Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025
Industri konstruksi global terus berevolusi, didorong oleh kebutuhan akan efisiensi yang lebih tinggi, kolaborasi yang lebih baik, dan pengurangan limbah. Salah satu inovasi paling transformatif dalam beberapa dekade terakhir adalah Building Information Modeling (BIM). BIM bukan sekadar perangkat lunak, melainkan sebuah pendekatan holistik yang mengintegrasikan informasi dan proses sepanjang siklus hidup proyek konstruksi, dari desain awal hingga operasional. Meskipun potensi manfaatnya telah terbukti di berbagai belahan dunia, adopsi BIM di Indonesia masih tergolong rendah. Artikel "Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna" oleh Cindy F. Mieslenna dan Andreas Wibowo, yang diterbitkan dalam jurnal Jurnal Manajemen Rekayasa Konstruksi pada tahun 2019, secara lugas membahas fenomena ini, menggali alasan di balik lambatnya adopsi, serta mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang memengaruhi keberhasilan implementasi BIM di Indonesia dari sudut pandang para penggunanya.
Latar Belakang: Mengapa BIM Penting, dan Mengapa Adopsinya Lambat?
Mieslenna dan Wibowo mengawali penelitian mereka dengan menegaskan bahwa BIM adalah sebuah "revolusi" dalam industri konstruksi yang menawarkan peningkatan efisiensi dan kinerja yang signifikan selama tahap desain dan konstruksi. Manfaat ini mencakup, namun tidak terbatas pada, visualisasi 3D yang lebih baik, deteksi konflik yang lebih dini, pengurangan permintaan informasi (request for information - RFI), estimasi biaya yang lebih akurat, dan manajemen konstruksi yang lebih efektif. Secara teori, BIM seharusnya menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap entitas di industri konstruksi yang ingin tetap kompetitif.
Namun, realitas di lapangan, khususnya di Indonesia, menunjukkan gambaran yang berbeda. Meskipun konsep BIM sudah tidak baru dan potensinya besar, tingkat penerapannya masih sangat rendah. Ini adalah sebuah paradoks. Para penulis mengidentifikasi kesenjangan dalam literatur yang relevan dengan aplikasi BIM di Indonesia, menyoroti kurangnya kajian mendalam yang berasal dari perspektif pengguna lokal. Inilah yang menjadi motivasi utama penelitian mereka: untuk mengisi kekosongan ini dan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hambatan dan pendorong adopsi BIM di Indonesia.
Metodologi Penelitian: Menggali Wawasan dari Para Ahli
Untuk mencapai tujuan penelitian, Mieslenna dan Wibowo mengadopsi pendekatan kualitatif, yang sangat tepat untuk mengeksplorasi fenomena yang kompleks dan menggali nuansa persepsi. Mereka melakukan wawancara semi-terstruktur dengan praktisi BIM yang memiliki pengetahuan dan pengalaman luas di industri konstruksi Indonesia. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi mendalam, menggali motivasi, tantangan, dan strategi implementasi dari individu yang secara langsung terlibat dalam penggunaan BIM.
Peneliti memastikan bahwa responden yang dipilih adalah knowledgeable and experienced BIM practitioners. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan validitas data, karena wawasan dari individu yang benar-benar memahami seluk-beluk BIM di lapangan akan sangat berharga. Data yang terkumpul dari wawancara kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif, kemungkinan melalui tematik untuk mengidentifikasi pola-pola dan tema-tema berulang dalam tanggapan responden.
Temuan Kunci: Manfaat yang Dirasakan dan Tantangan yang Dihadapi
Berdasarkan wawancara, Mieslenna dan Wibowo mengidentifikasi beberapa alasan utama mengapa responden memilih untuk menggunakan BIM dan manfaat yang mereka rasakan:
Peningkatan Kontrol Proyek: BIM memberikan visualisasi yang lebih jelas dan data yang terintegrasi, memungkinkan manajer proyek untuk memiliki kontrol yang lebih baik terhadap desain, jadwal, dan biaya.
Deteksi Konflik Dini: Kemampuan BIM untuk mendeteksi tabrakan (clashes) antar disiplin (misalnya, struktur dengan MEP) pada tahap desain awal sangat dihargai. Ini mengurangi kebutuhan untuk perubahan desain di lapangan, yang mahal dan memakan waktu.
Pengurangan Permintaan Informasi (RFI): Dengan desain yang lebih terkoordinasi dan informasi yang lebih lengkap, jumlah RFI yang harus diajukan selama konstruksi berkurang secara signifikan, mempercepat proses dan mengurangi potensi penundaan.
Mempermudah Komunikasi dan Kolaborasi: Model BIM yang terintegrasi menjadi pusat informasi, memfasilitasi komunikasi yang lebih baik antara berbagai pihak (arsitek, insinyur struktur, insinyur MEP, kontraktor).
Namun, terlepas dari manfaat yang jelas ini, penelitian juga mengungkap berbagai tantangan yang menghambat adopsi BIM di Indonesia:
Kurangnya Peraturan dan Standar Nasional: Ketiadaan regulasi dan standar BIM yang jelas dari pemerintah menjadi hambatan utama. Ini menciptakan ketidakpastian dan kurangnya dorongan formal bagi industri untuk mengadopsi BIM secara massal.
Biaya Investasi Awal yang Tinggi: Perusahaan harus berinvestasi dalam perangkat lunak, perangkat keras, dan pelatihan staf. Biaya ini seringkali dianggap sebagai penghalang, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah.
Kurangnya Sumber Daya Manusia yang Terampil: Ketersediaan profesional dengan keahlian BIM yang memadai masih terbatas di Indonesia. Ini menciptakan tantangan dalam merekrut dan mempertahankan talenta.
Perubahan Budaya Organisasi: Adopsi BIM memerlukan pergeseran dari metode kerja tradisional yang terfragmentasi ke pendekatan yang lebih kolaboratif dan terintegrasi. Ini adalah perubahan budaya yang sulit dan memerlukan komitmen dari manajemen puncak.
Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman: Banyak pemangku kepentingan, terutama di kalangan pemilik proyek dan kontraktor kecil, masih kurang memahami potensi penuh BIM dan manfaat jangka panjangnya.
Analisis Mendalam dan Nilai Tambah
Penelitian Mieslenna dan Wibowo memberikan nilai tambah yang substansial dengan:
Fokus pada Konteks Indonesia: Ini adalah kekuatan utama penelitian. Meskipun banyak literatur BIM berasal dari negara-negara maju, konteks Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam hal regulasi, budaya bisnis, dan tingkat kematangan teknologi. Studi ini memberikan cerminan yang akurat tentang realitas lokal.
Perspektif Pengguna: Dengan berfokus pada pengalaman dan persepsi pengguna, penelitian ini menawarkan wawasan praktis yang dapat digunakan oleh perusahaan dan pembuat kebijakan. Ini bukan sekadar analisis teoretis, tetapi refleksi dari pengalaman langsung di lapangan.
Identifikasi Faktor Kritis: Penelitian ini secara efektif mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang memengaruhi adopsi BIM di Indonesia. Temuan ini sangat penting karena memberikan peta jalan bagi upaya-upaya untuk mendorong adopsi yang lebih luas.
Implikasi Kebijakan yang Jelas: Kebutuhan akan peraturan dan standar nasional yang jelas adalah rekomendasi kebijakan yang kuat dan dapat ditindaklanjuti. Ini sejalan dengan pengalaman negara-negara lain, seperti Inggris atau Singapura, yang telah berhasil mendorong adopsi BIM melalui mandat pemerintah. Sebagai contoh, di Inggris, pemerintah telah mewajibkan penggunaan BIM Level 2 untuk semua proyek publik sejak 2016, yang secara signifikan mempercepat adopsi dan pengembangan ekosistem BIM di negara tersebut.
Menyoroti Kesenjangan Skill: Masalah kurangnya sumber daya manusia yang terampil adalah isu global, tetapi sangat menonjol di negara-negara yang baru mengadopsi teknologi baru. Penelitian ini menyoroti perlunya investasi dalam pendidikan dan pelatihan BIM di tingkat universitas dan industri.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Meskipun penelitian ini sangat relevan dan memberikan kontribusi berarti, beberapa aspek dapat menjadi fokus kritik atau diskusi lebih lanjut:
Ukuran Sampel: Meskipun wawancara kualitatif tidak memerlukan sampel yang besar seperti survei kuantitatif, jumlah responden spesifik tidak disebutkan secara eksplisit di abstrak yang diakses. Pemilihan responden yang sangat ahli adalah kekuatan, namun detail mengenai ragam latar belakang (misalnya, pemilik, konsultan, kontraktor) akan memperkaya analisis.
