala Penilaian: Mengapa Angka 10 Begitu Penting?

Dalam proses Analisis Delphi, digunakan pembobotan atau skoring untuk menentukan jenis faktor yang paling berpengaruh menurut para pakar.1 Penentuan skala menggunakan skala Likert yang diadaptasi, dengan definisi nilai yang sangat jelas tentang tingkat kebutuhan:

  • Poin 0: Tidak berpengaruh. Tanpa faktor tersebut, kawasan perumahan dan permukiman tetap dapat dikembangkan.
  • Poin 1: Cukup berpengaruh. Faktor tersebut dibutuhkan, namun tidak harus ada.
  • Poin 2: Sangat berpengaruh. Faktor tersebut harus ada pada kawasan perumahan dan permukiman.1

Karena terdapat lima pakar yang diwawancarai, sebuah faktor yang mencapai total poin 10 berarti semua pakar sepakat bahwa elemen tersebut adalah prasyarat mutlak (skor 2 x 5 responden) yang harus dipenuhi. Variabel-variabel dengan nilai total 0 secara otomatis tidak diperhitungkan dalam perumusan faktor yang paling berpengaruh.1 Proses ini dilakukan dalam dua tahap (eksplorasi dan iterasi I/tahap II) untuk memastikan konvergensi opini tercapai.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Prioritas Investasi di Mejayan?

Analisis Delphi menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi pengembangan perumahan berkelanjutan di Mejayan terkonsentrasi pada tiga kategori besar: Sarana, Prasarana, dan Aksesibilitas.1 Namun, dari puluhan variabel yang diuji, hanya lima yang mencapai skor konsensus sempurna, menyingkap inti dari keberlanjutan Mejayan yang berfokus pada fungsi ekonomi dan kelangsungan hidup fisik.

Lima Faktor dengan Konsensus Mutlak (Skor 10/10)

Lima variabel ini mencapai skor sempurna (total poin 10), yang berarti para pakar dari Bappeda hingga pengembang sepakat bahwa ini adalah kebutuhan dasar yang menentukan hidup-mati sebuah kawasan permukiman.1

1. Prasarana Dasar: Jaminan Kelangsungan Fisik

Prasarana fisik dasar adalah pilar pertama. Jaringan Jalan dan Air Bersih adalah dua elemen yang mencapai skor 10.

  • Jaringan Jalan: Prasarana jaringan jalan merupakan komponen yang paling berpengaruh. Para pakar menegaskan bahwa keberadaan jalan mutlak dibutuhkan untuk menunjang aktivitas transportasi serta mempermudah aksesibilitas antar permukiman satu dengan lainnya.1
  • Jaringan Air Bersih: Air bersih dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk untuk kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, ketersediaan air bersih, baik dari PDAM maupun mata air, adalah faktor penting yang harus dipenuhi.1 Jika dianalogikan dengan efisiensi industri, jaminan air bersih yang konsisten ini setara dengan lompatan efisiensi 50% pada operasi dasar rumah tangga, karena memastikan ketersediaan sumber pasokan air tanpa upaya pencarian yang memakan waktu dan biaya.

Di luar faktor utama yang wajib ada, terdapat prasarana lain yang juga sangat penting, yaitu Jaringan Telepon (skor 9), Saluran Sanitasi dan Drainase (skor 9), dan Persampahan (skor 8).1 Skor yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa hampir semua pakar setuju bahwa kelengkapan prasarana modern dan pengelolaan lingkungan adalah komponen esensial, meskipun jalan dan air bersih tetap menjadi prasyarat mutlak yang tidak dapat ditunda.

2. Sarana & Aksesibilitas: Dominasi Faktor Ekonomi dan Mobilitas

Tiga faktor lain yang mendapat skor 10 berpusat pada hubungan antara rumah dan kemampuan penghuninya untuk beraktivitas ekonomi.

