Infrastruktur

Menguasai Dividen Ketahanan: Peta Jalan Riset Infrastruktur Global untuk 2050

Dipublikasikan oleh Raihan pada 31 Oktober 2025


Jalan Menuju Infrastruktur Tangguh 2050: Analisis Risiko, Metrik Keuangan, dan Arah Riset ke Depan

Infrastruktur adalah tulang punggung perekonomian dan fondasi untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, dunia menghadapi kesenjangan infrastruktur yang melebar, diperparah oleh peningkatan kerugian dan kerusakan akibat bahaya geologis dan iklim. Bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Lower- and Middle-Income Countries/LMICs), defisit ini berkonspirasi melawan pembangunan sosial-ekonomi. Kegagalan untuk berinvestasi dalam ketahanan infrastruktur di era perubahan iklim adalah risiko terbesar, yang dapat menyebabkan stagnasi pembangunan, aset terdampar (stranded assets), dan peningkatan risiko eksistensial. Menyadari ancaman ini, laporan Global Infrastructure Resilience menyajikan analisis berbasis bukti yang kuat, mengubah perspektif ketahanan dari sekadar biaya tambahan menjadi peluang investasi yang menghasilkan Dividen Ketahanan (Resilience Dividend).

Parafrase Isi Paper: Jalur Logis Penemuan

Laporan ini secara logis merangkai argumennya melalui tiga pilar utama: mengukur risiko, memahami solusi sistemik, dan memobilisasi pendanaan.

Jalur penemuan dimulai dengan menegaskan sifat ganda dari ketahanan: sebagai infrastruktur yang tangguh (kapasitas aset untuk menyerap dan pulih) dan infrastruktur untuk ketahanan (kontribusi infrastruktur terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan ketahanan sistemik yang lebih luas). Untuk membuat konsep luas ini operasional dan dapat diukur, laporan ini memperkenalkan inovasi metodologis utama, yaitu Global Infrastructure Risk Model and Resilience Index (GIRI).

GIRI merupakan model probabilistik multi-bahaya global pertama yang secara komprehensif mengidentifikasi dan memperkirakan risiko yang terkait dengan bahaya utama (seperti gempa bumi, banjir, siklon tropis, tanah longsor) pada aset infrastruktur di berbagai sektor (listrik, jalan, telekomunikasi, air, dll.) di semua negara. Model ini tidak hanya memberikan perkiraan risiko di bawah kondisi iklim saat ini, tetapi juga memproyeksikannya di bawah dua skenario perubahan iklim di masa depan.

Metrik risiko keuangan utama yang dihasilkan oleh GIRI adalah Average Annual Loss (AAL). AAL adalah metrik ringkas yang mengukur kerugian yang diharapkan atau rata-rata yang mungkin dialami dalam jangka panjang, dan yang lebih penting, mengestimasi kewajiban kontinjensi yang diinternalisasi dalam sistem infrastruktur setiap negara. Pemahaman yang jelas tentang kewajiban fiskal ini menjadi jalur logis untuk memvalidasi langkah berikutnya: investasi.

Dengan mengukur AAL (biaya yang dihindari), laporan ini membangun kasus ekonomi yang kuat untuk Dividen Ketahanan. Dividen ini dipahami sebagai manfaat penuh yang timbul dari investasi ketahanan, yang mencakup penghindaran kerugian aset, berkurangnya gangguan layanan, peningkatan kualitas layanan publik (kesehatan, pendidikan), percepatan pertumbuhan ekonomi, dan manfaat sistemik seperti peningkatan keanekaragaman hayati dan pengurangan emisi karbon.

Secara substansial, laporan ini menyoroti bagaimana penguatan ketahanan sistemik dapat dicapai dengan meningkatkan Nature-based Infrastructure Solutions (NbIS), yang berfungsi untuk melengkapi, mengganti, atau melindungi infrastruktur "abu-abu" tradisional. NbIS menawarkan solusi yang lebih tangguh dan berkelanjutan, tetapi penerapannya secara luas saat ini terhambat oleh kesenjangan pengetahuan dan kapasitas.

Akhirnya, dengan bukti risiko (AAL) dan peluang (Dividen Ketahanan), laporan beralih ke tantangan pembiayaan. Meskipun kesenjangan pendanaan infrastruktur sangat besar, terdapat modal swasta yang tidak teralokasi yang dapat mengisi kesenjangan tersebut. Namun, investasi dalam ketahanan masih sering dianggap sebagai biaya tambahan, bukan peluang. Oleh karena itu, laporan ini menyimpulkan dengan menyoroti perlunya tata kelola yang kuat dan metrik risiko keuangan yang kredibel untuk memobilisasi modal swasta dan menciptakan kelas aset infrastruktur yang tangguh.

Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif

Metodologi GIRI berhasil menciptakan dasar analisis risiko yang secara eksplisit memasukkan risiko iklim ke dalam perancangan model. Temuan ini menetapkan Average Annual Loss (AAL) sebagai metrik utama untuk mengukur kewajiban kontinjensi yang diinternalisasi dalam sistem infrastruktur.

