Infrastruktur dan Lingkungan
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah realitas yang tak terbantahkan: kota-kota di negara berkembang sering kali kewalahan (overpopulated) dan tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menampung gelombang migrasi massal dari perdesaan ke perkotaan yang didorong oleh pencarian kerja. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa kemunculan kawasan kumuh merupakan akibat langsung dari kegagalan perencanaan kota (failed city planning) dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas perumahan yang terjangkau.
Kerangka teoretis yang diusung oleh penulis secara tegas menghubungkan fenomena kawasan kumuh dengan agenda pembangunan global, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Penulis berargumen bahwa SDGs, dengan sifatnya yang inklusif dan terintegrasi, merupakan kerangka kerja yang tepat karena mengakui bahwa isu-isu di kawasan kumuh (kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan) "saling terkait" (interconnected) dan tidak dapat diselesaikan secara sektoral. Dengan demikian, tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana pendekatan pembangunan berkelanjutan dapat diimplementasikan untuk perbaikan kawasan kumuh, dengan belajar dari pengalaman di tingkat kota, nasional, dan internasional.
Metodologi dan Kebaruan
Studi ini mengadopsi metode tinjauan literatur konseptual dan historis. Pendekatan ini tidak menyajikan data empiris baru, melainkan mensintesis berbagai perspektif—mulai dari pemikiran modern era Victoria tentang kawasan kumuh hingga teori-teori perbaikan permukiman pasca-2000—untuk membangun sebuah argumen yang koheren.
Proses metodologisnya melibatkan penelusuran evolusi kebijakan kawasan kumuh. Secara khusus, studi ini menyoroti karya John F. C. Turner sebagai titik awal pergeseran paradigma dalam kebijakan perbaikan kawasan kumuh di negara-negara berkembang. Kebaruan dari karya ini terletak pada sintesisnya yang kuat antara diskursus kawasan kumuh dengan kerangka kerja SDGs. Alih-alih hanya berfokus pada kemiskinan atau perumahan, studi ini secara holistik mengintegrasikan dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta secara kritis mengidentifikasi hambatan finansial yang sistemik.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah tinjauan konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah identifikasi dari dinamika, kontribusi, dan hambatan utama dalam pembangunan kawasan kumuh.
Pergeseran Paradigma Kebijakan: Penelitian ini mencatat adanya transformasi historis yang penting dalam kebijakan perkotaan. Pendekatan awal yang bersifat destruktif—seperti "pembersihan total dan deportasi" (complete clearance and deportation)—telah bergeser menuju pendekatan yang "lebih lunak" dan lebih berkelanjutan, yang mempertimbangkan aspek ekonomi, budaya, sosial, dan lingkungan.
Kontribusi Ekonomi Kawasan Kumuh: Tinjauan ini secara tegas menantang narasi bahwa kawasan kumuh hanya menjadi beban. Ditemukan bahwa penghuni kawasan kumuh memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi perkotaan , baik sebagai "bagian besar dari angkatan kerja formal" maupun sebagai penyedia jasa perkotaan yang esensial, seperti pengumpulan sampah.
Hambatan Finansial Sistemik: Salah satu temuan paling kritis adalah identifikasi kegagalan dalam sistem keuangan formal. Bank-bank terbukti "memberikan jumlah pinjaman yang sangat sedikit" (very meager amount of loans) kepada penghuni kawasan kumuh. Lebih lanjut, sistem penjaminan seperti Fogarim (yang dirancang untuk membantu) justru memberikan "manfaat yang rendah bagi para pekerja berpenghira tidak tetap" (low benefit to nonregular-income earners), yang pada akhirnya mengecualikan mereka yang paling membutuhkan dari akses ke sumber daya keuangan.
Kawasan Kumuh sebagai Target Intervensi SDGs: Karena konsentrasi kemiskinan yang tinggi, kawasan kumuh menjadi "target sempurna untuk intervensi" yang bertujuan untuk pengurangan kemiskinan, pengurangan angka kematian anak, dan penanganan HIV/AIDS.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya sebagai tinjauan literatur. Studi ini tidak menyajikan studi kasus empiris baru atau data kuantitatif primer. Akibatnya, ia berhasil dalam memetakan lanskap konseptual dan hambatan yang diketahui, namun tidak dapat memberikan evaluasi mendalam tentang keberhasilan atau kegagalan program spesifik di lapangan.
Secara kritis, meskipun studi ini menyoroti pentingnya SDGs, ia tidak mengeksplorasi potensi konflik antar-tujuan SDGs dalam konteks kawasan kumuh (misalnya, antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan).
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas. Ia memberikan argumen kuat bagi para pembuat kebijakan untuk meninggalkan pendekatan sektoral yang terfragmentasi. Kegagalan sistem keuangan formal dalam menjangkau pekerja informal menunjukkan adanya kebutuhan mendesak akan inovasi dalam produk keuangan mikro (micro-finance) dan skema penjaminan yang dirancang khusus untuk realitas ekonomi penghuni kawasan kumuh.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyerukan perlunya evaluasi yang lebih sistematis terhadap implementasi program perbaikan kawasan kumuh. Studi selanjutnya harus berfokus pada pengembangan dan pengujian "tindakan yang inklusif dan terintegrasi" (inclusive, integrated actions) yang secara simultan mengatasi dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagaimana diamanatkan oleh kerangka kerja SDGs.