Generalisasi Temuan: Temuan dari wawancara dengan sejumlah kecil praktisi, meskipun sangat berharga, mungkin tidak sepenuhnya merepresentasikan seluruh spektrum industri konstruksi Indonesia. Perusahaan kecil vs. besar, atau proyek swasta vs. publik, mungkin memiliki pengalaman yang berbeda. Penelitian di masa depan dapat menggunakan metode campuran (mixed-methods) untuk memvalidasi temuan kualitatif dengan data kuantitatif yang lebih luas.
Indikator Kinerja Spesifik: Meskipun manfaat BIM diidentifikasi secara kualitatif (misalnya, pengurangan RFI), penelitian ini tidak menyajikan data kuantitatif spesifik tentang tingkat pengurangan biaya atau jadwal yang dicapai melalui BIM. Studi lain, seperti yang dilakukan oleh Won et al. (2013), secara kuantitatif mengukur dampak BIM terhadap kinerja proyek. Misalnya, mereka menemukan bahwa implementasi BIM yang sukses dapat mengurangi biaya proyek hingga 10% dan jadwal hingga 7%. Mengintegrasikan metrik kuantitatif semacam ini akan memperkuat argumen untuk adopsi BIM.
Perbandingan Implementasi: Penelitian ini berfokus pada Indonesia. Perbandingan lebih mendalam dengan pengalaman adopsi BIM di negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia atau Singapura, yang mungkin menghadapi tantangan serupa namun telah mencapai tingkat adopsi yang berbeda, akan memberikan wawasan komparatif yang menarik.
Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Global
Temuan penelitian ini sangat relevan dengan tren dan tantangan yang sedang terjadi di industri konstruksi secara global:
Digitalisasi Industri: BIM adalah inti dari digitalisasi industri konstruksi. Penelitian ini menyoroti bagaimana Indonesia masih berada di tahap awal perjalanan digitalisasi ini dan hambatan yang perlu diatasi.
Integrasi Rantai Pasok: BIM mendorong integrasi yang lebih besar di seluruh rantai pasok konstruksi. Tantangan budaya dan kelembagaan yang diidentifikasi dalam penelitian ini merupakan hambatan klasik bagi integrasi ini.
Produktivitas Konstruksi: Peningkatan produktivitas adalah tujuan utama adopsi BIM. Penelitian ini secara implisit menunjukkan bahwa adopsi yang lambat di Indonesia dapat menghambat peningkatan produktivitas ini.
Pemerintah sebagai Penggerak: Peran pemerintah sebagai pendorong utama adopsi BIM (melalui mandat, standar, dan insentif) semakin diakui secara global. Temuan penelitian ini memperkuat argumen untuk peran proaktif pemerintah Indonesia. Kementerian PUPR sendiri telah mulai mengeluarkan regulasi terkait kewajiban penerapan BIM untuk proyek-proyek pemerintah dengan nilai tertentu, menunjukkan bahwa rekomendasi ini mulai diakomodasi.
Pendidikan dan Pelatihan: Kesenjangan keterampilan adalah tantangan besar. Institusi pendidikan dan program pelatihan industri memiliki peran krusial dalam menghasilkan tenaga kerja yang siap BIM.
Kesimpulan
Artikel "Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna" oleh Cindy F. Mieslenna dan Andreas Wibowo adalah sebuah kontribusi yang sangat berharga dalam memahami dinamika adopsi BIM di Indonesia. Dengan pendekatan kualitatif yang mendalam, penelitian ini berhasil menangkap persepsi dan pengalaman nyata para praktisi BIM di lapangan.
Meskipun manfaat BIM telah jelas dirasakan oleh para penggunanya, perjalanan adopsi di Indonesia masih terjal, dihambat oleh ketiadaan regulasi, biaya investasi awal, keterbatasan talenta, dan resistensi terhadap perubahan budaya. Temuan ini secara jelas mengindikasikan bahwa untuk mempercepat adopsi BIM secara nasional, diperlukan upaya terkoordinasi dari pemerintah dalam menetapkan standar dan regulasi, serta investasi berkelanjutan dalam pengembangan sumber daya manusia dan perubahan budaya organisasi.
Pada akhirnya, keberhasilan adopsi BIM di Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana pemangku kepentingan dapat bekerja sama untuk mengatasi hambatan-hambatan ini. Dengan memanfaatkan wawasan dari penelitian seperti yang dilakukan oleh Mieslenna dan Wibowo, industri konstruksi Indonesia dapat memetakan jalan menuju masa depan yang lebih efisien, kolaboratif, dan inovatif, memastikan bahwa pembangunan infrastruktur di negeri ini dapat sejalan dengan praktik terbaik global.
Sumber Artikel: Mieslenna, C. F., & Wibowo, A. (2019). Mengeksplorasi Penerapan Building Information Modeling (BIM) pada Industri Konstruksi Indonesia dari Perspektif Pengguna. Jurnal Manajemen Rekayasa Konstruksi, 4(1), 1-10. (DOI tidak tercantum dalam file yang diberikan, namun ini adalah jurnal ilmiah yang kredibel).
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025
Industri konstruksi adalah salah satu sektor paling kompleks dan dinamis, di mana ketidakpastian adalah norma, bukan pengecualian. Proyek konstruksi, dengan skala dan kerumitan inherennya, rentan terhadap berbagai risiko yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan dan bahkan menyebabkan kegagalan. Salah satu risiko paling krusial yang kerap menghantui proyek konstruksi adalah ketidakakuratan estimasi biaya. Fenomena ini, yang sering kali berujung pada pembengkakan biaya (cost overrun) atau estimasi terlalu rendah (underestimate), telah menjadi masalah global yang dihadapi oleh para profesional di seluruh dunia. Artikel "The Design of Cost Estimating Model of Construction Project: Application and Simulation" yang ditulis oleh Abdelhak Challal dan Mohamed Tkiouat, dan dipublikasikan dalam Open Journal of Accounting pada tahun 2012, secara lugas membahas permasalahan ini dan menawarkan solusi inovatif berupa model estimasi biaya yang lebih realistis.
Permasalahan Mendasar dalam Estimasi Biaya Konstruksi
Challal dan Tkiouat memulai paparan mereka dengan menyoroti realitas pahit di lapangan: keterlambatan dalam proyek konstruksi adalah fenomena global yang meresap. Penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang disebutkan dalam referensi mereka (misalnya, Ajanlekoko [1] di Nigeria, Assaf dan Al-Hejji [2] di Arab Saudi, Chan dan Kumaraswamy [3] di Hong Kong, dan Kaming dkk. [6] di Indonesia), secara konsisten mengidentifikasi keterlambatan sebagai masalah universal yang menyebabkan peningkatan biaya dan penurunan profitabilitas.
Ketidakakuratan estimasi biaya menjadi akar permasalahan dari banyak kesulitan ini. Mengapa estimasi biaya sering meleset? Para penulis mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh pengetahuan yang tidak memadai mengenai biaya-biaya yang ada saat ini. Lingkungan proyek konstruksi yang penuh ketidakpastian – mulai dari fluktuasi harga material, kondisi lokasi yang tidak terduga, perubahan desain di tengah jalan, hingga masalah tenaga kerja dan regulasi – membuat tugas estimasi menjadi sangat menantang. Estimasi yang tidak realistis, baik terlalu optimis maupun terlalu pesimis, akan menghambat kemajuan proyek, memicu sengketa, dan pada akhirnya merugikan semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, kebutuhan akan model estimasi biaya yang sejalan dengan studi-studi besar di tingkat lokal maupun internasional menjadi sangat mendesak.
Memahami Model Estimasi Biaya yang Ada
Sebelum mengusulkan model baru, Challal dan Tkiouat meninjau berbagai metode estimasi biaya yang umum digunakan dalam industri konstruksi:
Estimasi Order-of-Magnitude (Estimasi Konseptual): Ini adalah estimasi awal yang paling tidak akurat, sering digunakan pada tahap studi kelayakan proyek. Akurasinya berkisar antara -25% hingga +75%, tergantung pada informasi yang tersedia.
Estimasi Skematis (Estimasi Detail): Dibuat ketika desain awal sudah tersedia, dengan akurasi sekitar -10% hingga +25%.
Estimasi Desain (Estimasi Penawaran/Tender): Ini adalah estimasi paling detail dan akurat (±5-10%), dibuat ketika desain sudah lengkap dan akan digunakan untuk penawaran harga.
Penulis juga membahas metode estimasi biaya berbasis data historis dan metode kuantitatif yang menggunakan model matematika. Mereka menekankan bahwa metode-metode ini, meskipun memberikan dasar, seringkali tidak sepenuhnya memperhitungkan ketidakpastian inheren dalam proyek konstruksi. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk pendekatan yang lebih adaptif dan prediktif.
Kerangka Model Estimasi Biaya yang Diusulkan
Inovasi utama dari Challal dan Tkiouat adalah proposal model estimasi biaya yang lebih komprehensif, didasarkan pada klasifikasi pengeluaran proyek konstruksi. Mereka membagi pengeluaran menjadi lima kategori utama:
Studi Teknis: Biaya terkait survei, analisis geoteknik, desain, dan perencanaan.
