Multiskilling sebagai Strategi Masa Depan Industri Konstruksi: Analisis Kritis Kompetensi Tenaga Kerja di Era Kekurangan Skill

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

09 Juli 2025, 15.58

pixabay.com

Mengapa Multiskilling Jadi Isu Sentral dalam Industri Konstruksi?

Industri konstruksi global, termasuk di Amerika Serikat, tengah menghadapi tantangan serius berupa kekurangan tenaga kerja terampil. Menurut data terbaru, sekitar 80% kontraktor umum di AS mengalami kesulitan merekrut pekerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan proyek. Kekurangan ini berdampak langsung pada produktivitas, kualitas proyek, kenaikan biaya, hingga meningkatnya insiden keselamatan kerja. Dalam konteks inilah, strategi multiskilling—yaitu pelatihan pekerja agar menguasai lebih dari satu keahlian inti—muncul sebagai solusi inovatif yang semakin relevan bagi masa depan industri konstruksi.

Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama paper “Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals” karya Rakan K. Albalawi, Paul M. Goodrum, dan Timothy R. B. Taylor (2023). Dengan mengangkat studi kasus nyata, data statistik, serta membandingkan dengan tren global dan penelitian lain, artikel ini bertujuan memberikan perspektif baru yang lebih relevan dan aplikatif bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan pembaca umum.

Latar Belakang: Tantangan Kekurangan Tenaga Kerja Terampil

Fakta Industri

  • Industri konstruksi AS menyumbang sekitar 4,2% dari GDP nasional.
  • Kekurangan tenaga kerja terampil menyebabkan penurunan produktivitas, kenaikan upah, keterlambatan proyek, hingga penurunan kualitas dan keselamatan.
  • Kesenjangan skill tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga soft skills seperti komunikasi dan kepemimpinan.

Mengapa Multiskilling?

  • Multiskilling menawarkan fleksibilitas tenaga kerja, memungkinkan satu pekerja menangani beberapa tugas lintas bidang.
  • Strategi ini diyakini dapat menutup gap skill, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi biaya pelatihan jangka panjang.
  • Namun, pengukuran objektif tentang seberapa besar multiskilling meningkatkan kompetensi pekerja masih minim dalam literatur.

Inti Metodologi: Tier II Construction Management Strategy

Apa Itu Tier II Strategy?

Tier II adalah kerangka manajemen tenaga kerja yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kompetensi pekerja konstruksi secara komprehensif. Penilaian dilakukan pada lima aspek utama:

  • Craft Technical Skills (sertifikasi, pengalaman teknis, pelatihan berkelanjutan)
  • Craft Management Skills (administrasi, komputer, perencanaan, manajemen kerja, rekam jejak kerja)
  • Information Technology Utilization
  • Craft Utilization
  • Organization

Penelitian ini memfokuskan pada dua aspek utama: craft technical dan management skills.

Cara Penilaian

  • Skor tiap elemen: 0, 5, atau 10 (semakin tinggi, semakin kompeten).
  • Contoh: Sertifikasi di tiga bidang keahlian = skor 10, dua bidang = 5, satu atau tidak ada = 0/3.
  • Survei dilakukan pada lebih dari 2.700 pekerja konstruksi dari seluruh AS, mencakup berbagai usia, pendidikan, dan posisi kerja.

Studi Kasus & Angka-Angka Kunci: Potret Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi AS

Profil Responden

  • Total responden: 2.740 orang dari 50 negara bagian.
  • 94,7% laki-laki, 5,1% perempuan.
  • Mayoritas berusia 35–54 tahun, dengan distribusi pendidikan: 31% pernah kuliah tanpa gelar, 22% lulusan SMA, sisanya beragam.
  • 41% adalah craftsperson/journeyperson, 14% foreman, 14% apprentice/helper.

Hasil Utama: Kompetensi Multiskilled vs Single-skilled

  • Multiskilled: 719 responden (memiliki lebih dari satu keahlian utama).
  • Single-skilled: 980 responden (hanya satu keahlian inti).