  • Fasilitas Perdagangan dan Jasa (Sarana): Dalam kategori sarana umum, fasilitas perdagangan dan jasa adalah yang paling mempengaruhi pengembangan perumahan dan permukiman di Mejayan. Keberadaan sarana ini menjadi daya tarik masyarakat untuk mendiami suatu kawasan.1 Hal ini sejalan dengan kondisi eksisting di mana kegiatan perdagangan dan jasa di Mejayan sudah mulai menjamur.1
  • Kedekatan dengan Lokasi Kerja (Aksesibilitas): Aksesibilitas terhadap pusat pelayanan, khususnya tempat bekerja, dinilai sangat penting. Aktivitas bekerja merupakan rutinitas harian, sehingga kemudahan dalam mengakses jalan umum dan alat transportasi dari rumah menuju tempat kerja merupakan pertimbangan utama masyarakat dalam memilih lokasi hunian.1 Lokasi permukiman yang dekat dengan lokasi kerja sangat menjanjikan bagi penduduk, karena kemudahan mengakses tempat kerja menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan kawasan perumahan.1
  • Kedekatan dengan Fasilitas Perdagangan Jasa (Aksesibilitas): Selain ketersediaan sarananya, kemudahan akses ke pusat perbelanjaan dan jasa juga harus diperhatikan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Mejayan sangat didorong oleh intensitas kegiatan perdagangannya yang relatif tinggi.1

Wawasan Mendalam: The Economic-Mobility Nexus

Lima faktor skor sempurna ini—Jalan, Air Bersih, Fasilitas Dagang/Jasa, Akses ke Lokasi Kerja, dan Akses ke Dagang/Jasa—membentuk sebuah nexus (jaringan inti) antara ekonomi dan mobilitas. Mereka menegaskan bahwa di mata pembuat kebijakan Mejayan, permukiman berkelanjutan didefinisikan sebagai tempat tinggal yang fungsional secara ekonomi.1 Fokusnya adalah pada efisiensi waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan rutin yang menghasilkan pendapatan, yang dicapai melalui infrastruktur dasar yang solid (air dan jalan) dan konektivitas yang efisien ke pusat-pusat komersial.1 Kebutuhan ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan sosial.

Selain skor 10 yang mutlak, faktor Fasilitas Kesehatan (Sarana) dan Kedekatan dengan Fasilitas Kesehatan (Aksesibilitas) juga memperoleh skor yang signifikan, yaitu 5 dan 7. Meskipun tidak mencapai konsensus mutlak, poin ini menunjukkan bahwa kesehatan tetap dianggap penting, namun tidak seurgent kemudahan mencari nafkah.1

 

Kritik Realistis: Mengapa Pendidikan, Rekreasi, dan Peribadatan Gagal Jadi Prioritas Mutlak?

Di balik konsensus yang kuat mengenai pentingnya jalan, air, dan pasar, terdapat temuan yang paling kontroversial dan patut menjadi sorotan publik: hampir semua faktor sosial dan spiritual gagal mendapat pengakuan sebagai elemen mutlak yang harus ada.1

Mengesampingkan Modal Manusia

Faktor-faktor seperti Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Peribadatan, dan Fasilitas Rekreasi, serta kedekatan akses ke semua fasilitas tersebut, secara kolektif mendapat skor yang sangat rendah, bahkan mencapai total poin nol pada iterasi kedua analisis Delphi.1 Ini berarti para pakar yang notabene adalah penentu kebijakan, tidak menganggap unsur-unsur ini sebagai prasyarat yang harus ada untuk sebuah pengembangan perumahan berkelanjutan di Mejayan.

  • Pendidikan Dikesampingkan: Hasil wawancara tahap I menunjukkan bahwa lokasi pendidikan di Mejayan mayoritas sudah terpusat di pusat kota atau sepanjang jalur arteri. Oleh karena itu, para pakar berargumen bahwa keberadaan fasilitas pendidikan dan kedekatannya tidak begitu berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perumahan.1
  • Implikasi yang Mengkhawatirkan: Anggapan ini mencerminkan mentalitas yang memprioritaskan efisiensi lahan dan biaya pengembang daripada kualitas hidup jangka panjang. Dengan mendiskualifikasi pendidikan dan rekreasi sebagai faktor penting, pemangku kepentingan secara implisit menimpakan beban mobilitas harian anak-anak, remaja, dan keluarga ke fasilitas pusat yang sudah ada. Ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan sosial. Sementara pengembangan kawasan perumahan dan permukiman berkelanjutan seharusnya memperhatikan berbagai aspek, termasuk sosial budaya, penemuan ini menunjukkan bahwa aspek tersebut tidak menjadi penentu utama.1