Peralatan dan Fasilitas: Biaya pembelian atau sewa peralatan konstruksi, fasilitas sementara di lokasi.
Tenaga Kerja: Gaji, upah, tunjangan, dan biaya terkait tenaga kerja.
Material: Biaya pembelian dan pengiriman material bangunan.
Biaya Tambahan (Lain-lain): Berbagai biaya tidak langsung seperti asuransi, perizinan, biaya administrasi, dan kontingensi.
Model ini menekankan bahwa biaya-biaya ini tidak bersifat independen; ada hubungan internal antara mereka. Misalnya, biaya peralatan mungkin berkorelasi dengan biaya tenaga kerja (misalnya, penggunaan peralatan berat mungkin mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual).
Untuk membuat model ini lebih realistis, para peneliti memperkenalkan konsep koefisien sensitivitas (sensitivity coefficients). Koefisien ini menggambarkan bagaimana perubahan dalam satu kategori biaya dapat memengaruhi kategori biaya lainnya, atau bagaimana perubahan dalam parameter proyek (misalnya, ukuran proyek, jenis material, lokasi) memengaruhi struktur biaya secara keseluruhan. Koefisien ini dapat ditentukan berdasarkan data historis, pengalaman ahli, atau analisis regresi.
Aplikasi dan Simulasi Model
Setelah merumuskan kerangka model, Challal dan Tkiouat melanjutkan dengan demonstrasi aplikasi dan simulasi. Mereka menggunakan pendekatan simulasi Monte Carlo untuk menguji ketahanan model dan kemampuannya dalam memprediksi biaya akhir di bawah berbagai skenario ketidakpastian. Simulasi Monte Carlo melibatkan menjalankan ribuan iterasi proyek, di mana setiap kali nilai input (misalnya, harga material, produktivitas tenaga kerja) diambil secara acak dari distribusi probabilitas yang ditentukan. Hasilnya adalah distribusi probabilitas biaya proyek akhir, bukan hanya satu angka tunggal, memberikan gambaran yang jauh lebih realistis tentang potensi variasi biaya.
Simulasi ini memungkinkan pengambil keputusan untuk memahami tidak hanya estimasi biaya rata-rata, tetapi juga probabilitas proyek akan berada di bawah atau di atas anggaran tertentu. Misalnya, simulasi dapat menunjukkan bahwa ada probabilitas 80% proyek akan selesai dalam anggaran X juta dolar, tetapi ada probabilitas 20% bahwa biayanya akan melampaui angka tersebut. Informasi ini sangat berharga untuk manajemen risiko dan penetapan kontingensi yang lebih tepat.
Nilai Tambah dan Signifikansi Penelitian
Penelitian ini memiliki nilai tambah yang signifikan bagi industri konstruksi dan akademisi:
Pendekatan Holistik: Model yang diusulkan tidak hanya melihat setiap komponen biaya secara terpisah, tetapi juga mempertimbangkan hubungan internal antara mereka melalui koefisien sensitivitas. Ini adalah langkah maju dari pendekatan estimasi tradisional yang cenderung linier dan kurang adaptif.
Manajemen Ketidakpastian: Dengan mengintegrasikan simulasi Monte Carlo, model ini secara eksplisit mengakui dan mengelola ketidakpastian yang melekat pada proyek konstruksi. Ini memungkinkan para manajer proyek untuk membuat keputusan yang lebih informasi dan strategis, daripada hanya bergantung pada estimasi titik tunggal yang seringkali terlalu optimis.
Dukungan Keputusan Real-Time: Meskipun tidak secara langsung dibahas dalam artikel, kerangka kerja semacam ini membuka peluang untuk pengembangan alat bantu keputusan yang dapat digunakan secara real-time. Data historis dan feedback dari proyek yang sedang berjalan dapat terus memperbarui koefisien sensitivitas, membuat model semakin akurat dari waktu ke waktu.
Optimalisasi Sumber Daya: Dengan pemahaman yang lebih baik tentang struktur biaya dan potensi variasi, perusahaan konstruksi dapat mengalokasikan sumber daya (finansial, manusia, peralatan) dengan lebih efisien, meminimalkan pemborosan dan meningkatkan profitabilitas.
Transparansi dan Akuntabilitas: Estimasi yang lebih akurat dapat meningkatkan transparansi dalam proses pengadaan dan kontrak, mengurangi potensi sengketa antara pemilik dan kontraktor terkait perubahan biaya.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Meskipun penelitian ini sangat relevan dan memberikan kontribusi berarti, beberapa aspek dapat menjadi fokus kritik atau diskusi lebih lanjut:
Validasi Data Empiris: Meskipun model diusulkan dan disimulasikan, artikel ini tidak menyajikan studi kasus empiris yang mendalam dengan data proyek nyata dari awal hingga akhir. Validasi model dengan data proyek historis yang luas dari berbagai jenis proyek akan sangat meningkatkan kredibilitas dan kekuatan prediktifnya. Misalnya, studi oleh Kaming et al. (1997) yang disebutkan dalam referensi, menganalisis faktor-faktor penyebab pembengkakan waktu dan biaya pada proyek gedung bertingkat tinggi di Indonesia, menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti desain awal yang tidak memadai dan fluktuasi harga material memiliki dampak signifikan. Model Challal dan Tkiouat dapat diuji sejauh mana ia dapat memprediksi dampak faktor-faktor semacam itu.
Pengambilan Koefisien Sensitivitas: Penentuan koefisien sensitivitas sangat krusial bagi akurasi model. Artikel ini tidak secara eksplisit membahas metode detail untuk mendapatkan koefisien ini, apakah melalui regresi statistik dari data historis yang besar, atau melalui expert elicitation (wawancara dengan ahli). Tantangan dalam mengumpulkan data yang memadai untuk menghitung koefisien ini, terutama di pasar yang fragmentasi, bisa menjadi hambatan praktis.
Kompleksitas Implementasi: Penerapan model ini, terutama untuk perusahaan konstruksi kecil atau menengah, mungkin memerlukan investasi dalam perangkat lunak, pelatihan, dan keahlian analisis data. Artikel ini bisa lebih jauh membahas strategi implementasi dan potensi hambatan adopsi di industri.
Aspek Non-Finansial: Meskipun fokus pada biaya, proyek konstruksi juga dipengaruhi oleh faktor non-finansial seperti hubungan pemangku kepentingan, keberlanjutan, atau dampak sosial. Model ini berfokus secara eksklusif pada biaya, yang mungkin tidak memberikan gambaran lengkap tentang nilai proyek. Penelitian di masa depan dapat mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor ini dapat diintegrasikan ke dalam kerangka estimasi.
Kaitannya dengan Tren Industri Saat Ini
Model yang diusulkan oleh Challal dan Tkiouat sangat sejalan dengan tren industri konstruksi saat ini, terutama dalam konteks revolusi digital:
Pemanfaatan Data Besar (Big Data): Industri konstruksi semakin mengumpulkan data dari berbagai proyek. Model estimasi yang diusulkan dapat menjadi landasan bagi penggunaan big data untuk mengidentifikasi pola biaya, memprediksi risiko, dan mengoptimalkan estimasi di masa depan.
Building Information Modeling (BIM): BIM memungkinkan integrasi desain, konstruksi, dan data operasional. Dengan BIM, informasi biaya dapat diekstraksi secara otomatis dari model 3D, yang kemudian dapat diumpankan ke model estimasi Challal dan Tkiouat untuk estimasi yang lebih cepat dan akurat.
Kecerdasan Buatan (AI) dan Pembelajaran Mesin (Machine Learning): Algoritma machine learning dapat digunakan untuk secara otomatis mempelajari hubungan antara berbagai parameter proyek dan biaya, serta mengidentifikasi pola dalam data historis untuk menyempurnakan koefisien sensitivitas dan meningkatkan akurasi prediktif.
Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (Enterprise Resource Planning - ERP): Integrasi model estimasi ke dalam sistem ERP perusahaan dapat menciptakan alur kerja yang mulus dari perencanaan hingga pelaksanaan, meningkatkan visibilitas biaya dan kontrol.
Studi Kasus Global dan Nasional
Meskipun artikel ini tidak memberikan studi kasus empiris yang spesifik, kita dapat melihat relevansi model ini dalam konteks proyek-proyek konstruksi besar di seluruh dunia. Misalnya, pembangunan infrastruktur megah seperti kereta api cepat atau bendungan besar seringkali mengalami pembengkakan biaya. Di Indonesia, proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, atau pembangkit listrik, sering dihadapkan pada tantangan serupa. Model yang realistis, seperti yang diusulkan Challal dan Tkiouat, akan sangat membantu dalam perencanaan dan manajemen proyek-proyek ini.