Laporan ini secara deskriptif menggambarkan potensi finansial investasi ketahanan: Dividen Ketahanan yang dihasilkan dari investasi dalam ketahanan secara normal beberapa kali lebih besar daripada investasi tambahan yang diperlukan. Hal ini menunjukkan hubungan kuat antara pemahaman risiko finansial yang eksplisit (AAL) dan potensi jangka panjang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

Selanjutnya, laporan ini memperkenalkan Indikator Komposit Ketahanan Infrastruktur GIRI. Indikator ini mengintegrasikan metrik risiko finansial AAL dengan tiga kapasitas utama negara—kapasitas untuk menyerap, merespons, dan pulih—yang selanjutnya dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi. Metrik ini bertindak sebagai proksi yang kuat untuk memantau kemajuan, menunjukkan bahwa walaupun dua negara mungkin memiliki nilai komposit ketahanan yang sama, kurva ketahanan mereka dapat berbeda secara signifikan—misalnya, satu negara mungkin lemah dalam kapasitas menyerap tetapi kuat dalam merespons dan pulih.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Laporan ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi bidang ketahanan infrastruktur dengan melakukan lebih dari sekadar mengukur kerugian historis; laporan ini memetakan risiko masa depan dan menyajikan kasus investasi yang proaktif.

  1. Pengembangan Model Risiko Probabilistik Global (GIRI): Kontribusi paling mendasar adalah pengembangan GIRI, alat penilaian risiko multi-bahaya probabilistik global pertama untuk aset infrastruktur di semua sektor. Ini mengubah penilaian risiko infrastruktur dari metodologi statis yang berdasarkan kerugian masa lalu menjadi perkiraan risiko finansial (AAL) yang terdepan, relevan untuk perencanaan investasi dan fiskal.
  2. Pergeseran Paradigma ke Dividen Ketahanan: Laporan ini secara eksplisit mengartikulasikan dan mengukur (melalui AAL sebagai kerugian yang dihindari) Dividen Ketahanan, yang menjadikannya kasus ekonomi, keuangan, dan politik yang meyakinkan untuk investasi. Pergeseran dari kerugian yang dihindari (avoided cost) ke nilai tambah (value creation) adalah kontribusi utama yang membuka jalan bagi mobilisasi modal swasta.
  3. Kerangka Kerja Ketahanan Holistik: Laporan ini memperluas konsep ketahanan di luar masalah teknik aset untuk mencakup ketahanan layanan, sistemik, dan fiskal. Pendekatan ini mengakui bahwa kelemahan dalam tata kelola atau kapasitas fiskal sama pentingnya dengan kelemahan struktural suatu aset.
  4. Konsep Operasional untuk Tata Kelola: Laporan ini membentuk konsep operasional ketahanan melalui Indikator Komposit Ketahanan Infrastruktur GIRI. Indikator ini memadukan risiko fisik (AAL) dengan kapasitas negara (menyerap, merespons, memulihkan) dan kesenjangan infrastruktur. Metrik ini menyediakan dasar yang dapat ditindaklanjuti untuk pemantauan dan penentuan target dalam kebijakan ketahanan nasional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun laporan ini merupakan studi yang monumental, ia juga mengakui batasan metodologis dan konseptual yang membuka jalan bagi penelitian ke depan.

  1. Keterbatasan Data dan Bahaya GIRI: GIRI, meskipun komprehensif, memiliki batasan dalam skala dan aplikasi, terutama terkait estimasi risiko non-fisik atau bahaya sekunder yang kompleks. Selain itu, indikator komposit mengandalkan proksi untuk mengukur kapasitas negara, seperti Indeks Efektivitas Pemerintah. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana data risiko non-fisik (misalnya, kegagalan tata kelola, korupsi dalam rantai pasok) dan bahaya sekunder (misalnya, efek domino antar sektor) dapat diinternalisasi secara kuantitatif ke dalam model GIRI untuk menghasilkan AAL yang lebih akurat?
  2. Pembentukan Pasar untuk Solusi Berbasis Alam (NbIS): Mengubah NbIS dari pendekatan yang 'eksotis' menjadi 'biasa' membutuhkan mengatasi hambatan pengetahuan, kapasitas, dan regulasi. Meskipun manfaat sistemiknya jelas (keanekaragaman hayati, udara bersih) , tantangannya adalah bagaimana membuat business case NbIS menarik secara finansial bagi investor. Pertanyaan Terbuka: Apa mekanisme pasar dan instrumen keuangan yang paling efektif untuk memobilisasi modal swasta untuk proyek NbIS yang teragregasi dalam skala besar, melampaui studi kasus lokal, dan bagaimana manfaat lingkungan dapat dimonetisasi kembali ke investor?
  3. Mekanisme Realisasi dan Distribusi Dividen Ketahanan: Kesenjangan pendanaan antara kebutuhan dan investasi saat ini masih besar. Laporan menunjukkan modal swasta yang tidak teralokasi dapat mengisi kesenjangan tersebut, tetapi mekanisme untuk menarik modal ini belum sepenuhnya beroperasi. Pertanyaan Terbuka: Dengan asumsi Dividen Ketahanan telah diidentifikasi dan diukur, bagaimana cara terbaik untuk mendistribusikan manfaat finansial yang teridentifikasi ini kembali ke investor swasta (misalnya, melalui insentif regulasi, instrumen blended finance) untuk menciptakan kelas aset infrastruktur yang tangguh secara mandiri dan menarik?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Arah riset ke depan harus berfokus pada penguatan validitas metrik risiko GIRI, mengatasi kesenjangan implementasi solusi, dan menciptakan insentif pasar yang diperlukan untuk mengalirkan modal.