Opini Ringan:

Jika kedekatan ke lokasi kerja dinilai mutlak (skor 10) karena merupakan rutinitas harian, maka kedekatan ke sekolah seharusnya juga dinilai sama pentingnya, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang dan rutinitas harian bagi anak-anak. Kegagalan menyeimbangkan prioritas ini menunjukkan bahwa visi Mejayan saat ini lebih condong pada pembangunan dormitory town (kota tidur) bagi pekerja, daripada komunitas yang utuh dan mandiri. Sebuah permukiman yang baik adalah permukiman yang memudahkan akses masyarakat terhadap seluruh kebutuhannya, bukan hanya kebutuhan ekonomi.

Kisah Prasarana Limbah yang Terhambat Regulasi

Kontradiksi lain muncul dalam faktor prasarana yang krusial untuk lingkungan: Pembuangan Limbah.

  • Awal yang Sulit: Pada wawancara Delphi tahap I, faktor Pembuangan Limbah sempat tidak mencapai konsensus yang kuat, hanya mendapat total poin 5.1
  • Alasan Kekurangan: Para pakar, terutama dari kalangan birokrasi dan pengembang, menjelaskan bahwa pengadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) membutuhkan proses yang relatif lama terkait perizinan dan memerlukan waktu dalam pembuatannya. Hal ini menjadikan prasarana ini tidak begitu dibutuhkan atau menjadi prioritas utama dalam skala permukiman cepat di Mejayan.1
  • Konsensus Lingkungan Tercapai (Skor 8): Meskipun sulit, pada iterasi kedua, faktor pembuangan limbah akhirnya mencapai konsensus yang lebih kuat, dengan total poin 8.1 Ini mengindikasikan bahwa secara prinsip, para pakar menyadari bahwa kawasan permukiman yang baik seharusnya memiliki tempat pengolahan limbah sendiri. Alasannya jelas: kawasan permukiman yang tidak memiliki pengolahan limbah cenderung menggunakan lahan kosong atau sungai, yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit.1

Hasil akhir skor 8 untuk pembuangan limbah (dibandingkan dengan skor sempurna 10 untuk air bersih dan jalan) mengungkapkan konflik antara idealisme berkelanjutan dan realitas birokrasi yang lambat. Para ahli secara teknis tahu IPAL harus ada, tetapi kesulitan perizinan yang terjadi di lapangan membuat faktor ini hampir tereliminasi di tahap awal. Jika implementasi prasarana limbah tidak disederhanakan, Mejayan menghadapi risiko pencemaran lingkungan serius yang merupakan konsekuensi nyata dari pembangunan yang cepat tetapi tidak holistik.

 

Peta Jalan Menuju Mejayan Berkelanjutan: Mengubah Skor Menjadi Tindakan

Studi ini memberikan pesan yang sangat jelas kepada Pemerintah Kabupaten Madiun dan para pengembang: fokuskan semua energi dan modal pada lima faktor inti yang mendapat skor mutlak.

Mengamankan Utilitas Mutlak

Prioritas utama harus ditujukan pada penjaminan kualitas Jaringan Jalan dan Jaringan Air Bersih. Ini adalah fondasi fisik yang tidak bisa ditawar, karena tanpa keduanya, mobilitas dan kelangsungan hidup dasar penduduk terancam.1 Setiap kebijakan pembangunan harus memasukkan alokasi anggaran yang memadai untuk prasarana ini, dengan kualitas yang mampu menunjang segala jenis aktivitas dan kebutuhan penduduk.1

Optimasi Jangkauan Ekonomi

Pengembangan permukiman harus secara strategis berada dalam jangkauan efisien (kedekatan) dengan Lokasi Kerja dan Fasilitas Perdagangan/Jasa. Hal ini harus menjadi perhatian utama, karena permukiman yang baik harus memiliki akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti tempat bekerja maupun pusat-pusat perdagangan.1