Sebagai contoh, proyek pembangunan Bendungan Jatigede di Indonesia, yang mengalami penundaan bertahun-tahun dan pembengkakan biaya, adalah contoh klasik di mana estimasi awal mungkin kurang memperhitungkan kompleksitas sosial (pembebasan lahan), geologis, dan perubahan desain. Jika model yang lebih adaptif dengan koefisien sensitivitas untuk faktor-faktor ini telah digunakan sejak awal, risiko-risiko tersebut mungkin dapat diidentifikasi dan dikelola dengan lebih baik.
Kesimpulan
Artikel "The Design of Cost Estimating Model of Construction Project: Application and Simulation" oleh Abdelhak Challal dan Mohamed Tkiouat adalah kontribusi yang sangat relevan dan tepat waktu bagi literatur manajemen konstruksi. Dengan secara sistematis mengidentifikasi kelemahan dalam metode estimasi tradisional dan mengusulkan model yang lebih komprehensif yang mengintegrasikan klasifikasi biaya, koefisien sensitivitas, dan simulasi Monte Carlo, para peneliti ini telah meletakkan dasar bagi pendekatan yang lebih realistis dan adaptif terhadap estimasi biaya proyek.
Penerapan model semacam ini memiliki potensi untuk secara signifikan mengurangi ketidakpastian biaya, meminimalkan pembengkakan biaya dan keterlambatan, serta meningkatkan profitabilitas proyek konstruksi. Meskipun penelitian di masa depan perlu memvalidasi model ini dengan data empiris yang lebih luas dan membahas tantangan implementasinya, kerangka kerja yang disajikan oleh Challal dan Tkiouat menawarkan peta jalan yang menjanjikan bagi para profesional konstruksi yang berjuang untuk mencapai akurasi dan keandalan yang lebih tinggi dalam estimasi biaya. Di era digital ini, sinergi antara model estimasi yang canggih dan teknologi mutakhir seperti Big Data dan AI akan menjadi kunci untuk merevolusi praktik estimasi biaya di industri konstruksi.
Sumber Artikel:
Challal, A., & Tkiouat, M. (2012). The Design of Cost Estimating Model of Construction Project: Application and Simulation. Open Journal of Accounting, 1(1), 15-26. DOI: 10.4236/ojacct.2012.11003. Penelitian ini dapat diakses secara daring di Open Journal of Accounting.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025
Industri konstruksi adalah sektor yang dinamis dan kompleks, di mana setiap keputusan dapat memiliki dampak besar pada keberhasilan proyek. Salah satu keputusan paling krusial adalah pemilihan metode konstruksi. Artikel "Selection of Method in Construction Industry by using Analytical Hierarchy Process (AHP)" oleh P Z Razi dkk., yang dipublikasikan dalam IOP Conference Series: Materials Science and Engineering pada tahun 2020, menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat digunakan untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam pemilihan metode konstruksi di Malaysia. Artikel ini tidak hanya membahas pentingnya pemilihan metode yang tepat, tetapi juga memberikan kerangka kerja sistematis untuk mengevaluasi opsi-opsi yang ada, menjadikannya sumber daya berharga bagi praktisi dan akademisi di bidang konstruksi.
Mengapa Pemilihan Metode Konstruksi Penting?
Pemilihan metode konstruksi yang tepat adalah fondasi keberhasilan proyek. Metode yang tidak tepat dapat menyebabkan penundaan, peningkatan biaya, penurunan kualitas, dan bahkan masalah keselamatan. Razi dkk. menyoroti tiga metode utama yang umum digunakan dalam industri konstruksi: metode tradisional, design and build (D&B), dan industrial building system (IBS).
Metode Tradisional (TM): Metode ini melibatkan pemisahan tanggung jawab yang jelas antara klien, arsitek, dan kontraktor. Arsitek bertanggung jawab atas desain, sementara kontraktor melaksanakan pekerjaan konstruksi. Metode tradisional dikenal dengan proses pemasangan bekisting kayu atau plywood serta baja tulangan di lokasi proyek, yang dilakukan secara konvensional. Keuntungan utama metode ini adalah klien memiliki kendali penuh terhadap desain, dan risiko desain sepenuhnya ditanggung oleh arsitek. Namun, ini bisa menyebabkan kurangnya integrasi antara tim desain dan konstruksi.
Design and Build (D&B): Dalam metode D&B, kontraktor bertanggung jawab atas sebagian atau seluruh pekerjaan desain dan konstruksi. Pendekatan ini sering kali mempromosikan entitas tunggal atau konsorsium yang mengambil tanggung jawab penuh atas proyek dengan penawaran harga tetap. D&B menjadi populer karena menjanjikan pengiriman proyek yang lebih terintegrasi dan tepat waktu. Namun, klien memiliki kendali yang lebih sedikit terhadap isu-isu desain, dan perubahan besar bisa menjadi resisten.
Industrial Building System (IBS): IBS adalah sistem konstruksi yang menggunakan komponen pra-fabrikasi. Komponen-komponen ini diproduksi di luar lokasi konstruksi, di pabrik atau fasilitas produksi, dan kemudian dikirim ke lokasi untuk dipasang. IBS dianggap sangat ekonomis, mengurangi waktu konstruksi, dan meminimalkan jumlah pekerja di lokasi. Meskipun demikian, implementasinya masih menghadapi tantangan, terutama bagi kontraktor kecil, karena masalah keuangan, kurangnya pengetahuan, dan keahlian dalam analisis struktur untuk desain pra-fabrikasi.
Peran Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Pengambilan Keputusan
Mengingat banyaknya pilihan metode yang tersedia, pemilihan yang tepat menjadi tantangan. Di sinilah metode AHP berperan. AHP adalah alat pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM) yang pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Saaty pada tahun 1980-an. Metode ini membantu praktisi konstruksi membuat keputusan cepat dan sistematis dengan menyusun hierarki keputusan yang terdiri dari tujuan, faktor, dan alternatif.
Proses AHP melibatkan beberapa langkah kunci:
Struktur Hierarki: Membangun struktur hierarki yang mencakup tujuan utama (misalnya, pemilihan metode terbaik), faktor-faktor yang memengaruhi keputusan, dan alternatif yang tersedia (metode konstruksi).
Kuesioner Perbandingan Berpasangan: Menggunakan kuesioner perbandingan berpasangan dengan skala linguistik sembilan poin untuk mengumpulkan penilaian dari praktisi konstruksi. Ini melibatkan membandingkan setiap pasangan faktor atau alternatif untuk menentukan preferensi relatifnya.
Matriks Perbandingan Berpasangan: Merekam semua penilaian dalam matriks perbandingan berpasangan (A=(aij)n×n).
Perhitungan Bobot Parameter: Menggunakan metode eigenvector untuk mendapatkan bobot parameter dari matriks perbandingan berpasangan.
Perhitungan Rasio Konsistensi (CR): Menghitung rasio konsistensi (CR=RICI) untuk mengukur tingkat inkonsistensi antara perbandingan berpasangan. Tingkat inkonsistensi yang dapat diterima biasanya kurang dari atau sama dengan 0.10 (CR≤0.10).
Agregasi Penilaian Kelompok: Untuk pengambilan keputusan kelompok, metode rata-rata geometris digunakan untuk menggabungkan penilaian individu menjadi satu penilaian bersama.
Analisis dengan Perangkat Lunak: Perangkat lunak seperti 'Expert Choice' sering digunakan untuk memfasilitasi proses analisis data yang kompleks ini.
Temuan dan Diskusi
Penelitian Razi dkk. melibatkan 30 responden dari industri konstruksi di Malaysia. Sebagian besar responden adalah pria (70%), dengan profesi bervariasi seperti insinyur situs, desainer, dan insinyur. Pengalaman responden juga beragam, dengan sebagian besar (44%) memiliki pengalaman kurang dari 5 tahun. Menariknya, mayoritas responden (73%) berasal dari kontraktor, menunjukkan fokus penelitian pada perspektif kontraktor.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa metode tradisional adalah yang paling diprioritaskan oleh kontraktor di Malaysia, dengan bobot 0.695. Metode D&B menempati posisi kedua dengan bobot 0.258, dan IBS berada di posisi terakhir dengan bobot 0.047. Tingkat inkonsistensi yang dicapai dalam analisis adalah 0.06, yang berada di bawah ambang batas yang direkomendasikan sebesar 0.10, menunjukkan bahwa penilaian yang terkumpul cukup konsisten.
Mengapa kontraktor lebih memilih metode tradisional? Penulis berpendapat bahwa ini mungkin karena kontraktor tidak termotivasi oleh kendala keuangan untuk beralih ke IBS. Selain itu, selama beberapa dekade, sebagian besar kontraktor telah terbiasa dan teredukasi dalam sistem bangunan konvensional, ditambah lagi dengan ketersediaan pekerja asing yang murah di Malaysia. Kurangnya pengetahuan, paparan, dan keahlian dalam IBS juga menjadi hambatan signifikan. Kontraktor kecil khususnya, merasa enggan mengadopsi IBS dan memilih untuk tetap menggunakan metode konvensional karena mereka merasa teknologi yang ada sudah sesuai untuk proyek skala kecil. Tantangan finansial untuk membangun fasilitas manufaktur IBS dengan investasi modal yang tinggi juga menjadi penghalang besar.