  1. Validasi Empiris Proksi Tata Kelola Terhadap AAL Relatif
    • Justifikasi Ilmiah: Laporan ini menyoroti bahwa tata kelola infrastruktur yang lemah menyebabkan keusangan dini dan risiko tinggi. Indikator Komposit GIRI menggunakan Indeks Efektivitas Pemerintah sebagai proksi kapasitas pemulihan. Namun, hubungan kuantitatif langsung antara metrik tata kelola yang terperinci dan pengurangan kerugian fisik belum divalidasi secara luas.
    • Rekomendasi: Melakukan studi korelasi mendalam (metode: analisis regresi berganda dan pemodelan jalur struktural) antara variabel-variabel tata kelola spesifik (misalnya, transparansi pengadaan, kemandirian lembaga pengawas) dan variasi dalam metrik AAL relatif (AAL dibandingkan nilai aset) antar negara (variabel baru yang dianalisis: indeks kualitas tata kelola sektor).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memperkuat argumen bahwa peningkatan tata kelola secara langsung dan kuantitatif mengurangi kewajiban kontinjensi fiskal, sehingga memberikan insentif politik dan regulasi yang lebih kuat untuk reformasi.
  2. Monetisasi Manfaat Sistemik NbIS Jangka Panjang
    • Justifikasi Ilmiah: NbIS menawarkan manfaat sistemik yang luas (peningkatan keanekaragaman hayati, jasa ekosistem) , yang jauh melampaui biaya aset awal. Namun, manfaat ini sulit diukur dan dimonetisasi, menghambat pengembangan business case yang kuat.
    • Rekomendasi: Mengembangkan model valuasi ekonomi ekosistem (TEEB) yang terintegrasi (metode: valuasi kontingensi dan harga hedonik) untuk mengukur dampak finansial (variabel baru yang dianalisis: nilai jasa ekosistem) dari implementasi NbIS skala besar (konteks baru: proyek konservasi pesisir yang melindungi aset pelabuhan).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk menyediakan metrik keuangan yang kredibel bagi investor dan lembaga keuangan, memungkinkan mereka untuk memasukkan nilai lingkungan jangka panjang ke dalam keputusan investasi, dan mempermudah pengintegrasian NbIS ke dalam perencanaan nasional dan pembiayaan swasta.
  3. Mengukur Kecepatan Pemulihan Layanan (Resilience Curve) dan Redundansi Fungsional
    • Justifikasi Ilmiah: Ketahanan layanan sangat penting, dan proses pemulihan dipengaruhi oleh kerentanan komunitas dan kapasitas negara. Kecepatan pemulihan, yang diwakili oleh kurva ketahanan (resilience curve), secara langsung memengaruhi total kerugian pasca-bencana.
    • Rekomendasi: Melakukan riset operasional (metode: studi kasus komparatif dan pemodelan dinamika sistem) untuk mengukur waktu henti layanan esensial (variabel baru yang dianalisis: durasi pemadaman/gangguan layanan) setelah peristiwa bahaya, dengan memfokuskan pada peran Redundansi dan Fleksibilitas Fungsional Sistem (variabel baru) antar-sektor infrastruktur (misalnya, ketersediaan cadangan daya antar-jaringan).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk menetapkan standar kinerja pemulihan yang dapat diukur dan memberikan insentif operasional (bukan hanya desain aset) bagi operator infrastruktur untuk berinvestasi dalam koneksi cadangan dan protokol darurat, secara efektif mengurangi area di bawah kurva kerugian.
  4. Penciptaan Metodologi De-Risking untuk Kelas Aset Infrastruktur Tahan Bencana
    • Justifikasi Ilmiah: Laporan ini menggarisbawahi perlunya menciptakan kelas aset baru untuk menarik modal swasta yang tidak teralokasi, yang cukup untuk mengisi kesenjangan pendanaan. Investasi di LMICs tetap berisiko tinggi.
    • Rekomendasi: Penelitian terapan (metode: pemodelan keuangan dan analisis portofolio) untuk mengembangkan metodologi de-risking yang inovatif (misalnya, blending finance, instrumen seperti Debt-for-Climate Swaps) yang dapat digunakan untuk mengagregasi proyek ketahanan skala kecil (variabel baru yang dianalisis: tingkat mitigasi risiko politik dan pasar) ke dalam portofolio yang menarik bagi investor institusional (konteks baru: proyek pipa air dan sanitasi di negara berpenghasilan rendah).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memetakan jalur konkret bagi modal swasta untuk memasuki pasar infrastruktur yang tangguh di negara-negara yang paling membutuhkan, yaitu dengan mengubah risiko pasar yang tidak diinginkan menjadi risiko yang dapat dihitung.
  5. Disagregasi Risiko dan Dampak Sosial Berbasis GIRI Hingga Level Komunitas
    • Justifikasi Ilmiah: Risiko bencana didistribusikan secara tidak proporsional, dipengaruhi oleh faktor sosial seperti gender, status, dan kemiskinan. Kerentanan komunitas lokal, diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI), memengaruhi proses pemulihan.
    • Rekomendasi: Mengembangkan GIRI Lokalisasi/Sub-Nasional (metode: integrasi data GIRI dengan survei kerentanan sosial) yang mencakup indikator sosial (variabel baru yang dianalisis: Indeks Kerentanan Sosial-Ekonomi atau akses dan kontrol sumber daya) untuk mengukur risiko secara lebih akurat pada tingkat komunitas terisolasi atau rentan (konteks baru: wilayah yang didominasi oleh populasi berpenghasilan rendah).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memastikan investasi ketahanan mengarah pada solusi yang inklusif dan memitigasi dampak yang tidak proporsional terhadap komunitas yang paling rentan, sehingga investasi infrastruktur dapat berkontribusi pada pembangunan yang adil.

