Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Pesisir Indonesia yang Kian Rapuh – dan Ini yang Harus Kita Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

08 Oktober 2025, 10.08

unsplash.com

Pendahuluan: Garis Pantai Kita Dalam Ancaman Senyap

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan salah satu garis pantai terpanjang di dunia, kini menghadapi tantangan infrastruktur dan sosial yang sangat kompleks: bagaimana merencanakan permukiman pesisir agar aman dari bencana, tanpa mengorbankan sumber kehidupan mayoritas penduduknya. Wilayah pesisir Indonesia berada di bawah ancaman ganda—atau sering disebut multi-hazard—yang menuntut pendekatan perencanaan yang jauh lebih hati-hati dan terintegrasi daripada yang diterapkan saat ini.1

Krisis ini semakin mendesak mengingat kondisi sosial-ekonomi di lapangan. Data menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 10.664 desa pesisir di seluruh Nusantara yang diklasifikasikan sebagai wilayah rawan bencana.1 Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa 32% dari seluruh masyarakat pesisir, setara dengan sekitar 7,6 juta jiwa, masih hidup di bawah garis kemiskinan.1

Kesenjangan antara kebutuhan fisik dan ekonomi inilah yang menjadi tema sentral dalam penelitian mendalam mengenai perencanaan perumahan pesisir. Secara tradisional, kebijakan mitigasi bencana—misalnya, untuk tsunami—menyarankan penerapan sempadan pantai (setback) minimum sejauh 100 hingga 300 meter untuk menjaga keselamatan warga.1 Namun, memindahkan komunitas nelayan sejauh itu sama saja dengan memutus urat nadi ekonomi mereka. Studi terdahulu, seperti yang terjadi di Aceh pasca-tsunami, menunjukkan bahwa relokasi yang memisahkan penduduk dari laut (bahkan sejauh 2 kilometer) justru menghancurkan mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, perencanaan saat ini seringkali gagal karena sifatnya yang sektoral, menciptakan kontradiksi mendasar: masyarakat akan selalu memprioritaskan kelangsungan hidup ekonomi, meskipun itu berarti mengorbankan keselamatan fisik mereka. Resiliensi sejati hanya dapat tercapai jika perencanaan mampu mengintegrasikan fungsi ekonomi ke dalam solusi keselamatan struktural.

 

Mengukur Ancaman: Ketika Tanah Menelan Bangunan

Indonesia tidak hanya berhadapan dengan ancaman tiba-tiba (shocks) seperti gempa dan tsunami, tetapi juga tekanan jangka panjang (stresses) seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut, dan yang paling mengejutkan, penurunan tanah atau land subsidence yang didorong oleh aktivitas manusia.

Laju Kerusakan Pesisir: Lahan yang Hilang Setiap Tahun

Analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa Indonesia mengalami laju abrasi rata-rata sebesar .1 Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, kehilangan lahan pesisir tahunan ini setara dengan menghapus sekitar 2.700 lapangan sepak bola standar dari peta Indonesia, setiap tahunnya. Sejak tahun 2000 hingga 2014, total lahan pesisir yang telah terabrasi mencapai 29.261 Ha.1

Meskipun terdapat proses alami yang menambah lahan melalui sedimentasi (akresi) dengan laju rata-rata , kerugian bersih lahan akibat abrasi masih mendominasi secara signifikan. Kenyataan ini memvalidasi adanya krisis abrasi yang serius di sepanjang garis pantai, terutama di Jawa dan Sumatera.1

Selain abrasi, ancaman tsunami tetap menjadi perhitungan struktural yang krusial. Pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, dan Papua berada dalam zonasi ancaman tsunami tinggi dengan ketinggian gelombang antara 0,5 hingga 3 meter. Khusus untuk skenario terburuk, ancaman gelombang yang melebihi 3 meter berfokus di pantai barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa, menuntut persyaratan desain struktural yang jauh lebih ekstrem dan mitigasi vertikal yang memadai.1

Cerita di Balik Data Tambak Lorok: Bencana yang Dibuat Sendiri

Jika ancaman abrasi dan tsunami adalah masalah nasional, maka krisis di Tambak Lorok, Semarang, menunjukkan bagaimana bencana antropogenik (buatan manusia) dapat melampaui kecepatan dampak perubahan iklim.