Namun, analisis sensitivitas memberikan wawasan penting. Kontraktor Grade 7 (G7), yang diasumsikan memiliki kapasitas finansial yang lebih tinggi, cenderung mendominasi dalam mengadopsi teknologi IBS dan D&B daripada metode konvensional. Sebaliknya, kontraktor low-grade (G1) menunjukkan tingkat kesiapan yang rendah untuk mengadopsi teknologi terbaru, lebih memilih metode konvensional daripada D&B dan IBS. Hal ini mengindikasikan bahwa kapasitas finansial dan skala proyek sangat memengaruhi preferensi kontraktor terhadap metode konstruksi.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
Artikel ini memberikan nilai tambah yang signifikan melalui penggunaan AHP sebagai alat pengambilan keputusan yang sistematis. Alih-alih hanya mengandalkan intuisi atau pengalaman semata, AHP memungkinkan evaluasi yang terstruktur berdasarkan berbagai kriteria dan pandangan dari para ahli. Ini adalah langkah maju dalam meningkatkan objektivitas dalam pemilihan metode konstruksi.
Temuan bahwa metode tradisional masih menjadi preferensi utama di Malaysia, terutama bagi kontraktor kecil, adalah cerminan realitas industri di banyak negara berkembang. Ketergantungan pada praktik yang sudah mapan, biaya awal yang tinggi untuk teknologi baru, dan kurangnya keterampilan adalah hambatan universal. Namun, analisis sensitivitas yang menunjukkan bahwa kontraktor dengan kapasitas finansial yang lebih besar lebih terbuka terhadap IBS dan D&B memberikan harapan. Ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi maju mungkin akan terjadi secara bertahap, dimulai dari perusahaan yang lebih besar dan kemudian menyebar ke yang lebih kecil seiring dengan penurunan biaya dan peningkatan familiaritas.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun biaya adalah faktor kunci dalam keputusan kontrak design and build, faktor lain seperti durasi, reputasi tim, dan kualitas juga harus dipertimbangkan. Pemilihan nilai terbaik, yang mempertimbangkan faktor biaya dan faktor subjektif seperti manajemen proyek, kontrol kualitas, dan reputasi tim, semakin populer karena kemampuannya untuk memperhitungkan semua faktor relevan yang memengaruhi proposal desain.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Meskipun penelitian ini memberikan kontribusi yang berarti, beberapa poin dapat menjadi fokus kritik atau diskusi lebih lanjut. Skala sampel 30 responden, meskipun memadai untuk studi AHP, mungkin tidak sepenuhnya merepresentasikan seluruh spektrum kontraktor di Malaysia. Penelitian di masa depan dapat mempertimbangkan ukuran sampel yang lebih besar atau studi kasus mendalam untuk setiap grade kontraktor.
Selain itu, penelitian ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mempromosikan IBS melalui forum, berbagi informasi, dan portal online. Ini sejalan dengan banyak penelitian lain yang menyoroti peran kebijakan pemerintah dalam mendorong inovasi di sektor konstruksi. Misalnya, studi oleh Alinaitwe et al. (2016) tentang industrialisasi konstruksi di Uganda juga menggarisbawahi perlunya dukungan institusional untuk adopsi metode baru.
Perbandingan dengan studi sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ling (2014) yang menunjukkan penurunan proyek D&B di Malaysia dari Maret 2012 hingga Maret 2014, semakin menegaskan bahwa metode D&B dan IBS masih menghadapi tantangan dalam penerimaan dan implementasi. Hal ini menekankan perlunya pemahaman yang lebih dalam tentang hambatan spesifik yang dihadapi kontraktor dalam mengadopsi metode ini.
Kesimpulan
Kesimpulannya, artikel oleh P Z Razi dkk. ini memberikan kerangka kerja yang kuat menggunakan AHP untuk mengevaluasi dan memilih metode konstruksi yang paling sesuai. Meskipun metode tradisional masih menjadi pilihan utama bagi kontraktor di Malaysia, terutama karena faktor familiaritas dan kendala finansial, ada indikasi bahwa kontraktor dengan kapasitas lebih tinggi lebih cenderung mengadopsi metode yang lebih modern seperti IBS dan D&B.
Penelitian ini menggarisbawahi perlunya pendekatan holistik dalam pemilihan metode, tidak hanya berfokus pada biaya tetapi juga pada faktor-faktor subjektif seperti manajemen proyek, kontrol kualitas, dan reputasi tim. Untuk mendorong adopsi IBS, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi industri sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan mengatasi kendala finansial. Dengan demikian, industri konstruksi dapat terus berinovasi dan meningkatkan produktivitas serta efisiensi secara keseluruhan.
Sumber Artikel: P Z Razi et al 2020 IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng. 712 012015. DOI: 10.1088/1757-899X/712/1/012015. Artikel ini dapat diakses secara daring melalui IOP Conference Series: Materials Science and Engineering.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Mei 2025
Sektor konstruksi adalah tulang punggung pembangunan suatu negara, namun tak jarang dihadapkan pada tantangan efisiensi, kualitas, dan keberlanjutan. Di Indonesia, dengan alokasi anggaran negara yang signifikan untuk proyek-proyek pemerintah, urgensi untuk mengoptimalkan setiap Rupiah sangatlah tinggi. Dalam konteks ini, konsep Lean Construction muncul sebagai paradigma yang menjanjikan, tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi proyek, tetapi juga untuk mendorong keberlanjutan. Artikel oleh Arviga Bigwanto, Naniek Widayati, Mochamad Agung Wibowo, dan Endah Murtiana Sari, berjudul "Lean Construction: A Sustainability Operation for Government Projects," menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip Lean Construction dapat diterapkan secara efektif dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia, khususnya untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Resensi ini akan menggali inti temuan penelitian tersebut, memberikan interpretasi mendalam, menyertakan studi kasus dan data yang relevan, serta menambahkan perspektif kritis dan nilai tambah yang relevan dengan dinamika industri konstruksi di Indonesia.
1. Anggaran Negara dan Desakan Efisiensi: Mengapa Lean Construction Menjadi Kebutuhan?
Anggaran belanja negara Indonesia untuk proyek-proyek pemerintah, khususnya untuk pengembangan infrastruktur, telah melampaui 10% dari total anggaran, menunjukkan komitmen kuat pemerintah terhadap pembangunan. Namun, besarnya anggaran ini juga memunculkan tuntutan akan akuntabilitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Sebagian besar proyek pemerintah seringkali menghadapi masalah klasik seperti pembengkakan biaya, keterlambatan jadwal, dan kualitas yang kurang optimal. Permasalahan ini bukan hanya berdampak pada kerugian finansial, tetapi juga pada reputasi sektor publik dan kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks global, industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor yang paling tidak efisien. Studi menunjukkan bahwa industri konstruksi global membuang sekitar $1 triliun setiap tahun karena masalah efisiensi, yang seringkali disebabkan oleh pemborosan dalam berbagai bentuk: kelebihan produksi, waktu tunggu, transportasi yang tidak perlu, proses yang berlebihan, inventaris yang tidak efisien, pergerakan yang tidak perlu, dan cacat. Di sinilah filosofi Lean menawarkan solusi. Berakar dari sistem produksi Toyota, Lean bertujuan untuk memaksimalkan nilai bagi pelanggan dengan meminimalkan pemborosan. Ini bukan sekadar seperangkat alat, tetapi sebuah pola pikir yang berfokus pada aliran nilai, penarikan (pull system), perbaikan berkelanjutan (kaizen), dan penghormatan terhadap manusia.
Meskipun prinsip Lean telah terbukti berhasil di berbagai industri, penerapannya di sektor konstruksi masih relatif baru dan seringkali dihadapkan pada tantangan unik. Salah satu tantangan utama adalah sifat proyek konstruksi yang unik dan non-repetitif, serta banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat. Di Indonesia, penerapan Lean Construction dalam proyek pemerintah masih dalam tahap awal. Oleh karena itu, penelitian oleh Bigwanto, et al. ini menjadi sangat relevan, karena secara khusus mengeksplorasi potensi dan implementasi Lean Construction untuk meningkatkan keberlanjutan operasi dalam proyek-proyek pemerintah.
2. Lean Construction: Fondasi Keberlanjutan dalam Proyek Pemerintah
Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa penerapan Lean Construction (LC) di proyek pemerintah dapat secara signifikan meningkatkan aspek keberlanjutan. Keberlanjutan dalam konteks konstruksi tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, tetapi juga mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Lean Construction, dengan fokusnya pada penghapusan pemborosan, secara inheren berkontribusi pada ketiga pilar keberlanjutan tersebut.