Ajakan Kolaboratif dan Acuan Utama

Penelitian lebih lanjut untuk mengoperasionalkan GIRI, memonitor kurva ketahanan, dan memetakan mekanisme keuangan harus melibatkan institusi akademik dan teknis (untuk memvalidasi model), pemerintah nasional (untuk integrasi tata kelola dan data), dan institusi keuangan multilateral serta investor swasta (untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dalam konteks pasar).

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini.

 

Selengkapnya
Menguasai Dividen Ketahanan: Peta Jalan Riset Infrastruktur Global untuk 2050

Infrastruktur

Analisis Ekonomi Pembangunan Jalan Arteri di Indonesia: Implikasi bagi Kebijakan Infrastruktur Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 28 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pembangunan jalan arteri merupakan tulang punggung sistem transportasi nasional karena menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama dan memperlancar distribusi barang serta mobilitas penduduk. Namun, studi oleh Dody Darsono (2017) menekankan bahwa proyek jalan arteri di Indonesia sering kali belum sepenuhnya mempertimbangkan efisiensi ekonomi dan manfaat sosial jangka panjang.

Melalui pendekatan Cost-Benefit Analysis (CBA), penelitian ini menunjukkan bahwa jalan arteri memberikan dampak ekonomi positif — peningkatan efisiensi logistik, penurunan biaya transportasi, dan pertumbuhan kegiatan ekonomi di sekitar wilayah proyek. Namun, manfaat ini baru optimal jika perencanaan memperhitungkan nilai waktu pengguna jalan, biaya lingkungan, serta redistribusi manfaat bagi masyarakat sekitar.

Dalam konteks kebijakan publik, hasil ini penting karena mendukung prinsip evidence-based infrastructure planning, yakni perencanaan berbasis data ekonomi dan sosial. Program pelatihan seperti Kursus Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik di Diklatkerja relevan untuk membantu pemerintah daerah dan konsultan memahami bagaimana menghitung serta menilai manfaat ekonomi dari investasi jalan secara komprehensif. Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan dari penelitian ini menunjukkan beberapa dampak nyata dari pembangunan jalan arteri di Indonesia:

  • Efisiensi logistik meningkat hingga 30%, terutama untuk sektor manufaktur dan perdagangan antarwilayah.

  • Peningkatan produktivitas wilayah, karena waktu tempuh antar kota menurun drastis.

  • Meningkatnya investasi lokal dan aktivitas ekonomi baru di sekitar koridor jalan arteri.

Namun, dalam implementasinya terdapat sejumlah hambatan utama, antara lain:

  • Keterbatasan perencanaan ekonomi proyek — banyak proyek jalan hanya berorientasi pada aspek fisik dan belum menilai dampak sosial-ekonomi jangka panjang.

  • Pendanaan yang tidak efisien, karena kurangnya integrasi antara studi kelayakan ekonomi dan prioritas nasional.

  • Minimnya mekanisme evaluasi pascapembangunan, sehingga keberlanjutan manfaat sulit dipantau.

Meski begitu, peluang besar terbuka dengan berkembangnya digitalisasi perencanaan infrastruktur dan sistem Public-Private Partnership (PPP). Pelatihan seperti Manajemen Proyek Infrastruktur di Diklatkerja dapat menjadi modal penting bagi aparatur dan konsultan dalam menerapkan evaluasi ekonomi yang lebih akurat dan adaptif.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Analisis Ekonomi dalam Studi Kelayakan Jalan Nasional Setiap proyek jalan arteri wajib disertai Cost-Benefit Analysis untuk menilai manfaat jangka panjang terhadap ekonomi dan masyarakat.

  2. Perkuat Kapasitas SDM dalam Evaluasi Proyek Infrastruktur Lakukan pelatihan berkelanjutan melalui program seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur agar perencana mampu menilai risiko dan manfaat proyek secara menyeluruh. 