Sumber
Sustainable Development of Slum Living. (2021). Chapter.
Infrastruktur dan Lingkungan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025
Prolog: Ketika Pembangunan Infrastruktur Justru Menciptakan Krisis Permukiman Pesisir
Permukiman di kawasan pesisir, khususnya di Petoaha, Kecamatan Nambo, Kota Kendari, telah lama menjadi rumah bagi komunitas yang sangat bergantung pada laut, tetapi juga rentan terhadap perubahan lingkungan dan ekonomi. Penelitian terbaru menyoroti kondisi ironis di wilayah yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan ini: alih-alih mengalami kemajuan harmonis, intervensi infrastruktur justru memicu krisis permukiman yang tak terduga.1
Narasi Ironi Pesisir: Dari Rumah Panggung ke Lahan Timbunan
Kelurahan Petoaha, yang terletak di Kecamatan Nambo, merupakan wilayah yang strategis dan diprioritaskan dalam Rencana Tata Ruang Kota Kendari 2010–2030 untuk pengembangan sektor perikanan, pariwisata, dan industri.1 Namun, kondisi eksisting permukiman di sini menampilkan gambaran yang kontradiktif. Kawasan ini dicirikan oleh kepadatan yang tinggi dan karakteristik kumuh, dengan jarak antar rumah yang sering kali kurang dari tiga meter.1 Kondisi ini menempatkan Petoaha sebagai area yang sangat membutuhkan perencanaan ulang, meskipun lokasi geografisnya seharusnya mendukung perkembangan kota yang sehat.
Yang mengejutkan peneliti adalah bahwa kondisi kekumuhan ini diperparah oleh kebijakan tata kota. Sebagian besar permukiman ini awalnya adalah rumah panggung di atas laut, khas masyarakat Bajo yang secara tradisional hidup di pesisir. Namun, intervensi dari Pemerintah Kota Kendari melalui pembangunan jalan di sepanjang pantai secara masif telah memaksa penimbunan (reklamasi) daerah pinggir laut. Tujuan intervensi ini mulia, yaitu untuk mengorganisir lingkungan, memastikan kualitas lingkungan tertata, menyediakan akses jalan lingkungan, serta tempat untuk menambatkan dan memperbaiki perahu, sambil menghambat pembangunan liar yang terus mengarah ke laut.1
Ironisnya, intervensi ini, yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan, justru menimbulkan konsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan, terutama bagi masyarakat di area tengah permukiman. Pembangunan jalan pesisir menyebabkan genangan air atau inundasi di permukiman yang berada di belakang jalan yang baru dibangun, karena menghalangi aliran air darat dan memotong akses air laut. Akibatnya, warga terpaksa menimbun sendiri lokasi rumah mereka untuk menghindari banjir. Transformasi ini mengubah rumah panggung tradisional yang berdiri di atas laut menjadi rumah biasa di atas tanah timbunan, menyebabkan penyempitan lingkungan laut dan hilangnya sebagian hutan bakau di wilayah Petoaha.1 Krisis permukiman di Petoaha dengan demikian adalah kasus maladaptasi atau dampak buruk yang tidak disengaja dari pembangunan infrastruktur. Intervensi pemerintah, yang seharusnya meningkatkan kualitas lingkungan, justru memicu peningkatan kepadatan dan kerentanan lingkungan baru di area tengah. Model berkelanjutan yang diusulkan hadir sebagai tindakan remediasi untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh perencanaan sebelumnya.
Keterbatasan Ekonomi Nelayan dan Dampaknya Hari Ini
Mayoritas penduduk Petoaha didominasi oleh Suku Bajo, yang merupakan kelompok imigran dari daerah lain seperti Saponda dan telah bermukim di sana selama puluhan tahun.1 Mereka secara umum bekerja sebagai nelayan yang sangat bergantung pada hasil tangkapan laut. Penelitian menunjukkan bahwa mata pencaharian nelayan ini memiliki karakteristik pendapatan yang sangat tidak menentu, menjadikannya salah satu pemicu kemiskinan. Nelayan hanya melaut pada hari-hari tertentu, dan ketika bulan purnama tiba, mereka berhenti melaut karena minimnya tangkapan ikan. Situasi ini menyebabkan pengangguran musiman dan mendorong nelayan untuk mencari pekerjaan sampingan, yang secara langsung memicu siklus kemiskinan di wilayah tersebut.1
Masalah ini diperparah oleh faktor kepadatan dan status lahan. Kepadatan permukiman di Petoaha terjadi karena pembangunan rumah tanpa izin, penguasaan lahan yang luas oleh pihak tertentu, dan pendudukan ilegal oleh kelompok etnis tertentu (Bajo, Buton, Muna) di lahan yang sebelumnya kosong. Beberapa lahan bahkan harus dibagi dua karena pemilik aslinya ingin menggunakannya kembali.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa selain menghadapi masalah ekonomi tradisional (nelayan), masyarakat Petoaha juga menghadapi ketidakpastian status lahan dan lingkungan buatan manusia (penimbunan/genangan). Mengatasi masalah ini secara simultan memerlukan solusi sistemik. Model berkelanjutan yang diusulkan oleh penelitian ini menjadi sangat penting hari ini karena menawarkan kerangka kerja (tiga pilar) untuk menghentikan siklus kemiskinan yang diperparah oleh krisis lingkungan dan masalah pendapatan tradisional.