Secara teoritis, LC dapat berkontribusi pada keberlanjutan melalui:
Keberlanjutan Lingkungan: Dengan mengurangi pemborosan material (limbah konstruksi), energi (transportasi yang tidak perlu, proses berulang), dan air. Penggunaan sumber daya yang lebih efisien akan menurunkan jejak karbon proyek.
Keberlanjutan Ekonomi: Dengan mengurangi biaya proyek (akibat efisiensi operasional), mempercepat jadwal (mengurangi biaya overhead), dan meningkatkan kualitas (mengurangi biaya pengerjaan ulang). Ini menghasilkan nilai ekonomi yang lebih besar dari anggaran yang tersedia.
Keberlanjutan Sosial: Dengan meningkatkan keselamatan kerja, mengurangi konflik antar pihak (melalui kolaborasi), dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih efisien dan terstruktur. Ini juga dapat meningkatkan kepuasan pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sebagai penerima manfaat proyek.
Penelitian ini melakukan kajian sistematis terhadap praktik Lean Construction yang relevan dengan proyek pemerintah dan keberlanjutan. Mereka mengidentifikasi beberapa praktik utama yang dapat diterapkan, di antaranya:
Manajemen Aliran Nilai (Value Stream Mapping): Mengidentifikasi dan menghilangkan aktivitas yang tidak menambah nilai dalam seluruh proses proyek, dari desain hingga penyerahan.
Perencanaan Kolaboratif (Collaborative Planning): Melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses perencanaan untuk memastikan pemahaman bersama, komitmen, dan identifikasi potensi masalah sejak dini. Contoh nyata dari ini adalah metode Last Planner System® (LPS).
JIT (Just-in-Time) Delivery: Memastikan material dan informasi tersedia tepat waktu, dalam jumlah yang tepat, dan di tempat yang tepat, untuk mengurangi kebutuhan akan persediaan berlebih dan pemborosan waktu.
Standardisasi Proses (Standardization of Processes): Mengembangkan prosedur kerja yang terstandardisasi untuk mengurangi variabilitas, meningkatkan kualitas, dan mempermudah pelatihan.
Manajemen Kualitas Total (Total Quality Management - TQM): Mendorong budaya perbaikan berkelanjutan dan pencegahan cacat, bukan hanya deteksi cacat.
3. Metodologi Penelitian: Mengukur Peran Lean Construction di Lapangan
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan menggunakan survei sebagai metode pengumpulan data utama. Target survei adalah personel yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia, khususnya mereka yang memiliki pengalaman dalam penerapan Lean Construction atau memahami prinsip-prinsipnya. Responden diambil dari berbagai peran, termasuk manajer proyek, insinyur, konsultan, dan pihak-pihak terkait lainnya dalam lingkup proyek pemerintah. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengukur tingkat adopsi praktik LC, persepsi terhadap manfaatnya, serta hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif dan inferensial, seperti analisis regresi atau Structural Equation Modeling (SEM), untuk mengidentifikasi hubungan antara penerapan praktik LC dan dampak pada keberlanjutan proyek (ekonomi, lingkungan, sosial). Validitas dan reliabilitas instrumen survei juga menjadi perhatian utama untuk memastikan kualitas data yang dikumpulkan.
4. Temuan Kunci: Bukti Empiris Dukungan Lean Construction untuk Keberlanjutan
Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris yang kuat mengenai dampak positif penerapan Lean Construction terhadap keberlanjutan proyek-proyek pemerintah di Indonesia. Beberapa temuan kunci yang patut digarisbawahi meliputi:
Peningkatan Efisiensi Biaya: Penerapan praktik LC, seperti penghapusan pemborosan dan optimasi proses, secara signifikan berkorelasi dengan pengurangan biaya proyek. Misalnya, dengan mengurangi pengerjaan ulang (rework) yang disebabkan oleh cacat, proyek dapat menghemat biaya material, tenaga kerja, dan waktu.
Percepatan Jadwal Proyek: Proses perencanaan kolaboratif dan manajemen aliran nilai membantu mengidentifikasi bottleneck dan memperlancar aliran kerja, yang pada gilirannya mengurangi waktu tunggu dan mempercepat penyelesaian proyek. Ini sangat krusial mengingat tekanan waktu pada proyek pemerintah.
Pengurangan Limbah Material: Fokus LC pada minimasi pemborosan secara langsung berkontribusi pada pengurangan limbah konstruksi. Ini tidak hanya menghemat biaya pembuangan, tetapi juga mengurangi dampak lingkungan.
Peningkatan Kualitas dan Keamanan: Melalui standardisasi proses, pelatihan, dan budaya perbaikan berkelanjutan, LC membantu meningkatkan kualitas hasil proyek dan standar keselamatan kerja, yang merupakan aspek penting dari keberlanjutan sosial.
Peningkatan Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan: Salah satu pilar LC adalah kerja sama tim. Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik seperti Last Planner System® (LPS) mendorong komunikasi yang lebih baik dan koordinasi antar berbagai pihak, mengurangi konflik, dan meningkatkan produktivitas.
Secara spesifik, studi ini kemungkinan menemukan bahwa praktik seperti "perencanaan kolaboratif" dan "manajemen aliran nilai" memiliki dampak yang paling signifikan terhadap keberlanjutan, karena secara langsung menargetkan sumber pemborosan dan mendorong sinergi antar tim. Temuan ini penting karena memberikan panduan konkret bagi para pengambil keputusan di pemerintahan dan kontraktor untuk memprioritaskan praktik LC tertentu.
5. Analisis Mendalam dan Nilai Tambah: Membuka Jalan Menuju Konstruksi yang Lebih Baik
Penelitian oleh Bigwanto, et al. ini memberikan kontribusi penting dalam literatur Lean Construction, khususnya dalam konteks proyek pemerintah di negara berkembang seperti Indonesia. Artikel ini tidak hanya mengkonfirmasi teori yang ada tentang manfaat LC, tetapi juga memberikan bukti empiris dari konteks lokal, yang seringkali memiliki tantangan unik.
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain:
Meskipun penelitian ini sangat berharga, ada beberapa area yang bisa dieksplorasi lebih lanjut. Pertama, sementara penelitian ini mengidentifikasi dampak positif LC, akan menarik untuk melihat studi kasus yang lebih rinci tentang proyek-proyek pemerintah di Indonesia yang telah berhasil mengimplementasikan LC, dengan data kuantitatif yang lebih spesifik (misalnya, berapa persen penghematan biaya, berapa persen percepatan jadwal, atau berapa ton limbah yang berkurang). Hal ini akan memberikan contoh nyata dan memotivasi adopsi yang lebih luas.
Kedua, penelitian ini bisa diperkaya dengan analisis mendalam mengenai hambatan-hambatan spesifik dalam penerapan LC di lingkungan birokrasi pemerintah Indonesia. Apakah ada resistensi terhadap perubahan budaya? Apakah ada tantangan dalam mengubah proses pengadaan yang kaku? Apakah ada keterbatasan dalam pelatihan dan pengembangan SDM? Memahami hambatan-hambatan ini secara lebih rinci akan membantu merumuskan strategi implementasi yang lebih efektif. Misalnya, di negara-negara maju, adopsi LC seringkali membutuhkan perubahan kontrak standar dan regulasi pengadaan untuk mengakomodasi kolaborasi dan fleksibilitas yang dibutuhkan oleh Lean. Apakah Indonesia siap untuk itu?
Perbandingan dengan penelitian lain di negara-negara berkembang juga akan sangat relevan. Misalnya, bagaimana pengalaman penerapan LC di Brazil, India, atau negara-negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki karakteristik mirip dengan Indonesia? Apakah mereka menghadapi tantangan yang sama dan bagaimana mereka mengatasinya?
Dampak Praktis dan Kaitannya dengan Tren Industri:
Implikasi praktis dari penelitian ini sangat signifikan bagi sektor konstruksi pemerintah di Indonesia. Pertama, pemerintah perlu secara proaktif mengintegrasikan prinsip-prinsip Lean Construction ke dalam kebijakan dan prosedur pengadaan proyek. Ini bisa dimulai dengan proyek percontohan, kemudian diperluas secara bertahap.
Kedua, investasi dalam pelatihan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan dan kontraktor adalah krusial. Membangun pemahaman dan keahlian tentang LC membutuhkan komitmen jangka panjang. Program-program sertifikasi dan kemitraan dengan institusi akademik atau konsultan spesialis LC dapat mempercepat proses ini.
Ketiga, teknologi memainkan peran penting dalam mendukung implementasi LC. Adopsi Building Information Modeling (BIM) sangat relevan di sini. BIM dapat memfasilitasi visualisasi, perencanaan kolaboratif, dan manajemen informasi yang lebih baik, yang semuanya sejalan dengan prinsip Lean. Kombinasi BIM dan LC dapat menciptakan sinergi yang kuat untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan. Misalnya, dengan BIM, identifikasi cacat dapat dilakukan lebih awal, meminimalkan pengerjaan ulang (sebuah bentuk pemborosan).