  3. Dorong Kemitraan Publik–Swasta (PPP) Gunakan skema pembiayaan campuran agar proyek jalan tidak sepenuhnya bergantung pada APBN/APBD, sekaligus meningkatkan efisiensi implementasi.

  4. Gunakan Data Real-Time untuk Monitoring Kinerja Jalan Arteri Implementasikan transport data dashboard berbasis GIS untuk memantau arus lalu lintas, biaya operasional, dan dampak ekonomi wilayah.

  5. Prioritaskan Keberlanjutan Lingkungan dan Sosial Evaluasi proyek tidak hanya berdasar manfaat ekonomi, tetapi juga pada pengurangan emisi, keselamatan lalu lintas, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan arteri berisiko gagal apabila hanya mengejar target fisik tanpa memperhatikan manfaat ekonomi dan sosial. Beberapa potensi kegagalan meliputi:

  • Evaluasi proyek yang bersifat administratif tanpa kajian ekonomi mendalam.

  • Manfaat yang hanya terpusat di kota besar, memperlebar kesenjangan antarwilayah.

  • Tidak adanya koordinasi lintas lembaga antara Bappenas, PUPR, dan pemerintah daerah.

  • Pengabaian dampak lingkungan dan sosial yang dapat menimbulkan resistensi publik.

Untuk menghindarinya, dibutuhkan mekanisme evaluasi berbasis data, keterlibatan akademisi, dan transparansi publik terhadap hasil analisis ekonomi setiap proyek.

Penutup

Pembangunan jalan arteri bukan hanya tentang aspal dan beton — melainkan tentang mendorong efisiensi ekonomi nasional dan pemerataan kesejahteraan. Penelitian Dody Darsono menegaskan bahwa analisis ekonomi harus menjadi jantung dari setiap kebijakan infrastruktur. Dengan perencanaan yang berbasis bukti dan pelatihan teknis yang memadai, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap kilometer jalan arteri yang dibangun benar-benar menciptakan nilai ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Program pelatihan dari Diklatkerja dapat menjadi katalis untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu merancang, menilai, dan mengimplementasikan proyek infrastruktur yang efisien, inklusif, dan berdampak jangka panjang.

Sumber

Darsono, Dody. (2017). An Economic Analysis of Arterial Road Project in Indonesia. Master’s Thesis, University of [redacted for privacy].

Selengkapnya
Analisis Ekonomi Pembangunan Jalan Arteri di Indonesia: Implikasi bagi Kebijakan Infrastruktur Nasional

Infrastruktur

Infrastruktur Transportasi sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Regional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 28 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Transportasi merupakan tulang punggung perekonomian modern. Studi dalam dokumen ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur transportasi — khususnya jaringan jalan dan konektivitas antarwilayah — memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Infrastruktur yang baik tidak hanya mempercepat mobilitas barang dan manusia, tetapi juga mendorong integrasi pasar, meningkatkan produktivitas, serta memperluas kesempatan investasi.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan konektivitas transportasi dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) hingga 2–3% di wilayah dengan aktivitas ekonomi menengah. Efek terbesar terjadi pada sektor pertanian dan industri manufaktur kecil yang sangat bergantung pada distribusi cepat dan biaya logistik rendah.

Bagi Indonesia, temuan ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan jalan, jembatan, dan jaringan transportasi publik tidak boleh dipandang sekadar proyek fisik. Kebijakan transportasi harus dilihat sebagai instrumen pembangunan wilayah yang berkeadilan. Untuk memperkuat kapasitas kebijakan ini, pelatihan seperti Kursus Manajemen Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah dapat menjadi sarana penting bagi aparatur pemerintah dan konsultan infrastruktur.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi kebijakan transportasi di berbagai negara berkembang menunjukkan beberapa hasil positif:

  • Peningkatan efisiensi logistik hingga 40% karena waktu tempuh yang lebih singkat dan biaya transportasi yang menurun.

  • Pertumbuhan sektor jasa dan perdagangan lokal, terutama di wilayah perbatasan dan hinterland perkotaan.

  • Peningkatan akses ke layanan sosial, termasuk pendidikan dan kesehatan, yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Namun, studi juga menyoroti hambatan utama, seperti:

  • Keterbatasan pembiayaan jangka panjang, terutama pada proyek transportasi pedesaan.

  • Kesenjangan kualitas infrastruktur antarwilayah, di mana wilayah terpencil sering tertinggal.

  • Kurangnya integrasi perencanaan spasial dan transportasi, yang menyebabkan ketidakefisienan jaringan jalan.

Peluang besar muncul dengan adanya transformasi digital dalam sistem transportasi, seperti penggunaan data spasial dan GIS untuk perencanaan berbasis bukti.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Transportasi dalam Rencana Pembangunan Wilayah Kebijakan transportasi harus selaras dengan rencana tata ruang dan pengembangan ekonomi lokal untuk memastikan manfaatnya merata.

  2. Kembangkan Skema Pembiayaan Inovatif Pemerintah dapat mengadopsi model Public-Private Partnership (PPP) dan land value capture untuk membiayai proyek transportasi secara berkelanjutan.

  3. Prioritaskan Konektivitas Wilayah Tertinggal Pembangunan jalan dan transportasi publik di daerah terpencil perlu diprioritaskan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi.