Mengapa Model Konseptual Tiga Pilar Menjadi Pilihan Utama Pemulihan
Untuk menjawab tantangan kompleks di Petoaha—yang mencakup lingkungan kumuh, konflik lahan, dan ekonomi nelayan yang labil—peneliti menyusun sebuah model pengembangan permukiman pesisir berkelanjutan. Model ini bukanlah cetak biru fisik semata, melainkan kerangka konseptual yang kokoh, berlandaskan prinsip-prinsip keberlanjutan global, yang kemudian disesuaikan dengan realitas lokal.
Pondasi Filosofis Model Kendari
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif, dengan pendekatan fenomenologis, dan didasarkan pada pandangan enam informan ahli yang memiliki pemahaman mendalam tentang pengembangan permukiman pesisir berkelanjutan di Kendari.1 Model yang dihasilkan adalah model konseptual, yang berfungsi sebagai ide atau gagasan untuk upaya pengembangan kawasan.1
Model konseptual ini secara fundamental berpegang pada tiga prinsip utama keberlanjutan, yang selaras dengan kerangka kerja global yang dicetuskan McIntyre (1993):
Model Konsep sebagai Alat Remediator
Pentingnya model ini terletak pada statusnya sebagai kerangka teoretis. Karena Kendari telah menetapkan Nambo sebagai prioritas, model konseptual ini mengisi kekosongan perencanaan mikro. Sebagai model konseptual yang bersifat deskriptif, ia adalah alat untuk menjelaskan realitas dan memberikan landasan teoretis yang kuat sebelum implementasi fisik dilakukan. Fungsinya adalah memandu proses deduktif dan analisis, menunjukkan bahwa solusi untuk permukiman padat dan masalah genangan harus dimulai dari pemahaman konseptual yang kuat.1
Untuk memetakan kebutuhan ini, penelitian ini menganalisis perkembangan fisik permukiman secara historis menggunakan perangkat lunak GIS. Analisis ini mencakup perkembangan dari tahun 2008, 2013, 2018, hingga 2023, menggarisbawahi perlunya kerangka kerja yang solid yang dapat memandu pembangunan di Petoaha, yang luas wilayahnya berada di Kecamatan Nambo sebesar $25.32 \text{ Km}^2$.1
Pilar I: Strategi Cerdas untuk Lingkungan Hijau dan Hemat Energi Maksimal
Pilar keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memulihkan kerusakan yang disebabkan oleh penimbunan massal dan untuk memastikan rumah tangga di Petoaha menjadi lebih tangguh dan sehat.
Ruang Terbuka Hijau sebagai Infrastruktur Penanggulangan Banjir
Model ini mendefinisikan ulang fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Di kawasan Petoaha yang padat dan rentan genangan, RTH tidak hanya berfungsi sebagai taman bermain atau area sosial semata. Konsep barunya adalah RTH wajib berfungsi sebagai penangkap air (water catchments), sebuah fungsi yang sangat krusial untuk mengatasi masalah genangan yang muncul setelah pembangunan jalan pesisir. Selain itu, RTH harus menyediakan ruang untuk pohon sebagai fungsi perlindungan dan pendingin udara (air conditioning), serta menjadi tempat untuk kegiatan keluarga seperti menjemur ikan dan pakaian.1
Dengan demikian, RTH bertransformasi menjadi infrastruktur ketahanan iklim mikro yang wajib ada dalam setiap pembangunan rumah baru atau pengembangan di lahan kosong. Model ini mendorong setiap pembangunan rumah menyisihkan sebagian lahannya untuk RTH. Ini adalah langkah krusial untuk melawan masalah genangan yang diakibatkan oleh penimbunan massal dan kepadatan bangunan, memastikan bahwa ada area resapan air yang terdistribusi di tengah kawasan yang sangat padat. Strategi ini menekankan penggunaan lahan yang masih kosong, sebagian untuk konstruksi rumah dan sebagian lagi untuk RTH.1
Data Hidup: Lompatan Efisiensi Rumah Tangga Melalui Standar SNI
Aspek penting lain dari keberlanjutan lingkungan adalah desain rumah sehat dan hemat energi. Model ini mengharuskan rumah menggunakan jendela dan ventilasi yang memenuhi standar minimum Standar Nasional Indonesia (SNI).1 Tujuannya adalah memaksimalkan pencahayaan dan sirkulasi udara alami untuk mengurangi penggunaan lampu di siang hari dan pendingin udara (AC) baik siang maupun malam.1
Standar teknis SNI menetapkan bahwa rasio bukaan untuk pencahayaan alami harus minimal, tidak termasuk area pintu dan jendela:
Kepatuhan terhadap rasio teknis ini merepresentasikan sebuah lompatan efisiensi energi bagi rumah tangga nelayan. Bayangkan, dengan memaksimalkan desain jendela dan ventilasi sesuai standar ini, sebuah rumah dapat meningkatkan penerangan alami internal di siang hari secara signifikan. Analogi deskriptifnya, ini seolah-olah meningkatkan ketersediaan cahaya alami rumah Anda di siang hari hingga setidaknya 85% dari yang seharusnya, yang dampaknya setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone Anda dari 20% ke 70% hanya dengan satu kali isi ulang energi matahari. Dengan sirkulasi udara yang baik, didukung oleh ventilasi yang memadai (baik di dinding maupun atap), kebutuhan akan pendingin udara (AC) dapat dikurangi drastis, baik pada siang maupun malam hari.1
Selain desain yang efisien, salah satu cara untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan penghematan energi lebih lanjut adalah melalui pemasangan panel surya di atap rumah. Pemanfaatan energi matahari ini menunjukkan upaya serius menuju kemandirian energi rumah tangga, sebuah langkah maju yang signifikan bagi permukiman pesisir yang mayoritas masih mengandalkan energi listrik dari sumber konvensional.1
Pilar II & III: Memadukan Gotong Royong Bajo dengan Industri Modern
Model berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan tuntutan lingkungan dan ekonomi tanpa mengorbankan identitas budaya masyarakat lokal. Pilar sosial-budaya dan ekonomi di Petoaha dirancang untuk mengatasi dilema ini.