Rata-rata Skor Kompetensi (Tier II)

  • Multiskilled:
    • Craft Technical Skills: 6,27
    • Craft Management Skills: Lebih tinggi di semua elemen kecuali perencanaan
  • Single-skilled:
    • Craft Technical Skills: 5,17

Temuan Penting

  • Multiskilled consistently unggul dalam hampir semua aspek kompetensi, kecuali perencanaan (planning), di mana single-skilled sedikit lebih baik.
  • Peluang peningkatan (gap ke skor maksimum 10) lebih besar pada single-skilled, menandakan ruang perbaikan kompetensi lebih luas.
  • Pada elemen work record (rekam jejak kerja: keselamatan, kehadiran, produktivitas, inisiatif), kedua kelompok masih menunjukkan skor rendah—indikasi perlunya peningkatan budaya kerja dan pelatihan soft skills.

Analisis Statistik: Faktor Penentu Kompetensi

Penelitian ini menggunakan multinomial logistic regression (MLR) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi pekerja.

Variabel Signifikan

  • Jumlah sertifikasi dan tahun pengalaman adalah prediktor terkuat untuk kompetensi tinggi, baik aspek teknis maupun manajerial.
  • Usia, pelatihan, tingkat pendidikan, dan posisi kerja memiliki pengaruh lebih kecil atau tidak signifikan pada sebagian besar aspek.
  • Pekerja dengan lebih banyak pengalaman dan sertifikasi lintas bidang cenderung lebih kompeten dan siap mengisi peran manajemen lapangan.

Studi Kasus Spesifik: Profesi Tukang Kayu (Carpentry)

  • Profesi tukang kayu mendominasi responden (karena distribusi survei oleh serikat tukang kayu).
  • Multiskilled carpenter secara konsisten mencatat skor lebih tinggi dibanding single-skilled, kecuali pada aspek komputer.
  • Menariknya, perbedaan signifikan juga ditemukan pada elemen pelatihan berkelanjutan dan administrasi.

Dampak Strategi Multiskilling: Apa Saja Manfaat dan Batasannya?

Kelebihan Multiskilling

  • Fleksibilitas tenaga kerja: Satu pekerja dapat mengisi beberapa peran, mengurangi kebutuhan tenaga kerja tambahan.
  • Peningkatan produktivitas: Pekerja multiskilled lebih adaptif terhadap perubahan kebutuhan proyek.
  • Efisiensi biaya pelatihan: Pelatihan lintas bidang lebih ekonomis dalam jangka panjang.
  • Kesiapan menghadapi teknologi baru: Multiskilled cenderung lebih terbuka menerima pelatihan teknologi (misal, BIM, automasi).

Keterbatasan

  • Diminishing return: Manfaat multiskilling menurun setelah pekerja menguasai lebih dari dua bidang; skor kompetensi cenderung stagnan atau menurun.
  • Kebutuhan pelatihan berkelanjutan: Tanpa pelatihan rutin, kompetensi bisa menurun, terutama pada aspek manajemen dan teknologi.
  • Validasi kompetensi: Survei berbasis self-assessment berpotensi bias; validasi eksternal atau uji lapangan tetap diperlukan.
  • Distribusi geografis: Responden terkonsentrasi di wilayah urban timur AS, sehingga generalisasi ke seluruh industri perlu kehati-hatian.

Komparasi dengan Penelitian Lain & Tren Global

Studi Internasional

  • Inggris & Selandia Baru: Kekurangan tenaga kerja terampil juga menjadi isu utama, dengan multiskilling diadopsi untuk mengisi gap skill.
  • Singapura: Multiskilling terbukti meningkatkan efisiensi, namun butuh insentif dan pengakuan formal dari industri.
  • Australia: Pelatihan generik dan teknis secara simultan menjadi standar, menekankan pentingnya kombinasi hard dan soft skills.