  4. Tingkatkan Kapasitas SDM Transportasi Pelatihan teknis seperti Kursus Analisis Data untuk Kebijakan Publik dapat membantu aparatur memahami hubungan antara infrastruktur dan produktivitas regional.

  5. Bangun Sistem Pemantauan Terintegrasi Gunakan sistem digital berbasis dashboard untuk memantau kinerja proyek transportasi dan mengukur dampak sosial ekonominya secara real time.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan transportasi sering kali gagal mencapai tujuan sosial ekonomi ketika orientasinya terlalu teknokratis. Beberapa risiko yang diidentifikasi meliputi:

  • Fokus pada pembangunan fisik tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial.

  • Ketimpangan investasi antara wilayah perkotaan dan pedesaan.

  • Lemahnya koordinasi lintas lembaga yang menyebabkan inefisiensi anggaran.

  • Minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengawasan proyek.

Agar kebijakan berhasil, pendekatan kolaboratif dan partisipatif harus diterapkan, dengan melibatkan akademisi, masyarakat sipil, serta sektor swasta dalam setiap tahap perencanaan dan evaluasi.

Penutup

Pembangunan infrastruktur transportasi adalah fondasi bagi pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari sekadar jalan atau jembatan, ia merupakan alat transformasi sosial yang mampu memperkuat konektivitas, membuka akses peluang ekonomi, dan mengurangi kesenjangan wilayah.

Melalui integrasi kebijakan lintas sektor dan penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan di Diklatkerja, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan sistem transportasi yang efisien, adil, dan berpihak pada pembangunan manusia.

Sumber

Asian Development Bank (ADB). Infrastructure, Transport, and Regional Economic Growth Study, 2023.

Selengkapnya
Infrastruktur Transportasi sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Regional

Infrastruktur

Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi

 

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.

 

Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan

 

Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.

Namun, Kim mencatat bahwa reformasi tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Alih-alih memperkuat tata kelola, sejumlah institusi justru rentan disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.

 

Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur

 

Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.

 

Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti - perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.

 

Peran BUMN dan Skandal Politik

 

Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.

Meskipun BUMN telah menjalani privatisasi parsial dan mulai menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, upaya tersebut ternyata belum mampu sepenuhnya menekan intervensi politik maupun praktik penyalahgunaan wewenang.

 

 

Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”

 

Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.

Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.

 

Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah

 

Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.

Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.

 

Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida

 

Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.

Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir

 

Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali, tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.

Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.

 

 

Referensi:

 

Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.

DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Infrastruktur

Kebijakan Publik atas 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 30 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Profesi insinyur merupakan salah satu pilar utama pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi. Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi ketenagakerjaan dan remunerasi insinyur profesional di Australia. Data yang ditampilkan meliputi tren upah, pola kerja, tingkat kepuasan, serta tantangan yang dihadapi tenaga kerja teknik di berbagai sektor industri.

Temuan ini sangat penting untuk kebijakan publik karena isu kesejahteraan insinyur berhubungan langsung dengan daya tarik profesi teknik bagi generasi muda, keberlanjutan pembangunan infrastruktur, serta daya saing global. Indonesia, yang sedang giat mendorong transformasi digital dan pembangunan infrastruktur masif, juga menghadapi tantangan serupa: keterbatasan jumlah insinyur profesional yang berkualitas dan kesenjangan upah dibandingkan standar internasional.

Sejalan dengan artikel Penuhi Kebutuhan Insinyur di Indonesia, ITS Lantik 120 Insinyur Baru yang mengungkap bahwa jumlah insinyur di Indonesia masih jauh dari ideal. Artikel tersebut menunjukkan bahwa meskipun perguruan tinggi sudah menghasilkan lulusan insinyur, pemenuhan kebutuhan profesional insinyur di masyarakat masih belum optimum. Selain itu, ketika kebutuhan tinggi tidak diimbangi dengan remunerasi yang memadai dan pengakuan profesional, risiko brain drain dan ketidakpuasan akan muncul.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Laporan ini menegaskan adanya peningkatan permintaan insinyur di berbagai sektor, termasuk energi, teknologi informasi, konstruksi, hingga manufaktur. Dampak positifnya adalah terbukanya lapangan kerja yang luas dan meningkatnya peran strategis profesi insinyur dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, laporan juga menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan signifikan antara tingkat remunerasi dengan kompleksitas pekerjaan yang dijalankan. Hal ini berpotensi menurunkan motivasi dan meningkatkan risiko brain drain, di mana insinyur berbakat lebih memilih bekerja di luar negeri dengan kompensasi lebih tinggi.

Hambatan lain yang diidentifikasi adalah ketidakmerataan kesempatan kerja dan remunerasi antar sektor, serta keterbatasan akses insinyur muda untuk meniti karier dengan jalur yang jelas. Faktor gender juga menjadi isu penting, di mana insinyur perempuan masih menghadapi kesenjangan upah dan keterbatasan representasi pada posisi senior.