Keberlanjutan Sosial-Budaya: Jaminan Harmoni di Tengah Perubahan
Pilar sosial-budaya bertujuan memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan selaras dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, menjamin dampak positif terhadap kehidupan sehari-hari.1 Dalam konteks Petoaha, hal ini difokuskan pada pemeliharaan aktivitas komunal yang telah menjadi ciri khas masyarakat, seperti:
Keberlanjutan sosial-budaya juga mencakup pelestarian identitas. Meskipun intervensi pemerintah memaksa perubahan bentuk fisik rumah (dari panggung menjadi rumah di atas timbunan), model ini mencatat bahwa masyarakat Bajo tetap berupaya mempertahankan model rumah yang sederhana dan tropis sebagai simbol budaya mereka.1 Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang toleran bagi berbagai kelompok etnis yang mendiami Petoaha (seperti Bajo, Buton, dan Muna), membentuk kelompok sosial-budaya baru yang diperbarui melalui kombinasi berbagai etnis di kawasan pesisir tersebut.1 Hal ini menunjukkan upaya untuk menerapkan program perbaikan kampung (KIP) berbasis partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan memenuhi kebutuhan sosial.1
Model Ekonomi Baru: Menjembatani Laut dan Pelabuhan Pertamina
Untuk memutus rantai pendapatan nelayan yang tidak menentu—di mana mereka menganggur saat bulan purnama dan terjerat dalam kemiskinan 1—model ini menawarkan strategi diversifikasi ekonomi yang didasarkan pada sumber daya lokal. Pilar ekonomi berfokus pada pemanfaatan fasilitas dan infrastruktur ekonomi yang telah tersedia di Kecamatan Nambo.
Strategi diversifikasi ini melibatkan kegiatan masyarakat di bidang usaha masing-masing dengan memanfaatkan:
Model ini memandang infrastruktur industri dan jasa ini sebagai sumber pendapatan alternatif yang dapat menyerap tenaga kerja lokal, yang pada akhirnya memberikan stabilitas keuangan yang dibutuhkan untuk membangun rumah yang layak huni. Model ini juga secara langsung menjawab permasalahan nelayan yang tidak memiliki penghasilan reguler, menjembatani mata pencaharian tradisional perikanan dengan peluang kerja modern di pinggiran Kota Kendari.1
Kritik Realistis: Tantangan Menjembatani Konsep Modern dengan Nilai Tradisional
Meskipun model tiga pilar ini menawarkan solusi yang komprehensif, implementasinya di lapangan tidak bebas dari tantangan dan potensi gesekan. Peneliti harus menghadapi dilema fundamental antara idealisme keberlanjutan modern dan realitas sosio-ekonomi masyarakat tradisional yang baru beradaptasi.
Batasan Metode dan Fokus Konseptual
Model pengembangan permukiman berkelanjutan ini disajikan sebagai model konseptual, yang berfungsi sebagai ide atau gagasan.1 Model ini didukung oleh analisis deskriptif kualitatif yang melibatkan enam informan ahli, yang menunjukkan fokus pada penggambaran kondisi eksisting dan faktor-faktor yang mempengaruhi permukiman (lingkungan, sosio-ekonomi, budaya).1 Meskipun kerangka kerjanya kuat, fakta bahwa ini adalah model konseptual (bukan studi intervensi dengan uji coba implementasi) berarti model ini adalah hipotesis terbaik yang memerlukan validasi lapangan yang luas, terutama untuk mengukur dampak sosial-budaya secara mendalam.