Penelitian mengungkapkan bahwa kawasan nelayan Tambak Lorok (kini Tambak Mulya) mengalami laju penurunan tanah (land subsidence) yang ekstrem, berkisar antara  hingga .1 Penurunan tanah ini bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan, setara dengan menenggelamkan daratan sedalam satu setengah hingga dua meter dalam satu dekade saja—atau, setinggi meja makan biasa.

Dampak visualnya sangat dramatis dan menjadi perhatian para peneliti: sebuah rumah yang dibangun pada tahun 1999 dengan tinggi 4 meter, kini separuhnya sudah berada di bawah permukaan tanah akibat penurunan laju tanah yang konstan.1

Yang paling mengejutkan peneliti adalah penyebab utama dari laju penurunan tanah yang masif ini. Fenomena ini bukan semata-mata diakibatkan oleh faktor geologis atau kenaikan muka air laut, melainkan dipicu oleh eksploitasi air tanah yang tidak terkendali. Penduduk di Tambak Lorok sangat bergantung pada air yang dipompa dari sumur artesis atau sumur dalam pada kedalaman antara 80 hingga 100 meter. Pengambilan air tanah yang berlebihan ini telah merongrong daya dukung geologis di bawah permukiman.1

Analisis terhadap data penurunan tanah yang sangat cepat ini menggarisbawahi penemuan penting: krisis di kawasan padat penduduk seperti Pantai Utara Jawa seringkali didorong oleh manajemen sumber daya yang buruk, khususnya ekstraksi air tanah, yang menciptakan bencana yang sebenarnya buatan manusia. Ini berarti mitigasi di Tambak Lorok tidak cukup hanya dengan membangun tanggul raksasa, tetapi harus dimulai dari pengawasan ketat terhadap pertambangan dan penggunaan air tanah yang berkelanjutan, sebuah aspek kebijakan yang disorot dalam studi lain mengenai industri hijau.1

Konflik di Darat dan Laut: Dilema Nelayan Tambak Lorok

Meskipun dihadapkan pada ancaman tenggelam yang nyata, masyarakat pesisir di lokasi studi menunjukkan tingkat adaptasi mandiri yang luar biasa. Penduduk Tambak Lorok telah merespons penurunan tanah dengan meninggikan lantai rumah mereka jauh di atas permukaan tanah eksisting. Mereka juga mengganjal perabotan dan barang-barang elektronik dengan batu bata dan batang kayu untuk menghindari kerusakan saat air pasang atau banjir rob terjadi.1 Kemampuan komunitas untuk menghadapi ancaman ini, bahkan tanpa intervensi struktural yang masif, menunjukkan tingkat ketangguhan sosial yang tinggi. Namun, ketika pemerintah mencoba membantu dengan intervensi struktural, konflik justru muncul.

Kritik Realistis: Solusi Struktural yang Mengancam Livelihood

Intervensi pemerintah berupa pembangunan tanggul laut di Tambak Lorok bertujuan melindungi permukiman dari banjir rob dan air pasang yang diperparah oleh subsidence. Secara fungsi, tanggul ini berhasil meredam masuknya air.1

Namun, solusi ini menciptakan ironi perencanaan yang merusak. Tanggul yang tinggi tersebut ternyata memutus akses langsung para nelayan menuju dermaga dan laut. Mereka dipaksa untuk berjalan memutar jauh atau mencari jalan pintas yang berbahaya. Sebagai respons spontan dan simbolis, masyarakat memasang tangga darurat yang terbuat dari papan kayu dan ban mobil untuk menyeberangi tanggul.1

Kasus Tambak Lorok ini merupakan gambaran nyata kegagalan perencanaan yang bersifat monosektor. Tangga darurat dari ban mobil tersebut adalah simbol protes diam-diam masyarakat terhadap perencanaan yang berhasil menyelamatkan rumah dari air, tetapi secara bersamaan mengancam mata pencaharian mereka dari kelaparan. Perencanaan yang holistik harus melihat laut dari kacamata nelayan, bukan hanya dari kacamata teknik sipil.