Meski demikian, peluang besar terbuka melalui kebijakan pemerintah yang mendukung peningkatan pendidikan teknik, investasi dalam riset dan inovasi, serta promosi internasionalisasi profesi insinyur. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, profesi insinyur dapat semakin menarik dan berdaya saing tinggi, baik di level nasional maupun global.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Pemerintah perlu menetapkan standar remunerasi nasional bagi insinyur profesional yang sesuai dengan tingkat tanggung jawab dan kompleksitas pekerjaan. Hal ini akan meningkatkan daya tarik profesi sekaligus menjaga keseimbangan pasar tenaga kerja.
  2. Skema insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pengembangan karier insinyur harus diperluas, misalnya melalui kredit pajak untuk program pelatihan atau beasiswa lanjutan bagi insinyur muda.
  3. Perlu adanya regulasi yang lebih tegas untuk mendorong kesetaraan gender di profesi teknik, termasuk memastikan tidak adanya kesenjangan upah berdasarkan gender dan memperluas akses perempuan ke posisi manajerial.
  4. Kerja sama internasional dalam bidang sertifikasi dan mobilitas insinyur harus diperkuat. Hal ini akan meningkatkan pengakuan insinyur Indonesia di pasar global dan mencegah brain drain melalui peluang karier yang kompetitif di dalam negeri.
  5. Pembangunan database tenaga kerja insinyur nasional sangat diperlukan untuk memetakan kebutuhan sektor industri, tren upah, serta proyeksi ketenagakerjaan jangka panjang.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan terkait profesi insinyur hanya berfokus pada penyediaan lapangan kerja tanpa memperhatikan kualitas remunerasi dan jalur karier, maka risiko kegagalan cukup besar. Insinyur muda dapat kehilangan motivasi, sementara insinyur berpengalaman memilih migrasi ke luar negeri. Selain itu, jika regulasi kesetaraan gender tidak ditegakkan, maka kesenjangan struktural akan terus berlanjut, menghambat potensi penuh profesi teknik.

Kegagalan lain bisa muncul jika database dan pemetaan tenaga kerja tidak dikembangkan, sehingga kebijakan pemerintah tidak berbasis data yang akurat. Hal ini dapat mengakibatkan mismatch antara kebutuhan industri dengan ketersediaan insinyur, yang pada akhirnya menghambat produktivitas nasional.

Penutup

Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report memberikan wawasan penting tentang tantangan dan peluang dalam profesi teknik. Bagi Indonesia, temuan ini dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperkuat kebijakan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan insinyur, serta memperluas daya saing global. Profesi insinyur bukan sekadar penyedia solusi teknis, melainkan aset strategis bangsa dalam menghadapi tantangan pembangunan dan transformasi industri di era digital.

Sumber

Engineers Australia. (2022). Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report

Infrastruktur

Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025


Pendahuluan: Menuju Infrastruktur Masa Depan Melalui Kolaborasi

 

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan yang terus meningkat. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata, mengingat keterbatasan fiskal dan kompleksitas proyek-proyek jangka panjang. Oleh karena itu, Kemitraan Pemerintah dan Swasta atau Public–Private Partnership (PPP) menjadi pilihan strategis.

Laporan Public–Private Partnership Monitor: Indonesia yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2020 memaparkan gambaran menyeluruh tentang kondisi, tantangan, dan potensi pengembangan PPP di tanah air.

Laporan ini menjadi sumber penting untuk memahami lanskap regulasi, institusi, dan sektor-sektor prioritas dalam PPP. Selain itu, dokumen ini juga menyajikan data empiris dari lebih dari 500 indikator kualitatif dan kuantitatif yang merepresentasikan dinamika PPP di tingkat nasional, sektoral, dan daerah. Dengan menganalisis laporan tersebut secara mendalam, kita dapat merumuskan strategi masa depan guna menciptakan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.

 

Mengapa PPP Menjadi Kunci Pembangunan Infrastruktur Nasional

 

Menurut estimasi ADB, kawasan Asia-Pasifik membutuhkan investasi infrastruktur sebesar $1,7 triliun per tahun hingga 2030. Untuk Indonesia sendiri, dalam rentang 2020–2024, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai $429 miliar. Tantangannya, kapasitas APBN hanya mampu menutup sekitar 41% dari kebutuhan tersebut. Sisanya, sebesar 59%, diharapkan datang dari sektor swasta, termasuk melalui skema PPP.

 

PPP tidak hanya menjadi solusi pembiayaan, tetapi juga membawa nilai tambah dalam bentuk efisiensi operasional, transfer teknologi, dan manajemen risiko yang lebih sehat. Dalam konteks ini, PPP bukan hanya kerja sama pembiayaan, tetapi kolaborasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

 

Regulasi dan Lembaga Pendukung: Pilar Kunci Kesuksesan PPP

 

Landasan hukum utama PPP di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 yang mengatur jenis-jenis proyek, skema pembiayaan, serta peran masing-masing aktor. Laporan ADB menyebut regulasi ini sebagai salah satu framework PPP paling kokoh di Asia Tenggara.

 

Institusi yang memainkan peran penting dalam implementasi PPP meliputi Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun rencana proyek strategis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sebagai penjamin proyek melalui IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memfasilitasi investasi.