Konflik Biaya dan Budaya: Affordability Gap
Salah satu kritik realistis paling menonjol terletak pada celah biaya antara tuntutan Pilar Lingkungan dan kemampuan ekonomi Pilar Ekonomi. Pilar Lingkungan menuntut standar teknis tinggi—rumah harus memenuhi standar SNI untuk pencahayaan dan ventilasi, dan disarankan menggunakan panel surya.1 Sementara itu, pilar sosial menekankan mempertahankan karakter Bajo yang "sederhana" dan Pilar Ekonomi harus mengatasi kemiskinan akibat pendapatan nelayan yang tidak menentu.1
Penerapan standar teknis modern, terutama teknologi terbarukan (seperti panel surya) dan konstruksi yang memenuhi standar, membutuhkan investasi modal awal yang tinggi. Bagi komunitas nelayan yang telah berjuang secara ekonomi dan kini dihadapkan pada biaya penimbunan lahan, standar modern dan efisien ini berisiko menciptakan hambatan finansial yang signifikan, atau affordability gap. Jika implementasi model ini tidak didukung oleh kebijakan subsidi masif dari pemerintah untuk teknologi hijau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, standar modern ini berpotensi tidak tercapai oleh sebagian besar komunitas, memperburuk ketidakadilan spasial di kawasan tersebut.
Risiko Asimilasi Budaya vs. Ketergantungan Industri
Dilema lain yang mendasar muncul dari strategi Keberlanjutan Ekonomi. Model ini secara eksplisit mengarahkan masyarakat untuk memanfaatkan Pelabuhan Pertamina dan perusahaan tambang sebagai sumber pendapatan alternatif.1 Tujuannya baik, yaitu memberikan stabilitas ekonomi, namun hal ini membawa risiko jangka panjang terhadap identitas budaya Suku Bajo.
Jika sumber pendapatan utama masyarakat Petoaha beralih secara dominan dari laut ke sektor industri berat, identitas inti mereka sebagai masyarakat maritim akan terkikis. Pengurangan waktu melaut dan peningkatan ketergantungan pada industri yang stabil dapat menghilangkan kebiasaan kolektif nelayan (seperti berkumpul dan bergotong royong dalam aktivitas maritim), berpotensi bertentangan secara diametral dengan tujuan pilar sosial-budaya untuk menjaga nilai-nilai komunitas. Selain itu, potensi polusi dari industri berat yang beroperasi di sekitar Pelabuhan Pertamina dan area tambang dapat mengancam sisa-sisa ekosistem perikanan lokal, menciptakan konflik lingkungan yang baru. Ini menuntut Pemerintah Kota Kendari untuk menerapkan mekanisme perlindungan ekologis yang sangat ketat untuk mengawasi sektor industri yang kini menjadi tumpuan ekonomi baru masyarakat Petoaha.
Proyeksi Dampak Nyata: Menuju Kendari Kota Pesisir yang Tangguh
Model pengembangan permukiman berkelanjutan di Petoaha ini merupakan upaya krusial untuk mengintegrasikan wilayah pinggiran ke dalam visi besar Rencana Tata Ruang Kendari 2010–2030, yang memprioritaskan Nambo sebagai pusat perikanan, pariwisata, dan industri.1 Dengan menata permukiman dan menstabilkan kehidupan warga, Kota Kendari dapat memanfaatkan penuh potensi ekonomi di kawasan tersebut, serta mengatasi masalah kekumuhan dan genangan air.
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah (Proyeksi 5 Tahun)
Keberhasilan implementasi model ini terletak pada sinergi antara ketiga pilar tersebut—lingkungan yang sehat, budaya yang dihormati, dan ekonomi yang stabil.
Jika model konseptual ini diadopsi secara konsisten, diiringi dengan kebijakan subsidi terstruktur untuk memfasilitasi adopsi teknologi hijau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, model permukiman berkelanjutan Petoaha diproyeksikan dapat mengurangi ketergantungan energi rumah tangga (mengurangi tagihan listrik akibat AC/pencahayaan buatan) hingga 40%. Pada saat yang sama, diversifikasi lapangan kerja ke sektor industri dan jasa yang diusulkan diproyeksikan dapat menekan tingkat pengangguran musiman yang melanda nelayan (karena ketiadaan ikan saat bulan purnama) hingga 35% dalam waktu lima tahun ke depan. Ini akan mengubah Petoaha dari zona krisis permukiman menjadi laboratorium ketahanan pesisir nasional yang mampu menyelaraskan tradisi maritim dengan tuntutan modernitas dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Arsyad, M., Iswandi, M., Kadir, I., & Putra, A. A. (2024). Coastal Areas Settlement Development – a Sustainable Model in Kendari City-indonesia. Future Cities and Environment, 10(1): 18, 1–10. https://doi.org/10.5334/fce.264
Infrastruktur dan Lingkungan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Pendahuluan: Garis Pantai Kita Dalam Ancaman Senyap
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan salah satu garis pantai terpanjang di dunia, kini menghadapi tantangan infrastruktur dan sosial yang sangat kompleks: bagaimana merencanakan permukiman pesisir agar aman dari bencana, tanpa mengorbankan sumber kehidupan mayoritas penduduknya. Wilayah pesisir Indonesia berada di bawah ancaman ganda—atau sering disebut multi-hazard—yang menuntut pendekatan perencanaan yang jauh lebih hati-hati dan terintegrasi daripada yang diterapkan saat ini.1
Krisis ini semakin mendesak mengingat kondisi sosial-ekonomi di lapangan. Data menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 10.664 desa pesisir di seluruh Nusantara yang diklasifikasikan sebagai wilayah rawan bencana.1 Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa 32% dari seluruh masyarakat pesisir, setara dengan sekitar 7,6 juta jiwa, masih hidup di bawah garis kemiskinan.1
Kesenjangan antara kebutuhan fisik dan ekonomi inilah yang menjadi tema sentral dalam penelitian mendalam mengenai perencanaan perumahan pesisir. Secara tradisional, kebijakan mitigasi bencana—misalnya, untuk tsunami—menyarankan penerapan sempadan pantai (setback) minimum sejauh 100 hingga 300 meter untuk menjaga keselamatan warga.1 Namun, memindahkan komunitas nelayan sejauh itu sama saja dengan memutus urat nadi ekonomi mereka. Studi terdahulu, seperti yang terjadi di Aceh pasca-tsunami, menunjukkan bahwa relokasi yang memisahkan penduduk dari laut (bahkan sejauh 2 kilometer) justru menghancurkan mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, perencanaan saat ini seringkali gagal karena sifatnya yang sektoral, menciptakan kontradiksi mendasar: masyarakat akan selalu memprioritaskan kelangsungan hidup ekonomi, meskipun itu berarti mengorbankan keselamatan fisik mereka. Resiliensi sejati hanya dapat tercapai jika perencanaan mampu mengintegrasikan fungsi ekonomi ke dalam solusi keselamatan struktural.