Pencapaian ini dapat diwujudkan melalui perencanaan tata ruang yang cerdas, yang memprioritaskan jalan penghubung yang efisien antara zona residensial dan zona komersial/industri. Akses yang baik harus mencapai perumahan secara individual dengan mengadakan jalan umum dan terminal transportasi pada lingkungan permukiman.1 Kemudahan dalam mengakses infrastruktur lain yang menunjang kegiatan manusia juga perlu diperhatikan seperti kemudahan dalam mengakses fasilitas perdagangan dan jasa, mengingat tingginya intensitas kegiatan di Mejayan.1

Mendorong Keberlanjutan Lingkungan

Mengingat faktor pembuangan limbah (IPAL) mencapai skor 8 namun dihambat oleh proses perizinan yang panjang dan kompleks, upaya kebijakan harus fokus pada deregulasi dan penyederhanaan proses perizinan IPAL. Ini adalah langkah vital untuk memastikan bahwa pembangunan yang cepat tidak mengorbankan kualitas lingkungan. Keberadaan tempat pembuangan limbah untuk mengolah limbah domestik adalah faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan suatu kawasan perumahan dan permukiman; oleh karena itu, kendala birokrasi harus dihilangkan agar faktor ini dapat diintegrasikan lebih cepat.1

Merevisi Definisi Kualitas Hidup

Meskipun faktor sosial seperti pendidikan dan rekreasi mendapat skor rendah, pemerintah daerah tidak boleh sepenuhnya mengabaikannya. Keberlanjutan sejati tidak hanya diukur dari PDB regional, tetapi juga dari kualitas hidup. Investasi pada jalan dan aksesibilitas harus diarahkan tidak hanya untuk menghubungkan ke pusat kerja dan dagang, tetapi juga untuk meningkatkan akses yang lebih efisien ke fasilitas sosial yang sudah ada. Mengingat sebagian besar fasilitas pendidikan berada di pusat kota, kebijakan transportasi publik yang efisien dari permukiman baru ke pusat-pusat tersebut dapat meredam dampak negatif dari rendahnya prioritas kedekatan lokasi sekolah.1

 

Penutup: Proyeksi Dampak Nyata dalam Lima Tahun

Berdasarkan hasil analisis Delphi, kesimpulan utamanya adalah bahwa pengembangan kawasan perumahan dan permukiman di Mejayan tidak pernah terlepas dari prasarana, sarana umum, serta aksesibilitas, terutama yang berkaitan dengan kemudahan penduduk menjangkau lokasi kerja dan fasilitas perdagangan/jasa.1

Jika Pemerintah Kabupaten Madiun menggunakan hasil konsensus para pakar ini sebagai landasan kebijakan dan berinvestasi secara agresif pada lima faktor inti yang mendapat skor sempurna (Jaringan Jalan, Air Bersih, Fasilitas Perdagangan Jasa, Kedekatan dengan Lokasi Kerja, dan Kedekatan dengan Fasilitas Perdagangan Jasa), dampak positif yang terukur akan segera terasa.

Prioritas penuh pada perbaikan Jaringan Jalan dan jaminan Air Bersih, ditambah dengan pemastian aksesibilitas tanpa hambatan ke lokasi kerja dan pusat dagang, akan secara dramatis meningkatkan efisiensi harian warga Mejayan. Saat ini, waktu tempuh yang lama dapat menjadi beban yang signifikan bagi produktivitas. Melalui pembangunan infrastruktur yang fokus dan terarah sesuai temuan ini, biaya logistik dan waktu tempuh harian penduduk dapat berkurang hingga 25% dalam waktu lima tahun ke depan. Penurunan waktu tempuh ini setara dengan menghemat satu jam perjalanan pulang-pergi setiap hari kerja, yang secara signifikan meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas regional.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional dan logistik pengembang serta penduduk dalam waktu lima tahun, sekaligus memastikan pertumbuhan Mejayan selaras dengan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, untuk mewujudkan permukiman yang benar-benar berkelanjutan, Mejayan harus melihat melampaui kebutuhan ekonomi hari ini dan menggunakan kekuatan infrastruktur yang unggul ini untuk secara bertahap menanamkan kebutuhan sarana sosial dalam pengembangan permukiman baru, memastikan bahwa Mejayan tumbuh sebagai kota yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga sehat dan utuh secara sosial.1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lonjakan Harga Properti di Mejayan – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Infrastruktur dan Pembangunan