Kearifan Lokal yang Tergerus: Belajar dari Kamal Muara

Masalah di kawasan pesisir lain di Jakarta Utara, seperti Kamal Muara, berpusat pada hilangnya arsitektur adaptif.1 Secara tradisional, permukiman nelayan di Kamal Muara dibangun dalam bentuk rumah panggung dengan ruang kosong di bawahnya. Desain ini secara inheren adaptif terhadap pasang surut harian, sirkulasi udara yang lebih baik, dan mampu menahan gelombang pasang, serta memungkinkan aliran air laut secara alami.1

Sayangnya, penelitian menemukan adanya pergeseran tren yang berbahaya. Seiring waktu, banyak rumah baru tidak lagi dibangun sebagai rumah panggung, melainkan sebagai rumah tapak. Pergeseran ini bukan hanya masalah modernisasi. Ditemukan bahwa kesulitan mendapatkan kayu berkualitas baik, yang tahan air dan tidak mudah lapuk, telah mendorong masyarakat beralih ke material lain, seringkali beton, dan mengadopsi desain tapak yang lebih murah dan mudah.1

Perubahan dari rumah panggung ke rumah tapak secara signifikan meningkatkan kerentanan komunitas terhadap banjir rob dan gelombang pasang. Hilangnya arsitektur adaptif di sini menunjukkan adanya krisis materialitas: ketika bahan bangunan tradisional yang fungsional menjadi tidak terjangkau atau sulit ditemukan, masyarakat terdorong untuk menggunakan desain yang secara inheren tidak cocok untuk zona pesisir. Hal ini menciptakan kerentanan yang ditimbulkan sendiri (self-inflicted vulnerability) oleh faktor ekonomi.

Maka, kebijakan perumahan pesisir harus mempertimbangkan inovasi material. Penggunaan bahan bangunan modern seperti panel struktur instan (misalnya, teknologi RUSPIN) 1 yang memungkinkan konstruksi cepat, tahan gempa, dan terjangkau, dapat menjadi solusi agar rumah panggung modern dan aman dapat dibangun kembali di wilayah pesisir.

 

Formula Ketangguhan Multi-Bahaya: Mendesain Rumah untuk Selamat

Untuk membangun resiliensi di wilayah pesisir, perencanaan harus didasarkan pada kerangka kerja ketangguhan yang holistik. Ketangguhan didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap, pulih, dan beradaptasi terhadap gangguan.1 Perencana harus mampu menyelesaikan kontradiksi yang melekat pada ancaman multi-bahaya.1

Kontradiksi terbesar adalah kebutuhan ruang. Mitigasi gempa dan likuifaksi membutuhkan ruang terbuka lebar untuk evakuasi. Sementara itu, mitigasi tsunami menuntut struktur yang tinggi dan kuat (evakuasi vertikal) atau jarak yang aman (evakuasi horizontal).1 Perencanaan yang berhasil harus mencari titik temu di mana masyarakat dapat berfungsi normal sambil tetap siap merespons bahaya kapan saja.

Tata Ruang dan Bangunan yang Fleksibel

Penelitian menekankan bahwa perencanaan perumahan pesisir harus dimulai dari identifikasi ancaman multi-bahaya sebelum pemilihan tapak, analisis lokasi, hingga detail desain.

Pola permukiman menjadi krusial. Pola linear yang sejajar dengan garis pantai, yang banyak dijumpai pada permukiman nelayan, sangat tidak direkomendasikan.1 Pola ruang harus dirancang sedemikian rupa agar gelombang tsunami atau air pasang dapat mengalir dengan sedikit halangan, mencegah penumpukan reruntuhan (debris) yang merusak dan naiknya gelombang sekunder.

Selain pola ruang, kebijakan sempadan pantai perlu diinterpretasikan secara fleksibel. Berdasarkan Peraturan Presiden, sempadan pantai dapat ditentukan kurang dari jarak minimum 100 meter jika bangunan dan rencana tapak yang ada sudah memenuhi building code dan persyaratan struktural yang kuat.1 Hal ini membuka pintu bagi inovasi struktural. Peil lantai minimum, misalnya, dapat digunakan sebagai bentuk adaptasi banjir, memberikan ruang vertikal yang memadai di bawah bangunan untuk dilewati air atau gelombang pasang, sekaligus menjaga usia ekonomi properti.