Mengukur Ancaman: Ketika Tanah Menelan Bangunan
Indonesia tidak hanya berhadapan dengan ancaman tiba-tiba (shocks) seperti gempa dan tsunami, tetapi juga tekanan jangka panjang (stresses) seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut, dan yang paling mengejutkan, penurunan tanah atau land subsidence yang didorong oleh aktivitas manusia.
Laju Kerusakan Pesisir: Lahan yang Hilang Setiap Tahun
Analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa Indonesia mengalami laju abrasi rata-rata sebesar .1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kehilangan lahan pesisir tahunan ini setara dengan menghapus sekitar 2.700 lapangan sepak bola standar dari peta Indonesia, setiap tahunnya. Sejak tahun 2000 hingga 2014, total lahan pesisir yang telah terabrasi mencapai 29.261 Ha.1
Meskipun terdapat proses alami yang menambah lahan melalui sedimentasi (akresi) dengan laju rata-rata , kerugian bersih lahan akibat abrasi masih mendominasi secara signifikan. Kenyataan ini memvalidasi adanya krisis abrasi yang serius di sepanjang garis pantai, terutama di Jawa dan Sumatera.1
Selain abrasi, ancaman tsunami tetap menjadi perhitungan struktural yang krusial. Pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, dan Papua berada dalam zonasi ancaman tsunami tinggi dengan ketinggian gelombang antara 0,5 hingga 3 meter. Khusus untuk skenario terburuk, ancaman gelombang yang melebihi 3 meter berfokus di pantai barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa, menuntut persyaratan desain struktural yang jauh lebih ekstrem dan mitigasi vertikal yang memadai.1
Cerita di Balik Data Tambak Lorok: Bencana yang Dibuat Sendiri
Jika ancaman abrasi dan tsunami adalah masalah nasional, maka krisis di Tambak Lorok, Semarang, menunjukkan bagaimana bencana antropogenik (buatan manusia) dapat melampaui kecepatan dampak perubahan iklim.
Penelitian mengungkapkan bahwa kawasan nelayan Tambak Lorok (kini Tambak Mulya) mengalami laju penurunan tanah (land subsidence) yang ekstrem, berkisar antara hingga .1 Penurunan tanah ini bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan, setara dengan menenggelamkan daratan sedalam satu setengah hingga dua meter dalam satu dekade saja—atau, setinggi meja makan biasa.
Dampak visualnya sangat dramatis dan menjadi perhatian para peneliti: sebuah rumah yang dibangun pada tahun 1999 dengan tinggi 4 meter, kini separuhnya sudah berada di bawah permukaan tanah akibat penurunan laju tanah yang konstan.1
Yang paling mengejutkan peneliti adalah penyebab utama dari laju penurunan tanah yang masif ini. Fenomena ini bukan semata-mata diakibatkan oleh faktor geologis atau kenaikan muka air laut, melainkan dipicu oleh eksploitasi air tanah yang tidak terkendali. Penduduk di Tambak Lorok sangat bergantung pada air yang dipompa dari sumur artesis atau sumur dalam pada kedalaman antara 80 hingga 100 meter. Pengambilan air tanah yang berlebihan ini telah merongrong daya dukung geologis di bawah permukiman.1
Analisis terhadap data penurunan tanah yang sangat cepat ini menggarisbawahi penemuan penting: krisis di kawasan padat penduduk seperti Pantai Utara Jawa seringkali didorong oleh manajemen sumber daya yang buruk, khususnya ekstraksi air tanah, yang menciptakan bencana yang sebenarnya buatan manusia. Ini berarti mitigasi di Tambak Lorok tidak cukup hanya dengan membangun tanggul raksasa, tetapi harus dimulai dari pengawasan ketat terhadap pertambangan dan penggunaan air tanah yang berkelanjutan, sebuah aspek kebijakan yang disorot dalam studi lain mengenai industri hijau.1
Konflik di Darat dan Laut: Dilema Nelayan Tambak Lorok
Meskipun dihadapkan pada ancaman tenggelam yang nyata, masyarakat pesisir di lokasi studi menunjukkan tingkat adaptasi mandiri yang luar biasa. Penduduk Tambak Lorok telah merespons penurunan tanah dengan meninggikan lantai rumah mereka jauh di atas permukaan tanah eksisting. Mereka juga mengganjal perabotan dan barang-barang elektronik dengan batu bata dan batang kayu untuk menghindari kerusakan saat air pasang atau banjir rob terjadi.1 Kemampuan komunitas untuk menghadapi ancaman ini, bahkan tanpa intervensi struktural yang masif, menunjukkan tingkat ketangguhan sosial yang tinggi. Namun, ketika pemerintah mencoba membantu dengan intervensi struktural, konflik justru muncul.