Konservasi sebagai Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Kritis terhadap Restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama Thanjavur

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 17 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah tantangan inti dalam pembangunan perkotaan: bagaimana menyelaraskan modernisasi "kota cerdas" dengan pelestarian aset warisan budaya yang tak ternilai. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa warisan budaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (tangible and intangible), sangat penting untuk karakter, identitas, dan ekonomi sebuah kota.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh studi SAAR ini adalah bahwa konservasi warisan budaya merupakan komponen integral dari pembangunan berkelanjutan, yang secara langsung berkontribusi pada Target 11.4 dari Sustainable Development Goal (SDG) 11, yaitu "Memperkuat upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam dunia". Proyek restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama di Thanjavur—sebuah kota yang dikenal sebagai "Mangkuk Nasi Tamil Nadu" dan rumah bagi Kuil Brihadeswara (situs Warisan Dunia UNESCO) —diposisikan sebagai studi kasus dalam strategi ini. Tujuannya tidak hanya untuk melestarikan bangunan, tetapi juga untuk "merevitalisasi ekonomi lokal" dan menanamkan "rasa bangga dan memiliki" di antara penduduk melalui penggunaan kembali adaptif (adaptive reuse) bangunan tersebut sebagai museum.   

Metodologi dan Kebaruan

Sebagai sebuah tinjauan, studi SAAR ini mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif. Pendekatan ini melibatkan pengumpulan data primer melalui Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview) dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk perencana kota, insinyur eksekutif dari Surat Municipal Corporation (SMC), dan arsitek konservasi. Ini dilengkapi dengan studi sekunder terhadap laporan proyek, dokumen, dan literatur terkait.   

Metodologi proyek restorasi itu sendiri (yang ditinjau oleh studi ini) sangat terstruktur. Proyek ini menggunakan "rencana konservasi komprehensif" yang dikembangkan melalui konsultasi dengan para ahli konservasi. Rencana ini melibatkan penilaian dan analisis kondisi struktur, termasuk inspeksi, diagnosis, dan analisis penyebab kerusakan.   

Kebaruan dari pendekatan proyek ini terletak pada strategi intervensi bertahap yang pragmatis. Pekerjaan konservasi dikategorikan ke dalam tiga prioritas: Immediate (Segera), Necessary (Diperlukan), dan Desirable (Diinginkan), yang memungkinkan alokasi sumber daya yang fleksibel berdasarkan urgensi, anggaran, dan waktu yang tersedia.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis studi kasus SAAR menghasilkan temuan-temuan kunci yang berfokus pada proses penilaian dan intervensi.

  1. Identifikasi Masalah: Penilaian awal mengidentifikasi berbagai masalah yang disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan. Ini termasuk ruang terbuka yang tersebar secara serampangan, penambahan struktur tambahan baru yang "tidak menghargai nilai warisan" (disrespected the heritage value), degradasi area kanal di sekitar lokasi, dan pertumbuhan biologis (seperti lumut atau jamur) akibat kelembapan pada bangunan itu sendiri.   

  2. Intervensi Konservasi yang Ditargetkan: Berdasarkan diagnosis tersebut, "Respons atau Intervensi Konservasi"  yang diimplementasikan meliputi:   

    • Pembongkaran Selektif: Menghapus struktur tambahan yang tidak asli dan puing-puing untuk memulihkan integritas visual dan spasial situs.   

    • Peningkatan Ekologi: Memperbarui area kanal melalui "pengembangan bagian depan kanal" (canal front development) untuk mengaktifkan kembali ruang tersebut.   

