Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

30 Mei 2025, 12.30

Unsplash.com

Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi

 

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.

 

Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan

 

Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.

 

Namun Kim mengungkap bahwa reformasi ini tidak berjalan sesuai ekspektasi. Bukannya membenahi tata kelola, institusi-institusi tersebut justru disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.

 

Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur

 

Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.

 

Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti—perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan—yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.

 

Peran BUMN dan Skandal Politik

 

Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.

 

Meskipun telah mengalami privatisasi parsial dan menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, nyatanya hal ini belum cukup untuk mencegah intervensi politik dan penyalahgunaan wewenang di tubuh BUMN.

 

Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”

 

Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.

 

Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.

 

Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah

 

Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.

 

Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.

 

Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida

 

Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual—yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.

 

Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir

 

Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali—tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.

 

Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.

 

 

Referensi:

 

Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.

DOI: 10.1177/10245294211043355