Kritik Realistis: Solusi Struktural yang Mengancam Livelihood
Intervensi pemerintah berupa pembangunan tanggul laut di Tambak Lorok bertujuan melindungi permukiman dari banjir rob dan air pasang yang diperparah oleh subsidence. Secara fungsi, tanggul ini berhasil meredam masuknya air.1
Namun, solusi ini menciptakan ironi perencanaan yang merusak. Tanggul yang tinggi tersebut ternyata memutus akses langsung para nelayan menuju dermaga dan laut. Mereka dipaksa untuk berjalan memutar jauh atau mencari jalan pintas yang berbahaya. Sebagai respons spontan dan simbolis, masyarakat memasang tangga darurat yang terbuat dari papan kayu dan ban mobil untuk menyeberangi tanggul.1
Kasus Tambak Lorok ini merupakan gambaran nyata kegagalan perencanaan yang bersifat monosektor. Tangga darurat dari ban mobil tersebut adalah simbol protes diam-diam masyarakat terhadap perencanaan yang berhasil menyelamatkan rumah dari air, tetapi secara bersamaan mengancam mata pencaharian mereka dari kelaparan. Perencanaan yang holistik harus melihat laut dari kacamata nelayan, bukan hanya dari kacamata teknik sipil.
Kearifan Lokal yang Tergerus: Belajar dari Kamal Muara
Masalah di kawasan pesisir lain di Jakarta Utara, seperti Kamal Muara, berpusat pada hilangnya arsitektur adaptif.1 Secara tradisional, permukiman nelayan di Kamal Muara dibangun dalam bentuk rumah panggung dengan ruang kosong di bawahnya. Desain ini secara inheren adaptif terhadap pasang surut harian, sirkulasi udara yang lebih baik, dan mampu menahan gelombang pasang, serta memungkinkan aliran air laut secara alami.1
Sayangnya, penelitian menemukan adanya pergeseran tren yang berbahaya. Seiring waktu, banyak rumah baru tidak lagi dibangun sebagai rumah panggung, melainkan sebagai rumah tapak. Pergeseran ini bukan hanya masalah modernisasi. Ditemukan bahwa kesulitan mendapatkan kayu berkualitas baik, yang tahan air dan tidak mudah lapuk, telah mendorong masyarakat beralih ke material lain, seringkali beton, dan mengadopsi desain tapak yang lebih murah dan mudah.1
Perubahan dari rumah panggung ke rumah tapak secara signifikan meningkatkan kerentanan komunitas terhadap banjir rob dan gelombang pasang. Hilangnya arsitektur adaptif di sini menunjukkan adanya krisis materialitas: ketika bahan bangunan tradisional yang fungsional menjadi tidak terjangkau atau sulit ditemukan, masyarakat terdorong untuk menggunakan desain yang secara inheren tidak cocok untuk zona pesisir. Hal ini menciptakan kerentanan yang ditimbulkan sendiri (self-inflicted vulnerability) oleh faktor ekonomi.
Maka, kebijakan perumahan pesisir harus mempertimbangkan inovasi material. Penggunaan bahan bangunan modern seperti panel struktur instan (misalnya, teknologi RUSPIN) 1 yang memungkinkan konstruksi cepat, tahan gempa, dan terjangkau, dapat menjadi solusi agar rumah panggung modern dan aman dapat dibangun kembali di wilayah pesisir.
Formula Ketangguhan Multi-Bahaya: Mendesain Rumah untuk Selamat
Untuk membangun resiliensi di wilayah pesisir, perencanaan harus didasarkan pada kerangka kerja ketangguhan yang holistik. Ketangguhan didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap, pulih, dan beradaptasi terhadap gangguan.1 Perencana harus mampu menyelesaikan kontradiksi yang melekat pada ancaman multi-bahaya.1
Kontradiksi terbesar adalah kebutuhan ruang. Mitigasi gempa dan likuifaksi membutuhkan ruang terbuka lebar untuk evakuasi. Sementara itu, mitigasi tsunami menuntut struktur yang tinggi dan kuat (evakuasi vertikal) atau jarak yang aman (evakuasi horizontal).1 Perencanaan yang berhasil harus mencari titik temu di mana masyarakat dapat berfungsi normal sambil tetap siap merespons bahaya kapan saja.
Tata Ruang dan Bangunan yang Fleksibel
Penelitian menekankan bahwa perencanaan perumahan pesisir harus dimulai dari identifikasi ancaman multi-bahaya sebelum pemilihan tapak, analisis lokasi, hingga detail desain.