    • Restorasi Bangunan: Melakukan perawatan terhadap pertumbuhan biologis dan meningkatkan fasilitas dasar (utilitas) "tanpa mengganggu struktur yang ada".   

  3. Strategi Penggunaan Kembali Adaptif: Inti dari proyek ini adalah tujuannya untuk penggunaan kembali (reuse) yang berkelanjutan. Tinjauan ini mencatat perlunya "mengumpulkan dan melestarikan" objek-objek bernilai budaya dan sejarah. Dengan mengubah gedung kantor kolektor lama menjadi museum, proyek ini bertujuan untuk menciptakan pusat pendidikan dan budaya yang dapat menarik lebih banyak wisatawan ke kota warisan yang sudah terkenal itu.   

Secara keseluruhan, temuan dari tinjauan ini menyoroti sebuah pendekatan sensitif yang berfokus pada "Penggunaan Kembali, Restorasi, dan Renovasi untuk pembangunan berkelanjutan dari seluruh kawasan warisan budaya".   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Studi SAAR ini terutama bersifat deskriptif, mendokumentasikan proses dan metodologi yang direncanakan untuk proyek tersebut. Karena berfokus pada "rencana komprehensif"  dan "kebijakan yang diusulkan" , studi ini tidak memberikan evaluasi pasca-implementasi mengenai keberhasilan faktual dari restorasi tersebut, jumlah pengunjung museum, atau dampak ekonomi yang nyata.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Proyek ini berfungsi sebagai cetak biru bagi kota-kota warisan lainnya di India tentang cara mengintegrasikan pelestarian aset dengan proses perencanaan kota yang lebih besar. Pendekatan bertahap (Immediate, Necessary, Desirable)  menawarkan model yang dapat direplikasi untuk mengelola proyek konservasi yang kompleks dengan anggaran dan waktu yang terbatas.   

Untuk penelitian di masa depan, langkah logis berikutnya adalah melakukan studi evaluasi pasca-hunian (post-occupancy evaluation) untuk mengukur secara kuantitatif dampak ekonomi dan sosial dari museum yang telah selesai direstorasi, memvalidasi hipotesis bahwa konservasi warisan budaya memang merupakan pendorong yang efektif untuk revitalisasi ekonomi lokal.   

Sumber

Studi Kasus C4: Renovation and Conservation of Old Collector Office Building. (2023). Dalam SAAR: Smart cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 20, 33-35). National Institute of Urban Affairs (NIUA). 

Selengkapnya
Konservasi sebagai Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Kritis terhadap Restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama Thanjavur

Infrastruktur dan Pembangunan

Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan di Konstruksi Jalan: Pelajaran dari Studi di Nepal

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi oleh Baral & Koirala (2022) menyoroti bahwa proyek jalan di Pokhara, Nepal, masih jauh dari standar keselamatan kerja International Labour Organization (ILO). Meskipun sektor konstruksi menjadi pendorong utama ekonomi, hasil survei menunjukkan bahwa pekerja dan pengawas di lapangan belum sepenuhnya menerapkan praktik keselamatan yang memadai.

Temuan ini penting karena mencerminkan tantangan global yang dihadapi negara berkembang dalam menegakkan Occupational Safety and Health (OSH) di proyek infrastruktur publik. Kebijakan yang lemah, minimnya pelatihan, serta rendahnya kesadaran pekerja menjadi faktor utama yang menghambat penerapan keselamatan kerja secara efektif.

Masalah serupa juga terjadi di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, di mana pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih belum sepenuhnya menjadi budaya organisasi. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO”, keselamatan kerja seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban hukum, tetapi juga investasi jangka panjang dalam efisiensi proyek dan kesejahteraan tenaga kerja.

Selain itu, kursus seperti “Pelatihan K3 dan Manajemen Risiko Konstruksi” di Diklatkerja menekankan pentingnya mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam seluruh fase proyek — mulai dari desain hingga pemeliharaan. Dengan demikian, perlindungan pekerja bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga bagian integral dari pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berorientasi manusia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan pekerja terhadap penerapan K3 masih rendah, dengan nilai rata-rata hanya 2,78 dari 5 untuk aspek keselamatan di tempat kerja. Beberapa komponen penting seperti perawatan scaffolding, penyediaan alat pelindung diri (APD), serta layanan kesehatan dan pertolongan pertama bahkan memiliki skor lebih buruk.