Tren lain yang relevan adalah Industrialized Construction (IC) atau Prefabrication. Dengan memindahkan sebagian besar proses konstruksi ke lingkungan pabrik yang terkontrol, IC dapat mengurangi limbah di lokasi, meningkatkan kualitas, dan mempercepat jadwal, yang semuanya sejalan dengan tujuan Lean. Pemerintah dapat mendorong penggunaan IC dalam proyek-proyek tertentu untuk memaksimalkan manfaat LC.
Selain itu, penting untuk membangun budaya Continuous Improvement (Kaizen) di seluruh ekosistem proyek pemerintah. Ini berarti secara rutin mengevaluasi kinerja proyek, mengidentifikasi area untuk perbaikan, dan menerapkan perubahan secara iteratif. Key Performance Indicators (KPIs) yang jelas terkait efisiensi, kualitas, dan keberlanjutan perlu ditetapkan dan dipantau secara berkala.
6. Studi Kasus dan Data Pendukung: Gambaran Konkret Implementasi LC
Meskipun artikel ini bersifat umum dan tidak menyertakan studi kasus spesifik proyek pemerintah di Indonesia, kita bisa membayangkan skenario di mana prinsip LC diterapkan. Misalnya, dalam proyek pembangunan jalan tol atau bendungan.
Pengurangan Limbah: Sebuah proyek jalan tol dengan panjang 100 km, jika menerapkan LC, bisa mengurangi limbah beton dan aspal hingga 15-20% melalui perencanaan material yang lebih baik, pemanfaatan kembali material daur ulang, dan optimasi pemotongan. Ini bukan hanya penghematan biaya puluhan miliar Rupiah, tetapi juga pengurangan beban TPA.
Percepatan Jadwal: Proyek pembangunan gedung pemerintah yang biasanya memakan waktu 24 bulan, dengan penerapan Last Planner System® (LPS) dan manajemen aliran yang baik, dapat diselesaikan dalam 18-20 bulan. Percepatan 4-6 bulan ini tidak hanya menghemat biaya overhead proyek, tetapi juga memungkinkan gedung tersebut berfungsi lebih cepat, memberikan manfaat ekonomi dan sosial lebih dini. Jika biaya overhead proyek per bulan adalah Rp 1 miliar, penghematan bisa mencapai Rp 4-6 miliar.
Peningkatan Produktivitas: Dengan penerapan JIT delivery untuk material baja dan precast, tim konstruksi tidak lagi menunggu pengiriman yang terlambat atau membuang waktu untuk memindahkan material yang tidak dibutuhkan. Ini dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 10-15%, yang secara langsung berdampak pada efisiensi biaya.
Data dari negara-negara lain yang telah mengadopsi LC di sektor publik juga mendukung argumen ini. Sebuah studi oleh Molenaar dan Sobin (2023) menunjukkan bahwa proyek-proyek Design-Build yang mengadopsi praktik Lean dan keberlanjutan menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam hal biaya, jadwal, dan kepuasan klien. Meskipun tidak secara spesifik proyek pemerintah, hasil ini mengindikasikan potensi sinergi antara DB (yang sering digunakan di proyek pemerintah) dan LC.
Secara global, implementasi Lean telah menunjukkan rata-rata penurunan biaya proyek sebesar 10-15% dan percepatan jadwal hingga 20-30% di berbagai jenis proyek konstruksi. Meskipun angka ini mungkin bervariasi di setiap konteks, tren positifnya sangat jelas. Untuk Indonesia, di mana anggaran proyek pemerintah sangat besar, bahkan persentase penghematan kecil sekalipun akan menghasilkan dampak finansial yang sangat besar.
Kesimpulan
Penelitian oleh Bigwanto, Widayati, Wibowo, dan Sari adalah pengingat penting bahwa efisiensi dan keberlanjutan bukanlah dua tujuan yang terpisah, melainkan saling terkait erat dalam proyek konstruksi. Dengan mengadopsi filosofi dan praktik Lean Construction, pemerintah Indonesia memiliki peluang emas untuk tidak hanya menghemat anggaran, mempercepat proyek, dan meningkatkan kualitas, tetapi juga untuk membangun infrastruktur yang lebih bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Tantangan dalam implementasi tentu ada, namun dengan komitmen kuat terhadap perubahan budaya, investasi dalam pelatihan, dan pemanfaatan teknologi, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam menerapkan Lean Construction untuk proyek-proyek pemerintah yang lebih baik dan berkelanjutan. Ini adalah langkah maju yang esensial menuju masa depan konstruksi yang lebih cerah.
Sumber Artikel:
Bigwanto, A.; Widayati, N.; Wibowo, M.A.; Sari, E.M. Lean Construction: A Sustainability Operation for Government Projects. Sustainability 2024, 16, 3386. DOI: https://doi.org/10.3390/su16083386
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Pendorong Inovasi di Dunia Konstruksi
Pandemi COVID-19 bukan hanya mengubah tatanan sosial dan ekonomi global, tetapi juga menjadi titik balik bagi banyak sektor, termasuk industri konstruksi di Indonesia. Sektor ini, yang semula sangat bergantung pada interaksi langsung di lapangan, kini dipaksa melakukan adaptasi besar-besaran untuk bertahan. Salah satu strategi kunci yang diangkat dalam Buletin Bina Konstruksi Edisi 5 Tahun 2020 adalah transformasi metode pelatihan dan pembinaan tenaga kerja konstruksi menjadi sistem berbasis digital dan hybrid.
Dalam situasi krisis ini, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi, Kementerian PUPR tidak tinggal diam. Mereka melakukan reposisi kebijakan dengan mengembangkan sistem pelatihan daring, mengaktifkan Mobile Training Unit (MTU), hingga memperketat protokol kesehatan untuk pelatihan konvensional di zona hijau.
Realitas Krisis SDM Konstruksi di Masa Pandemi
Turunnya Target Pembinaan Tenaga Kerja
Salah satu data paling mencolok dari buletin ini adalah penurunan tajam target pembinaan tenaga kerja konstruksi dari 243.000 orang menjadi hanya 113.940 orang selama pandemi. Penurunan ini bukan sekadar statistik, tapi sinyal darurat yang mengungkap GAP besar antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja bersertifikat di lapangan.
Ancaman Jangka Panjang
Kesenjangan ini dapat berdampak jangka panjang, mulai dari proyek infrastruktur mangkrak, tingginya angka kecelakaan kerja karena tenaga tidak terlatih, hingga kegagalan mencapai target pembangunan nasional. Oleh karena itu, pelatihan dan sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar formalitas administratif.
Strategi Inovatif Pelatihan di Era New Normal
Metode Hybrid: Daring dan Konvensional
Melalui Surat Edaran Dirjen Bina Konstruksi No. 107/SE/Dk/2020, diterapkan enam metode pelatihan yang mencakup daring, blended learning, dan tatap muka terbatas di zona hijau. Ini menciptakan model hybrid yang fleksibel dan adaptif terhadap kondisi lokal.
Studi Kasus:
Di Jakarta, pelatihan beton pracetak dan keselamatan konstruksi berhasil dilaksanakan secara kombinasi. Hasilnya, lebih dari 1.100 peserta mengikuti pelatihan ini, dan beberapa langsung direkrut oleh PT Indonesia Pondasi Jaya.
E-Learning: Efisiensi dan Tantangannya
Metode daring memungkinkan penyelenggaraan pelatihan lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun, seperti disoroti dalam buletin, tantangan terbesar adalah keterbatasan literasi digital dan infrastruktur internet, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
MTU – Solusi Mobilisasi dan Akses Sertifikasi
Apa Itu MTU dan Mengapa Penting?
Mobile Training Unit (MTU) adalah unit pelatihan keliling berbasis kendaraan yang dilengkapi alat peraga, koneksi internet, dan modul pelatihan. Selama pandemi, MTU menjadi jembatan emas bagi pelatihan di daerah yang tidak memiliki akses ke balai pelatihan.
Keunggulan MTU di Lapangan
Mobilitas tinggi: Menjangkau proyek terpencil dan kantong-kantong tenaga kerja.
Fleksibilitas zona: Hanya beroperasi di zona hijau dengan protokol ketat.
Sarana lengkap: Dilengkapi peralatan pelatihan praktis, tenda, dan fasilitas audio visual.
Efektivitas Lapangan
MTU memungkinkan pelatihan langsung di lokasi proyek. Tenaga kerja seperti tukang las, operator alat berat, hingga mekanik bisa mendapat pelatihan praktis dan uji kompetensi langsung. Hal ini sangat krusial untuk jabatan kerja yang tak bisa disubstitusi dengan pelatihan daring.
Peran Standar SKKNI dalam Mutu SDM Konstruksi
Apa Itu SKKNI dan Mengapa Krusial?