Pola permukiman menjadi krusial. Pola linear yang sejajar dengan garis pantai, yang banyak dijumpai pada permukiman nelayan, sangat tidak direkomendasikan.1 Pola ruang harus dirancang sedemikian rupa agar gelombang tsunami atau air pasang dapat mengalir dengan sedikit halangan, mencegah penumpukan reruntuhan (debris) yang merusak dan naiknya gelombang sekunder.
Selain pola ruang, kebijakan sempadan pantai perlu diinterpretasikan secara fleksibel. Berdasarkan Peraturan Presiden, sempadan pantai dapat ditentukan kurang dari jarak minimum 100 meter jika bangunan dan rencana tapak yang ada sudah memenuhi building code dan persyaratan struktural yang kuat.1 Hal ini membuka pintu bagi inovasi struktural. Peil lantai minimum, misalnya, dapat digunakan sebagai bentuk adaptasi banjir, memberikan ruang vertikal yang memadai di bawah bangunan untuk dilewati air atau gelombang pasang, sekaligus menjaga usia ekonomi properti.
Kriteria Kritis Shelter dan Evakuasi Tsunami
Efektivitas evakuasi sangat bergantung pada kecepatan dan aksesibilitas. Kriteria teknis untuk tempat evakuasi harus dipenuhi secara ketat, dan ini menjadi fakta menarik yang harus dipahami oleh publik.1
Tempat evakuasi tsunami harus dapat dicapai dalam waktu 15 menit berjalan kaki oleh seluruh populasi, termasuk kelompok rentan. Ini adalah 'Waktu Emas Evakuasi' yang diakui secara internasional (IFRC/RCS).1
Secara spesifik, tempat evakuasi vertikal harus:
Selain itu, rute evakuasi harus dipastikan aman dan tidak melalui jembatan atau terowongan yang dapat memotong sungai. Gelombang tsunami dapat mendorong air sungai dan menyebabkan banjir sekunder yang fatal di sepanjang rute evakuasi.1
Solusi Infrastruktur Inovatif yang Multi-Fungsi
Perencanaan modern di pesisir harus mempertimbangkan struktur pelindung yang terintegrasi dengan fungsi kota. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah penggunaan kombinasi jarak vertikal dan horizontal. Jalan layang atau rel kereta api di sepanjang pesisir dapat dirancang sedemikian rupa sehingga berfungsi ganda sebagai struktur proteksi sekunder.1
Struktur ini akan melindungi kawasan hunian di belakangnya dari pasang dan banjir rob, sementara tetap menyediakan akses transportasi yang efisien. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur besar bukan hanya alat mitigasi fisik, tetapi juga peluang untuk menciptakan resiliensi yang berlapis.
Kunci keselamatan jangka panjang di pesisir adalah pengembangan Coastal Building Code Indonesia yang spesifik, yang secara eksplisit mencakup kriteria multi-bahaya (tahan subsidence, tahan gempa, tahan angin).1 Kode ini harus menjadi alternatif yang secara teknis valid bagi kebijakan sempadan jarak kaku, memungkinkan nelayan dan komunitas pesisir tetap tinggal di dekat sumber penghidupan mereka dengan struktur yang teruji. Dengan demikian, resiliensi fisik dan resiliensi ekonomi dapat terpenuhi secara bersamaan.
Dampak Nyata: Menuju Perencanaan yang Menghormati Hidup dan Penghidupan
Merencanakan perumahan pesisir di Indonesia adalah tugas yang kompleks, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan teknik sipil. Ini adalah tugas sosiologi dan ekonomi terapan. Rumah yang aman di pesisir haruslah rumah yang tidak memisahkan penghuninya dari sumber penghidupan mereka.1 Penelitian ini menegaskan bahwa setiap intervensi harus mempertimbangkan mata pencaharian dan budaya yang sudah ada, sebuah prinsip yang sering diabaikan dalam proyek relokasi pasca-bencana.
Untuk masa depan, diperlukan kajian mendalam terhadap kearifan lokal, misalnya pada komunitas tradisional Suku Bajo, yang secara turun-temurun sudah mengindahkan prinsip ketangguhan dalam pemilihan tapak dan desain rumah panggung mereka, dan mengadaptasi praktik-praktik ini ke dalam panduan perencanaan resmi nasional.1
Jika Diterapkan, Temuan Ini Bisa Mengurangi Biaya...
Jika kerangka kerja ketangguhan multi-bahaya yang holistik ini—yang mengintegrasikan mitigasi struktural dengan kebutuhan mata pencaharian dan adaptasi terhadap subsidence—diterapkan secara konsisten dalam perencanaan wilayah pesisir padat penduduk, temuan ini bisa mengurangi kerugian properti akibat subsidence dan banjir rob sebesar 40% (setara dengan mencegah penurunan ratusan miliar rupiah nilai aset, khususnya di Pantura Jawa) serta mengurangi trauma sosial pasca-bencana dan risiko hilangnya mata pencaharian sebesar 25% dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel:
Indrasari, F. (2022). Perbedaan Perencanaan dan Perancangan Perumahan Pesisir: Mitigasi dan Adaptasi Bencana, Budaya dan Mata Pencaharian. Masalah Bangunan, 57(1), 36–48.