 

Terdapat pula Project Development Facility (PDF) yang menyediakan pendanaan untuk studi kelayakan dan konsultasi proyek-proyek PPP. Skema ini menjadi insentif penting bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar lebih aktif mengembangkan proyek berbasis PPP.

 

Dinamika Sektoral: Sektor Prioritas dan Studi Kasus

 

Sektor jalan raya menjadi salah satu fokus utama PPP di Indonesia. Tercatat lebih dari 30 proyek jalan tol dalam pipeline PPP sepanjang 2019–2020, termasuk Jalan Tol Serang–Panimbang, Balikpapan–Samarinda, dan Solo–Yogyakarta. Proyek Balikpapan–Samarinda sepanjang 99 km, misalnya, berhasil direalisasikan lebih cepat dari target melalui kontribusi swasta, dengan nilai investasi mencapai Rp9,9 triliun.

 

Di sektor energi, proyek PLTP Lahendong menjadi contoh kolaborasi sukses dalam energi terbarukan. Dengan kapasitas 40 MW, proyek ini tak hanya berkontribusi terhadap ketahanan energi, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon.

 

Namun, tidak semua sektor berkembang mulus. Di sektor air bersih, proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Bandar Lampung menghadapi tantangan kompleks, termasuk resistensi masyarakat terhadap tarif dan ketidakjelasan alokasi risiko. Meski demikian, proyek ini tetap menjadi rujukan penting bagaimana PPP dapat diterapkan di sektor sosial yang rentan terhadap tekanan politik dan sosial.

 

Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan PPP Indonesia

 

Keunggulan utama dari PPP Indonesia adalah adanya kerangka hukum dan institusional yang relatif kuat serta pipeline proyek yang terus berkembang. Namun demikian, laporan ADB mengidentifikasi beberapa hambatan besar:

  • Rendahnya kapasitas teknis dan administratif pemerintah daerah untuk merancang dan mengelola proyek PPP
  • Ketiadaan sistem insentif yang jelas bagi proyek-proyek sosial seperti pendidikan dan kesehatan
  • Ketergantungan tinggi pada prakarsa proyek pemerintah, sementara usulan dari swasta masih minim karena proses birokrasi yang kompleks

 

Lebih jauh, laporan ini juga menyoroti perlunya harmonisasi regulasi antarinstansi dan penyederhanaan proses tender yang dinilai terlalu panjang dan tidak konsisten antar proyek.

 

Perbandingan Regional: Belajar dari Filipina dan India

 

Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi proses dan jumlah proyek yang mencapai financial close. Filipina memiliki PPP Center yang kuat dan otonom, serta platform daring yang memungkinkan investor memantau proyek secara real-time.

 

India juga menjadi contoh sukses dengan skema Viability Gap Funding (VGF), yang memberikan subsidi bagi proyek-proyek yang layak secara sosial tetapi tidak secara finansial. Pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia untuk sektor pendidikan, rumah sakit, dan air bersih.

 

PPP Pasca Pandemi: Fokus pada Infrastruktur Sosial dan Digitalisasi

 

Pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas pembangunan. Infrastruktur sosial seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan perumahan rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Laporan ADB menyarankan agar skema PPP tidak lagi berfokus semata pada sektor ekonomi, tetapi juga menyentuh layanan dasar.

 

Salah satu inisiatif menarik adalah Palapa Ring, proyek PPP di sektor telekomunikasi yang berhasil menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Proyek ini menjadi tonggak penting integrasi digital nasional, dan menjadi contoh bagaimana PPP dapat mendukung agenda inklusi digital.

 

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan PPP di Indonesia

 

1. Membangun PPP Center Nasional yang Independen, mirip dengan model di Filipina, agar dapat menyelaraskan kebijakan antarinstansi dan mempercepat proses evaluasi proyek.

 

2. Menerapkan sistem e-procurement dan e-monitoring untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proyek PPP.

 

3. Mengembangkan skema insentif fiskal untuk sektor sosial, seperti keringanan pajak dan VGF.

 

4. Peningkatan kapasitas teknis dan SDM di pemerintah daerah, melalui pelatihan, pertukaran pengetahuan, dan kerja sama dengan lembaga internasional.

 

5. Mengadopsi pendekatan fleksibel dan adaptif terhadap risiko, termasuk pembagian risiko yang lebih adil dan penguatan mekanisme jaminan pemerintah.

 

Kesimpulan: PPP sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

 

Kemitraan Pemerintah dan Swasta bukan hanya solusi jangka pendek atas defisit pembiayaan, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menghadirkan infrastruktur berkualitas tinggi secara merata. Laporan ADB menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki fondasi kuat, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan khususnya dalam membangun kapasitas institusi, menciptakan kepastian hukum, dan memperluas partisipasi swasta.

 

Dengan memperkuat kerangka PPP yang inklusif dan adaptif, Indonesia dapat menjadikan kemitraan ini sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di era post-pandemi dan menghadapi tantangan global seperti urbanisasi cepat, krisis iklim, dan revolusi digital.

 

 

Sumber

Asian Development Bank. (2020). Public–Private Partnership Monitor: Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2

 

 

 

Selengkapnya
Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur
page 1 of 2 Next Last »