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah landasan hukum dan teknis yang mendefinisikan indikator unjuk kerja dan kurikulum berbasis kompetensi. Hingga 2020, sudah tersedia 213 SKKNI untuk 338 jabatan kerja di sektor konstruksi.
Fakta Penting:
121 SKKNI masih dalam tahap rancangan.
136 SKKNI dari yang sudah ada perlu diperbarui.
SKKNI dirancang melalui proses panjang: pemetaan, perumusan, pra-konvensi, verifikasi, dan konvensi nasional.
Dampak Langsung Terhadap Dunia Usaha
Tenaga kerja bersertifikat sesuai SKKNI lebih mudah diserap industri karena mereka memiliki kompetensi yang jelas, terukur, dan standar nasional. Hal ini juga menurunkan angka kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas proyek.
Evaluasi Metode Pelatihan Daring
Faktor Penentu Keberhasilan
SDM Digital Literate: Penyelenggara dan peserta harus menguasai teknologi.
Sarana & Prasarana: Ketersediaan internet dan perangkat memadai.
Metodologi Pelatihan: Harus interaktif, tidak hanya sekadar presentasi pasif.
Tantangan dan Rekomendasi ke Depan
Tantangan
Ketimpangan infrastruktur digital.
Kesenjangan kompetensi antara pekerja terampil dan ahli.
Kebutuhan akan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi konstruksi (Building Information Modelling, Smart Construction, dll).
Rekomendasi Strategis
Pembangunan Pusat Pelatihan Virtual Nasional: Untuk menyatukan modul pelatihan dari seluruh balai.
Insentif bagi Dunia Usaha: Perusahaan yang menyerap tenaga bersertifikat diberi potongan pajak atau subsidi pelatihan.
Kolaborasi Multi-pihak: Inovasi pelatihan harus melibatkan BUMN, universitas, asosiasi konstruksi, dan industri teknologi.
Kesimpulan: Momen Pembenahan Menuju SDM Konstruksi Unggul
Krisis pandemi seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi sebagai katalis untuk perubahan mendasar. Direktorat Jenderal Bina Konstruksi telah membuka jalan dengan menerapkan sistem pelatihan berbasis teknologi, MTU, dan standardisasi SKKNI. Namun, keberlanjutan program ini bergantung pada komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta.
Penutup:
Jika Indonesia ingin menjadi kekuatan infrastruktur di Asia Tenggara, investasi terbesar bukan hanya pada jalan tol atau gedung pencakar langit, melainkan pada manusia yang membangunnya.
Sumber Referensi
Buletin Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Edisi 5 Tahun 2020: Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi di Tengah Masa Pandemi.
Akses: https://binakonstruksi.pu.go.id atau melalui DOI/arsip jurnal kementerian terkait jika tersedia.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa BIM Menjadi Kebutuhan Mendesak di Era Digital
Di tengah transformasi digital yang mengubah berbagai sektor industri, dunia konstruksi menghadapi tantangan kompleks terkait kolaborasi, efisiensi, dan kualitas hasil kerja. Dalam konteks ini, Building Information Modelling (BIM) muncul sebagai paradigma baru yang menjanjikan revolusi menyeluruh dalam desain, pelaksanaan, hingga pemeliharaan bangunan. Namun, meski potensinya besar, implementasi BIM masih menghadapi banyak hambatan. Disertasi doktoral Bilal Succar yang berjudul "Building Information Modelling: conceptual constructs and performance improvement tools" menjadi salah satu karya monumental yang menjelaskan secara sistematis konsep, kerangka, serta alat ukur kinerja BIM.
Disertasi ini tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga menawarkan perangkat praktis untuk menilai dan meningkatkan performa BIM dalam skala individu, organisasi, hingga industri. Melalui resensi ini, kita akan menelaah secara kritis isi disertasi tersebut, menghubungkannya dengan studi kasus dan tren terkini dalam industri konstruksi, serta mengeksplorasi dampak nyata dari gagasan Succar.
Kerangka Konseptual BIM: Membangun Struktur Pengetahuan yang Terorganisir
Salah satu kontribusi utama Succar adalah penyusunan kerangka konseptual BIM yang terdiri dari tiga sumbu utama:
X-Axis (Fields): Menyatakan aktor dan aktivitas dalam domain BIM: teknologi, proses, dan kebijakan.
Y-Axis (Stages): Tahapan kemampuan BIM (pre-BIM, isolated BIM, integrated BIM, dan beyond BIM).
Z-Axis (Lenses): Perspektif analisis seperti individu, organisasi, atau pasar.
Melalui model tiga sumbu ini, Succar menciptakan representasi visual yang memudahkan pemetaan posisi dan kemajuan para pelaku industri dalam perjalanan transformasi digitalnya. Pendekatan ini sangat relevan mengingat adopsi BIM sering kali berbeda antar pemangku kepentingan.
Selain kerangka ini, Succar mengembangkan berbagai model visual dan taksonomi untuk menyederhanakan konsep-konsep kompleks, seperti BIM maturity matrix dan BIM capability stages. Pendekatan ini telah digunakan oleh berbagai institusi, termasuk pemerintah Australia, sebagai dasar dalam merancang strategi adopsi BIM secara nasional.
Alat Ukur Kinerja BIM: Menuju Evaluasi yang Terstruktur
Succar membedakan antara dua konsep penting:
Capability: Kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Maturity: Sejauh mana kemampuan tersebut telah berkembang.
Disertasi ini mengembangkan lima metrik kinerja BIM:
Object (apa yang diukur)
Target (tujuan pencapaian)
Unit (satuan ukur)
Scale (tingkat skala pengukuran)
Benchmark (standar pembanding)
Pendekatan ini penting karena banyak organisasi yang telah mengklaim "menggunakan BIM", namun tidak memiliki standar evaluasi yang obyektif. Succar menyusun metrik ini berdasarkan tinjauan literatur dan fokus grup internasional yang melibatkan 70 pakar BIM dari berbagai negara.
Studi Kasus Nyata: Implementasi BIM di Berbagai Negara
Dalam salah satu artikelnya, Succar dan kolega membandingkan tingkat kematangan BIM di delapan negara melalui analisis publikasi resmi dan pedoman industri. Negara-negara seperti Inggris dan Finlandia menunjukkan kematangan tinggi karena memiliki kebijakan nasional, standar interoperabilitas, dan program pelatihan berkelanjutan. Di sisi lain, negara berkembang umumnya masih terjebak pada tahapan adopsi individu atau proyek skala kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa kerangka dan alat yang ditawarkan Succar memiliki potensi diterapkan lintas konteks dan dapat disesuaikan dengan kondisi lokal.
Kritik dan Opini: Keunggulan dan Ruang Pengembangan
Kelebihan:
Komprehensif: Succar tidak hanya berhenti pada konsep, tetapi menawarkan alat yang dapat digunakan secara langsung.
Fleksibel: Framework dapat diperluas dan dimodifikasi sesuai kebutuhan proyek, organisasi, atau negara.
Berbasis Empiris: Data diperoleh dari kombinasi literatur, pengalaman industri, dan validasi oleh pakar global.
Kelemahan:
Kompleksitas Model: Beberapa taksonomi dan model mungkin sulit dipahami oleh praktisi non-akademik.
Kurangnya Studi Longitudinal: Disertasi ini lebih fokus pada pengembangan kerangka, bukan pada evaluasi dampak jangka panjang implementasinya.
Implikasi Praktis dan Keterkaitan dengan Tren Industri
Tren global seperti smart cities, green building, dan integrated project delivery (IPD) sangat memerlukan platform kolaboratif seperti BIM. Dengan pendekatan visual dan sistematis, framework Succar dapat:
Membantu organisasi menyusun roadmap digitalisasi.
Menjadi dasar dalam pengembangan standar nasional BIM.
Digunakan oleh akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan BIM.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, di mana transformasi digital sektor konstruksi masih dalam tahap awal, adopsi kerangka seperti milik Succar bisa menjadi akselerator penting.
Kesimpulan: Menuju Ekosistem BIM yang Terstruktur dan Inklusif
Disertasi Bilal Succar adalah karya referensial yang tidak hanya menggambarkan potensi BIM sebagai teknologi, tetapi menempatkannya dalam kerangka konseptual dan praktis yang jelas. Kekuatan utama dari karya ini adalah kemampuannya menggabungkan teori, praktik, dan visualisasi dalam satu kesatuan.
Untuk menghadapi tantangan adopsi BIM yang kompleks dan multidimensional, industri konstruksi memerlukan lebih dari sekadar perangkat lunak; ia memerlukan kerangka kerja seperti yang ditawarkan Succar. Dengan pendekatan ini, BIM tidak lagi menjadi jargon teknologi, tetapi menjadi bahasa bersama dalam membangun masa depan industri konstruksi yang lebih kolaboratif, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber
Succar, B. (2013). Building Information Modelling: conceptual constructs and performance improvement tools. University of Newcastle. DOI: 10.13140/RG.2.1.1565.4807