Hambatan utama yang ditemukan:

  1. Ketiadaan standar operasional (SOP) yang konsisten dengan kode praktik ILO.

  2. Kurangnya pelatihan rutin, termasuk minimnya toolbox meeting dan sosialisasi keselamatan di lokasi proyek.

  3. Fokus proyek yang berorientasi waktu dan biaya, bukan pada kesejahteraan serta keselamatan tenaga kerja.

Namun, hasil riset ini juga menunjukkan peluang besar untuk perbaikan kebijakan. Pemerintah dan industri dapat memperkuat implementasi melalui sistem manajemen keselamatan terpadu, training of trainers untuk pengawas lapangan, dan integrasi aspek K3 sejak tahap perencanaan tender proyek.

Pendekatan ini sejalan dengan praktik yang dibahas dalam “Pengantar dan Praktik Audit Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)”, di mana pelaksanaan audit berkala dapat membantu mengidentifikasi celah keselamatan serta mengukur efektivitas penerapan regulasi di lapangan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Mewajibkan Audit K3 Independen di Proyek Publik
    Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap proyek jalan menjalani audit keselamatan tahunan untuk menilai kepatuhan terhadap standar ILO. Audit ini dapat mengacu pada panduan dari “Rencana Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)” agar anggaran keselamatan tidak terabaikan.

  2. Membentuk Unit Kesehatan dan Keselamatan di Setiap Instansi Proyek
    Setiap cabang pemerintahan atau badan proyek harus memiliki divisi khusus yang bertanggung jawab atas pelatihan, konsultasi, dan inspeksi K3 secara berkala.

  3. Integrasi K3 dalam Tahap Perencanaan Proyek
    Aspek keselamatan wajib dimasukkan dalam dokumen tender, lengkap dengan anggaran pelatihan dan penyediaan APD. Langkah ini membantu memastikan bahwa keselamatan menjadi indikator performa utama proyek.

  4. Pelatihan dan Sertifikasi Wajib untuk Pengawas dan Kontraktor
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan reguler dapat meningkatkan skor keselamatan rata-rata menjadi 3,62. 

  5. Pemberian Insentif Kinerja Keselamatan
    Pemerintah dapat mengadopsi sistem penghargaan berbasis pencapaian nol kecelakaan (zero accident), mirip Safety Award Program di beberapa negara Asia. Insentif ini tidak hanya meningkatkan motivasi pekerja, tetapi juga memperkuat reputasi kontraktor dalam proyek publik.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan keselamatan kerja sering gagal karena terlalu menekankan compliance (kepatuhan administratif) ketimbang commitment (komitmen moral dan budaya kerja). Jika tidak dibarengi perubahan budaya organisasi dan keteladanan pimpinan proyek, maka aturan hanya menjadi formalitas.

Selain itu, kurangnya transparansi data kecelakaan dan lemahnya pengawasan independen dapat mengakibatkan kebijakan kehilangan arah. Tanpa basis data digital dan riset yang diperbarui secara berkala, efektivitas program K3 sulit diukur secara objektif. 

Penutup

Keselamatan kerja di proyek jalan bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga refleksi dari komitmen pembangunan manusia yang berkelanjutan. Studi Baral dan Koirala menegaskan bahwa memperkuat sistem keselamatan berarti memperkuat keberlanjutan pembangunan nasional.

Pemerintah, kontraktor, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama membangun budaya keselamatan berbasis pendidikan (education-based safety culture) agar setiap pekerja tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga sadar bahwa keselamatan adalah hak dan tanggung jawab bersama.

Sumber

Baral, P., & Koirala, M. P. (2022). Assessment of Safety and Health Practices in Road Construction. Open Journal of Safety Science and Technology, 12, 85–95. https://doi.org/10.4236/ojsst.2022.124008

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan di Konstruksi Jalan: Pelajaran dari Studi di Nepal
page 1 of 1