Relevansi untuk Indonesia & Negara Berkembang

  • Industri konstruksi Indonesia juga menghadapi tantangan serupa: kekurangan tenaga kerja terampil, dominasi pekerja tradisional, dan rendahnya adopsi teknologi.
  • Multiskilling dapat menjadi strategi kunci untuk meningkatkan daya saing, namun butuh dukungan regulasi, pelatihan, dan pengakuan industri.
  • Integrasi multiskilling dengan sistem sertifikasi nasional (misal, LSP, BNSP) dapat mempercepat transformasi tenaga kerja konstruksi.

Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Industri & Kebijakan

Bagi Perusahaan Konstruksi

  • Investasi pada pelatihan multiskilling: Fokus pada bidang-bidang dengan permintaan tinggi dan potensi pengembangan karir.
  • Rotasi tugas dan mentoring: Dorong pekerja untuk mencoba peran lintas bidang, didampingi mentor berpengalaman.
  • Evaluasi kompetensi berbasis Tier II: Terapkan framework penilaian objektif untuk memetakan skill gap dan kebutuhan pelatihan.

Bagi Pemerintah & Regulator

  • Dukungan insentif pajak atau subsidi pelatihan bagi perusahaan yang mengembangkan program multiskilling.
  • Integrasi multiskilling dalam kurikulum pendidikan vokasi (SMK, politeknik).
  • Penguatan sistem sertifikasi berbasis kompetensi yang mengakui keahlian lintas bidang.

Bagi Pekerja

  • Proaktif mencari pelatihan lintas bidang untuk meningkatkan daya saing dan peluang promosi.
  • Bangun portofolio digital (misal, sertifikat online, rekam jejak proyek) untuk meningkatkan visibilitas di pasar kerja.

Opini & Kritik: Multiskilling Bukan Sekadar Tren, Tapi Kebutuhan Masa Depan

Penelitian Albalawi dkk. menegaskan bahwa multiskilling bukan sekadar “nice to have”, melainkan kebutuhan strategis di era kekurangan tenaga kerja terampil dan disrupsi teknologi. Namun, implementasi multiskilling harus diiringi dengan pelatihan berkelanjutan, validasi kompetensi yang objektif, dan pengakuan formal dari industri.

Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah masih rendahnya skor pada aspek work record, yang mencakup keselamatan, kualitas, dan produktivitas. Artinya, multiskilling belum otomatis meningkatkan budaya kerja jika tidak diikuti perubahan mindset dan sistem insentif yang tepat.

Selain itu, penelitian berbasis self-assessment perlu divalidasi dengan uji lapangan atau penilaian eksternal agar hasilnya benar-benar mencerminkan kompetensi riil di lapangan.

Tren Masa Depan: Digitalisasi, Otomasi, dan Multiskilling

  • Digitalisasi: Penguasaan teknologi digital (BIM, IoT, automasi) akan menjadi syarat wajib bagi pekerja multiskilled.
  • Otomasi & AI: Pekerja dengan multiskill dan adaptif terhadap teknologi akan lebih tahan terhadap disrupsi robotisasi.
  • Kolaborasi global: Industri konstruksi semakin terbuka pada kolaborasi lintas negara, sehingga multiskilling dan sertifikasi internasional akan menjadi nilai tambah utama.

Kesimpulan: Multiskilling, Pilar Transformasi Tenaga Kerja Konstruksi

Studi ini membuktikan bahwa multiskilling secara signifikan meningkatkan kompetensi tenaga kerja konstruksi, baik aspek teknis maupun manajerial. Namun, manfaat optimal hanya tercapai jika didukung pelatihan berkelanjutan, validasi objektif, dan pengakuan formal dari industri. Indonesia dan negara berkembang lain dapat mengambil pelajaran penting: investasi pada multiskilling adalah investasi pada masa depan industri konstruksi yang lebih fleksibel, produktif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Sumber

Albalawi, R.K.; Goodrum, P.M.; Taylor, T.R.B. (2023). Applying the Tier II Construction Management Strategy to Measure the Competency Level among Single and Multiskilled Craft Professionals. Buildings, 13, 1175.