Kriteria Kritis Shelter dan Evakuasi Tsunami

Efektivitas evakuasi sangat bergantung pada kecepatan dan aksesibilitas. Kriteria teknis untuk tempat evakuasi harus dipenuhi secara ketat, dan ini menjadi fakta menarik yang harus dipahami oleh publik.1

Tempat evakuasi tsunami harus dapat dicapai dalam waktu 15 menit berjalan kaki oleh seluruh populasi, termasuk kelompok rentan. Ini adalah 'Waktu Emas Evakuasi' yang diakui secara internasional (IFRC/RCS).1

Secara spesifik, tempat evakuasi vertikal harus:

  • Memiliki ketinggian minimal 4 lantai untuk menjamin keamanan dari gelombang tertinggi.
  • Memiliki kekuatan struktural yang dirancang untuk menahan guncangan gempa bumi besar.
  • Digunakan secara rutin (misalnya sebagai sekolah atau kantor) untuk efisiensi pemeliharaan dan menjamin kesiapan akses 24 jam.

Selain itu, rute evakuasi harus dipastikan aman dan tidak melalui jembatan atau terowongan yang dapat memotong sungai. Gelombang tsunami dapat mendorong air sungai dan menyebabkan banjir sekunder yang fatal di sepanjang rute evakuasi.1

Solusi Infrastruktur Inovatif yang Multi-Fungsi

Perencanaan modern di pesisir harus mempertimbangkan struktur pelindung yang terintegrasi dengan fungsi kota. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah penggunaan kombinasi jarak vertikal dan horizontal. Jalan layang atau rel kereta api di sepanjang pesisir dapat dirancang sedemikian rupa sehingga berfungsi ganda sebagai struktur proteksi sekunder.1

Struktur ini akan melindungi kawasan hunian di belakangnya dari pasang dan banjir rob, sementara tetap menyediakan akses transportasi yang efisien. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur besar bukan hanya alat mitigasi fisik, tetapi juga peluang untuk menciptakan resiliensi yang berlapis.

Kunci keselamatan jangka panjang di pesisir adalah pengembangan Coastal Building Code Indonesia yang spesifik, yang secara eksplisit mencakup kriteria multi-bahaya (tahan subsidence, tahan gempa, tahan angin).1 Kode ini harus menjadi alternatif yang secara teknis valid bagi kebijakan sempadan jarak kaku, memungkinkan nelayan dan komunitas pesisir tetap tinggal di dekat sumber penghidupan mereka dengan struktur yang teruji. Dengan demikian, resiliensi fisik dan resiliensi ekonomi dapat terpenuhi secara bersamaan.

 

Dampak Nyata: Menuju Perencanaan yang Menghormati Hidup dan Penghidupan

Merencanakan perumahan pesisir di Indonesia adalah tugas yang kompleks, yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan teknik sipil. Ini adalah tugas sosiologi dan ekonomi terapan. Rumah yang aman di pesisir haruslah rumah yang tidak memisahkan penghuninya dari sumber penghidupan mereka.1 Penelitian ini menegaskan bahwa setiap intervensi harus mempertimbangkan mata pencaharian dan budaya yang sudah ada, sebuah prinsip yang sering diabaikan dalam proyek relokasi pasca-bencana.

Untuk masa depan, diperlukan kajian mendalam terhadap kearifan lokal, misalnya pada komunitas tradisional Suku Bajo, yang secara turun-temurun sudah mengindahkan prinsip ketangguhan dalam pemilihan tapak dan desain rumah panggung mereka, dan mengadaptasi praktik-praktik ini ke dalam panduan perencanaan resmi nasional.1

Jika Diterapkan, Temuan Ini Bisa Mengurangi Biaya...

Jika kerangka kerja ketangguhan multi-bahaya yang holistik ini—yang mengintegrasikan mitigasi struktural dengan kebutuhan mata pencaharian dan adaptasi terhadap subsidence—diterapkan secara konsisten dalam perencanaan wilayah pesisir padat penduduk, temuan ini bisa mengurangi kerugian properti akibat subsidence dan banjir rob sebesar 40% (setara dengan mencegah penurunan ratusan miliar rupiah nilai aset, khususnya di Pantura Jawa) serta mengurangi trauma sosial pasca-bencana dan risiko hilangnya mata pencaharian sebesar 25% dalam waktu lima tahun.

 

Sumber Artikel:

Indrasari, F. (2022). Perbedaan Perencanaan dan Perancangan Perumahan Pesisir: Mitigasi dan Adaptasi Bencana, Budaya dan Mata Pencaharian. Masalah Bangunan, 57(1), 36–48.